Jujur saja, sebenarnya ia iri sekali saat melihat bayi-bayi tadi. Karena ia tak memilikinya dan mungkin tak akan pernah memilikinya. Setiap memikirkan itu, membuat nafasnya sesak. Seandainya ia bisa menerima Faiz dari dulu mungkin mereka sudah memilikinya tapi ia menggelengkan kepala. Tidak. Ia tak boleh menyalahkan keadaan lagi. Cukup lah hari-hari kemarin karena bagaimana pun tak kan bisa me-ngembalikan semuanya. Yang ada hanya ia akan hidup dalam ke-terpurukan. Tenggelam bersama masa lalu yang tak pernah akan kembali.
“Yes, Abi?” tanyanya saat ponselnya berdering. Matanya sempat melihat nama beliau disana. “I'm okay, Abi.” Ia mengangguk-angguk menyimak apa yang dibicarakan Abinya. Ayahnya kurang lancar berbahasa Indonesia. Lelaki itu lebih fasih berbasaha Inggris dan Arab tentunya. “Soon, Abi. Soon. I will be there, okay?” bujuknya. Ini sudah ke sekian kalinya Abi menyuruh pulang ke Afganistan. Tapi ia tak mau. Ia masih belum bisa meninggalkan Faiz secepat ini atau setidaknya sampai keluarga Faiz berhenti menyalah-kannya dalam segala hal yang menyangkut Faiz. Termasuk kematian pria itu. Setelahnya ia meng-hela nafas. Abi masih kekeuh menyuruhnya pulang. Tapi ia selalu berdalih kalau butiknya masih butuh dirinya. Bagaimana pun itu adalah titipan Faiz yang memintanya mengelola butik itu.
I wish I could, lirihnya setelah menutup telepon dari Abinya. Abinya sudah renta, sudah berumur. Lelaki itu tinggal ditemani istrinya, ibu tiri Saralee Jasmine yang sangat baik hati karena mau menikah dengan laki-laki paruh baya yang sudah lumpuh dan hanya mengandalkan usaha dagang kain di sana. Tapi setidaknya, hal itu bisa membuat Sara cukup lega karena ada yang mengurus Abinya. Menjadi anak tunggal itu sama sekali tak enak. Apalagi dulu, setelah ditinggal mati ibunya. Ia menjadi satu-satunya harapan untuk sumber kebahagiaan Abinya. Ia melirik jam di dinding. Tepat sepertiga malam. Ia beranjak lalu mengambil wudhu.
♥♥♥
Sujud.
Hanya salat lah yang menjadi medianya dalam mencurahkan segala perasaannya, kepedihannya, dan kerapuhannya dalam menjalani hidup dan cobaan. Hanya salatlah yang mampu mengangkat sedikit bebannya karena Allah membelai doanya dalam linangan air mata dalam posisi serendah-rendahnya, yaitu sujud. Hanya sujudlah yang mampu membuat ketegarannya menguat karena Allah membantunya bangkit. Ia selalu terisak dalam sujudnya. Selalu terisak walau keadaannya tak sepuruk ini. Dalam hati ia menabahkan dan menerima semuanya. Karena ia percaya jika suatu saat nanti semua luka akan dibalas kebahagian entah itu di dunia atau di akhirat. Ia hanya bisa pasrah menerima semuanya. Dan setelah sujud itu, ia bangkit. Walau masih dengan terisak, tetapi ia tak mau terpuruk. Sedikit pun tak mau karena setan akan semakin membelainya, membuatnya putus asa dan melenakannya dalam lubang kelam. Kemudian menengadahkan tangannya, memohon ketegaran dan kekuatan. Karena dirinya tanpa-Nya takkan bisa apa-apa. Dan malam ini kembali menjadi saksi di mata Tuhannya, betapa ia rapuh dan berusaha untuk tegar. Setelah itu, ia mengaji dalam keheningan malam. Sambil sesekali terisak kala mengingat musibah beberapa bulan belakangan. Awalnya terasa manis namun akhirnya terasa pahit. Ia tak ingin seperti itu. Jangan sampai seperti itu. Ia ingin mengecap kebahagiaan itu diakhir walau harus rela mengecap kepedihan diawal. Setelah itu, ia berdiri sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya. Lalu menatap salinan dirinya di depan cermin. Menatap tajam bayangannya sendiri.
“Aku....tegar.....”
♥♥♥
“Sara?” tanya Icha agak bingung. Ia baru saja menanyakan siapa yang mendonorkan darah untuknya kemarin. Mami nampak mengangguk-angguk.
“Itu loh Ca, istrinya almarhum Faiz,” terang Caca yang langsung membuat d**a Icha berdesir. Siapa pun yang menyebutkan salah satu korban kecelakaan setahun lalu, rasa bersalah itu pasti menghinggapinya. Apalagi Faiz. Nama itu selalu mengingatkannya pada sosok cantik Saralee Jasmine. Ia lebih suka memanggilnya Jasmine dari pada Saralee. Jadi telinganya masih agak asing sekalipun Fadlan sering menyebutnya Sara.
“Sara itu yang anak tetangga kita dulu bukan, Mi?” tanya Papi.
Icha mengerutkan dahi, menyimak mertuanya berbicara. Sementara Caca asyik menyusui anaknya di bangsal sebelahnya.
“Iya. Mami lupa siapa nama ayahnya,” ucap Mami sambil me-ngingat-ingat.
“Kak Sara itu bukannya yang mau dijodohin sama Bang Fadlan itu kan?” sahut Caca dengan datarnya yang membuat telinga Icha langsung panas.
Papi mengangguk-angguk membenarkan. Rasanya Icha ingin mencakar Caca sekarang juga. Dulu memang sempat mau dijodohkan, tapi sayang Fadlan tak mau. Ditambah lagi, Icha takt ahu tentang perjodohan yang satu ini.
“Fadli juga pernah naksir Kak Sara waktu masih kecil dulu,” lanjut Aisha dengan usilnya padahal sedari tadi sibuk meladeni si kembar tiga. Kali ini giliran Caca yang merasakan telinganya panas. Aisha saja baru ngeh kalau wanita itu adalah wanita bule berambut pirang bergelombang yang sering bermain dengannya saat kecil dulu. Ia sampai pangling saat melihat sosok Sara dewasa dan anggun dalam hijabnya.
“Wajar lah, Mi, kalau banyak yang naksir. Cantik gitu. Tapi akhir-nya kan yang dapetin si Faiz,” lanjut Fadlan yang tiba-tiba nongol di ambang pintu kamar rawat Icha. Lelaki itu sesekali mencuri waktu untuk bisa melihat istrinya. Namun Icha malah membuang muka. Kesal karena tak tahu ada hubungan apa antara Fadlan dan Sara. Selama ini yang ia tahu hanya Sara yang merupakan istri Faiz. Ia tak tahu sama sekali kalau mereka bertetangga bahkan hampir mau dijodohkan dengan suaminya.
Apalagi wanita itu kan cantik sekali. Cerdas pula! Ia makin keki.
Ck! Berani banget dia muji wanita lain di depanku?!
“Tapi kan sekarang udah janda. Pasti banyak lah yang naksir,” kilah Mami. Papi mengangguk setuju.
“Banyak yang naksir bukan berarti banyak yang berani deketin kan, Mi?” ucap Fadlan yang ada benarnya juga. Mungkin memang Sara adalah wanita ideal. Ia cantik dengan wajahnya yang unik itu. Kecantikannya yang unik itu membuatnya ber-beda dengan wanita cantik lainnya. Lalu ia juga cerdas. Lulusan master dari salah satu universitas terkenal di Jerman. Penguasaan bahasa asing-nya luar biasa. Ia bisa berbahasa Inggris, Arab, Jerman dan Belanda. Ia juga pandai berkomunikasi. Banyak sekali laki-laki yang menyukai-nya tapi memilih mundur saat melihat kelebihannya ini. Terkadang kelebihan yang dimiliki seorang wanita bisa menjadi momok menakutkan. Tapi Sara selalu yakin jika jodoh adalah urusan Allah. Sudah ditakdirkan sedari awal.
“Mami kok sejak semalam jadi kepikiran buat jodohin Sara sama Feri ya,” celetuk Mami kemudian. Anak-anaknya kompak menoleh. Pun Papi yang sedari tadi asyik membaca koran langsung mengangkat kepala.
“Mi, gak usah mikir yang macem-macem,” tegur Papi.
Mami hanya tersenyum tipis. Ia tahu suaminya takut kejadian yang sama menimpa anak sulung mereka. Tapi entah kenapa nalurinya kini berkata lain. Mungkin perasaannya saja atau karena ada hal lain, ia tak pernah tahu. Lagi pula, perempuan yang satu itu memang menyenangkan. Karena Sara begitu ramah dan pandai bergaul. Namun bukan tipe perempuan yang bawel juga. Ia menarik dengan caranya yang sangat elegan.
♥♥♥