Disampingmu

1645 Kata
Alhamdulillah. Icha telah melewati masa kritisnya dan perempuan itu berhasil melahirkan anaknya yang ketiga meski dengan operasi caesar. Bagi Fadlan tak apa-apa asal istri dan anaknya sehat dan selamat. Itu yang terpenting. Feri terenyuh melihat pasangan m***m itu. Ia merasa lega sekali kendati Icha belum sadar namun saat mengetahui wanita itu baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup. Allah mengabulkan doanya. “Lan....,” panggilnya dengan suara pelan. Fadlan menoleh. Tangan-nya masih menggemgam kuat tangan istrinya. “Kakak mau lihat anakmu,” ujarnya pelan. Ia ingat rengekan Tiara sejak setengah jam yang lalu. Gadis kecil itu tak sabar ingin melihat keponakan barunya. Fadlan mengangguk. “Tanya dokter Anisa atau Fahri, Kak.” Lelaki itu mengangguk cepat lalu mengambil Tiara dari pangkuan Maminya. Ia membawa gadis kecil itu menuju ruangan Anisa dan kalau tak ada ia akan mencari Fahri. “Kita mau kemana daddy?” tanya bocah kecil dalam gendongannya. “Tadi Aya bilang mau lihat dedek Bunda. Jadi kita akan kesana!” jawabnya dengan semangat. Bocah kecil itu berseru senang. Feri tersenyum dibuatnya. “Anak Bunda juga dedek Aya kan, daddy?” tanya bocah kecil itu lagi. Feri hanya bisa menganggukkan kepalanya dan gadis kecil itu kembali berseru senang. Baginya tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain ini—melihat anaknya berseru senang. Mereka tiba di ruang Anisa dan baru saja akan bertanya, Anisa sudah menyeru 'di ruang bayi' untuk memberitahu Feri. Wanita itu tampak sedang memeriksa pasiennya saat Feri sampai disana. Dan tak perlu tunggu lama, Feri hanya harus berjalan beberapa langkah menuju ruangan yang diberitahu Anisa. Lelaki itu nampak membeku saat akan masuk. Ia agak kaget saat menyaksikan Sara ada di dalam sana—sendirian. Setelah pendonoran itu, ia memang tak bertemu Sara lagi. Ia pikir Sara sudah pulang atau mungkin mengisi perutnya bersama teman-temannya. Ia sempat melihat Faradila tadi. Wanita itu juga turut mendonorkan darahnya. “Tante Sara?” tanya Tiara dengan suara cempreng. Feri terkekeh geli saat beberapa perawat menyuruh anaknya menurunkan suara karena ini ruang bayi dan bayi-bayi itu sedang tertidur pulas. Feri berdalih maaf pada perawat-perawat itu. Sara yang tadi sedang berdiri membelakangi mereka segera me-noleh dengan cepat dan agak membeku sesaat saat melihat Feri berdiri di ambang pintu. Ini kedua kalinya mereka berdemu dengan jarak yang relatif dekat seperti ini. Hanya bertiga pula—dengan Tiara ditengahnya. Gadis kecil itu segera meluncur turun dari gendongan ayahnya lalu berlari kecil menuju Sara yang masih terpaku. “Tante mau liat dedek bayi juga ya?” tanyanya polos. Wajahnya mendongak ke arah Sara yang baru mengalihkan pandangannya dari Feri. Sara tergagap lalu tersenyum tipis. Meski begitu, Feri masih bisa melihat lingkaran hitan di mata Sara. Pasti perempuan itu sering menangis, begitu pikirnya. “Tiara mau liat?” tanya Sara. “Sini Tante gendong,” lanjutnya lalu meraih Tiara dalam gendongannya. Ia cukup dekat dengan gadis ini karena sering dibawa Icha ke butiknya. Ia juga tahu kalau bocah ini anak-nya Feri. Perkara rumah tangga Feri yang sudah berakhir juga ia tahu. Tapi ia tak begitu perduli. Feri berjalan mendekati keduanya. Kini mereka berdiri berdampingan dengan Tiara pemisahnya. “Ini anaknya Fadlan?” tanya Feri. Matanya tertuju pada box bayi di depan mereka. Sara berdeham. Ia mengiyakan pertanyaan Feri. “Kembar tiga. Kata Fadlan, yang ini yang lahir duluan,” ujarnya sambil menunjuk bayi laki-laki dari sebelah kanan—tepat di hadapan Feri. “Lalu ini, cantik sekali,” pujinya menunjuk bayi perempuan yang berada di tengah. Ia yang lahir kedua. “Dan ini juga tak kalah tampannya,” tutur-nya sambil menunjuk bayi di sebelahnya lagi. Bayi laki-laki. Icha pasti senang sekali karena anaknya ada yang perempuan. Meski tidak kembar identik dengan dua saudaranya yang laki-laki. Sedangkan ia? Jangan ditanya betapa masam wajahnya sekarang. Feri mengangguk. Ia menyetujui ucapan Sara. Bayi-bayi ini mirip sekali dengan Fadlan dan Icha. Meski yah, nampaknya lebih dominan mirip Icha. “Dedek Farrel yang mana daddy?” tanya Tiara. Ia melihat dua bayi laki-laki yang mengelilingi bayi perempuan. “Ini,” ujar Feri sambil menunjuk bayi laki-laki di depannya. Bayi laki-laki yang menurut adiknya lahir pertama kali. “Yang ini namanya Farras,” lanjutnya sambil menunjuk bayi perempuan di sebelah Farrel. Ia sendiri suka sekali men-dengar nama Farras ini. Terlihat cantik seperti orangnya. Kemudian ia menunjuk bayi laki-laki terakhir yang susah keluar disaat kelahiran tadi. Bayi laki-laki yang nyaris merenggut nyawa ibunya juga. Tadi Feri sempat men-dengar kalau Fadlan berniat menyuruh istrinya untuk steril saja. Adiknya itu sudah cukup dengan tiga anak ini yang nyaris melayangkan nyawa ibunya. “Kalau ini namanya Ferril.” Ia mengacak rambut Tiara, gemas akan tingkah laku anaknya yang malah membuatnya tak sengaja menangkap wajah sendu milik Sara yang sedang termenung menatap bayi-bayi di depannya. “Bukannya kau tadi mendonorkan darah? Tak beristirahat?” tanya Feri yang kini malah nampak seperti mengkhawatirkan Sara. Wanita itu tergagap. Setelah sadar, ia menggeleng. Ia merasa tak pusing atau apapun. “Kau yakin?” tanya Feri sekali lagi dan saat ia me-noleh sekali lagi ia bisa melihat wajah pucat Sara. Tak butuh waktu lima detik untuk mem-buat Sara jatuh pingsan dalam pelukannya. ♥♥♥ “Kau apa kan anak orang?” tanya Mami sambil menepuk punggung Feri. Aisha terkikik melihatnya. Feri jadi serba salah karena meng-gendong Sara dari ruang bayi tadi. Ia dituduh macam-mcam oleh Mami-nya ini. Padahal ia hanya membantu. “Tadi gak sengaja ketemu, Mi,” jujurnya tapi Mami malah me-mincingkan mata. Ia tak suka kalau Maminya bersikap seperti ini. Pasti masih belum percaya. “Ada apa-apa juga gak apa-apa kok,” ujar Maminya sambil me-ngekeh. Beliau masuk ke dalam kamar rawat Sara. Menunggu wanita itu bangun. Kini giliran Aisha berjalan mendekati kakaknya itu. Ia merangkul bahu Feri dan Feri hanya menatapnya dengan tatapan dongkol. “Kak Sara cantik ya, kak,” ujar Aisha dengan mata melirik menggoda. Feri memincingkan mata—menunggu pembicaraan Aisha yang entah kemana maksudnya. “Apalagi sekarang lagi single,” lanjutnya lalu terkikik saat melihat wajah masam Feri. Aisha menepuk-nepuk bahu kakaknya itu lalu beranjak. “Aisha cuma ngasih tahu itu doang sih,” ujarnya lalu lari memilih kabur. Padahal tak perlu diberitahu juga Feri tahu. Tentu saja saat mendengar kabar meninggalnya Faiz sangat membuatnya terkejut. Lama tak saling memberi kabar tiba-tiba sahabatnya dari kecil itu meninggal. Tapi perkataan Aisha sebelumnya memang cukup mengganggu pikirannya. Sara cantik. Ya memang. Sangat cantik malah. Bule Arab-Jerman-Melayu itu memang agak unik. Jarang sekali ia bisa bertemu wanita seperti itu. Kulitnya memang tidak seputih orang bule biasanya tapi juga tak hitam. Ia juga tak terlalu tinggi. Bahkan Feri bisa menebak tingginya paling hanya 170 cm. Tingginya sama dengan Aisha dan Icha. Hidungnya? Jangan ditanya. Mancung dengan alis yang tebal dan menggugah iman. Ia juga tak menafikan diri jika ada bagian darinya yang merasa tertarik pada wanita itu. Atau....jangan-jangan lebih dari itu? “Fer!” panggil Mami dari ambang pintu. Ia menoleh. “Antar Sara pulang dong. Mami gak tega biarin dia pulang sendiri,” ucap Mami. Ia tergagap namun tak urung beranjak juga. “Dia...udah bangun, Mi?” tanyanya dengan pelan takut Sara mendengar. “Udah makan malah. Kalau gak Mami paksa gak bakal mau makan dia,” curhat Mami lalu terkekeh mengingat apa yang dilakukannya tadi. Feri turut masuk ke dalam ruang rawat itu. Ia menggaruk tengkuk-nya yang tak gatal, salah tingkah saat melihat Sara memandangnya sekilas. “Tante gak tahu harus gimana lagi selain ucapan terima kasih buat kamu, Sar,” tukas Mami lalu memeluk wanita itu dengan hangat. Beliau sangat berterima kasih sekali karena Sara mau membantu menantunya. Sara hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Ia tak salah mengambil keputusan rupanya. Tekadnya untuk membantu Icha adalah jalan menuju kebaikan. Entah bagaimana caranya, kini ia merasakan apa yang disebut bahagia. Ya, meski masih menanam perih di dalam lubuk hatinya yang terdalam. “Sara juga senang kok bisa bantuin Fadlan dan Icha,” ujarnya lem-but setelah Mami melepas pelukan mereka. “Diantar sama Feri aja ya? Mami gak rela kamu pulang sendiri,” bujuk Mami dan mau tak mau Sara hanya bisa mengangguk pasrah. ♥♥♥ Sepi. Sampai mobil melaju dan menjauh dari rumah sakit pun Sara dan Feri sama-sama tak membuka suara sedikit pun. Karena tak ada satu pun yang menyangka akan sedekat ini. Sesekali Feri hanya berdeham saja. Entah kenapa ia jadi grogi pada Sara yang duduk di sebelahnya yang malah biasa saja. Bahkan agak menghindarinya. Wanita itu malah lebih senang menoleh ke arah jendela dari pada ke arahnya. “Kabar Abimu, Sar?” Akhirnya Feri buka suara juga. Ia juga tak tahan lama-lama didiamkan seperti itu. Wanita di sebelahnya menghela nafas. Entah apa yang dipikirkan-nya tapi Feri merasa waktu-waktu ini adalah waktu terberat baginya. “Baik-baik saja,” jawabnya agak enggan. Feri mengangguk-angguk. “Kau sibuk di butik kini?” Sara hanya mengangguk. Menurutnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tak penting. Tapi bagaimana pun ia menghargai Feri yang sudah ber-susah payah membuka pembicaraan. Tak enak karena Feri yang terus ber-tanya tentangnya, ia buka suara. “Abang tak kembali lagi ke Amerika?” Feri sempat menahan nafasnya sesaat setelah mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum masam. Amerika kini hanya mimpi buruk bagnya. Lalu panggilan itu? Abang? Ah, ia lupa kalau sudah dua kali Sara memanggilnya dengan panggilan itu. Rasanya ada gelenyar aneh yang merasuki rongga dadanya. “Urusanku sudah selesai di sana,” jawabnya, ia enggan memper-panjang topik sensitif. Memang bukan Sara saja yang menanyakan hal itu tapi entah kenapa Sara seolah sedang menyindirnya tentang sesuatu. Ia melirik Sara yang duduk di sebelahnya lalu berdeham canggung dan menyandarkan punggung. Ia gelisah sejak mobil ini menjauh dari rumah sakit. Atau....sejak Sara duduk di sampingnya? “Oh ya, kau tinggal dimana kini?” tanyanya. Ia tak enak jika tiba-tiba mengantar Sara ke rumah mertuanya. “Aku tinggal di apartemen, bang. Abang antar kan aku sampai Alfamart di depan saja. Sudah tak jauh kok,” tuturnya sambil menunjuk baliho besar Alfa mart yang terlihat di depan sana. Feri mengangguk-angguk. Bukannya ia tak tahu jika orang tua Faiz tak begitu merestui Faiz saat menikahinya. Ia tahu benar. Karena Faiz tak pernah menyembunyikan apapun kecuali hal-hal yang sangat privasi padanya. Jadi ia tak heran kalau akhirnya setelah ditinggal mati oleh Faiz, Sara pasti akan memilih untuk tinggal sendiri. Namun awalnya ia mengira wanita itu akan kembali ke Jerman, tempat ia dilahirkan atau ke Afganistan, tempat Abinya tinggal? Aih, kenapa ia banyak tahu tentang Sara? Sementara wanita itu malah tak terlalu peduli dengannya. “Makasih, Bang,” ucapnya sesaat setelah menutup pintu mobil. Feri hanya mengangguk tipis lalu kembali mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit. Degup jantungnya merileks sesaat setelah Sara keluar dari mobil. Entah kenapa, berada di samping Sara lama-lama bisa membuatnya gagal jantung. ♥♥♥   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN