Reza hanya menatap diam Hendra yang sekarang sedang ada di hadapannya itu dengan penuh tanda tanya. Hari ini Hendra terlihat lebih murung dari hari biasanya. Padahal cowok satu ini biasanya paling ramai di dalam kelasnya. Bahkan saat jam pelajaran berlangsung pun, Reza sering memergoki Hendra sedang melamun dan tidak mengikuti jalannya pelajaran.
Bahkan sekarang pun Hendra sama sekali tidak menyentuh makanan yang dipesannya tadi. Dia hanya menatap kosong ke dalam mangkuk soto yang sudah mulai dingin itu. Reza benar-benar bingung dengan sahabatnya itu. Padahal soto adalah makanan favorit Hendra. Dan cowok ini bisa menghabiskan beberapa mangkuk soto setiap harinya.
“Elo kenapa?” Tanya Reza sambil menyentuh pelan bahu Hendra.
Kebingungan Reza semakin bertambah karena Hendra sama sekali tidak merespons sentuhannya. Padahal Hendra adalah orang yang sangat sensitif kalau ada orang yang menyentuhnya, meskipun itu hanya sentuhan pelan sekali pun.
“Woi!!!” Pekik Reza kesal karena Hendra tidak mengubrisnya. Padahal sedari tadi dia sudah berusaha untuk menarik perhatian Hendra.
“Ah... eh...” Hendra sedikit bingung saat Reza berteriak. Kemudian mata mereka berdua pun beradu saat kesadaran Hendra telah kembali sepenuhnya.
“Elo ngapain dari tadi diem aja? Kesambet entar baru tau rasa lo!” Desis Reza.
Hendra menggeleng dengan tidak bersemangat. “Gue gak kenapa-napa…”
“Halah, bohong tuh pasti! Gue udah 5 tahun temenan sama elo, Ndra. Gak mungkin gue percaya elo gak kenapa-napa sedangkan ekspresi lo bilang kalo lo itu kenapa-napa. Ada apa sih? Cerita sama gue!”
“Gue di tolak, Za.” Sahut Hendra lirih.
Kebetulan saat itu suasana kantin sedang sepi. Karena memang pada saat itu Reza dan Hendra makan pada saat jam pelajaran. Jadi sudah pasti tidak ada yang mencuri dengar percakapan Reza dan Hendra, kecuali para penjual di kantin mereka.
“Di tolak?” Tanya Reza kaget. “Sama siapa?”
“Gue di tolak Alya, Za.”
“Kok bisa?”
“Dia gak suka sama gue Za.”
“Emangnya elo udah nembak dia?” tanya Reza meminta penjelasan lebih rinci.
Hendra mengangguk lesu. “Udah, Sabtu kemaren gue nembak dia, dan dia nolak gue Za.”
Reza turut prihatin atas kejadian yang menimpa sahabatnya itu. Sahabatnya itu sungguh malang. Baru pertama kali jatuh cinta, kini harus menerima kenyataan kalau dia baru saja ditolak oleh gadis impiannya itu.
Reza ikut merasakan apa yang Hendra rasakan. Walaupun dia sama sekali belum pernah merasakan seperti apa rasanya di tolak oleh gadis yang kita sukai. Karena sampai sekarang dia sama sekali belum pernah menembak seorang gadis pun. Dia hanya akan mau menembak seorang gadis yang benar-benar dia cintai. Dan gadis itu adalah Alina.
Reza menepuk pelan bahu Hendra tanda ikut prihatin. “Yang sabar ya, bro. Dia nolak elo pasti karena ada alasannya.” Hibur Reza.
“Gue udah tau alasan dia nolak gue Za.” Bisik Hendra lirih.
“Apa alasannya?”
“Dia bilang dia gak pantes buat gue, gara-gara dia itu cacat, padahal gue udah bilang sama dia kalo gue nerima dia apa adanya. Gue menyukai dia tulus dari hati gue. Tapi dia malah nyuruh gue buat nyari gadis lain yang lebih baik dari dia. Saat itu gue bener-bener ngerasa sakit Za. Padahal gue berharap dia nerima gue, tapi kenyataannya dia malah nolak gue.”
“Mungkin dia gak mau elo malu kalo orang-orang tau kalo elo punya cewek yang, ehm, cacat.” Reza mengatakannya dengan sangat pelan. Takut kata-katanya itu semakin menyakiti perasaan Hendra.
“Gue gak akan ngerasa malu Za kalo orang-orang tau gue pacaran sama dia. Malahan gue ngerasa sangat bangga bisa naklukin hati dia. Dia itu spesial Za. Dia itu berbeda dari gadis yang lain. Dia gak manja, dia gak cengeng, dia kuat. Tegar.” Hendra memuji-muji kelebihan Alya yang membuatnya menyukai gadis itu.
“Itu kan menurut elo, tapi menurut dia mungkin beda,”
“Gue gak akan pernah nyesel pernah menyukai dia. Gue akan selalu nyimpen perasaan gue ini sampe dia mau membalas perasaan gue ini. Gue bener-bener cinta sama dia. Gue bersyukur dia masih mau temenan sama gue. Gue harus syukuri itu.”
“Kayaknya tuh cewek berarti banget, ya, di hati lo?” tebak Reza sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Dia sangat berarti di hidup gue. Dia pelangi di kehidupan gue. Karena dia hidup gue semakin berwarna. Dia jiwa gue, dia nafas gue, Za.”
***
Reza tidak tahu kenapa langkah kakinya menuju ke koridor yang menuju ruang lukis. Biasanya setiap pulang sekolah, dia selalu melewati koridor utama. Tapi kali ini Reza tidak tau kenapa tiba-tiba kakinya mengarahkannya menuju ruangan ini.
Entah ada angin apa. Tiba-tiba Reza sudah berdiri tepat di depan ruang lukis. Dia juga sama sekali tidak mengerti mengapa otaknya memerintahkan seluruh organ tubuhnya untuk menuju tempat itu.
Reza sangat berharap sosok Alya berada di dalam ruangan tesebut. Dia juga tidak tahu kenapa dia sangat ingin bertemu dengan gadis itu. Dia sangat ingin berada di dekat Alya, bercanda dengannya, melihat senyumnya, dan mendengar tawa riangnya. Walau dia belum begitu kenal Alya, tetapi seolah-olah dia mengenalnya jauh sebelum dia bertemu pertama kali dengan Alya.
Dia sama sekali tidak tahu dari mana datangnya pikiran-pikiran yang sebelumnya tidak pernah ada di otaknya itu. Setelah pertemuannya dengan Alya tempo hari, Reza sangat haus akan wajah Alya. Rasanya ada yang kurang di hatinya kalau tidak melihat wajah Alya.
Reza ragu-ragu untuk masuk ke dalam ruangan itu. Apalagi setelah melihat Alya berada di dalam ruangan itu. Entah kenapa hatinya berlonjak-lonjak kegirangan. Semua rindu di hatinya terasa terobati setiap kali melihat wajah Alya.
***
Alya hendak keluar dari ruang lukis itu. Apalagi tadi bel tanda pulang sudah terdengar. Alya terkejut saat melihat seorang laki-laki sedang berdiri terpaku di depan pintu ruangan itu. Dan sepertinya laki-laki itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Alya. Entah apa yang sedang ada di pikiran laki-laki itu sehingga tidak menyadari Alya yang sudah berada di hadapannya.
Alya semakin terkejut setelah menyadari kalau laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya itu adalah laki-laki yang waktu itu bermain piano dengan indah. Alya ingat betul siapa nama laki-laki itu, karena namanya sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya.
“Reza?” Panggil Alya sambil menyentuh punggung tangan Reza dengan lembut.
Reza tersentak dan langsung kembali ke dunia nyata saat seseorang memanggil namanya dengan sangat lembut. Tak berapa lama Reza langsung terkejut saat melihat Alya sudah ada di hadapannya. Reza sudah tertangkap basah sedang melamun di depan ruang lukis.
“Ah, eh… ehm…” Sahut Reza terbata-bata.
“Ngapain kamu masih ada di sini? Bukannya bel pulang udah berbunyi sekitar lima menit yang lalu?”
“Ah... eh... gu... gue...” Reza terlihat gugup mengahadapi pertanyaan yang sangat gampang di jawab tersebut.
Alya memandangi Reza dengan tatapan bingung. “Kok ngomongnya terbata-bata gitu sih? Kayak orang yang habis maling ayam terus ketahuan sama pemiliknya.” canda Alya kemudian tertawa pelan.
Mendengar itu Reza langsung tersipu malu. “Oh iya, gue tadi kebetulan lewat sini terus gak sengaja gue liat ke dalam. Gue kira gak ada orang. Eh, ternyata ada elo di dalam. Gitu lho. Iya, gitu…” Reza memberikan alasan untuk meyakinkan gadis di depannya itu.
“Oh gitu, aku kira kamu kesini karena mau ngelukis. Ternyata dugaanku salah.”
“Ah, elo ada-ada aja, hehe. Lagian gue gak bisa ngelukis. Bisa ngelukis bunga aja udah bersyukur banget. Lukisan gue gak sebagus punya elo. Lukisan elo kan pernah menang di lomba lukis yang diadain sekolah ini.”
Alya mengibaskan tangannya di depan d**a. “Jangan terlalu banyak memujiku. Lukisanku tidak sebagus bayanganmu. Aku menang lomba itu karena keberuntungan. Sampai sekarang aku masih belum menerima kalau lukisanku di nyatakan unggul dari yang lain. Karena pada saat itu banyak lukisan dari para peserta yang lebih bagus dari lukisanku.”
“Mungkin lukisan elo ada keistimewaan tersendiri dari yang lainnya.” Reza memberikan komentar yang tidak dia sadari akan dia ucapkan.
“Lukisanku tidak memiliki keistimewaan, Za. Mereka mungkin menjadikanku pemenang karena melihat kondisiku yang seperti ini.” Alya menunduk dan menatap kakinya yang mati rasa itu.
“Kenapa elo bisa berpikiran seperti itu? Kan bisa aja elo menang karena kerja keras elo sendiri. Bukan karena mereka kasihan ngeliat elo yang cacat. Walaupun elo cacat, gak ada yang boleh ngelarang elo buat berkarya, kan?”
Alya mengangkat kepalanya dan menatap Reza dengan nanar. Reza heran melihat Alya menatapnya sedemikian rupa. Gadis itu terlihat sedih setelah mendengar kata-kata Reza. Kok nih cewek kelihatan sedih baget? Emangnya tadi gue ngomong apa? Apa gue salah ngomong ya? Ya ampun... gue tadi ngomong… Reza menyesali kata-kata yang spontan keluar dari mulutnya itu.
“Gue emang cacat.” Bisik Alya lirih kemudian menundukkan kepalanya karena dia tidak ingin menunjukkan ekspresi sedihnya pada siapa pun.
“Eh, maafin gue Al, gue gak maksud.”
“Aku emang cacat, dan itu emang kenyataannya.”
Alya sangat sedih setiap kali ada orang yang menyebutnya cacat. Alya sedih karena dia tau betul dia itu tidak cacat. Dia hanya lumpuh. Dia juga tidak mau seperti ini. Dia tidak mau di panggil cacat. Dia merasa harga dirinya terinjak-injak setiap kali orang-orang menyebutnya cacat. Dia hanya lumpuh, bukan cacat!
“Al, maafin gue, gue gak maksud buat ngomong kayak gitu...” Reza menyesali atas kebodohan yang ia lakukan pada Alya.
Alya menjalankan kursi rodanya dan melewati Reza dengan kepala yang masih tertunduk. “Kamu gak usah minta maaf. Kamu gak salah kok,” sahut Alya dengan suara yang ceria.
“Ta… tapi...”
Alya mengangkat kepalanya dan tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Aku pulang, ya. Permisi.”
***
Reza berlari mengejar Alya yang sudah hilang dari pandangannya. Dia sudah menyusuri koridor bangunan selatan sekolahnya, di mana koridor itu adalah koridor menuju ruang lukis.
Saat Reza melewati sebuah ruangan kecil yang berada di belakang sekolah, Reza berhenti sejenak. Dia mendengar suara isakan tangis dari dalam ruangan tersebut.
Dengan langkah sepelan mungkin, Reza mendekati ruangan tersebut. Pelan-pelan dia melongokkan kepalanya untuk melihat siapa yang ada di dalam ruangan tersebut melalui celah pintu yang sedikit terbuka itu.
Reza merasakan hatinya pilu saat melihat Alya menangis di dalam ruangan kecil tersebut. Dengan hati-hati dia mendekati Alya dan menyentuh pelan bahunya. Alya tersentak dan langsung menghentikan tangisnya saat dia menyadari kehadiran seseorang yang tak diundang.
“Kamu kenapa ke sini? Gak pulang?” Tanyanya ramah.
Reza tau, Alya pasti mencoba tetap terlihat baik-baik saja di hadapannya. Reza semakin merasa bersalah saat meilhat mata Alya yang sedikit sembab dan mulai berwarna merah. Reza sangat yakin, Alya merasa tersinggung dengan kata-kata Reza.
“Elo nangis?” Ujar Reza sambil menyeka air mata Alya.
Alya refleks memejamkan matanya saat Reza menyentuh pinggir matanya yang masih menyisakan jejak butiran kristal itu. Reza merasa sangat terluka melihat gadis itu menangis. Reza tidak tau mengapa hatinya sangat terluka saat melihat Alya menangis.
“Maaf, ya…” Maaf Reza dengan penuh penyesalan.
Alya menyingkirkan pelan tangan Reza dari wajahnya. “Gak ada yang perlu dimaafin, karena memang gak ada yang salah di sini.”
“Gue minta maaf Al, gue tau kata-kata gue ada yang menyakiti hati elo.”
“Udahlah Za, emang udah kenyataannya aku cacat.”
Reza berlutut di depan Alya, sehingga tubuh mereka menjadi sejajar. “Elo enggak cacat Al, maafin atas kata-kata gue yang kurang berkenan di hati lo itu. Gue gak pernah berniat buat ngatain elo cacat. Maafin gue Al…”
Alya tersenyum getir. “Aku udah maafin kamu kok, Za. Aku gak marah sedikitpun sama kamu. Udah, ayo berdiri.”
“Elo bener-bener gak marah sama gue?” tanya Reza tak yakin.
Alya mengangguk mantap sambil tersenyum tulus. “Aku udah maafin kamu. Karena untuk apa aku gak maafin kamu? Toh manusia itu memang sudah di takdirkan untuk melakukan kesalahan. Baik itu di sengaja ataupun tidak. Dan aku ngerasa kamu gak salah, Reza. Gak ada yang salah! Emang udah kenyataannya kalo aku cacat. Kaki aku gak bisa di gerakin.”
***
“Aku kecelakaan.” Alya memulai bercerita saat Reza bertanya mengenai kakinya yang lumpuh.
Saat itu Reza mengajak Alya untuk ke taman. Sebagai permintaan maafnya. Dan Alya langsung setuju karena saat itu dia membutuhkan kesegaran setelah habis menangis.
“Kecelakaan?” Tanya Reza kaget.
“Iya, saat itu aku sama keluargaku berniat pindah dari kota ini. Malam sebelum keluargaku berniat pindah dari kota ini, Mama sempat bilang kalau kami akan pindah ke kota Batu. Di sana udaranya sangat sejuk, dan juga pemandangannya sangat indah. Tapi, kami tidak pernah menyangka kalau besoknya kami harus menerima malapetaka yang sangat mengubah roda penghidupan keluargaku.”
“Saat itu ada mobil yang mencoba menyalip mobil kami, Papa pun membanting setirnya ke arah kanan. Papa sama sekali tidak tahu kalau dari arah samping ada sebuah truk besar yang akhirnya menabrak kami. Saat itu aku merasakan sakit yang teramat sangat di kakiku. Aku tidak menyangka kalau sejak saat itu aku menjadi lumpuh. Ya, lumpuh seperti ini.”
Reza tak sedikit pun menguraikan pikirannya saat Alya bercerita. Dia selalu serius mendengarkan kata-kata yang keluar dari bibir Alya. Dia tidak tau kalau gadis itu ternyata lumpuh karena kecelakaan. Dia selalu mengira gadis itu lumpuh karena bawaan sejak lahir.
Alya menceritakan sepenggal kisah dalam kehidupannya. Dia selalu menahan air matanya agar tidak tumpah. Dan itu berhasil.
Reza benar-benar kagum pada Alya. Reza dapat merasakan kegetiran dari suara Alya. Dan Reza juga tau gadis itu sangat merasa sedih. Tapi, gadis itu dengan pintar menyembunyikan rasa sedihnya.
“Papa meninggal saat sedang di perjalanan menuju rumah sakit. Saat itu aku jatuh pingsan, jadi aku tidak tahu kalau Papaku sudah di panggil untuk menghadap Sang Pencipta. Begitu aku sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Saat aku hendak bangun, aku melihat Mama menangis, tapi aku tidak tahu kenapa dia menangis.
“Kemudian Mama memelukku sangat erat dan mengatakan dengan sangat lirih di dalam isak tangisnya Mama mengatakan kalau Papa sudah meninggal. Aku kaget, benar-benar kaget saat itu. Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi secepat itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah saat Mama mengatakan kakiku lumpuh. Kakiku tidak bisa lagi berjalan normal seperti sebelumnya. Aku harus berjalan dengan bantuan kursi roda. Aku sedih, aku ingin marah. Semua itu meruntuhkan semua keinginanku untuk dapat terus bermain. Aku benar-benar benci pada hidupku saat itu.
“Tapi akhirnya aku sadar. Aku tidak boleh marah dengan keadaanku. Aku harus bersyukur karena Tuhan hanya mengambil kakiku, bukan nyawaku. Karena kalau Tuhan mengambil nyawaku, pasti Mama akan merasa sedih ditinggal oleh dua orang terpenting dalam hidupnya dalam waktu yang bersamaan pula. Tuhan masih memberiku nyawa agar aku bisa terus membuat Mama bahagia, menemani Mama dalam menjalani sisa-sisa hidupnya.”
Alya menerawang langit di atas sana. Matanya sedikit menyipit saat sinar mentari serasa menyilaukan. Dia menyunggingkan senyumnya perlahan. Keheningan mulai tercipta cukup lama saat itu. Baik Reza ataupun Alya tidak ada lagi yang membuka mulut.
“Jadi elo cuma punya nyokap lo di hidup lo?” Tanya Reza, akhirnya.
Alya mengangguk pelan. “Dia yang terpenting di hidupku. Dia wanita yang hebat, dia dapat menjadi Ibu yang baik untukku. Dia sendirian membesarkanku selama 9 tahun ini, dengan kondisiku yang lumpuh. Aku sayang Mamaku, melebihi rasa sayangnya untukku.”
“Elo gak pernah ada niat utuk berobat? Buat sembuh? Kan orang kayak elo ini bisa kembali berjalan seperti biasa dengan beberapa kali terapi. Emangnya elo gak pernah check up ke dokter?”
Alya menyunggingkan senyum tipisnya, dan kemudian menggeleng. “Aku bisa bersekolah karena mendapat beasiswa saja sudah sedikit mengurangi beban keluargaku. Sejak Papa meninggal, Mamalah yang membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Rumah kami yang dulu di jual untuk membayar uang administrasi di rumah sakit. Tabungan Papa beliau gunakan untuk membeli rumah kami yang sekarang.”
“Tapi itu semua tidak cukup untuk membiayai kehidupan kami selama ini. Karena itulah Mama mencari pekerjaan. Dan Alhamdulillah, kehidupan keluarga kami lumayan membaik. Untuk bisa makan pun kami sudah bersyukur, apalagi untuk aku berobat. Kamu juga pasti tahu seberapa mahalnya biaya pengobatan di rumah sakit, bukan? Aku tidak mau merepotkan Mama lebih dari ini. Sudah cukup aku melihatnya seperti ini. Aku tidak mau menambah beban hidupnya.
“Aku memang ada keinginan untuk sembuh. Berlari menggunakan kakiku sendiri tanpa bantuan kursi roda. Berjalan seperti orang-orang pada umumnya. Aku sangat ingin seperti itu.. Aku ingin kakiku dapat berfungsi kembali seperti dahulu kala. Tapi apa yang mau di kata, aku tidak mempunyai uang yang lebih untuk berobat.”
“Elo gadis yang baik, Al.” Puji Reza sungguh-sungguh.
“Aku tidak sebaik yang kamu pikir, Za. Ada kalanya aku menjadi orang yang tidak baik untuk orang-orang di sekitarku.. Mungkin saat ini aku baik di mata kalian. Tapi tidak ada yang tau seperti apa aku di waktu selanjutnya, bukan? Jangan terlalu cepat menyimpulkan kalau aku ini baik. Kamu baru mengenalku. Kamu tidak tahu betul aku seperti apa.”
“Tapi elo benar-benar baik. Dari awal kita bertemu, bahkan sampai sekarang, elo tetap baik sama gue. Elo selalu baik, Al.”
Bahkan Hendra pun selalu muji-muji elo. Kalau elo gak baik, gak mungkin Hendra selalu muji-muji kebaikan elo di depan gue. Tambahnya dalam hati.
“Semoga saja begitu.”
***
Alya duduk di tepi ranjangnya. Dia menopang dagunya dengan tangan kanannya. Matanya menatap lurus lukisan yang masih berbentuk sketsa itu.
Dia sudah memikirkan ingin melukis apa. Tapi dia tidak sanggup, karena lukisan itu nantinya akan dia persembahkan untuk orang yang dinantinya selama ini. Orang yang sebentar lagi akan di temuinya, bersamaan dengan pertambahan usianya yang tinggal beberapa minggu lagi.
Saat itu Mama Alya melewati kamar Alya. Beliau kemudian menghampiri Alya karena melihat Alya melamun. Ini memang bukan kali pertama Alya melamun. Alya sering melamun sejak perstiwa naas itu menimpanya.
“Kamu melamun lagi, Al?” Gumam Mama Alya sambil membelai lembut rambut cokelat putrinya itu.
Alya terlonjak dari duduknya saat merasakan sentuhan di rambutnya. “Mama?!” Pekiknya tanpa sadar.
“Kamu kenapa melamun, Nak? Ada masalah?” Tanya Mama, sarat akan perhatian.
Alya menggeleng, kemudian kembali menatap sketsa lukisan yang ada di depannya. “Gak kok, Ma. Aku gak ada masalah.”
“Jadi kenapa kamu melamun? Mikirin Papa lagi?” Mama Alya terdengar sangat sedih saat mengatakannya.
Alya menggeleng lagi. “Bukan, Ma.” Jawabnya lirih.
“Lantas kenapa kamu terlihat sedih, Nak?”
“Aku takut, Ma.”
Mama Alya mengernyitkan dahinya. “Takut? Takut kenapa, Al?”
“Aku takut Ma. Aku takut bertemu dengan dia.” Sahut Alya sedih.
“Dia?” Mama Alya terlihat bingung. “Oh, maksud kamu teman masa kecil kamu itu?.”
“Iya, Ma.”
Mama Alya tersenyum mengerti. “Emangnya kenapa kamu takut bertemu dia, Al? Bukannya kamu memang sudah lama ingin bertemu dengan dia?”
“Ma, aku memang sudah lama ingin bertemu dengan dia. Tapi aku takut, aku takut dia menjauh dari aku setelah tahu kondisiku yang seperti ini. Aku takut dia malah akan menjauhiku setelah tau aku tidak bisa berjalan lagi seperti dulu.” Alya mengatakan kegelisahan yang selama ini dipendamnya.
“Sayang, kalau dia benar-benar tulus berteman dengan kamu, dia pasti menerima kamu apa adanya. Menerima kamu sebagai temannya, apa pun kondisimu sekarang. Percaya itu sayang.”
“Ta... tapi, Ma.”
“Sudah, sekarang kamu tidur. Sudah malam. Jangan pikirkan itu dulu, Mama yakin dia mau menerima kamu apa adanya.”