Suasana kelas 12 IPA 2 ricuh karena guru yang bersangkutan tidak hadir. Meskipun begitu, siswa di kelas tersebut tetap mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Nova. Hasilnya, di atas meja guru sudah bertumpuk puluhan buku milik siswa yang telah mengerjakan soal yang tadi dibawa oleh Zahra.
Zahra telah menyelesaikan tugasnya sejak lima belas menit lalu. Gadis tersebut kini tengah memainkan ponselnya. Namun, beberapa saat kemudian perutnya terasa perih. Ia teringat bahwa dirinya belum sempat sarapan sejak pagi. Saat sampai di kelas juga ia keasyikan mengobrol dengan Santi hingga lupa untuk memakan bekalnya. Zahra mengeluarkan bekal yang ia bawa dari tas. Aroma nasi goreng dan nugget pun menguar saat Zahra membuka kotak penutup bekalnya.
"Waduh ... ada yang udah makan lagi, nih," cibir Santi.
"Aku belum sarapan, tahu," balas Zahra sambil menyendok sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Tumben, biasanya paling rajin sarapan, terus nyampe sekolah makan lagi," olok Santi lalu terkekeh. Mengingat kebiasaan Zahra yang terbiasa sarapan namun kembali memakan bekalnya bahkan sebelum jam istirahat tiba.
"Abi tadi berangkatnya pagi banget, katanya mau ada keperluan, jadi aku nggak sempet sarapan.
Santi mengangguk paham, ia lalu mencomot nugget milik Zahra tanpa izin dan melahapnya langsung.
"Iiih ... Santi ... itu nugget aku ....," rengek Zahra tidak terima.
"Minta satu, aku juga laper, nggak bawa bekel dari rumah. Bosen sama telor terus," sahutnya setelah menelan nugget yang ia makan.
"Ih, kamu tuh harusnya bersyukur masih bisa makan walaupun sama telor. Coba lihat orang-orang di luaran sana, mereka bahkan susah buat makan barang satu kali aja. Lah kamu udah syukur ada—"
"Iya ... iya ... Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih atas telor yang telah Engkau berikan padaku. Aku bersyukur atas semua itu," potong Santi berlebihan. Zahra mengerucutkan bibirnya melihat tingkah sahabatnya tersebut.
"Zahraaa ...." Teriakan salah satu teman Zahra membuat pemilik nama tersebut tersentak kaget.
"Hah? Iya? Apa?"
"Pak Yusuf belum masuk dari tadi, udah sepuluh menit lewat. Panggilin, gih," adunya.
Kunyahan pada mulut Zahra sontak terhenti. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding kelas bagian belakang. Benar saja, jam pelajaran Matematika sudah selesai sejak lima belas menit yang lalu. Kilasan kejadian tadi pagi tiba-tiba terulang kembali di kepalanya. Belum lagi, kejadian di perpustakaan dan saat istirahat kemarin. Ia sudah cukup banyak berinteraksi dengan guru sejarahnya. Masa, sekarang ia harus bertemu lagi?
"Emangnya, dia belum masuk, ya?" tanyanya memastikan.
"Iya, belum. Makanya sana kamu panggilin, kan kamu ketua kelasnya."
Mau tak mau Zahra mengangguk, ia lalu menutup kotak bekalnya dan meminum seteguk air untuk membasahi kerongkongannya. Zahra lantas menarik paksa Santi yang tengah bercermin membetulkan kerudungnya yang bengkok.
"Eh, mau ke mana?"
"Ke ruang guru, jemput Pak Yusuf."
Lantas Santi tersenyum mendengar alasan Zahra menariknya secara tiba-tiba. "Kemarin katanya nggak mau ketemu sama Pak Yusuf, tapi sekarang kok dijemput," godanya.
Zahra berdecak, "Itu kan kemarin. Lagian, tadi pagi udah ketemu, kok."
"Lah? Udah ketemu aja, gimana ceritanya?"
"Tadi kan aku ngambil tugas dari Bu Nova di ruang guru. Terus, ketemu deh sama Pak Yusuf."
Santi ber-oh ria, kemudian ia berjalan keluar kelas mendahului Zahra.
"Eh, mau ke mana?"seru Zahra.
"Katanya mau jemput Pak Yusuf. Gimana, sih."
"Itu sekalian ambil buku Matematikanya, simpen di atas meja Bu Nova."
"Oh, hahaha." Santi tertawa, kemudian mengambil separuh dari tumpukan buku tersebut. Keduanya lalu bergegas pergi ke ruang guru.
***
Ruang guru nampak sepi, hanya ada satu dua orang guru yang terdapat disana. Zahra dan Santi masuk setelah mengucap salam. Ternyata, Yusuf masih berada di mejanya, berkutat dengan lembaran kertas yang entah apa isinya.
"Ra, itu Pak Yusuf," bisik Santi.
"Iya, tahu. Udah lihat, kok."
"Mejanya deket sama meja Bu Nova ternyata."
"Kan dulunya emang bekas meja Bu Wati, jadi beliau sekarang juga duduk di sana."
"Oh ...." Santi membulatkan mulutnya. Mereka berdua lalu menyimpan tumpukan buku yang dibawa ke atas meja wali kelasnya. Kemudian keduanya berdiri menghadap Yusuf.
"Assalamualaikum, Pak," ucap Zahra dan Santi bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Yusuf.
Santi melangkah mendekat pada Yusuf sedangkan Zahra tetap di belakangnya. Lalu Santi mengulurkan tangan kanannya pada Yusuf, berniat untuk menyalami gurunya. Namun di luar dugaan, Yusuf justru menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, tidak menerima uluran tangan Santi.
Melihat hal itu, Zahra tertawa puas. Ia terbahak melihat Santi yang nyengir saat Yusuf tidak menerima uluran tangannya. Sementara Yusuf tersenyum simpul melihat kedua anak didiknya.
"Eh, sekarang pelajaran bapak, ya?" sambungnya bertanya. Zahra dan Santi mengangguk membenarkan.
"Udah lewat sepuluh menit lebih, Pak," sahut Santi.
Mata Yusuf membulat mendengar pernyataan Santi. "Waduh, maaf ya. Bapak tadi lagi beresin lembar soal. Ini juga beres sedikit lagi. Nggak kerasa udah lewat sepuluh menit."
"Hehe ... iya Pak, nggak papa," timpal Santi.
"Yaudah, ayo ke kelas." Yusuf lantas berdiri dan mempersilakan kedua siswanya untuk berjalan terlebih dahulu, sementara ia membereskan meja yang masih sedikit berantakan.
"Zahra, bawa buku, ya, ke perpustakaan," titah Yusuf saat ia sudah berjalan di samping kedua gadis tersebut.
"Saya, Pak? Sama siapa?"
Yusuf mengangkat kedua alisnya. "Sama temen kamu, lah, sama siapa lagi? Kamu mau ngambil bukunya sama bapak, emang?"
Santi mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan tawa.
"Ya ... nggak gitu maksud saya, Pak. Kemarin kan ngambil bukunya sama bapak, siapa tahu sekarang sama bapak juga."
"Ya kalau mau bareng sama bapak, ayo. Tapi anak-anak di kelas pasti udah pada nungguin, bapak udah telat banget, ini. Jadi nggak bisa nemenin kamu," Yusuf beralibi. Bibirnya tersenyum, namun nampak menyebalkan di mata Zahra.
Gadis dengan khimar lebar itu memaksakan senyumnya."Yaudah, Pak. Saya ngambil bukunya dulu, ya, bareng Santi." Ia kemudian lekas menarik Santi dan pergi dari hadapan Yusuf. Dengan tergopoh, Santi menyesuaikan diri dengan langkah Zahra yang terburu.
"Ra, pelan-pelan, dong. Kenapa, sih?"
"Ish. Tuh, guru kamu nyebelin, tahu, nggak."
"Nyebelin apanya, deh?"
"Itu tadi waktu ngobrol, nggak nyebelin gimana, coba?"
Santi terkekeh. "Jangan gitu, ah. Kalau terlalu diambil hati, biasanya nanti malah jadi suka."
"Eh, nggak, ya!"
"Siapa tahu, kan? Hati orang nggak ada yang bisa memprediksi, Ra. Bahkan sama pemilik hatinya sendiri."
Zahra cemberut, kenapa bisa sahabat dan kakaknya dapat memikirkan teori yang sama soal hati?