Siang itu suasana di sebuah pemakaman sangatlah kelabu, selain isak tangis yang terdengar dari seluruh pengunjung bahkan krabat yang datang sama sekali tak ada yang tak bersedih. Air mata selalu memenuhi pipi para pengunjung, bersedih akan kehilangan seseorang yang sangat berarti untuk mereka.
Terkecuali satu orang, satu orang yang tidak ada di dalam lingkungan orang-orang yang sedang berduka cita. Dia berdiri di samping pohon tua dengan payung hitam yang melindungi matahari yang tak begitu bersinar cerah.
“Sudahlah, lebih baik elo gak usah liat pemakan Alya Za.” Sahut Hendra berusaha meyuruh Reza pulang, karena dia tau bahwa temannya yang satu ini tidak tidur dua hari satu malam sedari malam kecelakaan yang merengut nyawa Alya.
“Ndra, elo tau? Gue sangat bersalah banget atas kepeninggalannya Alya.” Kesal Reza menatap sayu tanah basah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Za, lebih baik kita pulang. Gue juga sangat menyesal karena gue gak bisa menjaga Alya dengan baik malam itu dan jika, malam itu gue gak ninggalin dia sendirian mungkin semuanya gak bakal kaya gini.” Lirik Hendra menghentikan ucapannya saat menatap sayu mata Reza.
Kini kedua orang ini tengah bersedih, menyedihi kebodohan yang mereka lakukan malam itu. mereka semakin bersedih tanpa ada satupun dari mereka yang mengetahui ada seorang perempuan yang memperhatikan mereka dari jauh. Mengenakan pakaian serba putih yang sangat rapi, melontarkan senyum bahagia dari raut wajahnya yang terlihat sangat pucat.
“Hendra, terimakasih telah menyukaiku dan menerimaku dengan keadaanku yang seperti ini. Walau aku tak bisa membalas perasaanmu, aku harap di waktu yang akan datang kita akan menjadi teman yang sangat dekat. Dan aku berharap rasa itu tidak pernah datang kembali dalam pertemanan kita nanti. Semoga kamu mendapatkan pasangan yang tepat.
“Reza, maaf. Aku sama sekali tidak bisa menjaga kalung dan janjiku, walau sekarang kalung itu ada di tangaku kembali. Namun tetap saja aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua sudah terlambat dan sekali lagi maaf.
Sampai aku pergipun aku masih tidak dapat jujur bahwa aku adalah Alina, teman kecilmu. Aku benci Selly, kalau Selly tak mengambil kalungku pasti aku yang akan menemuimu hari itu. Waktu itu, waktu yang kita janjikan dulu pasti aku sudah bertemu denganmu. Namun apa gunanya aku? Aku hanya gadis lemah melawan Selly saja aku tidak sanggup. Jaga dirimu baik-baik.”
“Selamat tinggal. Sampai berjumpa di kehidupan yang akan datang.”
***
Sudah satu tahun berlalu setelah kejadian kecelakaan Alya. Kini seluruh murid SMA Majasriya tengah bersorakria mendapatkan berita bahwa mereka semua lulus 100 persen di tahun ini. Terkecuali Reza, dia hanya terdiam memandangi sehelai kertas yang bertuliskan bahwa dia lulus.
“Sayang? Kenapa kamu bengong kaya gini?” Tanya Selly manja pada Reza sambil merangkulkan tangannya ke tangan Reza.
“Al, gue masih ngerasa bersalah.” Ucap Reza jujur.
Dengan mengerutkan dahinya Selly bertanya pada Reza.
“Bersalah? Maksud elo apa Za? Gue sama sekali gak ngerti sama ucapan elo.”
“Gue ngerasa bersalah sama Alya Al, karena… karena gue Alya jadi…”
“Cukup!” Potong Selly saat Reza menyebutkan nama yang sangat ia benci.
“Cukup Za! Elo bisa gak, gak usah nyebut nama cewek yang udah mati itu? Dan kenapa elo masih mangil gue dengan sebutan Al, Al dan Al. Kenapa elo gak manggil gue Selly? Atau sayang? Honey? Gue pengen elo nyebut nama gue Za, panggilan mesra kaya gue ke elo.” Pinta Selly memelas sekaligus kesal.
“Tapi gue selalu manggil elo Alina, gue gak biasa kalau harus manggil elo Selly. Gue gak terbiasa.”
“Sekarang elo tau nama gue, nama asli gue. Gak kaya dulu. Kenapa elo gak mau manggil gue Selly!?” Bentak Selly mulai kesal.
Sebenarnya Selly sudah sangat bersabar untuk bertahan satu tahun ini, dia menyamar menjadi Alina. Mengantikan teman kecil Reza yang sudah meninggal satu tahu yang lalu, ya siapa lagi kalau buka Alya. Namun dia sudah capek jika Reza memanggil dia Alina. Seolah-olah mengingatkan Selly pada kejadian di mana ia berhasil mendapatkan Reza dengan cara yang begitu licik.
Bahkan mengingatkan ia saat kejadian prom sekolahnya satu tahun yang lalu, yang membuat salah satu siswi di sekolahnya meninggal dunia. Selly selalu terbayang-bayang Alya saat Reza mengucapkan Al atau Alina saat memanggilnya. Mengingatkan akan kegilaannya yang ingin mengerjai Alya gadis lumpuh yang sangat ia benci itu.
Kini dia tau, sakit yang meradang di hati itu seperti apa. Sakit yang bisa di rasakan dikarenakan sebuah rasa, rasa cintanya tak pernah sampai pada hati Reza walau kini Reza berstatus sebagai kekasihnya.
Namun, dia sama sekali tidak mau melepaskan Reza sampai kapanpun, walau cara yang ia gunakan sangat gila bahkan merenggut nyawa seseorang. Tetapi tetap ia tutup dari siapapun termasuk Reza.
“Gue harap, saat elo dan gue ketemu lagi besok. Elo bakalan manggil gue Selly buka Alina!.”
***
Setelah pertengkaran hebat antara Selly dan Reza berlalu. Kini kedua anak manusia itu tengah berjalan di koridor kampus baru mereka. Membuat berbagai mata orang-orang yang melihatnya sangat sirik dengan hubungan yang terlihat serasi di antara mereka berdua yang begitu romantis setiap harinya.
Walau sebenarnya mereka baru dua bulan mendapat gelar seorang mahasiswa di salah satu universita terkenal dan elit di Jakarta, mereka sudah menjadi pusat perhatian di kampusnya, baik dari dosen, teman-temannya sampai para senior mereka.
“Ih, bikin sirik aja, ya?”
“Iya, mana cowoknya ganteng lagi.”
“Tapi maklum ajalah, ceweknya juga cantik kok.”
“Ya. mereka memang pasangan yang serasi.”
“Gak salahlah, kalau mereka serasi. Dua-duanya perfect.”
Itulah ucapan orang-orang jika melihat Selly dan Reza. Walau sebenarnya Reza tidak mau seperti ini. Namun ia takut jika nanti Selly marah padanya seperti dua bulan yang lalu. Dan kini sifat Rezapun berubah. Menjadi seorang Reza yang dapat di perintah seenaknya oleh Selly.
“Sayang, hari ini kita ke mall, ya?” Ucap Selly bertanya pada Reza dengan tatapan memohon.
“Mau apa kita ke sana?”
“Ada barang yang mau gue beli di sana. Ya, ya?” Reza mengkerutkan dahinya, seolah bertanya namun tak berbicara.
“Ayolah. Apa elo gak mau anter gue ke mall? Ya udahlah, gue bisa pergi sendiri kok.” Dengan kesal Selly melangkah menjauhi Reza. Dengan cepat Reza memegangi lengan Selly mencegah gadis itu untuk pergi meninggalkannya. Selly yang merasakan genggaman di lengannya berbalik menatap Reza yang tersenyum padanya.
“Baiklah. Ayo.” Ucap Reza yang membuat Selly tersenyum girang.
***
“Liat ke toko baju itu yuk.” Tarikan lengan Selly serasa menyiksa Reza yang sedari tadi hanya menuruti peruintahnya. Entah sejak kapan Reza menjadi penurut seperti ini pada Selly. Padahal dulu, saat mereka masih SMA dan saat Reza belum mengetahui bahwa Selly adalah sahabat kecilnya Alina. dia sangat membenci gadis yang ada di hadapannya ini.
Bukan lagi membencinya, tetapi sangat membencinya. Namun, apa daya. Dia Alina, sahabat kecilnya yang selalu dia bayangkan kembali padanya. Tetapi, tunggu dulu. Jika Reza terpaksa seperti ini, berarti dia tidak mencintai Selly yang notabennya adalah sahabat kecilnya yang sangat ia rindukan, tetapi kenapa sikapnya sangat berbeda.
“Kenapa sampe sekarang gue gak bisa sayang sama Selly? Dan rasanya gue bukan berhubungan dengan Alina yang gue kenal dulu. Mereka seperti berbeda.” Hembusan nafas Reza sangat berat saat ia berpikir.
Pendengaran Reza mendengar sebuah suara ringtone lagu saat ia pikir asal ringtone tersebut dari mana, ia baru sadar bahwa ringtone tersebut dari handphone miliknya. Reza melihat layar handphone miliknya tertulis My Mom. Ya, Mama Reza yang menelponnya. Dengan cepat pula dia menekan tombol utuk menerimanya.
“Reza kamu di mana sekarang?” Terdengar suara perempuan dari sebrang sana yang sangat ia rindukan. Sudah hampir lima bulan Mamanya pergi ke Swiss untuk berlibur. Bukan belibur sepenuhnya, namun mengurus perusahaan keluarga yang bercabang di Swiss.
“Reza di rumah Ma. Kenapa?” Ucap Reza berbohong dan bertanya pada Mamanya.
“Kalau gitu kamu gak sibuk, kan? Bisa jemput Mama di bandara? Mama sekarang di bandara, tadi Mama nelpon Papa, kata Papa dia gak bisa jemput. Pak Ato juga lagi cuti, kan? Jadi kamu tolong jemput Mama, ya?”
“Ya udah, Mama tunggu di sana aja. Lima menit lagi mungkin Reza sampe, kok.” Ucap Reza mengakhiri sambungan telponnya.
Dengan tatapan penasaran Selly mendekati Reza. “Siapa yang telpon?” Tanya Selly sambil memberi tatapan curiga.
“Nyokap gue nelpon. Dia minta gue jemput. Elo gak apakan gue tinggal?” Tanya Reza tampa melirik ke Selly, karena ia sedang melihat jam yang terlingkar di lengannya. Apa sampe lima menit ya? gumam Reza membatin.
“Apa!? Jadi elo mau tinggalin gue lagi? Gue ini cewek Reza.” Ucap Selly kesal sambil menggerutkan bibirnya.
“Sori, ini nyokap gue, Al. Gue gak mungkin ngebantah permintaan nyokap gue.” Ucap Reza tampa melirik ke arah Selly, Reza langsung pergi meninggalkan Selly yang masih ada di dalam toko dengan tampang kesalnya.
Dengan terburu-buru Reza menghidupkan mesin mobilnya, setelah keluar dari dalam parkiran mall Reza segera melesatkan mobilnya menuju bandara yang memang jaraknya tak terlalu jauh dari mall yang di mana ia meninggalkan Selly sendirian.
***
Sesampainya Reza di bandara, Reza berniat menghubungi ponsel milik mamanya. Memberitahu bahwa ia sudah sampai di bandara. Hanya saja tiba-tiba matanya menemukan objek yang membuat perhatiannya beralih. Seorang perempuan, berambut panjang, tinggi dan sangat cantik. Perempuan itu berjalan sambil mendorong troli yang berisi tas-tas besar miliknya.
Sesaat pikiran Reza sempat berpikir sangat keras, mencoba mengingat sesuatu yang sedikit hilang di memori otaknya. Sepertinya ia pernah melihat perempuan tersebut namun entah di mana ia pernah bertemu dengan perempuan tersebut.
Satu, dua, tiga… Reza tersentak saat melihat wajah perempuan itu. Saat wajah perempuan tersebut memalingkan pandangannya ke arah Reza. Tiba-tiba saja wajah itu kini tepat menatap wajahnya dengan senyuman khas miliknya, rasanya jantung Reza berdetak sangat kencang atau berhenti secara tiba-tiba. Entahlah.
Langkah kakinya sedikit demi sedikit menghampiri perempuan itu. Rasanya pedih di mata dan rasa rindu yang tak terkira, ia pun sedikit tersenyum pada perempuan tersebut walau sedikit lirih. Ia masih berjalan perlahan, mencoba memecahkan jaraknya dengan perempuan tersebut.
“Alya?” Ucap Reza refleks dan segera memeluk tubuh perempuan tersebut.
Terlihat raut wajah bahagia dari wajah Reza, namun berbeda dengan perempuan yang di panggil Alya oleh Reza itu. Ia terkejut sekaligus binggung. Sambil berusaha melepaskan pelukan lelaki yang tak ia kenal otaknya di penuhi beribu pertanyaan.
“Anda siapa?” Tanyanya binggung.
Dengan terkejut Reza menatap dalam mata perempuan tersebut. Alya bisa berjalan? batin Reza binggung. Tetapi sesaat ia ingat, Alya sudah tidak ada, Alya sudah meninggal. Dengan wajah binggung perempuan itupun pergi menuju perempuan yang sudah berumur yang berada di depan lobi bandara.
“Tante.” Ucap perempuan tersebut pada perempuan yang melambaikan tangannya tersebut.
“Diana? Wah, kamu sudah cantik sekarang. Gimana kehidupan kamu di Jepang?”
“Sangat baik Tante. Tante juga walau sudah berumur masih terlihat cantik sekali. Wah, di Jepang lagi musim dingin Tante, jadinya suhu di sana kaya lagi di kutub selatan.”
Tak sengaja Reza mendengar percakapan dua perempuan yang tak ia kenali. Hatinya masih sangat yakin dan sangat berharap bahwa perempuan tersebut adalah Alya, namun saat perempuan tua itu memanggil nama aslinya, membuat Reza kecewa. Apa lagi saat ia ingat bahwa Alya sudah meninggal satu tahun yang lalu, itu membuat hatinya teringat kembali kejadian itu, saat Alya meninggal tepat di dekapannya.
“Reza? Ngapain kamu benggong kaya gitu?” Sapaan seseorang membuat bayangan Reza akan kejadian waktu itu hilang seketika. Dilihatnya sekarang berdiri seorang perempuan cantik, perempuan yang sangat ia sayangi selama ia hidup.
“Mama? Enggak kok.” Dengan tersenyum Reza berusaha menahan rasa sakit yang ia rasakan.
“Ya udah, ayo ke rumah. Mama udah kangen banget sama rumah. Kamu juga, jemput kok lama banget?” Ucap mama Reza sambil merangkul lengan anaknya.
“Maaf, Ma.”
“Ya udah, ayo cepat.”
Mata Reza masih menatap perempuan tadi. Diana. Dia masih berdiri dengan tantenya menunggu mobil jemputan mereka. Sempat kedua mata Reza mendapat tatapan tajam pada perempuan yang bernama Diana tersebut. Seolah-olah ia berkata seseuatu namun Reza tak mengerti dari tatapannya tersebut.
***
Malam harinya, Reza tengah duduk di depan kolam renang di rumahnya. Suasana yang tenang dan tentram, hanya saja pikiran Reza tidak ada di dalam raganya. Pikirannya melayang entah kemana, mengingat kejadian beberapa jam yang lalu terjadi di bandara. Saat ia menjemput Mamanya.
Kenapa perempuan itu mirip sekali dengan Alya? Apa Alya memiliki saudara kembar? Ah tidak mungkin, pasti gue salah liat. Lagi pula Alya kan sudah… sudah meninggal, dan perempuan itu tidak lumpuh seperti Alya. Pikiran Reza saat ini benar-benar dibuat kacau oleh perempuan yang mirip dengan Alya dan bernama Diana itu.
Dan tanpa ia sadari, bahwa sedari tadi ada satu perempuan yang sedang asik mengajak berbicara dengannya. Saat perempuan itu tau bahwa Reza sama sekali tidak mendengar ucapannya perempuan itupun merasa kesal. Dengan sedikit jengkel Selly mengejutkan Reza yang masih melamun menatap air tenang di dalam kolam renang.
“Reza!” Satu sentakan dari Selly membuyarkan semua lamunan Reza. Mengembalikan seluruh pikiran Reza yang sudah berjalan ke mana-mana kembali pada raganya.
“Apa?” Pekik Reza terkejut.
“Apa? Berarti dari tadi elo gak dengerin apa yang gue omongin ke elo?” Ucap Selly kesal.
“Memangnya elo ngomong apa, Al?” Dengan tampang polosnya Reza bertanya pada Selly yang sepertinya mulai di kuasai oleh emosinya.
“Al? Elo manggil gue Al lagi? Reza, berapa kali gue harus bilang sama elo, hah? Stop untuk manggil gue Alya.”
“Kenapa? Bukankah itu nama kecil elo? Apa salah kalau gue ini manggil elo dengan sebutan Alya?” Tanya Reza bingung.
Kini dalam pikirannya memikirkan, mengapa Selly tak ingin di panggil Alya oleh Reza? Harusnya ia senang dengan perilaku Reza yang selalu mengenang masa kecil mereka.
“Karena gue gak suka dengan nama itu. Gue gak suka elo sebut-sebut nama itu di depan gue.”
“Kenapa?” Tanya Reza makin bingung.
“Karena gue ngerasa risih karena nama itu. Ibaratnya elo bukan mencintai gue tapi mencintai Alina!” Bentak Selly.
“Tapi elo dan Alina itu sama.”
“Beda! Gue dan Alina bukan orang yang sama.” Ucapan yang terlontar dari mulut Selly membuat Reza sontak terkejut.
“Maksud elo apa? Elo dan Alina beda?”
Dengan tampang sedikit kikuk karena sadar akan ucapannya. Selly pun bertingkah aneh di depan Reza. Dengan tatapan bingung Rezapun ingin memastikan bahwa ucapan Selly itu benar adanya ataukan karena dia sedang kesal karena Reza meninggalkannya di mall siang tadi.
“Apa? Ehm… maksud gue itu…”
“Elo cemburu sama diri elo sendiri?” Ucap Reza memotong pembicaraan Selly yang terbata-bata.
Namun Selly tak menjawab ucapan Reza. Ia hanya diam tanpa kata sambil menundukan kepalanya. Bukan, gue cemburu karena elo belum bisa mencintai gue. Tapi, elo masih mencintai Alina yang kenyataannya Alya yang sudah meninggal. Selly berkata dalam hatinya sambil tersenyum miris.