Alya memainkan kalung yang sudah lama melingkar di leher jenjangnya. Kalung yang sangat penting dalam hidupnya. Karena kalung itu adalah salah satu benda yang selalu mengingatkannya pada sosok itu. Sosok yang sama pentingnya dengan kalung matahari yang begitu ia sukai itu.
Alya sangat menyayangi kalung itu. Kalung perak yang merupakan benda yang bisa menjadi penghubung antara dirinya dan teman masa kecilnya itu. Teman masa kecil yang sudah 9 tahun tidak berjumpa lagi dengannya.
Teman masa kecil yang berada di dasar hatinya yang paling dalam. Bahkan sampai sekarang Alya tidak bisa melupakan teman masa kecilnya itu. Alya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan teman masa kecilnya, sesuai dengan janji yang pernah mereka ikrarkan sebelum akhirnya Alya meninggalkan laki-laki itu.
Tapi Alya sedikit ragu untuk bertemu dengan laki-laki itu. Mengingat kondisinya yang sudah berubah jauh saat mereka terakhir bertemu. Alya juga ragu apakah laki-laki itu masih mengingatnya dan janji yang dulu mereka ikrarkan itu.
Andai kaki Alya tidak lumpuh. Andai saat itu keluarganya tidak memutuskan untuk pindah. Andai saat itu kecelakaan itu tidak terjadi. Andai Alya dapat kembali tinggal di rumahnya yang lama. Andai kakinya tidak lumpuh. Semuanya hanya andai, dan tidak akan pernah berubah.
Alya bukannya ingin menyalahi takdir. Sama sekali dia tidak pernah bermaksud menyalahi takdir yang sudah di gariskan Tuhan untuknya. Tapi Alya hanya ingin kakinya bisa berjalan seperti dulu. Karena Alya takut, laki-laki itu akan meninggalkan Alya setelah melihat kondisi Alya yang sangat berbeda jauh dari sebelumnya.
Saat sedang bergerumul dengan pikiran dan bayang-bayang masa lalunya, tiba-tiba Alya mendengar lantunan nada yang indah dari dalam ruang musik yang saat itu berada tidak jauh dari tempatnya berada sekarang.
Dengan pelan Alya mendorong pintu ruang musik yang tidak terkunci tersebut. Alya seolah tersihir dengan lantunan-lantunan yang begitu indah sehingga masuk ke dalam sanubarinya dan begitu menentramkan jiwanya.
Alya mendapati seorang laki-laki sedang duduk di depan piano yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut. Alya mendekati laki-laki itu dan mendorong kursi rodanya dengan sangat pelan. Alya bertepuk tangan tepat pada saat laki-laki itu menghentikan aktivitasnya bermain piano.
Reza sedikit kaget saat mendengar sebuah tepuk tangan yang berasal dari samping tubuhnya. Reza mengira itu adalah Selly, sehingga saat dia menoleh ke samping, dia sudah siap mengeluarkan makian yang akan dia tujukan pada Selly.
Reza langsung mengubur semua makiannya saat melihat seorang gadis yang tengah duduk di atas kursi rodanya sambil menatapnya penuh kekaguman. Gadis yang dia yakini sebagai orang yang disukai oleh Hendra. Reza dengan jujur mengakui kalau gadis yang kini berada di depannya ini benar-benar sesuai dengan apa yang di ceritakan Hendra kemarin.
“Permainan piano kamu bagus banget!.” puji Alya dengan tulus.
“Eh... ehm... makasih…” sahut Reza sedikit kaku.
Reza terpaku melihat wajah Alya yang begitu natural tanpa sedikit pun sentuhan make up yang berlebihan seperti Selly. Reza merasa jantungnya berdetak tak karuan saat mendengar tawa Alya. Entah kenapa Reza begitu merindukan suara tawa itu. Reza merasa begitu nyaman saat melihat senyuman di wajah Alya.
Alya menatap wajah laki-laki yang berada di depannya. Laki-laki yang tidak dia ketahui siapa namanya. Laki-laki yang baru hari ini dia lihat di sekolahnya. Alya merasa begitu mengenali laki-laki yang ada di hadapannya itu, padahal mereka baru bertemu hari ini. Alya juga merasa rindunya sedikit terobati saat melihat laki-laki itu.
“Kamu ikut estrakulikuler seni juga?” tanya Alya. Memecahkan keheningan yang cukup lama di antara mereka berdua.
Reza mengerjapkan matanya berkali-kali dan membuang jauh-jauh semua yang terjadi padanya saat itu juga. “Enggak kok.” Jawab Reza singkat.
“Kenapa tidak? Yang aku denger, permainan piano kamu sangat bagus, aku sampai merinding mendengarnya. Aku belum pernah mendengar permainan piano seindah yang kamu mainin tadi.” Aku Alya jujur.
“Elo terlalu berlebihan memuji gue. Permainan piano gue gak sebagus yang elo bayangin.”
“Aku gak berlebihan kok, lagi pula aku juga gak memuji kamu. Aku berkata yang sejujurnya. Coba kamu gabung sama estrakulikuler piano, pasti kamu bakal ditarik buat ikut lomba piano yang diadain antar sekolah.”
“Gue gak minat buat ikut lomba, piano ini sekedar untuk mengisi waktu luang gue.” Jelas Reza sambil menekuri tuts-tuts piano di sampingnya.
“Tapi kamu begitu berbakat main pianonya. Kalo kamu ikut lomba, aku jamin, kamu pasti terpilih menjadi juara pertama.”
“Hehe, makasih atas tawarannya, tapi gue bener-bener gak niat buat ikut lomba. Karena gue cukup menikmati sendiri permainan piano gue. Seperti sebelum elo dateng.”
Alya mengangguk sekilas kemudian memutar kursi rodanya menuju pintu keluar. Melihat Alya yang hendak pergi, entah kenapa Reza kemudian menahan Alya untuk pergi. Reza juga tidak tahu kenapa bisa melakukan itu. Tapi hati kecilnya-lah yang menyuruhnya untuk melakukan hal itu.
“Nama lo siapa? Gue Reza.”
Alya menatap Reza dengan tatapan bingung. Kemudian tak sengaja mata mereka beradu cukup lama. Reza merasakan hatinya begitu senang menatap mata hitam yang begitu lembut itu. Alya kemudian memutuskan kontak mata itu karena hatinya merasakan sesuatu yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
“Aku Alya.”
***
Reza tidak bisa berhenti memikirkan Alya. Entah kenapa sejak pertemuannya dengan Alya tadi, Reza merasakan kebahagiaan yang tak terkira di benaknya. Kebahagiaan yang dulu sempat dia rasakan bersama Alina. Reza tidak tau mengapa dia bisa bertingkah seperti itu.
Berkali-kali Reza mencoba untuk melupakan bayangan Alya yang melintas di pikirannya. Tapi anehnya, bayangan wajah Alya tidak pernah hilang dari otaknya. Entah sejak kapan, wajah gadis itu sudah menempel erat di otaknya. Seolah-olah sudah dari dulu wajah gadis itu berada dan tersimpan di memori otaknya.
“Kenapa gue bisa kayak gini sih? Kenapa gue ngerasa nyaman banget saat tuh cewek ada di deket gue? Kenapa gue seneng banget saat lihat senyum dia, seolah-olah gue udah lama gak lihat senyuman tuh cewek. Dan kenapa gue ngerasa udah kenal baik sama tuh cewek? Padahal gue aja baru liat dia saat Hendra bilang kalo dia suka sama tuh cewek. Dan baru tadi siang gue bertatapan secara langsung dengan tuh cewek.
“Tuhan, sebenernya apa yang ada di hati dan otakku saat ini? Dan juga kenapa wajah tuh cewek gak pernah mau pergi dari otakku ini? Reza! Sebenernya apa sih yang terjadi sama elo? jangan bilang kalo lo jatuh cinta sama tuh cewek?! Jangan Reza! Jangan! Kalo lo jatuh cinta sama tuh cewek, lo bakal nyakitin dua orang sekaligus. Hendra dan Alina.”
Reza memukul-mukuli kepalanya untuk mengusir bayangan Alya dari otaknya. Dia tidak mungkin jatuh cinta dengan Alya. Karena kalau itu terjadi, berarti dia sudah mengkhianati cintanya untuk Alina yang selama ini ada di hatinya. Dan dia juga tidak mau menikam sahabatnya sendiri dengan menyukai gadis yang sama dengan gadis yang di sukai oleh Hendra, sahabatnya.
“Argh!!” pekik Reza frustasi.
***
Alya mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruang lukis saat melihat Selly dan kedua temannya berdiri di depannya dengan jarak yang kurang dari 1 meter. Selly dan kedua temannya menatap Alya sambil berbisik-bisik. Bisikan yang menjelek-jelekan Alya.
“Eh kaki roda…” panggil Anti, salah satu teman Selly yang memiliki tubuh seperti orang yang kekurangan gizi.
“Eh, malah bengong lagi. Udah cacat b***k pula. Haha ...” tawa Selly dan langsung diikuti Anti dan Dea.
“Ya ampun masih aja bengong. Dia bener-bener tuli teman-teman. Haha..” ejek Dea dan langsung bertos ria dengan Selly dan Anti.
Ketiga gadis itu masih terus tertawa sambil mengejek-ngejek fisik Alya. Alya memperhatikan tingkah mereka sambil terus berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak ingin Selly semakin besar kepala kalau melihatnya menangis.
“Kalian kenapa sih selalu mengejekku?” Akhirnya Alya buka suara.
“Eh, si kaki roda nanya tuh teman-teman. Haha …” sahut Anti. Mereka tertawa lagi seolah-olah habis mendengarkan lelucon yang mengocok perut.
Selly menghentikan tawanya dan mendekati Alya dengan penuh keangkuhan. Dan tanpa ampun, Selly langsung menarik rambut Alya yang di kuncir sebagian ke belakang tersebut. Alya merintih kesakitan saat Selly menarik rambutnya begitu kuat. Mendengar suara rintihan Alya, Selly semakin kuat menarik rambut Alya.
“Stop, Sel... Rambutku sakit…” pinta Alya sambil meringis.
“Apa? Lo bilang apa? Gue gak denger.” Sahut Selly dan menyingkirkan rambutnya ke belakang telinganya.
“Dia minta elo lepasin tangan elo Sel.” Sahut Dea sambil melihat kuku-kuku tangannya yang berwarna pink mengkilat.
“Oh, elo minta gue ngelepasin tangan gue. Oke!” sahut Selly. “Tapi gue gak akan pernah ngelepasin tangan gue dari rambut elo. Haha …”
“Duh, kasian Sel. Lihat tuh wajahnya, ketahuan banget dia lagi berusaha supaya gak nangis. Duh, kasian banget ya… bener gak, De?” sahut Anti sambil mencolek bahu Dea.
“Yup... duh kasian banget ya... Jangan nangis ya, ntar wajah elo tambah jelek kalau nangis. Haha …” Dea dan Anti pun tertawa terbahak-bahak.
“Sel, lepas...” pinta Alya pelan.
“Sel, lepasin dong. Dia udah sakit banget tuh kayaknya.” Kata Dea sambil memasang tampang kasihan.
“Iya Sel, kasihan banget tuh. Duh, kasihan kasihan kasihan…” Tambah Anti sambil menirukan salah satu gaya tokoh kartun di salah satu stasiun TV swasta.
“Oke. Gue lepasin…” Sahut Selly dan langsung melepaskan cengkramannya dari rambut Alya.
Alya langsung memegangi kepalanya yang terasa nyeri itu. Alya merasa sedikit pusing setelah Selly menjambak rambutnya dengan cukup kuat. Selly menatap Alya dengan pandangan penuh kemenangan.
“Elo pasti bingung kenapa gue kayak gini sama elo?! Iya kan?” Sahut Selly pelan. Kemudian dia membisikkan sesuatu di telinga Alya. “Gue gak suka elo deket-deket sama Reza. Karena apa? Karena Reza itu cuma buat gue. Milik gue. Gak ada satu orang pun yang berhak buat deketin Reza. Apalagi elo! Sadar diri dong, elo itu cacat! CACAT!!”
Selly memberi aba-aba pada Anti dan Dea untuk meninggalkan Alya. Dengan angkuh mereka bertiga berbalik badan setelah sebelumnya mengucapkan kata-k********r pada Alya.
“Inget kata-kata gue! Dasar kaki roda!”
***
Sore itu Hendra melajukan mobilnya dengan perasaan gembira. Hari ini dia akhirnya bisa mengajak gadis impiannya untuk pergi bersama. Untuk kesekian kalinya Hendra bersenandung ria.
Rumah Alya sudah terlihat dari kejauhan. Hendra semakin merasa bahagia sekaligus gugup. Dengan gagah Hendra turun dari mobilnya dan mengetuk pintu rumah Alya yang sederhana. Tak lama kemudian seorang wanita membukakan pintu untuk Hendra. Hendra memberikan senyuman ramahnya pada wanita tersebut.
“Cari siapa, ya?” tanya wanita itu setelah memperhatikan penampilan Hendra yang begitu rapi dan wangi.
Hendra kemudian membungkukkan badannya dan mencium punggung tangan wanita itu. “Alya-nya ada, Te?” tanyanya sopan.
“Oh, temennya Alya, ya? Tunggu sebentar, ya, Tante panggilin dulu.” Pamit Mama Alya dan langsung masuk ke dalam rumah untuk memanggil anak semata wayangnya itu.
Hendra meneliti setiap titik rumah Alya yang dapat terjangkau matanya. Rumah Alya memang tidak seluas rumahnya, tapi dia sangat yakin Alya bahagia bisa tinggal di rumah itu.
“Hendra…” sebuah suara membuyarkan lamunan Hendra.
Hendra tersentak dan melihat Alya sudah berada di depannya. Di belakangnya berdiri Mamanya yang memegang pegangan kursi roda Alya yang berfungsi untuk mendorong kursi roda tersebut.
“Pulangnya jangan malam-malam...” Pesan Mama Alya.
Hendra mengangguk dan mengambil alih kursi roda Alya dari tangan Mama Alya. “Iya, Te, nanti Alya saya pulangin sebelum jam 8.” Sahut Hendra.
“Ma, Alya pergi dulu, ya...” pamit Alya dan langsung mencium tangan Mamanya dengan takzim.
“Hati-hati sayang, nanti jangan nyusahin temen kamu.”
“Iya, Ma.” jawab Alya sambil menganggukkan kepalanya.
“Kami pergi dulu Te, Assalamualaikum.”
“Waalaikum’salam.”
***
Hendra membantu Alya untuk turun dari mobilnya. Tangan kirinya ia sisipkan di bawah lekukan lutut Alya, sedangkan tangan kanannya menopang punggung gadis itu.
Alya sempat menolak saat Hendra akan menggendongnya. Tapi mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk keluar dari mobil itu tanpa bantuan, akhirnya Alya membiarkan Hendra mengangkat tubuhnya dan mendudukannya di atas kursi rodanya yang sudah di keluarkan Hendra sebelumnya.
Hendra mendudukan tubuh Alya di atas kursi rodanya dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau Alya merasa tidak nyaman saat duduk di kursi rodanya akibat pendaratan yang salah. Dia sangat ingin melihat gadis yang dicintainya itu merasa sangat nyaman.
“Kita mau ngapain ke sini, Ndra?” tanya Alya pelan.
“Kita mau ke taman.” Jawab Hendra tegas dan kemudian mendorong kursi roda yang sudah diduduki Alya.
Alya mengernyitkan dahinya. “Buat apa kita ke taman?”
Hendra tidak menjawab pertanyaan Alya. Dia hanya memberikan Alya sebuah senyuman hangat saat gadis itu menoleh padanya. Hendra terus mendorong kursi roda Alya, sedangkan gadis itu masih menyimpan sejuta tanya dalam hatinya.
Hendra berhenti di ujung taman yang menghadap ke arah barat. Alya semakin bingung saat Hendra menghentikan langkahnya di sana. Kemudian Hendra membungkukkan sedikit tubuhnya dan berbisik di telinga Alya. “Udah saatnya.”
Alya yang bingung kini semakin bingung saat Hendra memegang kedua pipinya dan mengarahkan lurus wajah Alya ke depan. Saat itulah Alya melihat sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Alya terkesima melihat fenomena yang ada di depannya. Benda berwarna keemasan itu perlahan-lahan meninggalkan singgasananya di atas sana untuk kembali ke peraduannya. Sang surya berinar-sinar dengan sangat indah. Langit yang berwarna jingga keemasan menambah kemewahan sang pemilik hari tersebut.
Alya tidak pernah berhenti menatap matahari di depannya, walaupun sang mentari itu kini sudah menghilang dari pandangannya. Alya masih merekam jelas detik-detik di mana matahari terbenam tepat di depan matanya itu. Kejadian itu sangat singkat baginya. Seperti sekejap mata.
Alya tersadar dari kekagumannya dan mendongakkan kepalanya untuk melihat Hendra. Tanpa Alya sadari, sedari tadi Hendra terus memperhatikannya sejak pertama Alya menatap kagum matahari yang terbenam itu. Alya sempat kaget saat melihat Hendra tersenyum padanya. Kemudian rasa kaget itu mulai sirna seiring munculnya senyum secerah matahari di wajah Alya.
“Keren banget, Ndra…” seru Alya dengan mata berbinar-binar.
“Lo suka?” Tanya Hendra tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Alya.
Alya mengangguk mantap. “Suka Ndra… Suka banget malah.”
“Syukur deh kalo elo suka,” Kemudian Hendra memutar kursi roda Alya dan membawa gadis itu ke tengah-tengah taman yang dikelilingi beraneka ragam bunga itu.
“Sumpah, Ndra, baru kali ini aku lihat langsung matahari terbenam dengan mata kepalaku sendiri. Dan itu bener-bener keren Ndra. Makasih, ya, udah bawa aku ke sini.”
Hendra mengangguk senang saat melihat gadis yang sekarang berada di hadapannya itu tersenyum bahagia. Kemudian Hendra teringat rencana awalnya. Dan dia sama sekali tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada. Dia sudah lama menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari ini.
“Alya…,” panggil Hendra pelan sambil menatap lurus wajah Alya.
Alya yang masih tersenyum-senyum karena masih membayangkan kejadian tadi langsung menoleh saat Hendra memanggilnya. “Eh, kenapa Ndra?”
“Ada yang mau gue omongin sama elo, Al.”
“Kamu mau ngomong apa Ndra?”
Hendra menggapai kedua tangan Alya yang berada di atas pahanya. Kemudian Hendra menggenggam erat kedua tangan Alya sembari menatap dalam mata Alya. Alya sedikit salah tingkah saat Hendra memegang tangannya, apalagi Hendra kini menatapnya dengan serius.
Hendra mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengucapkan kata-kata yang sudah dia persiapkan sejak lama itu. Hendra menarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum benar-benar mengucapkan kata-kata itu.
“Al, gue suka sama elo, sejak pertama kali kita MOS. Saat itu elo nolongin gue dari hukuman para senior. Elo ngasih salah satu peralatan MOS yang saat itu lupa gue bawa. Dan kebetulan elo bawa lebih, dan dengan sukarela elo ngasih ke gue..”
Alya tidak sanggup berkata-kata saat mendengar kata-kata Hendra yang mengejutkan itu.
“Gue sayang sama elo Alya. Gue gak perduli dengan kondisi elo, gue gak perduli Al. Karena gue mencintai elo apa adanya, bukan karena ada apanya. Gue tulus sayang sama elo Al. Gue bener-bener mencintai elo dari dasar lubuk hati gue. Elo mau kan jadi pacar gue, Al?” Tanya Hendra sambil memberikan sekuntum mawar merah dari belakang tubuhnya.
Alya menutup mulutnya saat melihat keseriusan di wajah Hendra. Alya tidak menyangka Hendra mengatakan semua perasaannya pada Alya. Alya benar-benar tidak menyangka kalau cowok itu memiliki hati dengannya. Ragu-ragu Alya menerima bunga pemberian Hendra.
Hendra menatap Alya dan berharap gadis itu menerimanya. Hendra sangat yakin kalau Alya juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Entah dari mana pikiran itu. Tapi Hendra benar-benar yakin dengan pemikirannya itu.
Alya menatap Hendra dengan bingung. Dia tidak mungkin menerima Hendra. Tapi saat itu dia sangat tidak ingin Hendra terluka kalau dia menolaknya. Alya sama sekali tidak mempunyai perasaan yang lebih terhadap Hendra. Hendra memang laki-laki yang baik, dia tau itu. Tapi itu tidak lantas menjadi alasan Alya untuk menyukai Hendra.
Alya benar-benar bingung ingin mengatakan apa pada Hendra, sedangkan laki-laki itu menatap Alya dengan pandangan yang penuh harap. Alya hanya menganggap Hendra sebagai teman, tidak lebih. Karena Alya dari dulu sampai sekarang sudah menyukai seseorang laki-laki dalam hidupnya. Laki-laki yang begitu dia rindukan hingga kini. Laki-laki yang akan selalu di nantinya sampai kapan pun.
Akhirnya Alya memilih untuk mengatakan sejujurnya tentang apa yang dia rasakan pada Hendra. Alya sudah memikirkannya matang-matang dan tanpa ingin membuat laki-laki itu merasa sakit hati saat mendengar kata-katanya. Hendra terlihat sumringah saat melihat Alya ingin mengeluarkan suaranya. Hendra langsung menegakkan badannya dengan penuh semangat.
“Ndra,” panggil Alya pelan.
“Kamu sudah tau mau jawab apa, Al?” Hendra sudah sangat yakin Alya akan menerimanya.
“Ndra, aku akui kamu memang laki-laki yang baik. Kamu salah satu orang yang penting dalam hidup aku. Kamu selalu ada saat aku kesepian, kamu juga sering membantuku saat aku berada dalam kesulitan.” Alya menarik nafas perlahan. “Aku kaget saat kamu bilang kalau kamu suka sama aku... Aku benar-benar tidak menyangka kamu bisa menyukaiku, mengingat kondisiku yang seperti ini.”
“Gue gak perduli dengan kondisi elo, Al. Bukannya tadi gue udah bilang kalo gue terima elo apa adanya.”
“Iya, Ndra, aku tau Ndra, jujur aku memang menyayangimu. Aku menyayangimu sebagai saudaraku, sebagai temanku, sebagai orang penting di dalam hidupku. Aku tidak pernah menyangka kamu menganggapku lebih dari seorang teman. Maaf Ndra, bukannya aku ingin melukai perasaanmu, tapi dari dulu sampai sekarang aku tidak mempunyai perasaan yang lebih padamu. Perasaanku padamu ini murni perasaan sayang dari seorang teman untuk temannya. Tidak lebih.
“Maaf Ndra, sekali lagi aku bukannya ingin menyakitimu. Aku hanya tidak mau melukai perasaanmu kalau aku menerimamu, sedangkan di hatiku tidak ada perasaan yang lebih untukmu. Maafkan aku Ndra, aku merasa lebih pantas dekat denganmu sebagai seorang teman, bukan kekasih. Aku tidak pantas untukmu, Ndra. Kamu lebih pantas untuk gadis lain yang lebih baik dariku Ndra. Aku tidak pantas untuk kau cintai.” Alya menatap Hendra dengan penuh penyesalan. “Aku tidak mau menyakitimu Ndra. Karena itu, lebih baik kita hanya berteman.”
Hendra terlihat tidak bersemangat saat Alya mengatakan kalau dia tidak memiliki perasaan yang lebih padanya. Alya memang mempunyai perasaan pada Hendra, tapi perasaan itu hanya sebatas perasaan pada seorang teman.
“Aku tidak pantas untukmu... Kau lihat sendiri Ndra seperti apa keadaanku. Aku cacat Ndra, kakiku lumpuh…” tambah Alya lirih.
Hendra mencoba untuk menerima kenyataan yang ada. Alya salah, bukan dia yang tidak pantas buat Hendra, tapi Hendra-lah yang tidak pantas untuk Alya. Hendra sadar tidak seharusnya dia mengharapkan lebih pada Alya. Alya terlalu sempurna untuk Hendra walaupun gadis itu tidak sama dengan gadis lainnya.
Dengan susah payah Hendra menata bibirnya untuk mengembangkan sebuah senyuman, walaupun saat itu dia merasa bibirnya terasa berat untuk digerakkan. Dengan sedikit mengabaikan hatinya yang patah, Hendra tersenyum pada Alya. Meskipun itu adalah senyum yang terpaksa.
“Elo gak usah minta maaf kok, Al. Lo gak ngelakuin kesalahan apa pun sama gue... Dan yang lo bilang kalo elo gak pantes buat lo itu salah besar Al. Gue yang gak pantes buat elo, bukan elo yang gak pantes buat gue. Elo itu selalu bersemangat menjalani hari-hari lo, sesuatu hal yang jarang ditemuin untuk orang-orang seusia kita.”
“Ndra, aku…”
“Dan elo juga gak perlu susah-susah buat minta maaf. Karena gue sama sekali tidak menyalahkan elo. Gue terima kalau elo tidak menyukai gue, dan itu sama sekali tidak menyakiti gue.” Kata Hendra berbohong. Kemudian dia tertawa pelan, tawa yang pilu.
“Ndra, aku benar-benar tidak mau menyakitimu. Kalau aku menerimamu itu sama saja aku menyakitimu,”
Hendra menggelengkan kepalanya, kemudian beranjak dari duduknya. “Kita pulang Al. sudah malam.” Hendra berdiri membelakangi Alya. Dia tidak ingin gadis itu melihat wajahnya yang pasti terlihat begitu memilukan itu.
“Ta… tapi Ndra...”
“Lupain aja apa yang udah gue omongin sama elo. Anggap itu gak pernah ada. Sekarang kita pulang Al. Sudah malam.”