Pemodus Handal

1563 Kata
Dieter menekan bel pintu, menanti dengan sabar sembari memandangi pintu yang menjulang di depan mukanya. Pintu rumah Thea. Apa sih yang sebenarnya dia lakukan sekarang? Padahal dia sudah berjanji untuk menjaga jarak dari Thea, tapi memang dasarnya si petarung dan penakluk. Setelah menaruh tas periksanya, dia malah kembali kemari. Memperlihatkan seberapa ingusan dirinya ketika sedang dibutakan oleh panah asmara. Cukup lama bagi Dieter menanti, dan tidak ada tanda-tanda pintu tersebut akan dibuka. Apakah Thea sudah tidur di dalam sana? Ketika pertanyaan itu muncul ke permukaan Dieter nyaris hendak balik badan. Tapi sebelum melangkah, dia mendengar pintu terbuka. Thea berdiri di situ, telah berganti pakaian dengan sesuatu yang lebih santai. Dia jelas-jelas terkejut melihat keberadaan Dieter di depan pintu rumahnya setelah situasi yang mereka lewati beberapa saat yang lalu. “Dokter Dieter, ada perlu apa?” Untuk menutupi keterkejutan dan rasa gugup, Dieter tidak punya pilihan selain menjawabnya secara spontan sesuai dengan apa yang terlintas di dalam benaknya. “Aku kemari, barangkali kamu punya gula?” Kedua mata Thea yang semula menatapnya curiga makin tajam saja. “Gula?” “Ya, gula.” Dieter susah payah memutar otak untuk menghindari tatapan tajam mengintimidasi yang dilontarkan oleh Thea kepadanya. Dia tahu bahwa dia baru saja salah strategi dan sekarang dia makin kesulitan mencari alasan yang masuk akal. “Aku perlu gula.” Otaknya mendadak kelu, dia tidak bisa memikirkan hal lain ketika ditatap sedemikian intens oleh Thea. Dari gelagatnya Dieter yakin bahwa perempuan itu sama sekali tidak percaya. Dia tidak mudah ditipu oleh sebuah modus sederhana. “Kalau begitu mana wadahnya?” kata Thea sambil mengulurkan tangan ke arah Dieter. Pintu tempat tinggalnya hanya terbuka sedikit untuk memberikan akses tangannya keluar dan posisi perempuan itu lebih seperti mengintip. Mengindikasikan seberapa besar ketidakinginan Thea untuk mengajaknya masuk. “Wadah apa?” Sejenak Dieter mengira bahwa dia melihat ada senyuman samar yang tampak mengejek dari bibir Thea. “Wadah untuk gula, dokter Dieter. Bukankah kamu kemari untuk meminta itu dari saya?” Dieter hanya bisa tersenyum pasrah, dia jelas telah kalah telak dan dari sini Dieter mungkin harus belajar mencari alasan yang lebih masuk akal untuk terlibat dengannya. “Aku pembohong yang payah, ya?” tanyanya yang lebih seperti pengakuan dosa. “Memang. Kamu tidak pandai melakukannya. Tapi mencela dirimu sendiri juga bukan hal baik,” ujar Thea pelan, senyum sedih membayang di wajahnya. “Saya tidak pernah terkesan kepada seorang pria yang lihai berbohong.” Sejenak Dieter tertegun. Ucapan tadi sepertinya merujuk pada oranglain, dan Dieter berpikir bahwa ucapan Thea merujuk kepada ayahnya Teddy. Sebab dari nada bicaranya Dieter merasakan perasaan yang begitu miris yang acap kali terjadi setiap kali dia memikirkan dan menduga-duga apa yang telah menimpa Thea. “Begini ….” Senyum Dieter hadirkan agar suasana tidak begitu muram, tapi senyuman itu tampaknya tidak cukup kuat sehingga seiring waktu Dieter menatap kedua mata kelam perempuan di hadapannya, senyuman yang dia kuatkan semakin memudar. Kedua matanya begitu menakjubkan dan membuat Dieter tenggelam di dalamnya. “Jujur saja, aku tidak tahu sedang apa aku disini. Aku juga tahu betul kalau seharusnya aku tidak berada disini. Hanya saja tubuhku bergerak sendiri kemari, dan aku tidak tahan untuk menekan belmu. Maaf karena sudah berbohong.” Dieter mendesah dan memejamkan matanya barang sejenak untuk sedikit melarikan diri dari intimidasi yang terpancar dari kedua mata Thea untuk sementara. Tapi ketika dia membuka mata, Dieter masih mendapati tatapan penuh kewaspadaan yang tidak kunjung menghilang dari kedua mata Thea. Begitu jernih, fokus, sekaligus tajam. “Kalau begitu, kenapa kamu berada disini?” “Karena aku tidak tahan ingin bertemu denganmu. Ah—maksudku aku ingin memastikan keadaan Teddy baik-baik saja dan juga kamu.” “Kamu baik sekali, tapi dia baik-baik saja dan sekarang sudah tidur.” “Itu bagus!” Suara Dieter yang riang secara berlebihan langsung dia tutupi secepat kilat. Dia berdehem sekali. “Maksudku, syukurlah,” ujar Dieter yang dimaksudkan untuk meralat perkataan sebelumnya. Dia berdiri canggung di ambang pintu, mencoba mengingatkan dirinya sendiri bahwa Thea bukanlah wanita biasa. Dia adalah seorang wanita tangguh, orangtua tunggal yang sudah memiliki anak. Dia tidak boleh bermain api dengan seorang ibu tunggal. Terutama dengan seseorang yang selembut dan serapuh Thea. Di titik ini diam-diam dia membenarkan perkataan semua orang kepadanya. “Ngomong-ngomong bagaimana keadaanmu?” “Baik,” sahut Thea cepat, meski sekali pandang kea rah bayangan hitam di bawah matanya memberitahu Dieter bahwa perempuan itu sedang mencoba membohonginya. “Apa kamu sudah makan malam?” Dieter tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Seolah otak dan perasaannya bekerja sendiri-sendiri dan tidak sinkron untuk mengatur dirinya sendiri. Apa yang baru saja Dieter lakukan? Menjauhlah dari dia Dieter! Jangan ganggu wanita itu! Banyak kata larangan terlontar di kepala. Peringatan keras yang menggema untuk menghentikan setiap upaya yang hendak Dieter lakukan secara spontan. Hasilnya? Dieter mengabaikan seluruh peringatan itu begitu saja bagai angin lalu. “Aku jago masak, lho,” lanjutnya sambil tersenyum lima jari. Thea menaikan sebelah alisnya. “Saya tidak lapar,” katanya sambil menarik kenop pintu tapi, Dieter dengan cekatan dan refleks menghentikan aksi Thea dengan tangannya. Mencegah wanita itu menutup pintu dan mengakhiri pertemuan diantara mereka yang sudah susah payah Dieter adakan. “Kamu harus makan,” ujar Dieter parau, bersusah payah menahan daun pintu agar tetap terbuka. “Lepaskan pintu saya, dokter Dieter,” timpal Thea yang masih mencoba menutup pintunya. Adegan tarik menarik pintu malah semakin sengit, dan di satu titik Dieter berhasil membuka paksa pintu tersebut hingga terbuka lebar. Bahkan sekalian menarik Thea keluar dari zonanya, dia mendapati gambaran tubuh Thea secara utuh. Wanita itu mengenakan pakaian santai berupa gaun tidur dibawah lutut. Dieter bersumpah bahwa wanita itu sangatlah cantik luar biasa. Dia tercengang. “Apa yang kamu lakukan?!” Thea kembali ke posisi semula, tapi kini Dieter jauh lebih cekatan. Dia benar-benar memblokade pergerakan Thea dengan tubuhnya. Anggap saja Dieter sudah gila hanya karena melihat penampilan Thea. Tapi apa mau dikata, tubuh Thea yang mungil dan dibalut dengan gaun tidur santai seperti itu sangatlah menggemaskan. Dieter tidak tahan. Dia tentu tidak akan membuat kesempatan langka ini berlalu begitu saja. “Beri aku waktu lima menit saja untuk membuatkanmu makanan. Aku akan memasakan sesuatu untukmu.” “Apa ini permainan dokter Dieter? Tentunya kamu memiliki sesuatu yang lebih menarik untuk dilakukan malam ini dari pada berpura-pura menjadi koki di dapurku, ya kan, dokter Dieter?” Lihat tatapan nyalang dan nada suara angkuh yang begitu kepercayaan diri itu. Aura mahal yang terpancar dari Thea sekarang benar-benar memabukan buat Dieter. “Aku tidak sedang melakukan apa-apa,” dusta Dieter . “Kamu suka pasta?” Thea menelengkan kepalanya, dan Dieter seketika itu langsung tahu bahwa Thea juga sedang mendustainya. Dia pastinya sedang mencari motif tersembunyi dari seluruh tindakan tidak masuk akal yang sedang Dieter usahakan untuk mereka. Ya, dia tahu itu. Dieter tidak pernah merasa sepayah ini mendekati seorang perempuan. “Cuma pasta saja kok,” ujarnya buru-buru menjaga jarak dan sadar bahwa dia sedari tadi memerangkap Thea dengan badannya. Merasa bersalah dia segera mengangkat kedua tangan dan membiarkan Thea bergerak menuju zona amannya. “Sumpah demi Tuhan, aku tidak punya niat buruk dan juga motif tersembunyi. Aku murni menawarkan makanan.” Untuk menambah kepercayaan dari Thea Dieter secara spontan mengangkat satu tangan dan membuat tanda ‘V’ dengan jari telunjuk dan tengahnya. “Kamu percaya padaku kan?” ujar Dieter kali ini dia benar-benar gelagapan sendiri. Tidak disangka Thea tertawa. Suaranya terdengar begitu ceria dan menyenangkan untuk didengar membuat seluruh kegugupan dan rasa takut yang ada pada diri Dieter meluruh seketika. “Kamu benar-benar terlihat konyol.” Dia memandangi Dieter sejenak, lalu kemudian suara tawanya memudar begitu pula dengan senyumannya. Dia kembali menjadi Thea yang dia kenal. “Kenapa kamu ingin memasak sesuatu untuk saya? Lagipula saya tidak punya sesuatu seperti itu di dapur rumah ini.” “Aku akan memamerkan kepiawaianku dalam memasak, aku bisa membuat apa saja dari bahan yang kau punya,” ujarnya seraya mengedipkan sebelah mata. “Percayalah kamu pasti akan terkesan dengan hasilnya. Ini hasil pengajaran dari mendiang ibuku.” Thea tersenyum simpul, meski begitu dia masih tampak ragu-ragu. Dieter kembali maju, memanfaatkan keraguan itu untuk mendapatkan apa yang dia mau. “Ayolah, kamu tidak akan kecewa dengan hasilnya,” desak pemuda itu lagi. “Kapan lagi kamu mendapatkan kesempatan seperti ini? aku menawarkan diri untuk menyajikan makanan terenak dan kau bisa menyaksikan aku memasak di hadapanmu jika kamu ragu aku berbuat aneh-aneh.” “Baiklah,” sahut Thea akhirnya, matanya menatap kepada Dieter dengan penuh kewaspadaan. “Kamu saya terima masuk, karena kamu adalah putranya dokter Gustav. Ini bentuk dari penghargaan saya kepada beliau,” lanjut Thea seolah ingin memberitahukan kepada Dieter bila bukan karena dia anak dari pemilik rumah sakit dia tidak akan mendapatkan privilege untuk memasuki rumah Thea. Tapi mendengar hal itu Dieter justru menyeringai. Dia berpikir bahwa ini adalah langkah awal. Dia tidak mengira akan sesenang ini hanya karena diperbolehkan masuk untuk sekadar memasak. “Kamu tidak akan menyesal. Beri aku waktu beberapa menit untuk menjarah isi kulkasmu.” Dieter berbalik dan langsung melesat menuju ke dapur. Menyambar sebuah apron dan mengenakannya. Dengan serius dan cekatan mulai mencari bahan untuk membuat sesuatu. Sementara Thea hanya berdiri jauh darinya sambil melipat kedua tangan di depan d**a seraya menyandarkan tubuhnya ke dinding. Serius dia membiarkan pria yang punya predikat sebagai playboy kelas kakap ini masuk ke rumahnya? Thea kau pasti sudah tidak waras karena terperdaya oleh akal bulusnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN