Diana membuka matanya karena sinar matahari mulai masuk ke kamarnya melalui celah-celah jendela kamarnya yang sudah dibukakan oleh mamanya sejak pagi tadi. Namun, saat ia akan bangkit dari tidurnya kepalanya serasa berdenyut sangat kencang dan rasa sakit yang ia rasakan itu membuat ia jatuh pingsan.
Sinar lampu membuat mata Diana sakit, bau obat yang sangat menusuk hidung membuat Diana mual, dan sedikit sakit di bagian kepalanya. Mata Diana mulai terbuka sedikit demi sedikit, menatap setiap inci ruangan yang sedang ia gunakan untuk berbaring. Suara pintu membuat Diana terkejut, seorang pria paruh baya memasuki ruangan tersebut.
Diana baru menyadari bahwa ini adalah kamar rawat inap yang ada di rumah sakit, dan sekarang yang berdiri di sampingnya dan tersenyum ramah menatapnya itu adalah seorang dokter. Yang dia yakinkan oleh Diana adalah dokter yang merawatnya.
“Bagaimana dengan keadaanmu? Dan di mana wali atau orang tuamu?” Dengan sangat ramah dokter yang ber-name tag Bima itu bertanya pada Diana.
“Baik dok, saya juga kurang tahu Mama saya ke mana. Dan siapa yang membawa saya ke rumah sakit ini?” Ucap Diana dan balik bertanya heran pada dokter.
“Mamamu yang membawamu ke sini. Saya hanya ingin memberikan hasil dari pemeriksaan darahmu saja.”
“Sejak kapan kamu mengalami gejala seperti ini?.” Lanjut dokter Bima pada Diana.
“Gejala? Gejala apa dok?” Tanya Diana binggung.
“Sakit di bagian kepala? Pusing dan hidung tiba-tiba saja mengeluarkan darah?” Jawab dokter Bima sambil menyerahkan selembar tisu pada Diana dan melap hidung Diana yang mengeluarkan darah segar.
“Darah?” Ucap Diana lirih.
“Apa Mamamu tahu? Orangtua kamu tahu kalau kamu mengidap penyakit kanker otak? Dan penyakitmu itu sudah stadium akhir.” Ucapan yang dilontarkan oleh dokter Bima seperti duri yang teramat tajam yang menusuk hatinya.
Apa? Aku sakit? Kenapa? Hanya pertanyaan itu yang selalu teriang di pikirannya sekitar sejam yang lalu setelah mendengar ucapan dokter bahwa dirinya di vonis mengidap kanker otak stadium akhir.
***
“Dokter, apa dokter bisa menjaga rahasia ini?”
“Tapi apa sebaiknya kamu ceritakan ini pada Mama kamu?” usul dokter Bima, berusaha membuat Diana jujur pada Mamanya. Namun Diana tetap pada tekadnya bahwa ia akan menyembunyikan penyakitnya ini seorang diri tampa satu orangpun yang tau terkecuali dia dan dokter Bima.
“Baiklah, saya paham. Tetapi kamu harus rutin menemui saya untuk memeriksa keadaanmu.” Jelas dokter Bima. Dan dibalas anggukan paham oleh Diana.
Diana berjalan dengan tenang dan di tengah ombak yang menyapu lembut kakinya yang tidak terbalut oleh sepatu atau sandal. Ia ingin merasakan semuanya, ia ingin mengigat semuanya. Dari kepedihan sampai kebahagiaan yang diciptakan Tuhan di bumi ini. Merasakan indahnya sang surya yang mulai terbenam di ujung laut, dinginnya air laut di malam hari, indahnya bintang-bintang yang bertaburan di malam hari yang di temani oleh sang rembulan yang terlihat cantik juga mengagumkan.
“Sampai kapan waktuku?” Gumam Diana lirih.
Matanya memandang lurus ke depan, menatap luasnya samudra yang entah ujungnya di mana. Pikiranya entah melayang kemana. Ataukah ia teringat kejadian satu tahun yang lalu. Saat di mana dirinya menjadi seorang gadis yang begitu sengsara dan sangat menderita. Tangannya gemetar dan air mata tumpah begitu saja saat ia benar-benar mengingat kenangan dulu.
***
“Sudahlah, semua sudah terkubur di tanah basah itu. Semua kenangan, sakit hati, dendam, dan rasa bersalah sudah hilang. Sekarang kamu terlahir kembali menjadi pribadi yang baru.” Ucap seorang pria paruh baya dari pinggir seorang perempuan muda yang sedang memandang lurus ke arah rombongan orang yang sedang bersedih di dekat sebuah makam segar.
“Diana.” Perempuan muda itupun menoleh dan membuat ekpresi bingung.
“Kamu mulai sekarang Diana.” Ulangnya sekali lagi.
“Tapi, Paman?”
“Kamu Diana dan akan menjadi Diana sampai kapan pun. Kamu adalah anak satu-satunya dari ayahmu, kamu masih keluarga Doro grup dan kamu masih memiliki darah Doro grup. Maka sebaiknya kamu menuruti saja semua ini dan bersiaplah untuk besok.” Tatapan pria yang di panggil Paman tersebut lurus memandang ke arah para pelayat yang sudah sedikit demi sedikit meninggalkan makam.
“Besok kamu akan pergi ke Jepang untuk mengikuti terapi di sana dan di sana kamu juga akan melanjutkan sekolahmu.” Lanjutnya dan berlalu meninggalkan perempuan yang ia panggil sebagai Diana.
Dianapun menatap nanar ke arah seseorang yang tak sengaja dia lihat. Matanya mulai memerah namun ia tetap tersenyum, melihat seorang yang ia sayangi berdiri tidak jauh dari makam basah itu.
“Kamu dating, ya?” Ucapnya lirih.
Rencananya ia akan pergi meninggalkan pemakaman itu, namun ia kembali tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya tersebut menatap kedua pria yang sedang berbicara bersamaan sambil sesekali menatap makam yang sudah sepi itu.
“Hendra, terimakasih telah menyukaiku dan menerimaku dengan keadaanku yang seperti ini. Walau aku tak membalas perasaanmu, aku harap di waktu yang akan datang kita akan menjadi teman yang sangat dekat. Dan aku berharap rasa itu tidak pernah datang kembali dalam pertemanan kita nanti.”
“Reza, maaf. Aku sama sekali tidak bisa menjaga kalung dan janjiku, walau sekarang kalung itu ada di tanganku, namun tetap aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua sudah terlambat dan sekali lagi maaf. Sampai aku pergipun aku tidak dapat jujur bahwa aku Alina, teman kecilmu. Aku benci Selly, kalau Selly tak mengambil kalungku pasti aku yang akan menemuimu hari itu. Waktu itu, waktu yang kita janjikan dulu pasti aku sudah bertemu denganmu. Namun apa gunanya aku? Aku hanya gadis lemah.”
“Selamat tinggal. Sampai berjumpa di kehidupan yang akan datang.”
***
“Kemana gadis itu?” Ucap Reza lirih karena sudah hampir seminggu ia tidak melihat batang hidung perempuan yang sangat ia rindukan.
Entah sejak kapan ia mulai menyadari bahwa ia menyukai Diana, gadis yang sangat mirip seperti Alya. Gadis yang sangat mirip seperti Alina teman sekaligus cinta pertamanya. Mata Reza mulai sedikit redup dengan keadaan yang ada. Apa Diana tidak kuliah di sini lagi? Apa dia pindah? Atau dia sakit? Beribu pertanyaan yang berterbangan di pikiran Reza. Hingga satu suara membuyarkan beerjuta pertanyaan itu.
“Za,kenapa?” Tanya Hendra menepuk bahu Reza pelan.
“Diana.” Jawab Reza tanpa sadar.
“Diana? Kenapa?” Hendra yang melihat sahabatnya seperti mayat hidup ini merasa binggung dengan tingkah laku Reza, hingga Reza mengatakan nama Diana dan kini dia paham. Bahwa sahabatanya ini sedang di landa oleh rasa kangen yang amat berat.
“Diana, ya? Tuh sama si bodyguard-nya.” Lanjut Hendra santai dan enteng menunjuk dua orang yang sedang berjalan sekaligus tertawa bahagia.
Dengan secepat kilat Reza melangkahkan kakiknya meninggalkan Hendra dan berjalan menuju Abian dan Diana yang sedang berjalan ke arah perpustakaan. Hendra hanya tertawa kecil membayangkan hal konyol apa yang akan di lakukan sahabatnya itu di sana, saat ia sampai di dekat Abian dan Diana.
“Kok senyum-senyum?” Suara lembut seorang perempuan membuat Hendra menghentikan kegiatannya yang menatap sahabatnya itu.
“Lihat deh.” Selly mengikuti arah telunjuk Hendra dan menemukan tiga orang yang sedang berbicara.
“Reza?” Ucapnya bingung dan hanya dibalas oleh anggukan dan senyuman konyol dari kekasihnya itu.
“Ya… sepertinya gue nyesel jadi pacar elo. Elo itu konyol.” Ucap Selly kesal dan meninggalkan Hendra.
Namun, Hendra dengan cepat mencegah Selly dengan menggenggam tangannya. Tetapi dibalas tatapan tajam dari mata Selly yang selalu indah bila dipandang oleh Hendra. Dan dengan sekali hentakan Hendra mencium singkat pipi Selly. Mata Selly hampir keluar dari tempatnya, terkejut. Bahkan untuk berbicara dan memarahi Hendra kembalipun tidak bisa, sedangkan Hendra hanya menatap Selly lembut dan memamerkan senyuman konyolnya yang telah membuat Selly jatuh cinta pada sahabat lelaki yang dulu pernah ia cintai.
“Apa elo tau? Buat ngeluluhin hati elo itu sangat susah banget?” Ucap Hendra dan memeluk Selly. Selly hanya tersenyum di dalam pelukan kekasih yang sudah menyembuhkan lukanya itu.
***
“Kayaknya tuh cowok suka sama elo deh.” Keheningan yang beberapa menit lalu tercipta kini buyar saat Abian melontarkan pertanyaan yang membuat Diana teringat kejadian dua jam yang lalu. Saat di mana Reza membanjirinya begitu banya pertanyaan, yang bernada khawatir.
“Mana mungkin, kenal aja enggak.” Jawab Diana dingin.
“Tapi lihat aja, dari pertanyaan dan raut matanya tadi. Dia itu memancarkan cinta ke elo, apa elo gak sadar?”
“Buat apa? Gue aja gak tau tuh cowok namanya siapa dan tahu-tahu udah main deketin gue kayak gitu, nanya kabar gue, keadaan gue dan semua tentang gue.” Oceh Diana kesal karena Abian terus saja bertanya mengapa Reza menghampirinya tadi di koridor kampus.
“Elo juga suka sama tuh cowok?” Tanya Abian pasti.
“Gue gak cinta dan gak kenal dia, jadi stop buat nanya-nanya hal yang gak penting seperti itu, ngerti?”
“Jadi cowok mana, yang elo cinta?”
Mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Abian yang begitu tiba-tiba, membuat Diana terkejut. Kedua matanya membulat dan sedikit memanas. Abian yang menyadari itu binggung dan salah tingkah. Apa ia telah salah bicara? Tapi kenapa? Apa salahnya jika dia bertanya seperti itu? Dan apa dia tidak pantas untuk berbicara seperti itu?
“Sama sekali nggak ada.” Ucap Diana dingin dan memalingkan wajahnya menjauh dari tatapan Abian yang masih shock dengan sikap yang di tunjukan oleh Diana.
Namun, padahal Diana sedang mencoba untuk menahan air matanya yang entah mengapa memaksanya untuk mengeluarkannya dari kantung mata yang mungkin mulai memerah. Dan tanpa menatap Abian, Diana berjalan berlalu meninggalkan Abian yang menatapnya kecewa karena jawaban yang di lontarkan Diana.
“Apa elo gak bisa menatap gue? Yang selalu ada di sisi lo? Yang selalu perhatiin elo? Yang selalu ada buat elo? Yang selalu membantu elo? Gue suka sama lo, gue cinta, gue sayang sama lo Diana.” Ucap Abian lirih menatap punggung Diana yang semakin menjauh dari ruang lingkup pandangannya.
“Jangan… jangan sampai… jangan… jangan terjadi lagi… aku mohon…” Isak tangis Diana tumpah seketika saat dirinya menyepi dan menumpahkan air matanya.
***
“Kak Abian?” Sebuah suara lembut tiba-tiba mengejutkan Abian yang masih terdiam termurung di tempat satu jam yang lalu saat ia dan Diana masih berada. Namun, tanpa menatap siapa yang mengeluarkan suara ramah tersebut, Abian pergi begitu saja meninggalkan seseorang tersebut sendirian.
“Apa memang udah gak ada kesempatan lagi buat aku?” Senyuman yang sangat indah terhias di wajah Fini yang nampaknya sedang pasrah akan suatu hal yang ia alami.
Namun, sebenarnya hatinya sakit. Selalu saja di tolak mentah-mentah oleh orang yang sangat ia cintai, orang yang sebenarnya sudah menjadi mimpinya saat ia masuk ke kampus ini.
“Fini?” Tanya Diana saat melihat raut wajah Fini yang terlihat sedih.
“Diana? Mata kamu? Kenapa? Kamu abis nangis, ya?” Kini giliran Fini yang terkejut karena melihat wajah Diana yang tak kalah kusutnya.
“Oh… ini? Gak kenapa-napa kok.” Elak Diana.
“Ke kelas yuk.” Ajak Diana mencoba mengalihkan perhatian Fini.
“Ya udah, ayo.”
Diana dan Fini tengah berjalan menyusuri koridor kampus. Diana terdiam dengan langkahnya yang terus saja lurus, sehingga tanpa ia sadari dirinya menabrak tembok.
“Diana? Kamu gak apa-apa?” Tanya Fini menghampiri Diana yang tersungkur jatuh.
“Gak… gak apa-apa kok.” Jawab Diana singkat dan mencoba untuk berdiri.
“Hidung kamu? Hidung kamu berdarah.” Pekik Fini terkejut.
Diana menyentuh lubang hidungnya dan melihat bercak bewarna merah di jarinya. Mata Diana mulai memerah dan serasa panas, air matanya mulai terjatuh. Fini yang melihatnya menjadi kebingungan.
“Kita ke UKS aja, ya? Kayaknya kamu sakit.” Fini berusaha mengajak Diana berdiri dari duduknya.
“Kayaknya gue mau pulang aja.” Ucap Diana singkat dan mencoba pergi menjauh.
Tanpa memperdulikan panggilan Fini, Diana terus melangkahkan kakiknya menju parkiran.
“Apa ini sudah tanda-tanda, Tuhan…” Ucap Diana pasrah di dalam mobilnya.
***
“Ada apa Diana?”
“Dok, hidung saya berdarah lagi. Tolong periksa saya.” Ucap Diana memohon pada dokter Bima.
“Baiklah. Ayo kita masuk ke dalam ruang pemeriksaan.” Ajak dokter Bima.
Di dalam ruang pemeriksaan Diana dibaringkan di sebuah mesin berwarna putih yang amat besar dan cukup untuk tubuhnya. Selama di periksa Diana terus saja berdoa agar waktu untuknya akan terus berjalan walau ia harus bertahan dengan penyakitnya ini.
Setiap jaringan tubuh Diana diperiksa oleh dokter Bima, terutama pada bagian otaknya. Tanpa di ragukan kembali, dokter Bima mendapatkan pikiran bahwa pasiennya ini harus menjalani kemoterapi.
“Bagaimana dok?” Tanya Diana saat selesai pemeriksaannya.
“Sepertinya kamu harus di kemoterapi.”
“Apa dok!? Kemo? Kenapa? Apa kankernya sudah separah itu?” Kini raut wajah Diana berubah menjadi khawatir.
Kemo? Kenapa? Apa benar-benar parah? Diana memang tidak terlalu mnegerti dengan penyakitnya ini, stadium akhir ataupun stadium empat sekalipun. Diana sama sekali tidak tahu, apakah separah itu ataukah hanya gejala saja. Namun, hanya satu yang ia tahu. Bahwa penyakit ini dapat membuatnya tidak bernafas lagi tanpa sepengetahuannya.
“Jika tidak di kemo bagai mana, Dok?” Tanya Diana memastikan.
“Kemungkinan besar adalah operasi.”
“Hasil dari operasi tersebut?” Tanya Diana.
“Sebenarnya, kemotrapi itu tidak berdampak apa-apa. Hanya saja, penderita kanker otak jika di kemo kemungkinan besar akan mengalami rambut rontok dan kelumpuhan organ tubuh, dan merasakan sakitnya sedikit berkurang.”
“Kalau operasi?”
“Jika gagal di kemotrapi, maka kemungkinan besar penderita kanker tersebut akan di operasi dan hasilnya hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, kemungkinan berhasil dan masa hidup bisa bertambah, kemungkinan yang kedua, bisa juga gagal dan mengakibatkan kematian kepada penderita kanker.” Jelas dokter Bima pada Diana.
***
“Bagaimana ini? Mana yang harus di pilih.” Diana sedang menatap sebuah lukisan yang hampir selesai.
“Jika gagal di kemotrapi, maka kemungkinan besar penderita kanker tersebut akan di operasi dan hasilnya hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, kemungkinan berhasil dan masa hidup bisa bertambah, kemungkinan yang kedua, bisa juga gagal dan mengakibatkan kematian kepada penderita kanker.” Di pikiran Diana terus saja terdengar ucapan dokter Bima yang sangat membuatnya takut.
Diana binggung harus memilih jalan yang mana, sedangkan sang Mama sama sekali tidak tau akan penyakitnya ini. Dan satu misi terpentingnya yang pernah ia lupakan dulu. Memberi tahu rahasia terbesar dirinya pada seseorang.
“Diana?” Sebuah suara lembut membuat Diana tersentak dari lamunannya.
“Mama? Iya, ada apa?” Dengan senyuman yang ia buat Diana menghampiri Mamanya yang berada di ambang pintu.
“Kamu yakin ingin meneruskan lukisan itu?” Tanya sang Mama memastikan.
“Iya, Ma, Diana sudah yakin. Ma…” panggil Diana pelan.
“Iya sayang?”
“Diana ikut kompetisi lukis di Jepang. Dan tiga hari lagi Diana harus pergi ke Jepang, Mama ngizinin Diana, kan?” Tanya Diana ragu.
“Itu kemauan kamu?”
Pertanyaan sang Mama hanya dibalas anggukan oleh Diana, walau sebenarnya ia sudah tahu apa yang akan terjadi jika ia benar-benar mengambil keputusan ini.
“Ya sudah, kalau kamu ingin ikut, Mama izinin kamu.”
Dengan menahan tangis Diana menaruh kepalanya di atas pangkuan Mamanya, membuat dirinya senyaman mungkin. Seolah-olah hari ini akan menjadi akhir dalam hidupnya untuk bersikap manja pada Mamanya sendiri.
Mama, Diana akan menyusul Papa di surga. Suara hati Diana mengucap lirih.
“Ma…” Ucap Diana.
“Iya?”
“Kalau nanti Diana udah gak bisa nemenin Mama lagi gimana?” Tanya Diana pilu.
“Maksud kamu?”
“Ya, kalau Diana udah gak bisa nemenin mama lagi. Kalau Diana gak bisa selalu ada di dekat Mama lagi. Apa Mama bakalan sedih?”
“Sayang… kalau memang sudah waktunya, kamu pasti akan pisah dengan Mama. Gak mungkin juga, kan kalau kamu udah nikah kamu masih sama Mama?” Jelas sang Mama membuat Diana mengeluarkan air mata yang sudah ia tahan.
“Diana sayang Mama.” Ucap Diana dengan cucuran air mata dan memeluk seakan tidak ingin lepas.
***
“Paman, Tante Juni, Merry, Mama. Diana pergi dulu, Diana akan sangat rindu pada kalian semua. Jaga diri kalian baik-baik, ya?” Ucap Diana sambil memeluk semua sanak saudaranya yang ikut datang mengantarnya ke bandara.
“Ya ampun, bahasanya kaya mau pergi jauh banget.” Canda Merry.
“Iya, jaga diri kamu juga, ya, di Jepang nanti.” Ucap Tante Juni memeluk Diana hangat.
“Jangan lupa, kalau udah sampai di Jepang kasih kabar.” Kini giliran sang Mama yang memeluk Diana dengan sangat lembut.
“Iya… Diana pergi dulu.” Ucap Diana dan pergi memasuki tempat tunggu penumpang.
Diana terus berjalan dengan air mata yang bercucuran sangat deras. Ini adalah hari terakhirnya melihat mama dan keluarganya. Hari di mana menjadi penentu apakah ia akan terus hidup ataukah akan pergi untuk selamanya.
“Diana?” Sebuah suara membuyarkan kesedihan Diana.
“Dokter?”
“Kamu benar-benar sudah siap? Kenapa kamu tidak memberi tahukan dahulu kepada Mamamu bahwa kamu akan menjalani operasi di Singapura?” Tanya Dokter Bima.
“Tidak Dok, itu hanya akan membuatku sedih dan akan membuat Mama terluka.” Jelas Diana.
“Tapi, bukankah akan lebih terluka jika Mamamu tidak tahu kalau kamu…” Dokter Bima tidak melanjutkan ucapannya karena tangisan Diana pecah, sehingga menyebabkan Dokter Bima harus menenangkan pasien pribadinya tersebut.
***
“Kita ke butik, yuk.” Ajak Hendra pada Selly.
“Apa? Butik? Tumben banget elo ngajak gue ke butik? Lagi banyak duit lo, ya?” Tanya Selly bingung dengan tingkah pacar barunya ini.
Ya semenjak kejadian yang lalu, Hendra benar-benar menjadikan Selly sebagai pacarnya dan Selly pun tak sungkan lagi menerima cinta Hendra. Walau ia tahu bahwa Hendra adalah sahabat mantan kekasihnya.
“Mau atau nggak, nih?” Ulang Hendra.
“Iya mau, memangnya mau ke butik yang mana?” Tanya Selly penasaran.
“Jangan banyak tanya, deh. Ikutin gue aja.”
Hendra pun melajukan motornya ke sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi untuk Selly. Butik yang merupakan milik Mama Diana.
“Ngapain ke sini? Mau mata-matain lagi si Diana? Atau elo suka sama cewek itu?.” Tanya Selly menyelidiki Hendra.
“Pikiran elo itu kecil banget, ya? Pantesan aja Reza gak seneng-seneng sama elo.” Ejek Hendra.
“Terus kenapa? Kenapa elo malah jatuh cinta sama gue sekarang?” Giliran Selly membalik pertanyaan Hendra dan Hendra tidak tahu harus menjawab apa dan membawa Selly masuk.
Alangkah terkejutnya Hendra saat melihat pemilik toko tersebut. Seorang wanita paruh baya yang pernah ia lihat. Ya, ini sudah tidak salah lagi, wanita itu adalah ibu kandung dari Alya.
“Tante?” sapa Hendra perlahan.
“Ya, bisa saya bantu?” Sapa Mama Diana ramah.
“Tante ini bukannya mamanya Alya, ya?” Hendra langsung bertanya pada Mama Diana. Dan jelas saja Mama Diana pun terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari Hendra.
“Saya teman Alya saat SMA, Tante. Tante masih ingat? Saya Hendra. Saya yang pernah mengajak Alya pergi waktu itu.” Jelas Hendra semangat. Sedangkan Selly hanya diam memandangi percakapan antara kekasihnya dengan Mama Diana.
“Oh… ya Tante ingat sekarang.”
“Jadi benar dugaan gue sekarang kalau Diana itu sebenernya Alya kan?” Kini dengan frontalnya Hendra mengucapkan dan memvonis bahwa Diana itu adalah Alya.
“Apa Diana itu Alya?!” Kini giliran Selly yang terkejut dengan kefrontalan kekasihnya tersebut.
Dengan tenang, Mama Diana menyuruh Hendra dan Selly menaiki atap rumahnya. Dan dari sinilah Hendra mengetahui bahwa sebenarnya Alya masih hidup, semua yang terjadi dulu hanya rekayasa keluarga besar dari pihak Papa Alya saja.
“Jadi selama ini Alya selalu di dekat kita?” Tanya Hendra masih shock dengan apa yang ia dengar.
“Sekarang Diana… maksud Hendra, Alya di mana Tante?”
“Sudah tiga hari ini, Alya ikut kompotisi melukis di Jepang. Tante saja heran kenapa sampai sekarang dia belum menghubungi Tante, padahal Tante sudah pesan kalau dia sudah sampe di sana harus segera menghubungi Tante.” Jelas mama Diana.
“Mungkin dia sibuk, Te. Syukur deh akhirnya kita bisa dapet jawaban atas rasa penasaran kita selama ini.” Ucap Selly lega dan tidak perlu merasakan rasa bersalah terus menerus.
“Ya udah, Te. Hendra sama Selly permisi pulang dulu.” Pamit Hendra.