Feri agak bingung sesampainya di rumah sakit. Dari kejauhan, ia melihat sosok adiknya berlari dari depan ruang bersalin. Apa yang terjadi? Terjadi sesuatu yang buruk kah?
“Mi.....,” panggilnya dan saat Maminya menoleh ada air mata yang mengalir di sana. Mami tergugu dan ia mendekat. Lalu memeluk Maminya mengabaikan Tiara yang ikut memeluk Mami karena kebingungan. “Kenapa?” tanyanya. Wanita paruh baya itu masih saja tergugu tanpa menjelaskan apapun. Kemudian dari kejauhan muncul pasangan Fadli-Caca dan Aisha-Wira. Kedua pasangan itu ikut panik saat melihat Maminya menangis dan Fadlan yang nampak berlari-lari entah mencari apa.
“Mi....jelasin. Apa yang terjadi sebenarnya?”
“Icha pendarahan padahal masih satu bayi lagi yang belum keluar. Nyawa-nya terancam sekarang. Ia butuh darah AB dan stok disini tinggal sedikit,” jelas Maminya sambil terisak-isak. Feri mengangguk paham akan duduk masalahnya. Akan tetapi di keluarga mereka tak ada yang punya darah AB. Ia menoleh pada Caca dan Wira. Namun kedua itu langsung menggeleng.
“Dli, coba telepon teman-teman kita. Siapa tahu ada yang golongan darahnya AB,” titahnya dan langsung diangguki Fadli. Wira, Aisha dan Caca juga ikut menghubungi teman-temannya. Kali ini Feri hanya bisa berdoa semoga Allah masih memberi kesempatan pada Icha untuk menghirup nafas lebih panjang. Ia berpikir tentang adiknya—Fadlan. Adiknya itu itu kasihan sekali. Setahun ini sudah dua kali cobaan menimpanya dan istrinya. Mulai dari kecelakaan, keguguran anak pertama kemudian ini. Tapi semoga mereka bisa melewatinya dan bahagia setelahnya. Ia selalu ingat pesan seseorang yang mengatakan bahwa Allah tak kan memberi cobaan melebihi ke-mampuan hamba-Nya. Itu yang ia tahu dan menjadi motivasinya saat ini.
♥♥♥
Sebenarnya ia ingin berada di sana. Ya, berada di rumah sakit. Ia ingin melihat bayi-bayi yang dilahirkan istri sahabatnya. Ia ingin melihatnya tapi ia takut tak mampu. Setahun belakangan, ia sempat mengandung buah hatinya dan Faiz. Tapi sayang, Allah berkehendak lain untuk mengambilnya pergi bersama ayahnya. Mungkin ini ujian baginya. Atau malah niatan selama ini yang justru terkabulkan disaat ia sudah mulai bisa menerimanya?
Pahit. Pahit memang. Disaat ia sudah bertekad di dalam hatinya, sudah mulai terjerembab di dalamnya, disaat apa yang ia punya mulai ia syukuri, malah diambil semuanya. Tapi hei...., apa dia tak ingat kalau semua ini bukan miliknya? Melainkan milik-Nya? Karena sejak awal dirinya sendiri pun hanya titipan.
“Ya, Dil?” sahutnya saat mengangkat telepon.
“Istrinya Fadlan butuh darah AB. Eung.... stok di rumah sakit menipis, Sar. Lo mau bantu dia gak? Gue juga mau kesana.”
Sara termangu mendengar kabar itu. “Dia pendarahan.”
Terkadang rasa benci itu masih ada meski ia tenggelamkan dalam-dalam. Karena ia manusia, manusia yang tak sempurna. Tapi ditepisnya jauh-jauh. Tak ia biarkan rasa benci itu menguasainya. Ini jalan menuju kepada-Nya. Jika memang ada hikmahnya dibalik semua ini, ia harus me-nebusnya. Bukankah Allah senang jika ada makhluknya yang berlomba-lomba dalam kebaikan?
Lagi pula kematian suaminya bukan wanita itu yang menyebabkan. Bukan. Sudah berapa kali kan ia harus mengingatkan dirinya sendiri jika semua hanya titipan? Kalau memang sudah waktunya diambil, ya harus diambil. Harus hilang dan peegi darinya. Bukan salah istri sahabatnya itu.
“Aku ke sana sekarang,” putusnya lalu menyambar tas tangannya yang tergeletak di atas meja.
♥♥♥
“Fadlan mana, tante?” suaranya yang lembut langsung meng-hipnotis semuanya. Mami, Feri, Papi, Aisha dan Caca turut menoleh.
“Sara?” seru Mami tak kalah kagetnya dengan yang lain. Wanita itu beranjak lalu berjalan mendekati Sara.
“Aku mau donorin darah aku, Fadlannya mana?” tanyanya lembut sekali sambil tersenyum tipis. Dalam hati ia berdoa semoga ia ikhlas melakukannya.
“Kak, ikut aku saja,” seru Aisha yang diangguki olehnya. Mami tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Feri malah diam seribu bahasa. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Sara, wanita itu semakin bersinar saja dimatanya. Padahal baru setengah jam yang lalu mereka bertemu. Dilema itu sempat menerpanya. Tak dipungkiri, awalnya ia agak tidak ikhlas melakukan semua ini. Terlebih mengingat kecelakaan setahun yang lalu. Memang dalangnya bukan mobil yang di dalamnya ber-penghuni istri Fadlan itu. Tapi kalau saja mobil mereka hati-hati ia juga pasti mendapat hal yang sama. Suami dan anak. Lalu ada kebahagiaan di tengah-tengah mereka. Sayang, ia tak punya itu semua. Kini hanya ke-hampaan dan kesepian yang menemaninya. Namun, ia tak bisa menyalah-kan siapa pun. Semua sudah terjadi. Ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Icha atau siapa pun yang terlibat kecelakaan itu. Ia tak bisa. Satu-satunya hal adalah dengan cara memaafkan mereka. Karena ia pun kalau di-posisikan sebagai Icha, tentu tak enak sekali bukan jika dituduh mem-bunuh orang? Karena sebenarnya, ia tak melakukannya. Pun seseorang pernah mengajarkannya untuk berlaku ikhlas pada siapapun. Berbuat baik pada siapapun sekali pun mereka pernah me-nyakitinya. Bukankah itu yang diajarkan Faiz kepadanya?
♥♥♥