Sebuah mobil mewah tengah melaju di deretan mobil-mobil di jalan raya yang tengah terhimpit oleh kemacetan ibu kota Jakarta. Dengan begitu sabarnya, orang yang membawa mobil mewah tersebut tersenyum senang sambil memandangi pemandangan kemacetan ibu kota Indonesia ini.
Dengan tampilan sederhananya, Diana menatap beberapa pengamen jalanan yang tengah bernyanyi untuknya. Merasa iba. Ya, dia merasa iba pada semua anak-anak jalanan yang tak dapat merasakan bangku sekolah. Setelah mendengar pengamen cilik itu selesai bernyanyi, ia mengeluarkan uang selembar, bukan uang seribu tentunya. Dia memberi pengamen itu melebihi sepuluh ribu.
“Banyak sekali Mbak?” Tanya pengamen cilik tersebut setelah melihat uang yang di berikan padanya.
“Ya, untukmu. Di tabung, ya?” Ucap Diana tersenyum ramah lalu pergi melaju karena mobil yang ada di depannya tersebut sudah melaju.
“TERIMAKASIH MBAk!!!” Teriak pengamen cilik tersebut girang.
***
Mobil yang kini tengah melaju mencari sebuah tempat parkir di sekitaran kampus yang tengah ramai oleh berbagai mata yang menatap mobil mewah tersebut. Dengan perlahan Diana keluar dari dalam mobilnya saat sudah menemukan sebuah parkiran kosong dekat pintu belakang kampus.
Hiruk pikuk mahasiswa yang menatap Diana kini semakin membuat suasana di belakang gedung tersebut panas. Mendengar bahwa ada mahasiswi baru dari salah satu universitas terkenal di Jepang. Apa lagi saat mereka semua menatap Diana penuh kagum, entah menggagumi apa. Hanya saja itu terlalu berlebihan bagi Diana.
Perlahan dia melangkahkan kakinya masuk ke salah satu gedung. Dengan wajah yang terlihat fresh, Diana tersenyum menyapa lelaki paruh baya yang tengah duduk di meja kerjanya.
“Selamat datang di kampus, Diana.” Ucap lelaki paruh baya tersebut menyapa Diana penuh dengan kehangatan.
Diana hanya tersenyum lalu duduk tepat di hadapan lelaki paruh baya tersebut.
“Paman.” Ucap Diana tersenyum kembali dengan ramah.
“Bagai mana perjalananmu? Apakah seru?”
“Begitulah, bagaimana keadaan Mama?” Tanya Diana.
“Tenang saja, Mamamu sekarang sedang sibuk dengan bisnis barunya. Dan dia baik-baik saja.” Raut bahagia terpancar dari raut wajah Diana saat mendengar keadaan Mamanya. Maklum saja, semenjak ke datangannya di Indonesia ia belum menemui Mamanya.
“Apa kamu akan betah di kampus ini, Diana?” Tanya Pamannya tersebut.
“Tentu saja. Sepertinya anak-anak di sini sangat ramah dan semoga saja tidak ada yang mengenaliku di sini.” Ucap Diana memamerkan senyum dinginnya pada Pamannya tersebut.
“Memangnya kamu artis? Sampai takut ada yang mengenalimu di sini, huh.” Celoteh Paman pada Diana. Diana hanya tersenyum sambil menatap Pamannya tersebut.
“Ya sudah, biar kamu bisa tahu keadaan kamupus baru kamu ini. Paman sudah menyuruh salah satu mahasiswa terbaik paman yang ada di sini untuk menemanimu berkeliling.”
“Abian.” Ucap paman memanggil seseorang yang sepertinya sudah berada di luar ruangan pamannya tersebut.
“Diana perkenalkan namanya Abian. Dia salah satu mahasiswa terbaik di kampus ini. Dan Abian, perkenalkan Diana, keponakan saya yang baru saja sampai dari Jepang.” Paman Dianan memperkenalkan Diana dengan salah satu mahasiswa terbaik di kampus ini.
Dengan sedikit sopan Diana penundukan kepalanya memberi hormat. Mungkin kebiasannya saat di Jepang belum hilang juga. Berbeda dengan Abian yang mengulurkan tangannya tepat di kepala Diana yang memberi hormat.
Abian tampak sedikit malu karena Diana tidak menjabat tangannya. Dengan cepat dia menarik tangannya dan langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat hal itu, Paman Diana langsung mengulum senyumnya geli.
“Hahaha, sudah-sudah lebih baik kalian cepatlah pergi. Ajak keponakan saya ini untuk melihat-lihat kampus kita ini, Abian.” Ucap Paman saat menyadari bahwa ada kekakuan di dalam diri Abian.
“Baiklah Paman, Diana pergi dulu.” Pamit Diana.
“Saya permisi dulu, Pak.” Pamit Abian dan merekapun langsung meninggalkan ruangan pemilik yayasan kampus tersebut.
***
Diana dan Abian tengah menjelajahi penjuru kampus, dari perpustakaan, ruangan kelas, tempat nongkrong, sampai kantin kampus juga taman yang sering di kunjungi beberapa mahasiswa untuk mengerjakan tugas selain di perpus.
“Oh iya, tadi kan elo sama gue belum kenalan secara pribadi nih. Jadi gue ulang lagi ya, kenalin gue Abian Ramadhan.” Ucap Abian sambil mengulurkan tangannya.
“Gue Diana, Diana Anatasya.” Balas Diana sambil membungkukkan badannya sedikit.
“Gue maunya kaya gini.” Dengan wajah terkejut Diana menatap Abian yang sekarang memengangi lengannya seperti berjabat tangan.
“Berjabat tangan.” Ucap Abian sambil tersenyum.
“Oh iya. Sori, gue kebiasaan di Jepang, jadinya lupa kalau di Indonesia perkenalannya kayak gini.” Tawa Diana saat sadar kalau Abian hanya ingin berjabat tangan. Bukankah di Indonesia memang seperti ini.
“Gimana di Jepang?” Abian mencoba membuka pembicaraan.
“Maksudnya?” Tanya Diana binggung.
“Maksud gue, gimana di Jepang? Apa seru ataukah apa gitu…” Ucap Abian sambil menyipitkan matanya di akhir kata.
“Oh… di Jepang cukup seru juga kok. Apa lagi pemandangan di sana, pemandangannya bagus untuk diabadikan.”
“Diabadikan? Elo fotografer, ya?” Tanya Abian binggung.
“Bukan, gue bukan fotografer kok. Gue ini cuma seneng melukis aja.”
“Wah elo pelukis? Hebat dong.”
“Ya gitu deh.” Ucap Diana malu.
Diana merasa asik berbicara dengan Abian. Begitupun sebaliknya, mereka seperti pernah bertemu dan seperti teman lama. Apa lagi saat Abian memberi tahu Diana bahwa di kampusnya ini ada beberpa klub yang sangat menarik, salah satunya klub melukis.
“Makasih ya, Abian. Elo udah mau nemenin gue keliling liat kampus ini, yang bener-bener luas banget.”
“Sama-sama, ini kan memang tugas gue sebagai anggota komite kampus.”
“Jadi elo anggota komite kampus?” Mata Diana hampir keluar saat mengetahui bahwa Abian salah satu anggota komite kampus.
“Kenapa? Ada yang salah dengan anggota komite kampus?” tanya Abian bingung.
“Enggak kok. Ya udah, sekali lagi gue ucapin terimakasih.”
“Elo mau kemana?” Tanya Abian sambil menahan lengan Diana yang hendak pergi meninggalkannya.
“Gue?” Tanya Diana sambil menunjukan telunjuknya tepat di hidung mancungnya. “Ya gue mau ke kantor Paman gue lah. Udah itu pulang, lagian kelas pertama gue itu mulai besok kok, pukul sepuluh. Jadi buat apa lama-lama di kampus.” Jelas Diana pada Abian.
“Gak mau kenalan dulu sama anak-anak di kampus ini?” Tawar Abian.
“Besok, kan masih bisa.” Terlontar senyuman dari wajah Diana dan membuat Abian melepaskan genggamannya.
“Sampai ketemu besok Abian.”
Abian hanya dapat terdiam di tempat sambil menatapi punggung Diana yang mulai menjauh dari ruang pandangnya.
“Ya Tuhan. Kenapa gue ngerasa deg-degan kayak gini? Apa ini cinta? Masa pandangan pertama sih? Memangnya ada? Tapi mungkin aja kan.” Gumam Abian sambil menyentuh dadanya.
***
Sementara itu Diana yang sedang menyusuri koridor kampus mendapatkan begitu banyak tatapan mata penuh kagum dari setiap mahasiswa yang menatapnya. Dia hanya dapat tersenyum ramah, saat mendapatkan sapaan hangat dari beberapa mahsiswa. sampai di depan ruangan Pamannya, Diana cepat-cepat masuk ke dalam ruangan Pamannya itu dengan tergesa-gesa.
“Kenapa?” Tanya Paman Diana saat melihat keponakannya memasuki ruangannya dengan terburu-buru.
“Enggak kok, Paman. Hanya saja, para mahasiswa Paman semuanya ngelatin Diana. Kayak gak pernah liat cewek aja, Diana jadi risih.” Keluh Diana sambil duduk di hadapan pamannya.
“Kamu kan anak baru di kampus. Jadi wajar-wajar saja kalau kamu diliatin seperti itu, memang sudah tradisi setiap kampus kan? Kalau ada mahasiswi baru pasti kampus manapun heboh. Apa lagi mahasiswinya cantik dan dari luar negeri seperti kamu.”
“Tapi aku risih paman. Oh iya, hari ini aku mau ke butik Mama, jadi sekalian aku mampir dulu ke sini mau ngasih paman oleh-oleh. Tadi kan Diana gak sempet ngasih karena paman udah buru-buru nyuruh si Abian itu buat nganter Diana keliling kampus.” Ucap Diana sambil memberikan kotak besar pada pamannya.
“Apa ini?”
“Ada deh. Nanti aja ya di bukanya. Soalnya Diana binggung mau ngasih oleh-oleh apa ke Paman.”
“Tidak usah repot-repot seperti ini. Paman juga tahu kamu di jepang itu bukan buat berlibur.” Senyuman bahagia terlontar di wajah paman Diana. Baru kali ini ada keponakan yang sangaat baik padanya, bahkan anaknya saja yang sering keluar negeri jarang memberinya oleh-oleh atau sedikit berbasa-basi sedikit dengannya.
“Makasih ya.”
“Iya Paman, sama-sama.” Jawab Diana. “Ya sudah Diana pergi dulu, ya. masih mau ketemu Mama sama tante Juni.” Lanjut Diana berpamitan.
“Ya, hati-hati.”
***
Selama perjalanan menuju butik mamanya, Diana memandangi anak-anak jalanan yang sedang berdiri ataupun mengamen di pinggir jalanan. Begitu pedulinya Diana pada anak-anak jalanan. Maklum saja selama di Jepang Diana jarang sekali melihat anak-anak yang berada di jalanan. Bahkan hampir tidak ada.
“Hallo.” Ucap Diana saat menerima telpon yang sudah berbunyi sedari tadi.
“Diana!!” Terdengar suara teriakan seseorang dari seberang telpon.
“Merry? Bisa gak, elo itu gak usah teriak-teriak di telinga gue?” Ucap Diana kesal.
“Hehe, kenapa elo gak ngomong udah di Indonesia? Untungnya tante Juni ngasih tahu gue, kalau enggak mau sampai kapan gue gak tau elo udah di Indonesia.” Keluh Merry dari seberang.
“Gue gak sempet. Sori, ya?”
“Kalau elo gak sempet-sempet, bisa-bisa satu tahun kemudian gue baru tahu, kalau elo ada di Indonesia. Eh, lo lagi di jalan, kan? Mau ke butik nyokap lo, kan?”
“Hehe, gak segitunya juga kali Mer. Iya, kenapa?” Ucap Diana singkat.
“Ya nggak sih, cuma nanya aja, gue juga lagi di butik nyokap elo kok.”
“Masa? Ya udah ketemuan di sana aja, ya?” ucap Diana terkejut.
“Oke. Oh iya, kata nyokap lo, elo nyetirnya hati-hati.”
“Takut gue kecelakaan, ya?” Tanya Diana senang di perhatikan.
“Bukan, nyokap elo takut nanti mobilnya lecet haha.”
“Kurang ngajar lo.” Gerutu Diana kesal.
Sedangkan Merry hanya tertawa di seberang telpon mendengar keluhan kesal Diana yang di anggap olehnya itu lucu.
“Ya udah nanti kita ketemu di sana.”
“Ya udah. Bye.” Ucap Merry lalu mematikan sambungan telpon.
“Dasar anak ini. Kenapa gue punya sepupu kaya dia sih?” gumam Diana sambil tersenyum miris.
***
Sesampainya di butik milik Mamanya, Diana terkejut melihat betapa besarnya butik yang dikelola oleh Mamanya itu. Berbeda jauh sebelum ia pergi ke Jepang satu tahun yang lalu.
“Diana?” Ucap seorang wanita saat melihat Diana memasuki butiknya,
“Mama?” Dengan cepat Diana memeluk perempuan paruh baya yang ia panggil dengan sebutan Mama itu. Melepas rindu di keduanya.
“Ehem, kayaknya kita dilupain deh, Te.” Ucap Merry berdehem kencang agar ibu dan anak ini menyelesaikan rasa rindu mereka.
“Haha. Merry? Apa kabar? Tambah gemuk aja lo?” Ejek Diana.
“Langsing gini di bilang gemuk?” sahut Merry kesal.
“Hei Merry? Langsing dari mana kamu? Liat gumpalan lemak di tubuh kamu? Bukan gemuk?” Ucap tante Juni memegangi lengan Merry yang penuh dengan lemak.
Diana terkesima melihat isi di dalam butik milik Mamanya ini. Ya, satu tahun yang lalu sebelum dia pergi berobat untuk kakinya yang pernah lumpuh itu, Mamanya diberi dana oleh keluarga almarhum Ayahnya yang memang adalah keluarga konglomerat.
“Tambah besar aja butiknya, Ma.” Ujar Diana kagum.
“Kan sekalian sama rumah kita, Nak.”
Diana terdiam. Rumah? Pikir Diana binggung. Dia menatap anak tangga yang berdekatan dengan kasir. Ia penasaran dan menaiki anak tangga itu perlahan demi perlahan dan diikuti oleh Mamanya, Tante Juni dan pastinya Merry. Diana hampir mengeluarkan matanya sempurna saat melihat ruangan yang sangat besar di atas butiknya ini. Ada baju-baju indah, dapur yang minimalis, dua pintu yang ia anggap adalah kamar dan tempat seperti ruang tamu.
“Ma, rumah kita di atas butik?”
“Iya, kenapa? Kamu kurang suka?” Tanya Mamanya sambil mendekati anaknya itu.
“Suka Ma. Semuanya simpel. Di lihat dari luar tadi seperti butik mewah yang sangat bagus. Namun siapa sangka kalau di dalamnya? Di atasnya ada rumah yang begitu indah seperti ini.” Kata Diana penuh kagum.
“Siapa yang mendesainnya, Ma?” Tanya Diana penasaran.
Mama Diana hanya menggerakan bola matanya menuju tempat Merry berdiri. Sedangkan Merry hanya mengeluarkan senyuman khasnya saat mata Diana menatapnya.
“Iya, gue yang mendesainnya. Kenapa? Gak percaya?”
“Elo bener-bener hebat. Good job, Mer. Elo udah jadi desainer interior yang bener-bener hebat. Pasti elo udah jadi arsektur yang hebat.” Canda Diana mencoba mengerjai Merry yang sedang melihat hasil karyanya.
“Arsitek Diana.” Ucap Merry membenarkan kata-kata arsektur ke arsitek yang di ucapkan oleh Diana.
“Nah itu maksudnya.” Gurau Diana sambil memamerkan tawanya yang memang sudah lama tak terdengar di telinga Mamanya.