Lagi-lagi Reza tidak mengerti mengapa kakinya mengarah ke ruangan itu lagi. Lagi dan lagi. Dan Reza juga tidak tau kenapa dia sangat senang saat Alya menerima kedatangannya dengan penuh senyuman.
“Kamu gak bosen terus-terusan di sini?” Tanya Reza saat dia melihat gadis itu tengah sibuk merangkai garis yang tidak simetris itu di atas kanvasnya.
“Aku tidak akan pernah bosan ada di sini.” Jawab Alya tanpa sedikit pun melepaskan pandangan matanya dari kanvas yang sudah penuh dengan coretan-coretan indahnya.
“Kalo gue jadi elo, gue bakalan bosen ada di ruangan ini. Perasaan, setiap kali gue lewat sini, gue selalu ngeliat elo ngelukis. Emangnya elo gak belajar?”
“Aku belajar kok.. Aku ke sini setelah aku selesai belajar di kelas. Justru aku merasa segar kembali kalau sudah ada di dalam ruangan ini.”
“Kok bisa?” tanya Reza heran.
“Bagiku, melukis adalah jiwaku. Dengan melukis aku bisa menyalurkan emosi yang sedang aku rasakan. Kalau aku sedih, aku bisa melukis, marah pun aku lampiaskan dengan melukis. Lukisanku adalah cerminan dari apa yang sedang aku rasakan setiap harinya.”
“Kalau lukisan lo mewakili seluruh perasaan lo, berarti lukisan lo bagus banget dong.” Seru Reza antusias.
Alya terkekeh kecil. “Engga kok. Lukisanku kalah bersaing dengan lukisan-lukisan maestro yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Hehe.”
“Huh, dasar.”
Reza kembali menatap kanvas yang ada di hadapan Alya. Dia sedikit tertarik dengan gambaran yang di ukir oleh Alya. Dia penasaran dengan judul lukisannya. Setahunya, para pelukis sering memberi judul pada hasil karyanya.
“Eh, lukisan lo ada judulnya gak?” Tanya Reza langsung.
“Ada.” Jawab Alya singkat.
Reza semakin penasaran dengan judul lukisan Alya. Apalagi setelah tahu gadis itu memberikan judul pada lukisannya yang belum rampung itu. “Kalau gue boleh tahu, apa judul lukisan lo ini?”
“Judulnya Story of Double A.”
“Story of double A?” Tanya Reza bingung. “Maksudnya apa?.”
“Kamu akan tau maksudnya setelah lukisanku ini selesai.” Jawab Alya sambil tersenyum manis pada Reza.
Reza menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. “Emangnya siapa orang yang menjadi inspirasi lo dalam melukis nih lukisan?” Tanya Reza semakin penasaran.
“Haha. Kamu ini nanyanya ngelebih-lebihin wartawan tau gak? Banyak banget.” Canda Alya.
“Ehm, so.. sori.”
“Haha, bercanda kok. Jangan dianggap serius gitu.”
Reza menundukkan kepalanya sedikit. Tapi dia masih terus menatap wajah Alya dari sudut matanya. Alya masih tersenyum padanya saat Reza mencuri-curi pandang dengannya.
Alya menghembuskan nafasnya pelan. “Aku melukis lukisan ini untuk seseorang.” ujar Alya lirih.
Reza mengangkat kepalanya dan menatap wajah Alya dengan ekspresi yang sulit di artikan. “Buat seseorang? Siapa?” Tanyanya penasaran.
“Buat seseorang yang spesial di hatiku. Seseorang yang selama ini aku nanti kehadirannya. Seseorang yang penting dalam hidupku setelah keluargaku.”
“Seseorang? Cowok elo?”
Alya tersenyum tipis, tapi sarat akan makna. “Bukan, aku sama dia hanya sebatas teman. Dan mungkin akan selamanya begitu. Aku takut dia akan meninggalkanku setelah tahu kondisiku yang berbeda ini. Dia teman masa kecilku yang sudah 9 tahun tidak kujumpai. Dia laki-laki pertama yang mempunyai tempat yang spesial di hatiku.”
Reza merasa sedikit perih saat Alya mengatakan ada laki-laki yang spesial di hatinya. Padahal Reza sadar, dia tidak pantas merasakan apa yang dia rasakan kini. Karena jelas-jelas Reza tidak menyukai Alya. Tapi kenapa hatinya merasakan perih saat itu juga.
Jadi dia udah ada gebetan. Jadi selain karena kakinya yang lumpuh, alasan dia nolak Hendra karena dia udah suka sama orang lain.
“Aku melukis ini buat dia. Sebagai objek pelampiasan rasa rinduku yang membara saat ini. Aku harap dia bisa menerima lukisan ini, walaupun nantinya dia tidak menerima keadaanku ini.”
“Kalo gue jadi tuh cowok, gue akan nerima apapun kekurangan elo Al. Karena gue tau, elo jadi kayak gini karena kejadian yang menimpa elo. Ini murni kecelakaan bukan karena keinginan elo. Ini udah takdir dari Tuhan.”
“Tapi kamu bukan dia, Za. Kamu sama dia adalah orang yang berbeda.”
***
Alya menutup kanvasnya dengan kain putih yang ada di dekat meja kecil di pojok kanan ruangan tersebut. Melihat Alya yang sedikit kesusahan saat menutupi kanvasnya, Reza bangkit dari duduknya dan membantu Alya.
“Eh,” sahut Alya kaget saat tangan Reza menyingkirkan tangannya pelan.
“Biar gue bantuin elo.” sahut Reza sambil menutupi kanvas itu dengan sempurna.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
Alya mendorong kursi rodanya dengan pelan. Hatinya masih berdegup kencang karena tadi Reza menyentuh tangannya. Dia tidak tau kenapa hatinya selalu bereaksi demikian setiap kali Reza ada di dekatnya, atau menyentuhnya seperti tadi.
Reza mencoba mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Sama seperti jantungnya yang berdetak dengan kecepatan maksimum. Dia tidak tahu kenapa setiap kali bersama Alya, dia menjadi lain dari biasanya. Dia seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Tak sengaja Anti melihat Alya dan Reza sedang berjalan berdampingan di koridor gedung selatan. Anti mencolek pelan bahu Selly. “Sel, itu kan Reza.” Bisiknya tertahan.
Selly mengikuti arah jari tangan Anti yang menunjuk dua orang yang sudah dia kenal itu. Selly mengepalkan tangannya kuat-kuat saat melihat dua orang itu. “Ngapain tuh kaki roda deket-deket sama Reza? Gak kapok apa dia sama ancaman gue tempo hari? Dasar muka tembok! Gak tahu malu!”
Selly hendak melangkahkan kakinya menuju tempat Alya berada. Amarahnya benar-benar sudah memuncak saat itu. Melihat Selly yang hendak memberi perhitungan pada Alya, dengan cepat Dea menahan tangan Selly.
“Jangan Sel.” Cegah Dea langsung. “Di deket dia ada Reza. Apa lo mau reputasi lo jadi jelek di depan Reza kalo elo marah-marahin tuh kaki roda di depan Reza? Lo gak mau, kan, Reza semakin ngejauhin elo gara-gara hal sepele seperti ini?”
“Iya Sel, mending lo simpen amarah lo itu buat marah-marahin tuh kaki roda. Mending nanti sepulang sekolah aja elo marah-marahin tuh cewek.” Tambah Anti.
Selly mengangguk membenarkan perkataan kedua sahabatnya itu. “Elo berdua bener juga. Mending nanti saat pulang sekolah gue buat perhitungan sama tuh anak.”
Selly semakin marah saat melihat adegan yang membuatnya memanas itu. Dari tempatnya berdiri kini, Selly melihat Reza memeluk pinggang Alya yang hendak jatuh dari kursi rodanya. Apalagi mereka saling berpandangan seperti orang yang saling mencintai.
“Dasar cewek genit!” makinya dengan marah.
***
“Oh, jadi elo mulai ngelukis dari SMP?” Tanya Reza. Saat itu mereka sedang berjalan berdampingan di koridor gedung selatan.
Alya mengangguk dengan perlahan. “Iya, makanya sejak saat itu Mama membelikan aku alat-alat melukis untukku. Walaupun aku sudah menolak, tapi Mama bersikeras untuk membelikanku. Ya, jadi sekarang aku lebih sering melukis sejak ada alat-alat lukis di rumahku.”
Reza merasa senang bisa bercerita lebih dekat dengan Alya. Begitu juga yang di rasakan oleh Alya. Dia merasa sangat senang bisa membagi sedikit kisahnya dengan Reza. Dia sedikit merasa lega setelah menceritakan sedikit pelik kehidupannya.
Saat sedang asyik-asyiknya bercerita, Alya tidak melihat tanjakkan yang ada di depannya. Sontak saja kursi roda Alya oleng ke depan saat melihat tanjakan itu.
Reza refleks memegangi pinggang Alya saat melihat gadis itu hampir terjatuh dari kursi rodanya. Saat itulah Reza melihat benda yang berkilauan di leher jenjang Alya. Reza sangat mengenali benda itu. matanya terbelalak maksimal saat melihat benda yang di pakai Alya adalah benda yang sama dengannya.
“Darimana elo mendapatkan benda itu?” Tanya Reza meminta penjelasan dari Alya.
Alya menatap Reza tidak mengerti. “Benda? Benda apa?” tanyanya bingung.
“Kalung perak yang lo pake. Darimana elo dapetinnya?”
Alya memegang kalungnya dan menatap Reza dengan terkejut. “I... ini…”
“Jawab Al. Elo dapet darimana kalung itu?!”
“Emangnya kenapa sih kamu nanyain kalung ini?” Sahut Alya risih.
“Alya, gue nanya sama elo. Jangan mengalihkan pembicaraan!”
“Aku gak mengalihkan pembicaraan, Reza.” Alya membela diri. “Emangnya kenapa sih kamu ngotot banget pengen tau gimana aku sampe punya nih kalung? Kalo kamu pengen kalung ini kamu bisa beli di toko perhiasan. Kalung seperti ini banyak di jual di pasaran. Kamu bias membelinya kapan aja kalau kamu mau.”
“Kalung itu gak ada di pasaran, Al. Di dunia ini kalung itu cuma ada dua.”
“Dari mana kamu tau kalau kalung ini cuma ada dua? Memangnya kenapa sih hubungannya kamu dengan kalung ini?” Alya mengangkat kalungnya tepat di depan wajah Reza.
Reza semakin yakin kalau kalung itu adalah kalung yang dia berikan ke Alina. Itu bisa di lihat dengan ukiran yang sangat khas di rantai kalung tersebut. Apa Alya itu adalah Alina?
“Kalung ini aku dapatkan karena pemberian dari seseorang. Siapa dia, itu hanya aku yang tau.” Jawab Alya kemudian kembali menyembunyikan kalungnya.
“Kapan elo dapetin kalung itu?” Reza kembali mengintrogasi Alya.
“Kenapa sih kamu pengen tau banget soal kalung ini? Kalo kamu semakin banyak nanya, aku gak akan jawab satupun pertanyaan kamu.”
“Itu karena ini.” Reza mengangkat kerah bajunya dan mengeluarkan kalung yang dia pakai. Kalung perak yang sama dengan kalung yang ada pada Alya. “Itu karena kalung elo sama kayak kalung yang gue pake Alya.”
Alya melotot kaget saat melihat kalung yang melingkar di leher Reza. Alya sangat yakin kalung itu adalah pasangan dari kalung yang dia miliki. Alya memang sempat mengira Reza adalah teman masa kecilnya saat mereka berkenalan. Karena teman masa kecil Alya juga bernama Reza.
Tapi Alya saat itu berpikir, nama Reza di dunia ini lebih dari satu. Begitu juga dengan saat ini. Alya menepiskan jauh-jauh pikirannya yang mengatakan Reza yang sekarang berada di hadapannya itu adalah Reza teman masa kecilnya. Meskipun Reza memakai kalung yang sama dengan yang dia punya. Tapi Alya tidak mau berpikiran kalau Reza adalah teman masa kecilnya.
“Ini kalung yang gue kasih ke temen kecil gue sebelum dia pindah 9 tahun yang lalu, Al. Kalo emang elo temen kecil gue, maka cerita elo dan cerita gue akan menjadi masuk akal. Sekarang elo jujur Al. Elo Alina, kan? Elo Alina temen masa kecil gue? Iya kan, Al?” Tanya Reza dengan mata berkaca-kaca.
Reza menatap nanar gadis yang sekarang terdiam di depannya itu. Benarkah gadis itu adalah gadis kecilnya yang selalu dia nantikan selama 9 tahun? Reza sangat yakin kalau Alya adalah Alina. Tapi entah kenapa hatinya sedikit ragu.
Alya menatap kosong kalung yang di pakai Reza. Bagaimana mungkin Reza memakai kalung yang sama dengan yang dia pakai. Kecuali Reza adalah teman masa kecilnya. Kecuali Reza benar-benar Reza yang ada di hatinya.
“Jawab pertanyaan gue Al. Jawab.” Pinta Reza pelan.
Alya menatap lurus manik mata Reza. Dia bisa merasakan kerinduan yang teramat besar dari sorot mata Reza. Alya menundukkan kepalanya sebelum akhirnya menggeleng. Dia tidak ingin dirinya semakin menganggap Reza yang sekarang ada di hadapannya adalah Reza yang sudah lebih dulu hadir di kehidupannya.
“Maaf, Za. Aku bukan Alina, aku Alya.”
***
Sepulang sekolah Alya memilih untuk pergi ke ruang lukis. Dia ingin menyelesaikan lukisannya yang khusus dia persembahkan untuk Reza. Laki-laki yang telah mengunci hatinya dari laki-laki lain.
“Lho, Alya?” pekik Lia. Salah satu anggota eskul seni lukis yang merupakan senior Alya. “Ngapain kamu disini? Gak pulang?”
Alya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Nggak kak. Aku mau nyelesain lukisan aku dulu.” Jawab Alya ramah.
Lia manggut-manggut mendengar penjelasan Alya. “Kalau begitu kakak pulang dulu, ya. Kamu gak papa kan sendirian di sini?”
“Iya, kak. Gak papa kok. Lagian aku juga udah terbiasa sendirian di sini.”
Lia memberikan senyuman manisnya pada Alya. “Nih kunci ruangan ini. Kalau kamu sudah selesai, jangan lupa untuk mengunci ruangan ini. Terus kuncinya kamu kasih ke Pak Ujang, penjaga sekolah ini.” Pesan Lia.
“Iya, kak.”
Alya mengantar kepergian Lia dari ambang pintu ruang lukis. Saat dia hendak berbalik, tiba-tiba ada yang menahan laju kursi rodanya. Alya tersentak kaget saat melihat ternyata Selly yang sedang menahan kursi rodanya.
“Se... Selly.” Ujarnya dengan suara tertahan.
“Hai kaki roda.” Sapa Selly dengan seringaian lebar yang juga di ikuti oleh Anti dan Dea.
“Ngapain kalian di sini?” Tanya Alya takut-takut.
Tanpa terkendali lagi Selly langsung mendorong Alya sehingga gadis itu jatuh tersungkur ke lantai. Kemudian Selly melempar kursi roda Alya ke lapangan yang ada di depannya.
“Eh kaki roda! Harus berapa kali gue peringatin ke elo supaya gak deket-deket lagi sama Reza? Ngaca dong! Elo itu lumpuh, jelek, cacat! Lo sama sekali gak pantes buat deket sama Reza. Sadar diri dong sama kondisi elo! Gak usah mimpi deh elo bakalan bisa ngerebut hati Reza.” Selly langsung meluncurkan makiannya dengan mulus.
“Ma... maksud kamu apa Sel?”
“Pake nanya lagi nih anak.” Seru Selly kesal. Kemudian Selly mendekati Alya dan menarik rambut Alya sehingga Alya mendongak ke atas.
“Sel... sa... sakit…” Rintih Alya kesakitan.
“Lo harusnya ngejauhin Reza sejak pertama kali gue kasih peringatan pertama ke elo! Dan sekarang elo harus dapat hukumannya karena elo udah lancang ngedeketin Reza. Lo harusnya ngejauhin Reza. Karena Reza itu cuma milik gue!!”
“A... aku gak ngedeketin dia Sel. Dia yang ngedeketin aku.” Bela Alya.
“What!? Gak salah denger nih gue? Reza ngedeketin elo? Temen-temen, khayalan nih cewek tinggi banget!!” Pekik Selly pada teman-temannya. Kemudian mereka bertiga tertawa mengejek.
Saat itulah Selly melihat sesuatu yang berkilaun di leher Alya. Dengan kasar Selly menarik kalung Alya sampai Alya menjerit kesakitan. Selly mengamati setiap jengkal kalung itu dengan teliti.
“Sel, jangan... jangan ambil kalung itu!”
Selly menatap Alya dengan seringaian lebar. Selly bingung kenapa Alya lebih mengkhawatirkan kalung itu ketimbang dirinya sendiri. Melihat wajah Alya yang terlihat sedih, Selly akhirnya menyadari kalau kalung itu sangat penting untuk Alya.
“Kalung ini bagus... Buat gue ya?” tanpa meminta izin, Selly langsung mengenakan kalung itu di leher jenjangnya.
“Cocok buat elo Sel.” Anti memberikan komentar yang diamini Dea.
“Jangan Sel… Jangan!” Akhirnya untuk pertama kalinya Alya menangis di depan Selly. “Tolong jangan kamu ambil kalungnya.”
“Emang kenapa? Kalo lo berani, lo ambil kalung ini dari gue. Sekarang!” Tantang Selly. Alya berusaha untuk bangkit, tapi tetap saja kakinya tidak dapat di gerakkan. “Tuh kan, buat jalan aja lo susah. Mana pantes elo buat Reza. Haha…”
“Sel, balikin kalung itu. Kalung itu penting buat aku. Kalung itu satu-satunya benda yang menghubungkan aku dengan teman masa kecilku.”
Selly sedikit tertarik mendengar penjelasan Alya. “Temen lo cewek apa cowok?.”
“Cowok Sel, tolong balikin.”
“Ceritain dulu gimana elo bisa dapet nih kalung. Baru gue balikin nih kalung ke elo.”
Dengan terpaksa akhirnya Alya menceritakan asal mula dia mendapatkan kalung itu. Tanpa dia sadari Selly sudah menyusun rencana untuk merebut kebahagiaan Alya saat itu juga.
“Gue sebentar lagi bakal ketemuan di taman komplek perumahan gue dulu. Karena itu Sel, gue minta lo balikin kalung itu.”
Selly menatap Alya dengan berkacak pinggang. Kemudian dia mengarahkan teman-temannya untuk pergi dari tempat itu dengan gerakan tangannya. Sebelum pergi Selly sempat berbisik di telinga Alya.
“Gue gak akan balikin kalung elo ini sebelum gue ketemu sama temen lo itu. Dan inget! Lo jangan coba-coba deketin Reza lagi. Karena kalo elo berani deketin Reza, gue gak bakal segan-segan bikin lo lumpuh total seumur hidup!!”