Masa Lalu

1052 Kata
Feri nyaris saja menyemburkan teh hangat di dalam mulutnya usai mendengar permintaan Maminya pagi ini. “Ayolah. Sekalian lewat,” bujuk Maminya. Beliau menyodorkan rantang yang berisi lauk dan nasi. “Sekalian kamu sarapan bareng sama dia. Terus jangan lupa bilang untuk datang bantu-bantu di acara akikahan lusa nanti,” pesan Maminya. As-ta-ga. Feri tak mampu mengatupkan mulutnya saat ini. Kaget? Tentu. Dan ada apa dengan gerangan Maminya ini? “Mi, kan Airin bisa anterin kenapa harus Feri?” tanyanya. Ia mencoba melepas diri dari perintah. Mami memutar bola matanya—kesal. Tapi untungnya beliau sudah menyiapkan rencana ini matang-matang. “Airin tadi udah berangkat. Fadlan lagi beres-beres di rumah sakit kan hari ini Icha pulang,” tutur Mami sambil membawa piring kotor ke dapur. Papi pura-pura sibuk membaca koran. Beliau tak mau ikut campur. Istrinya memang bertingkah konyol sejak kemarin. Namun yang mencengangkan adalah semalam. Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu berpikir untuk mempertemukan Sara dan Feri agar mereka semakin dekat. Alasannya tentu saja karena Tiara butuh sosok ibu dan Mami yakin Sara bisa menggapai posisi itu. Feri menghela nafas pasrah. Tak tahu harus bagaimana berucap. Akhirnya ia bangkit dari meja makan sambil menenteng rantang dengan setengah hati. Lalu ia berpamitan pada Mami dan Papi yang kompak terkekeh-kekeh sepeninggalnya Feri. Lagi pula memang sudah saatnya Feri untuk mengakhiri masa lajangnya lagi, begitu gumam Mami di dalam hatinya. Tapi kalau memang bukan jodohnya, Mami juga tak mau memaksa. Itu sudah menjadi kehendak-Nya. Lelaki itu memijit keningnya. Bingung harus bagaimana. Ia tak punya nomor ponsel Sara. Bagaimana kalau wanita itu tak ada di apartemen? Ah ngomong-ngomong ia juga tak enak menghampiri apartemennya. Lalu butik? Apa sepagi ini ia sudah disana? Feri mendesah frustasi. Belum sempat ia membuka mata dari kefrustasi-annya, Mami datang sambil mengetuk jendela mobilnya. Ia membuka dan makin mengernyit saat Mami menyodorkan kertas padanya. “Telpon dulu Sara-nya. Tanyakan dia dimana,” tutur Mami lalu melenggang pergi. Feri makin frustasi dibuatnya. ♥♥♥ “Dia menolaknya?” seru seorang wanita berambut panjang se-pinggang itu. Ia berkacak kesal sambil menjatuhkan pantatnya di sofa. Ini sudah jam delapan malam waktu Amerika. “Mr. Feri tidak ingin melakukan rujuk lagi dengan Anda. Segala macam negosiasi dari pihak kita ditolaknya mentah-mentah.” BUUUKKK Lampu tidur itu dilemparnya ke lantai lalu pecah berderai-derai. Ia kesal dan sakit hati atas kabar yang ia dengar. b******k! Makinya dalam hati. Kalau sudah begini, mau tak mau ia harus turun tangan. Persetan dengan kemauan ibunya untuk menikahkannya dengan lelaki lain yang tentu saja lebih kaya dari Feri. Yang ia butuhkan kini hanya Feri. Dan hal itu baru ia sadari di setiap ia bangun dari tidurnya beberapa bulan lalu. Karena kesepian itu yang melandanya. ♥♥♥ Sara agak canggung saat menyuruh Feri untuk masuk ke ruang kerjanya di butik. Tapi ia juga tak enak menolak kedatangan lelaki itu. Apalagi saat melihat rantang yang dibawanya. Makanan itu dibuat spesial oleh Tante Fiandra untuknya. Mana mungkin ia menolak jika itu adalah permintaan wanita paruh baya itu. “Abang gak kerja?” tanya Sara yang melihat Feri mematung--duduk di depannya. Laki-laki itu berdeham canggung. “Eung, sebenarnya Mami juga minta bantuanmu untuk ikut bantu-bantu acara akikahan si kembar lusa nanti. Itu juga kalau kau tak keberatan,” terang Feri dalam satu kali nafas. Akhirnya ia bisa juga menyampaikan semua pesan Mami. Tapi tidak dengan sarapan bersama. Ia tentu saja tak enak pada Sara. Lebih baik ia sarapan di kantor saja. Sara mengangguk-angguk sambil membuka rantang. “Insya Allah bisa kok,” tuturnya. Toh kegiatannya hanya mengurus butik ini. Sesekali ikut acara seperti itu kan tidak apa-apa. Apalagi ia sudah cukup mengenal keluarga Adhiyaksa. “Abang mau makan juga?” tawarnya tanpa melihat Feri sama sekali. Padahal dalam hatinya, ia berdoa semoga Feri menolak tawarannya ini. Ia tak bisa membayangkan harus sarapan bersama di ruang kecil ini. Feri berdeham tak enak. “Aku pamit saja,” ucapnya yang seketika mem-buat Sara menghembus nafas lega. Ia sudah tak nyaman dengan ke-hadiran Feri disini. Bukan apa-apa, ia enggan saja berurusan sama orang yang dulu pernah menyampakkannya ini. Sara mengangguk dan melepas kepergian Feri ke kantornya. Entah kenapa, ia tak ingin mengharapkan ada pertemuan lainnya lagi dengan lelaki itu. ♥♥♥ Disisi lain, Feri termenung. Ia mengingat-ingat wajah Sara kini dengan wajah Sara yang dulu. Wajah itu semakin tampak cantik dan dewasa. Sialnya, wajah itu adalah wajah yang pernah dipujanya dulu. Wajah yang selalu menghiasi masa SMA-nya bahkan sampai ia kuliah. Dulu, Feri dan Sara pernah terlibat hubungan. Yah sejenis pacaran lah meski Feri tak pernah memperjelas status mereka. Tapi yang ia tahu saat itu Sara tak menolak sama sekali. Mereka sangat dekat dan akrab. Tak ada satu pun sahabat-sahabatnya yang tahu tentang hubungan mereka. Pun adik-adiknya dan teman sepermainan mereka. Fadlan, Fadli, Fahri, Faiz dan Regan tak tahu menahu soal hubungan mereka karena Feri begitu merahasiakannya. Bukannya bermaksud pengecut tapi kondisi keluarga yang mengharuskannya melakukan itu. Dipihaknya, Papi memang cukup kejam pada anaknya yang berani pacaran sebelum lulus sekolah. Dipihak Sara tentu saja latar belakang keluarganya. Apalagi Abi Sara terkenal sangat galak dan tegas. Tidak ada toleransi pada siapa pun yang berani membuat kesalahan. Bahkan tak ada satu pun lelaki yang berani datang ke rumah Sara sendirian. Begitu pula Feri. Ia ciut setiap kali lewat di depan rumah gadis itu. Meski keluarga mereka terbilang cukup dekat. Kisah cinta mereka dimulai saat lelaki itu duduk di kelas tiga SMA dan Sara duduk di kelas tiga SMP. Fadlan, Fadli, Regan dan Fahri masih kelas satu SMA waktu itu. Sementara Aisha duduk di kelas dua SMP. Mulanya memang berawal dari sahabat jadi cinta lalu saling mengirimi surat. Padahal Feri sudah di Amerika waktu itu. Tapi hubungan mereka sejauh itu baik-baik saja. Karena mungkin saat itu, perasaan itu masih ada untuk Sara. Masih setia untuk Sara. Hingga akhirnya Feri lulus master dan berhasil menjadi Presdir Adhiyaksa Coorporation di Amerika saat berumur 25 tahun, semuanya berubah. Lelaki itu begitu sibuk. Tak punya waktu untuk sekedar menghubungi Sara dan Sara tak pernah komplain. Perempuan itu sangat memahami pekerjaan Feri yang begitu menyita waktu. Namun disisi lain, Sara juga sedang menyelesaikan kuliah sarjananya saat itu. Namun di tahun terakhir kuliah itu lah, hubungan mereka kandas. Apalagi saat pertemuan Feri dengan mantan istrinya. Singkat cerita, ternyata Papi dan Mami sudah merencanakan pertemuan Feri dengan mantan istrinya saat itu. Tak ada penolakan, mereka menjodohkan kedua-nya sampai akhirnya menikah. Namun yang baru Feri sadari kini, ia tak pernah memberi kabar apapun pada Sara. Ia terlalu tergila-gila pada Nia saat itu. Ia baru sadar jika ia meninggalkan Sara begitu saja. Mungkin wanita itu kaget mendengar kabarnya yang tiba-tiba menikahi gadis lain. ♥♥♥   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN