Love 3

3482 Kata
Gadis itu mendorong kursi rodanya dengan pelan. Matanya menatap lurus koridor yang dilaluinya. Di pangkuannya terdapat beberapa buku paket yang akan di pelajarinya hari ini. Saat hendak menggapai daun pintu kelasnya, tiba-tiba Selly muncul di hadapannya dengan wajah yang memunculkan seringaian lebar. “Eh, si kaki roda udah dateng nih!” Seru Selly pada teman-temannya. Tak lama, Selly beserta teman-teman geng-nya pun tertawa keras. “Iya nih, ternyata dia cepet juga ya datengnya…!” timpal Anti, anggota Gank Selly yang memiliki postur tubuh yang krempeng. “Ternyata kaki rodanya cepet juga ya. Haha…” Ejek Dea sambil berkacak pinggang. “Kalian kenapa sih selalu gangguin aku?” tanya gadis itu sambil berusaha untuk menahan tangisnya agar tidak jatuh. “Eh, Alya, denger ya! Dengan keadaan elo yang lumpuh gitu elo gak pantes sekolah di sini. Elo itu pantesnya sekolah di sekolah yang sama dengan orang-orang cacat lainnya! Kayak elo.” Ejek Selly sambil menekan dahi Alya dengan telunjuknya. “Emangnya kakiku yang lumpuh ini bisa di jadiin alasan kenapa aku gak boleh sekolah di sini? Kamu salah besar Sel. Walaupun kaki aku gak bisa bergerak kayak kalian, tapi aku sama sekali gak cacat!” Alya menekankan kata cacat di dalam kalimatnya. “Alya, elo ngaca dong. Di sekolah ini cuma elo doang yang cacat! Mestinya elo sadar diri dong. Bisa turun kualitas sekolah ini kalo punya murid cacat kayak elo. Bisa-bisa nih sekolah langsung berubah jadi panti anak-anak cacat pula. Haha ...” Tawa Selly yang langsung diikuti kedua temannya. “Kamu kenapa jahat banget sih sama aku Sel? Salah aku apa sama kamu?” Selly memajukan badannya dan menatap Alya lekat-lekat. “Elo nanya apa salah lo sama gue? Haha ... banyak Alya! Salah elo sama gue itu banyak Alya!!” “Kalau maksud kamu itu karena aku menang di lomba melukis. Aku bener-bener gak tau Sel kenapa aku bisa menang. Sumpah Sel, aku juga kaget saat juri bilang kalo aku menang.” “Alah, pede banget sih elo! Udah deh gak usah banyak bacot, males gue dengerin elo ngebacot kayak gitu! Yuk De, Ti, kita mending pergi aja. Ntar bisa-bisa mata gue sakit kalo ngeliatin si cacat ini.” Selly melangkah dengan angkuhnya saat melewati Alya. Anti dan Dea mengekor di belakang Selly. *** Alya menatap nanar lukisan yang tergantung di dinding kamarnya dari balik matanya yang berkabut. Dia tidak dapat lagi menahan air matanya untuk jatuh. Di sekolah dia masih bisa menahanny. Tapi saat di rumah, dia menumpahkan seluruh air mata yang selalu dia tahan saat berada di sekolah. Alya menundukkan kepalanya dan menumpahkan tangisnya di dalam genggaman tangannya. Dulu dia sangat menyukai lukisan itu, bahkan bangga telah melukisnya. Lukisan itu adalah lukisan pertamanya yang mendapat penghargaan karena berhasil memenangkan lomba melukis di sekolahnya. Alya sempat tidak yakin kalau lukisannya akan menang, karena lukisan-lukisan dari para peserta yang lain lebih bagus dari lukisannya. Dalam lomba itu Alya bersaing ketat dengan Selly. Tapi, ternyata lukisan Alya-lah yang berhasil menjadi juara pertama. Karena itulah Selly membenci Alya. Karena baru kali ini Selly kalah dalam lomba melukis. Lukisan karya Alya terlihat sangat nyata. Gunung yang menjulang tinggi, sawah yang terhampar luas dan hijau, semuanya terlihat begitu menakjubkan. Benar-benar terlihat seperti hidup dan begitu asli. Alya sangat senang saat dirinya di nyatakan sebagai pemenang. Tak pernah terlintas di pikirannya akan keluar sebagai pemenang. Karena banyak lukisan yang menurutnya lebih bagus dari lukisan miliknya. Saat Alya menerima trofi atas karyanya, Alya tidak pernah tau ada sepasang mata yang menatapnya dengan sinis. Sepasang mata itu adalah sepasang mata milik Selly. Sellylna Hanisfa Praya. Anak dari salah satu donatur yang menyumbangkan dengan biaya yang lumayan besar untuk pembangunan di SMA Majasriya. Selly merasa dirinya adalah penguasa di SMA Majasriya karena keluarganya banyak menyumbang untuk sekolah tersebut. Selly tidak bisa menerima kalau Alya memenangkan perlombaan tersebut. Sebenarnya dia bisa menerima kekalahannya, karena dia tau di setiap pertandingan pasti ada yang kalah dan yang menang. Tapi Selly tidak bisa menerima kalau dia di kalahkan oleh seseorang yang cacat seperti Alya. Orang yang hanya bisa duduk di kursi roda. Seseorang yang lumpuh yang menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakinya. Kekalahan yang dia terima sungguh tidak berkelas baginya. Alya masih ingat saat itu Selly menabraknya dengan sengaja sehingga di hampir terjatuh dari kursi rodanya. Bukannya minta maaf, Selly malah memandang Alya dengan pandangan mengejek dan merendahkan. Tatapannya sangat menyiksa batin Alya saat itu. “Cewek cacat kayak elo gak pantes menang di lomba bergengsi kayak gini.” Desis Selly saat melintas di samping Alya. Sejak saat itulah Alya harus menerima berbagai gangguan dan intimidasi dari Selly dan teman-temannya. Saat jam pelajaran di kelas, Alya selalu kehilangan peralatan tulisnya. Entah itu pena, pensil, mistar, ataupun penghapus. Bahkan Selly juga pernah menggantung seragam olahraga Alya di pohon yang lumayan tinggi. Bagi orang yang dapat menggerakkan kakinya, itu sangatlah tidak sulit. Tapi bagi Alya yang lumpuh, itu sangatlah sulit. Dia tidak mungkin dapat dengan mudah mengambil seragamnya dengan keadaannya yang seperti itu. Kalau Alya mau, sebenarnya dia diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga. Guru olahraganya sangat memaklumi kondisi Alya yang sedikit berbeda itu. Tapi bukan Alya namanya kalau memanfaatkan kondisinya dan menjadi manja pada orang-orang di sekitarnya. Dia ingin menggerakkan sedikit badannya dengan berolahraga selagi dia mampu melakukannya. Melihat hal itu, Selly dan kedua temannya semakin bersemangat memberi pelajaran pada Alya. Selly bahkan pernah dengan sengaja melempari Alya dengan bola voli yang dia pegang saat Alya kebetulan melintasi lapangan voli. Akibatnya, kursi roda Alya pun oleng, dan Alya terjatuh di atas kerasnya lapangan voli tersebut. “Ups! Sori, gue gak sengaja…” Sahut Selly saat itu dengan wajah tak bersalah. Alya selalu bersabar menerima gangguan dan intimidasi dari Selly. Walaupun Selly sering berbuat jahat padanya, Alya tidak pernah sekali pun membenci Selly, bahkan dendam sedikit pun tidak. Banyaknya aksi kejahatan yang diterima Alya, tapi Alya tidak pernah sekali pun melaporkan Selly dan kedua temannya pada salah satu dewan guru di sekolahnya. Bukan karena takut, tapi Alya tidak mau kalau Mamanya harus dipanggil ke sekolah karena masalah yang menimpanya. Di dunia ini Alya cuma memiliki Mamanya. Papanya sudah meninggal tepat pada saat Alya harus menerima kenyataan kalau dia lumpuh. Alya sebisa mungkin harus tegar menghadapi cobaan yang datang pada saat yang bersamaan itu. Sejak Papanya meninggal, Mama Alya-lah yang harus membanting tulang untuk menghidupinya dan menyekolahkannya. Beasiswa yang ia terima saat ini sangat membantu perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Mama Alya melihat ada bakat terpendam di dunia lukis dalam diri Alya saat Alya menginjak bangku SMP. Sang Mama pun kemudian mengusulkan untuk membelikan Alya alat-alat melukis. Tentu saja Alya menolak. Dia sangat tahu begitu banyaknya uang yang harus di keluarkan untuk membeli peralatan melukis tersebut. Tapi akhirnya Alya setuju, karena dia tidak ingin melihat wanita yang begitu disayangnya itu kecewa. Uang yang di terima Alya saat memenangkan lomba lukis di sekolahnya tempo hari, dia berikan untuk sang Mama. Tapi, Mamanya tidak sepeser pun menggunakan uang hasil jerih payah Alya tersebut. Dia lebih memilih untuk menyimpan uang tersebut untuk keperluan Alya di masa mendatang. Lagi-lagi Alya menumpahkan air matanya setiap kali mengingat semua kejadian yang pernah dialami olehnya. Mulai dari kakinya yang lumpuh, Papanya kembali ke Sang Pencipta, serta berbagai gangguan Selly di sekolah. Alya tidak pernah sekali pun menyalahi takdirnya. Dia selalu menerima semua yang terjadi pada dirinya dengan lapang d**a. Dia hanya sedih karena harus menjalani kehidupan yang selalu di rundung kesedihan yang tidak pernah berhenti muncul di hari-harinya. *** Reza duduk di atas ayunan di halaman belakang rumahnya. Tangan kirinya menggenggam erat kalung berbandulkan matahari yang melingkar di lehernya. Kalung kenangan antara dirinya dan Alina. Kalung yang dulu dia berikan sebelum Alina meninggalkannya ke tempat yang jauh dan sama sekali tidak ia ketahui. Reza sangat menyukai semua ekspresi di wajah Alina. Saat Alina marah, tertawa, tersenyum, ngambek dan saat Alina berusaha menahan tangisnya. Alina tidak pernah menangis di hadapan Reza. Karena itulah Reza sangat penasaran dengan ekspresi Alina kalau gadis itu menangis. Alina adalah wanita yang selalu menunjukkan wajah ceria. Saat dia jatuh dari sepeda, dia sama sekali tidak menangis. Padahal saat itu lututnya terluka dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Reza tidak pernah sekalipun mendapati Alina yang sedang menangis. Alina adalah wanita yang lembut dan terlihat kuat walaupun pada saat itu dia sedang sedih. “Alina, gue kangen sama elo. Elo sekarang ada dimana? Apa elo masih inget sama gue? Sama janji kita? Gue selalu inget sama elo, Al. Sama janji kita. Gue gak akan pernah lupain semua tentang elo.” *** Reza memejamkan matanya sambil menikmati lantunan melodi-melodi yang dia mainkan. Jari-jarinya menari dengan indah di atas tuts-tuts berwarna hitam dan putih tersebut. Hatinya terasa tentram saat memainkan piano. Reza melampiaskan rasa rindunya melalui lantunan-lantunan indah yang dia timbulkan. Tiba-tiba Reza merasakan seseorang tengah memeluknya erat dari belakang. Reza langsung membuka matanya dan mengubah posisi duduknya untuk melihat orang yang sekarang tengah memeluknya. “Selly?” tanya Reza kaget saat melihat Selly yang tengah memeluknya erat. “Lepasin…” seru Reza sambil berusaha melepaskan rangkulan Selly. Selly langsung menunjukkan ekspresi cemberutnya pada Reza saat cowok itu menatapnya dengan tatapan emosi. “Iihh… kok elo gitu sih sayang? Gak pernah deh elo lembut sama gue. Padahal sama cewek-cewek yang lain elo bisa bersikap manis. Sedangkan sama gue…” Selly menggantungkan kalimatnya sambil mengangkat bahunya. “Ngapain juga gue mesti bersikap manis sama elo? Cewek lenje kayak elo emang gak pantes dapet sikap yang manis!” Ujar Reza ketus sambil menunjuk wajah Selly. “Ih, Reza jahat deh...” sahut Selly dengan suara manja. “Jangan kasar-kasar dong sama aku. Nanti aku bisa tambah sayang sama kamu Reza-ku sayang…” “Sayang? Kepala lo peyang! Udah deh mending elo keluar dari ruangan ini sebelum mood gue bener-bener berubah jadi jelek dan gue bersikap kasar sama elo!” ancam Reza dengan mata melotot. Dasar nih cewek, gangguin mood gue aja! Lama-lama bisa tua nih gue karena liat tampang lenje dia. Batin Reza kesal. Selly tertawa kecil melihat tampang Reza yang sangat menggemaskan baginya itu. Tanpa aba-aba lagi Selly langsung mencubit kedua pipi Reza. “Ih, lo tambah imut deh kalo lagi marah. Tau gak? Gue itu suka banget tampang elo kalo lagi marah. Ngegemesin.” Bisik Selly sambil menatap lurus mata Reza. “Imut lo bilang? Lo kira gue ini boneka yang bisa lo mainin karena imut? Dasar cewek gila!” maki Reza dan langsung menghempaskan tangan Selly dengan kasar. “Lo bukan boneka kok Za, lo itu pangeran di hati gue.” “Pangeran lo? Terus elo jadi putri buat gue gitu?” tanya Reza dengan malas. Selly mengangguk antusias saat Reza bertanya. “Semua cewek di sekolah ini juga selalu berharap bisa jadi putri di hati elo, Reza.” “Semua cewek itu gue bolehin buat berharap sama gue. Tapi kalo elo… gue gak mau elo ngarep-ngarep sama gue. Elo itu terlalu bahaya buat gue! Lagian kenapa sih elo itu suka banget, ya, deket-deketin gue? Udah tau gue sering nyuruh elo buat jauh-jauh. Eh, elo malah semakin ngedeketin gue. Gak capek apa lo? Kalo gue jadi elo, gue udah capek setengah mati.” “Reza, asal lo tau, walaupun di dunia ini banyak cowok yang ngejar-ngejar gue, lebih ganteng dari lo, gue gak akan pernah berpaling dari elo. Karena gue cintanya sama elo seorang. Gak ada yang bisa gantiin elo di hati gue. You’re so special, Za. Walaupun elo selalu ngejauh dari gue, gue gak akan jauh dari lo. Karena gue jatuh cinta sama elo, Za. Cinta gue ini tulus buat elo.” ucap Selly sungguh-sungguh. Bukannya senang apalagi terharu, Reza malah semakin ngeri mendengar perkataan Selly barusan. “Mending elo gak usah terlalu banyak ngarepin gue deh. Karena di hati gue cuma terukir nama satu cewek. Dan cewek itu bukan elo. Jadi jangan mimpi deh!” Selly terlihat sedih saat mendengar bahwa di hati Reza sudah terukir nama cewek lain. “Kenapa lo gak lupain tuh cewek? Kenapa lo gak berpaling buat gue? Siapa cewek itu, Za?” “Ngapain sih elo nanya-nanya? Gak penting juga kan elo tau siapa tuh cewek. Mending sekarang lo pergi sebelum gue bener-bener bersikap kasar sama elo!” “Oke! Gue bakalan pergi. Tapi gue gak akan nyerah buat dapetin elo Za. Ingat itu baik-baik!” *** Hendra berdiri di depan pintu ruang lukis di sekolahnya. Dia ragu-ragu untuk masuk ke dalamnya. Tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. “Bismillah...” ucapnya sebelum memutar handle pintu tersebut. Senyum merekah di bibir Hendra langsung terukir begitu melihat seseorang yang saat ini menjadi alasannya untuk masuk ke ruang melukis tersebut. Perlahan-lahan Hendra mendekati gadis yang sedang duduk memunggunginya itu. “Alya,” Panggil Hendra pelan. Mendengar namanya di panggil, Alya pun menoleh ke belakang. Alya melemparkan senyumannya saat melihat Hendra sedang berdiri di depannya dengan senyum yang terukir sempurna. “Eh kamu, Ndra. Aku kira siapa. Ngapain kamu kesini, Ndra?” tanya Alya ramah. “Ehm… ini loh... ehm... Kebetulan tadi gue lewat sini, terus liat ada elo di dalem, jadi gue masuk deh.” Jawab Hendra dengan sedikit gugup. “Oh, aku kira karena kamu mau liatin aku ngelukis. Hehe… aku kege-eran banget, ya?” canda Alya sambil tertawa pelan. Alasan gue yang sebenernya emang buat ngeliatin elo, Al… Batin Hendra. Alya kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti karena kehadiran Hendra. Saat Alya menarikan kuasnya di atas kanvasnya dengan lincah, Hendra semakin kagum pada sosok yang ada di depannya itu. Hendra sudah lama menyukai Alya. Bahkan sejak hari pertama MOS diadakan. Hendra tidak memperdulikan fisik Alya yang memang tidak sama dengan yang lainnya. Dia menyukai Alya karena gadis itu memiliki hati yang benar-benar suci, bahkan bidadari-bidadari yang ada di surga kalah dengan kesucian hati Alya. Alya sangat bersemangat dalam menjalani semua kegiatannya. Hal itulah yang membuat Hendra semakin menyukai Alya. Banyak hal-hal positif yang dia temukan dalam diri Alya. Karena Alya-lah Hendra jadi lebih bersemangat pergi ke sekolah. Padahal dulu dia sangat malas pergi ke sekolah. Tapi itu semua tidak berlaku lagi semenjak dia mengenal Alya. Hendra sudah lama ingin menyatakan perasaannya pada Alya. Selama ini Hendra sering memantau keseharian Alya dari jauh. Dari pemantauannya Hendra jadi tau kalau Alya hanya tinggal berdua dengan Ibunya. Alya sering melukis, dan lukisan Alya sangat indah. Dan yang paling membahagiakan adalah sampai sekarang Alya tidak pernah punya pacar. Karena itulah Hendra semakin mudah untuk mendekati Alya. Hendra tahu betul seperti apa Alya di mata cowok-cowok di sekolahnya. Kurang lebih mereka mempunyai pikiran yang sama dengannya. Hendra juga tahu kalau banyak laki-laki yang mengagumi Alya. Tapi tak satu pun dari mereka yang berani mengatakannya pada Alya. Begitu juga Hendra. Sebenarnya alasan Hendra menemui Alya saat ini juga karena ingin mengatakan sesuatu pada Alya. Sesuatu yang akhirnya ingin dia ungkapkan setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya sebagai seorang pria. “Eh, Al. Sabtu depan elo ada acara gak?” tanya Hendra dengan jelas. Alya berbalik badan dan menatap Hendra dengan kening mengkerut. “Gak ada, emang kenapa Ndra?” “Jalan yuk.” ajak Hendra bersemangat. “Ha, jalan?” tanya Alya tak percaya. “Iya, jalan. Mau gak? Masa elo gak mau sih refreshing dikit aja? Setiap hari gue perhatiin elo itu selalu bergelut dengan lukisan lo. Sekali-sekali lo itu harus keluar dari galeri lo supaya sedikit rileks.” Alya terdiam meresapi kata-kata Hendra. Hendra memang benar. Dia hampir tidak pernah keluar dari rumahnya, selain pergi ke sekolah. Alya memang malas untuk keluar dari rumahnya setelah kakinya lumpuh. “Mau gak Al?” Tanya Hendra lagi. Alya masih terdiam memikirkan ajakan Hendra. Kemudian dia menatap Hendra sambil tersenyum dan kemudian mengangguk. “Oke, Sabtu depan, kan? Insyaallah aku mau jalan sama kamu.” Jawab Alya. “Beneran?” Tanya Hendra tak percaya. “Iya.” jawab Alya singkat. “Makasih Al. Sampai ketemu Sabtu depan ya?” Hendra kemudian keluar dari ruang melukis dengan bibir yang tak pernah berhenti untuk tersenyum. *** “Reza!!!” Teriak Hendra sambil berlari-lari di koridor depan kelasnya. “Woi, ngapain lo teriak-teriak manggil nama gue?” Tanya Reza saat Hendra langsung menghempaskan tubuhnya di atas kursinya yang berada di samping Reza. “Gue ada kabar baik.” Sahut Hendra dengan tersenyum bahagia. “Kabar baik apa? Lo di terima Selly? Wah selamat ya, akhirnya gue bisa terbebas dari nenek lampir itu.” Sahut Reza antusias sambil menyalami tangan Hendra dengan penuh semangat. “Bukan itu b**o!” Sahut Hendra sambil menjitak pelan puncak kepala Reza. Reza meringis kecil saat Hendra mendaratkan sebuah jitakan di kepalanya. “Lagian gue juga gak minat sama tuh nenek lampir.” Hendra ikut-ikut memanggil Selly dengan sebutan nenek lampir. “Jadi apa dong yang buat elo jadi seneng banget kayak gini?” tanya Reza bingung. “Lo tau kan cewek yang waktu itu gue ceritain sama lo?” Reza menggelengkan kepalanya. “Enggak, emangnya kapan elo cerita tentang cewek sama gue?” “Elo gak tau? Yaudah sini gue ceritain sama elo.” Reza sedikit mendekatkan tubuhnya pada Hendra untuk mendengarkan cerita Hendra. “Alhamdulillah, akhirnya temen gue bisa juga suka sama cewek.” Gumam Reza pelan. “Namanya Alya, dia anak XI IPA 4, satu kelas sama Selly.” Mendengar nama Selly di sebut ekspresi wajah Reza langsung berubah. “Bisa gak sih elo gak nyebutin nama tuh cewek lenje?” “Udah ah, lagian gue gak bahas tuh cewek, gue mau bahas tentang cewek yang gue suka.” Sahut Hendra. “Ya udah, lanjut!” “Gue suka sama dia sejak pertama kali gue lihat dia pada hari pertama MOS. Dia gadis yang baik, penuh canda tawa dan gak pernah sedikit pun mengeluh. Dia gadis yang sangat cantik yang pernah gue temui selama hidup gue. Gak pernah sebelumnya gue nemuin cewek secantik dan sebaik dia. Karena dialah gue berubah, gue rajin belajar dan berusaha untuk gak ngeluh pada keadaan. Gue sangat mencintai dia, menyayanginya, dan gue bertekad buat selalu jagain Alya. “Alya gadis yang periang. Gue gak pernah lihat dia nangis sekali pun. Dia selalu memperlihatkan senyum yang selalu terukir di wajahnya. Dia selalu ramah pada setiap orang. Dan gue sangat yakin kalau orang-orang di sekitarnya akan merasa senang kalau ada Alya di dekat mereka. Karena itulah yang gue rasain saat berada di dekat Alya. Jantung gue berdetak cepat banget, darah gue mengalir deras. Cuma sama dia gue ngerasain yang kayak gini.” Reza melihat keseriusan di wajah Hendra, jadi dia sangat yakin kalau Hendra benar-benar mencintai Alya. Tapi, Reza benar-benar tidak tahu seperti apa wajah Alya. Apakah benar-benar sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Hendra melalui kata-katanya atau tidak. “Ndra, gue bisa liat dari mata lo kalo elo bener-bener tulus cinta sama Alya.” “Lebih dari itu, Za. Gue bener-bener amat sangat tulus mencintai Alya.” Tambah Hendra dengan antusias. “By the way, gue bisa tau gak seperti apa cewek yang elo suka itu?” tanya Reza penasaran. Hendra mengangguk dengan penuh semangat. “Ikut gue.” Reza berjalan di samping Hendra mengikuti kangkah kaki cowok itu untuk melihat Alya, gadis yang di sukai Hendra. Reza menghentikan langkahnya saat melihat Hendra menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu ruang lukis. “Itu Alya…” seru Hendra sambil menunjuk ke dalam ruangan tersebut. Reza melongokkan sedikit kepalanya dari balik kaca pintu ruang lukis tersebut. Dari tempatnya berdiri kini Reza dapat melihat secara jelas isi ruang lukis tersebut. Kemudian matanya menangkap sosok yang ada di samping kiri ruangan tersebut. Reza melihat seorang gadis yang rambutnya dikuncir sebagian tengah duduk di depan sebuah kanvas. Reza tidak dapat melihat dengan jelas wajah gadis tersebut karena wajahnya tertutup kanvas. Tiba-tiba mata Reza menatap sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Reza menatap Hendra dengan tatapan tak percaya. “Ndra, dia…” “Iya, Za, dia lumpuh.” Jawab Hendra sebelum Reza menuntaskan ucapannya. Reza menatap gadis itu sekali lagi dan memperhatikan kondisi fisik gadis itu. Yang Reza lihat, gadis itu memiliki tubuh yang ramping, rambutnya lurus dan sedikit kecoklatan, kulitnya putih mulus, dan sepertinya gadis itu memiliki tinggi yang tidak jauh beda dengan Selly. “Karena itulah gue suka sama dia Za.” Bisik Hendra lirih. Reza menatap sahabatnya itu dengan tidak mengerti. “Maksud lo?” “Gue menyukai dia yang seperti itu Za, gak perduli walaupun dia lumpuh, gue gak perduli itu. Gue bangga bisa cinta sama dia Za, dia adalah gadis terbaik yang pernah gue temui. Walaupun kondisinya seperti itu, dia gak pernah sedikit pun mengeluh Za. Karena itulah gue semakin yakin kalo gue mencintai orang yang tepat. Gue mencintai dia dari dasar hati gue. Gue gak perduli meskipun dia itu cacat atau normal. Yang pasti gue mencintai dia karena kebaikannya. Karena hatinya begitu cantik, secantik wajahnya.” Reza menatap Hendra dengan kagum. Dia tidak menyangka sahabatnya itu begitu tulus mencintai Alya walaupun dengan kondisi yang seperti itu. Reza merasa bangga bisa berteman dengan Hendra yang memiliki hati dan jiwa yang tulus. “Terusin perjuangan elo, Ndra. Gue yakin tuh cewek emang yang terbaik buat elo.” Reza menyemangati Hendra sambil menepuk pelan bahunya. “Thanks, Za.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN