Love 13

2400 Kata
Diana tengah menjalani kelas kewarganegaraan, seperti biasa di kelas Pak Bram ini Diana selalu jadi pusat pandang para mahasiswa di dalam kelas sehingga membuat Pak Bram geram dengan tingkah laku mereka dan akhirnya pak Bram memberikan tugas yang begitu banyak untuk mereka semua termasuk Diana. “Diana mau ngerjain bareng gak tugasnya?” Tawar Fini pada Diana. “Boleh, gue juga sedikit bingung sama tugas yang dikasih sama Pak Bram.” Sahut Diana kesal saat melihat tugas-tugas yang bertumpuk. “Ya udah, kita ke perpus aja yuk.” Ajak Fini menarik lengan Diana. “Fini!” Teriak seseorang dan membuat Diana dan Fini menghentikan langkahnya. “Hendra? Kenapa?” Tanya Fini. Cowok ini, bukannya cowok yang kemaren di mall yang sama Selly ya? Batin Diana sambil memperhatikan Hendra yang sedang berbicara dengan Fini, namun mata Hendra juga memperhatikan Diana. Hendra menatap tajam ke arah Diana, alhasil membuat Diana risih dan sedikit bergidik dengan tatapan Hendra. Yang seolah-olah dia itu sangat benci pada Diana. “Mau kemana Fin?” Tanya Hendra penasaran. “Perpus, mau ngerjain tugas Pak Bram.” “Oh yaudah, gue duluan ya.” Ucap Hendra terlihat terburu-buru. *** Reza sedang menatap sebuah lukisan yang ada di depannya. Dia teringat kembali pada pelukis yang melukis lukisan yang belum kelar yang tertinggal di ruang seni sekolahnya dulu. Reza sengaja mengambil lukisan ini dan membawanya pulang. “Alya… lukisannya buat gue, ya?” Gumam Reza sambil memopang dagunya dengan lengan sambil memandang sendu pada lukisan tersebut. Hamparan rumput hijau dan dua pohon, hanya itu yang baru di lukis. Reza masih sangat penasaran dengan apa yang ingin Alya buat saat itu, Reza masih menerka-nerka. Lukisan yang akan ia berikan kepada seseorang, sahabat kecilnya. Reza berniat mencari sahabat Alya, tapi kemana? “Alamat rumah Mamanya aja gue gak tau.” Sambil menghembuskan nafas berat Reza meminum minumannya yang tidak ia sentuh sejak dia mulai memandangi lukisan itu. “Reza… Reza elo harus ikut gue sekarang.” Tarikan lengan Hendra membuat Reza terkejut. Matanya menatap Hendra yang kelihatannya tersenggal-senggal mengatur nafasnya. “Kenapa lo? Abis di kejar hantu?” Tawa Reza. “Terserah lo. Yang penting elo harus ikut gue, sekarang!” Tarik Hendra kembali. Hingga Reza terseret oleh tarikan Hendra yang menggenggam lengannya. Sudah seperti sapi di tusuk hidung Reza mengikuti Hendra yang entah akan membawa dirinya kemana. “Ngapain lo ke perpus? Mau belajar?” Ucap Reza terheran-heran saat langkah Hendra berhenti tepat di depan perpustakaan kampus. “Bukan, gue mau elo liat si Diana.” Deg. Jantung Reza tiba-tiba saja berdetak sangat kencang setelah mendengar nama yang disebutkan oleh Hendra. Padahal hari ini dia sengaja tidak masuk kelas Pak Bram agar menjauh dan tidak melihat Diana yang sangat membuat dirinya teringat pada Alya. Memang bodoh jika ia teringat pada Alya, padahal dulu saat di sekolah Hendra-lah yang menyukai Alya dan karena Hendra pula ia memiliki rasa yang tersembunyi untuk Alya. Walau sekarang Alya sudah tidak ada lagi di sisi Hendra maupun Reza. “Tuh liat! Tuh cewek kenapa bisa mirip banget sama Alya ya?” Tanya Hendra heran. “Mana gue tau dan bukan urusan gue.” Jawab Reza dingin. Sebenarnya Reza juga ingin memperhatikan Diana, namun terlalu gengsi dan dia tidak ingin menyamai Diana dan Alya. Mereka berbeda dan mereka tak sama. Alya gadis lugu dan suci sedangkan cewek itu? Memang wajah mereka sama, namun sikap dan bahasa mereka sangat berbeda. Apa lagi yang aku tau bahwa Alya itu miskin sedangkan Diana? Dia keponakan ketua yayasan? Dan siapa yang gak tau kalau keluarga besarnya adalah keluarga yang terpandang dan sangat terhormat. Otomastis mereka berbeda. Ucap Reza terdiam. “Woi!” pekik Hendra membuyarkan lamunan Reza. “Apaan, sih?” “Elo ini, liat tuh. Diana sana si Fini udah pergi. Gara-gara elo kita ketinggalan jejak mereka.” Gerutu Hendra kesal. “Elo mau jadi mata-mata Diana?” Tanya Reza memastikan. “Iya.” “Elo gila ya? Lo pikir si Diana penjahat hah!? Sampai harus di mata-matain kaya gitu?” Protes Reza pada Hendra. “Gue penasaran sama tuh cewek, Za. Gue juga yakin kalau elo juga penasaran sama tuh cewek, iya kan?” Ucap Hendra sambil mengangkat satu alisnya. “Dan gue pengen mastiin kalau tuh cewek bukan Alya.” “Terserah elo, gue gak mau ikut campur.” Ucap Reza lalu pergi meninggalakan Hendra yang masih terdiam atas ucapannya. “Tuh anak makan apaan, ya? Sikapnya semakin berubah. Jangan-jangan lagi berantem sama si Selly?” Tanya Hendra bingung sendiri. Reza melangkahkan kakinya keluar gedung perpustakaan. Dan tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia menggingat ada sesuatu yang ia lupakan, namun entah apa itu. “Tas? Ada.” “Handphone? Ada juga.” “Jadi apa yang gue lupain?” Tanya Reza bingung. Matanya membulat, pikirannya teringat akan benda yang ia lihat tadi saat ia di dalam kantin. Benda yang sangat berharga! “Lukisannya!” Pekik Reza kencang dan hampir membuat seluruh orang yang ada di dekatnya menatapnya tajam. “Ah maaf, maaf.” *** Sementara itu, kantin tengah sibuk dengan mahasiswa yang ingin makan siang. Otomatis seluruh meja yang ada di dalam maupun di luar kantin penuhi oleh mahasiswa. “Apaan nih?” Ucap salah satu cewek yang duduk di salah satu meja kantin. “Ih apaan tuh, Jes? Kaya sampah mendingan elo buang aja.” Ucap satu cewek lagi yang sepertinya adalah teman yang di panggil Jes. “Iya, mendingan gue buang aja. Gak berguna juga kok.” Ucap cewek yang di panggil Jes. Reza berlari menelusuri koridor yang berhubungan dengan kantin. Dengan cemas dan penuh harapan Reza menatap semua orang yang ada di kantin. “Ya Tuhan! Gue lupa gue duduk di mana tadi.” Pekik Reza frustasi. *** “Apa ini?” Tanya Diana binggung saat melihat sebuah benda yang seperti familliar tergeletak di atas tempat sampah. “Kenapa?” Diana terkejut saat Abian menegurnya. “Enggak kok.” Dengan cepat juga Diana mengambil benda itu dan mengikuti langkah Abian yang sudah terlebih dahulu berjalan di depannya. Diana mengandeng barang yang ia pungut tadi, dan membawanya ke ataa atap kampus. Ia memandang bingung dan heran, barang ini? Ucap Diana membatin. Dia masih menatap barang itu dengan tajam, memastikan bahwa matanya ini tidak salah lihat. “Kenapa ini ada di sini? Bukankah lukisan ini sudah lama sekali.” Gumam Diana menyelurusi setiap warna yang tergores di kertas tersebut. “Apa ada yang membawanya? Tapi lukisan ini belum selesai, ini masih setengahnya. Dan siapa yang membawanya ke kampus ini? Bukannya tertinggal di sekolah yang dulu?” Dengan cepat pula Diana menutup lukisan tersebut dengan selembar kain putih agar tidak ada satupun orang yang dapat melihat isinya. Diana membawa lukisan itu memasuki mobilnya, tanpa ia tahu ada seorang lelaki yang sedang kebingungan mencari lukisan yang tidak sengaja ia lupakan dan ia tinggalkan di kantin kampus. “Mampus gue! Gimana kalau ada yang ngebuangnya?” Ucap Reza khawatir. “Ya, tempat sampah atau tong sampah.” Dengan sigap Reza melangkahkan kakiknya, secepat pacuan kuda untuk menghampiri tong sampah yang ada di dekat kantin. Namun saying, usahanya nihil. Lukisan itu tetap tidak ditemukan, walau dia sudah mencarinya di tempat pembuangan sampah di belakang kampus. “Ya ampun, gimana ini? Argh!” teriak Reza frustasi. *** “Diana?!” “Ya, Ma?” “Kamu sedang apa? Kamu ngelukis lagi?” Tanya mama Diana terkejut saat melihat anaknya sedang menggoreskan beberapa warna ke sebuah kanvas yang ada di hadapannya. “Iya Ma, lukisan ini sudah hampir dua tahun terbengkalai.” Jawab Diana lalu menghadap lukisannya tersebut. “Tapi? Bukannya lukisan itu lukisan yang kamu buat saat kamu SMA dulu? Dan bukannya itu lukisan yang kamu buat untuk…” Mama Diana menghentikan ucapannya saat melihat raut wajah anaknya berubah menjadi murung. “Maaf.” “Gak apa, Ma, lukisan ini memang untuk dia.” “Kamu masih ingat?” Tanya sang Mama namun hanya di balas anggukan oleh Diana. “Iya, Ma, itu adalah kenangan yang paling indah. Bukankah kenangan itu tidak boleh di lupakan? Walau dulu ada banyak kenangan pahit. Namun kenangan ini adalah kenangan yang indah dan bukan untuk di lupakan.” “Tapi kamu gak akan sakit lagi, kan?” Ucap pelan sang Mama menatap putrinya yang sedang menggoreskan beberapa warna pada lukisan yang ada di hadapan puterinya tersebut. “Dia kenangan indah yang tidak bisa di lupakan, Ma. Jadi, lebih baik di jadikan kenangan saja. Lagi pula aku bukan yang dulu, sekarang aku Diana anak Mama. Aku Diana anak almarhum Papa dan aku Diana salah satu keluarga pengusaha yang teramat disegani. Jadi lebih baik kita lupakan kenangan buruk dan tetap simpan kenangan indah, Ma.” Kini senyuman yang teramat ikhlas dan begitu indah terlukis di wajah Diana. “Semoga puteriku ini akan tersenyum selalu dan senyumannya itu akan kekal.” Ucap mama Diana tanpa di dengar oleh Diana yang sekarang sudah memusatkan dirinya pada lukisan indahnya. My secret garden. Taman rahasia kami berdua, taman yang menjadi saksi bisu kami selalu bermain bersama, bercanda ria, melihat indahnya senja bersama, tertawa bersama. Di bawah langit dan di atas rerumputan yang luas kami berdua memberi sebuah kenangan yang indah yang akan abadi walau nanti kami tidak akan pernah bertemu kembali. Namun jika memang tempat ini bisa mengembalikan kami, membuat kami bersama kembali. Artinya ini adalah anugrah yang sangat indah yang kami alami, banyak rintangan yang kami sebut sebuah cobaan, ada kesedihan yang juga kami sebut derita, dan ada sebuah senyuman yang kami sebut sebuah anugrah. *** “Bagaimana ini? Kalau lukisan itu hilang berarti kenangan satu-satunya Alya udah hilang.” Gumam Reza kesal. “Apa? Alya?!” Terdengar suara perempuan yang kelihatannya sangat marah saat mendengar ucapan yang di lontarkan Reza. Reza menoleh ke asal suara tersebut dan menatap seorang perempuan yang sudah menjadi kekasihnya itu. “Alina!?” Pekik Reza terkejut. “Elo masih mikirin orang yang udah meninggal itu, hah!?” Bentak Selly membuat Reza terdiam kaku di tempat. “Elo kenapa, sih? Elo selalu aja mikirin orang mati itu. Inget gue pacar elo, gue masih pacar elo dan elo sekarang uring-uringan gara-gara lukisan gadis lumpuh itu hilang!?” “Alina! Jaga ucapa lo! Gue gak pernah nyangka lo kayak gini. Sekarang elo udah berubah banget Al, elo beda sama Alina yang dulu. Elo kayak buka Alina yang gue kenal.” Kini Reza tidak tinggal diam, dan kini Reza berhasil menyuduti Selly yang terkejut ternyata Reza mulai berani kembali membentaknya. “Alina? Alina kata lo? Gue Selly, bukan Alina Reza!!.” Raut wajah Selly berubah seketika saat melihat wajah Reza yang menatapnya heran. “Maksud lo apa? Elo bukan Alina? Jadi Alina itu siapa? Dan kalung… ya, kalung itu di mana sekarang? Kenapa elo gak pakek kalung itu lagi!?” Bentak Reza membuat Selly semakin takut. Wajah Reza kini sangat sudah memerah menandakan bahwa amarahnya kini sudah bertubi-tubi di ubun-ubunnya, ia menatap Selly dengan tatapan penuh amarah dan juga penasaran. Menunggu Selly mengatakan yang sejujurnya. Sadar bahwa ia salah mengucapkan ucapannya, Selly menunduk tidak menatap Reza yang ia yakin bahwa Reza sudah sangat marah padanya. Sebenarnya baru kali ini ia melihat Reza semarah ini, walau dulu saat SMA dia pernah dicaci maki oleh Reza, namun tidak sampai seperti ini. “Jawab!!” Bentak Reza membuat Selly terkejut. “Gue… gue… gue…” Ucap Selly gelalapan. Kesal dengan jawaban Selly yang tak kunjung berkata jujur, Reza menarik Selly dengan kasar agar Selly menatapnya dan berkata yang sebenarnya. “Ya, gue bukan Alina sahabat elo Za, tapi sumpah waktu itu gue hanya mikir kalau gue pura-pura menjadi Alina sahabat elo itu, gue pasti bisa dapetin elo Reza. Tapi gue sadar kalau gue tetap gak bisa dapetin hati lo Za, maaf gue harus bohong sama elo, maaf juga kalau selama ini gue menjadi Alina dan membuat Alina mati.” Ucap Selly lemah. “Mati!? Maksud elo apa, hah?! Elo bunuh Alina? Jadi kejadian waktu itu elo yang rencanain?” Kini Reza terduduk lemas saat Selly mengucapkan kata terakhirnya. “Sebenernya… Alina itu… dia itu… Alya, Za.” Kini tangisan yang sangat kencang terlontar dari Selly, ia menyesali perbuatanya dan berlari menjauh meninggalkan Reza yang masih belum percaya akan apa yang di ucapkan Selly tadi. “Alya? Alya itu Alina? Ya Tuhan… kenapa gue b**o baget selama ini…” Ucap Reza menahan air matanya yang hampir membasahi kedua pipinya yang sudah memanas. *** Sedangkan Selly hanya berlari menjauh dari rumah Reza, dia menagis sejadi-jadinya. Tanpa ia tahu Hendra mengikutinya karena penasaran mengapa dirinya keluar dari rumah sahabatnya itu dengan mata memerah dan juga sembab. “Selly, lo kenapa?” Tanya Hendar saat melihat Selly yang sedang termurung menatap air kolam di taman. “Gue… gue udah bilang semuanya ke Reza dan sekarang gue putus sama Reza.” Ucap Selly dengan isak tangisnya yang masih belum berhenti. “Lebih baik elo cerita sama gue. Biar elo ngerasa beban lo sedikit berkurang.” Dengan sedikit tenaga Selly menatap Hendra dan memulai menceritakan awal kejadian saat ia merampas paksa kalung milik Alya dan menyamar menjadi Alina sahabat Reza, juga saat kejadian di mana Alya kecelakaan. Hendra terkelabak mendengar cerita Selly, bukan main ia tercengang mendengar cerita yang selama ini dipendam oleh Selly. Rasa kesal mulai tumbuh dalam diri Hendra namun, perasaan sayangnya yang sudah tumbuh pada Selly membuatnya ikut prihatin pada Selly. Dengan perlahan Hendra menatap Selly yang menutup mukanya dengan kedua tangannya dan memeluk Selly ke dalam dekapannya, berharap Selly akan merasa tenang. “Sudahlah, itu juga adalah hal bagus kok. Elo udah jujur dan itu udah buat dosa elo berkurang Sell, sudah ada gue di sini. Gue akan tetep sayang sama elo walau elo pernah bersama sahabat gue dan elo membohonginya. Tapi gue bener-bener suka sama elo, Sell. Mungkin semenjak kita memata-matai Diana, dan mungkin rasa inipun tumbuh begitu saja Sell. Apa elo juga gitu? Apa elo juga ngerasain yang sama kaya gue? Apa elo mau jadiin gue sebagai pengganti Reza dan ngehapus luka elo itu?” Ucap Hendra mengutarakan semua apa yang ada di dalam hatinya dan itu semua sangat jujur. Karena Selly tak kunjung menjawab, Henda kemudian menatap wajah Selly yang masih berada di pelukannya. “Anak ini, orang lagi ngutarain cinta.” Senyuman dan ekpresi kecewa terlintas di wajahnya saat melihat perempuan yang ada di dekapanya itu tertidur sangat lelap dengan mata sembab dan air mata yang mulai mengering di pipinya yang memerah. “Elo besok wajib jawab pertanyaan gue, Sell, dan elo gak boleh nolak. Good night my ice princess.” Dengan wajah berseri-seri Hendra mengecup ringan dahi Selly.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN