Mengulik

1597 Kata
“Baiklah, mari kita mulai,” ujar Dieter sambil menggulung lengan bajunya hingga ke siku lalu mencuci tangannya di wastafel. “Aku harap kamu tidak keberatan bernapas bau bawang putih besok.” Thea tersenyum tipis. “Setidaknya itu bisa digunakan sebagai senjata agar tidak ada yang mendekati kurang lebih satu meter.” “Untungnya aku tahan bau bawang,” timpal Dieter main-main. Dia benar-benar langsung fokus mencari bahan-bahan yang tersedia di kulkas Thea. Tidak banyak yang bisa dia dapatkan tapi setidaknya bisa digunakan untuk membuat sesuatu yang memuaskan meski dengan bahan seadanya. Dieter langsung mulai mengolah satu persatu bahan yang dia temukan, mulai dari mencincang bawang putih dan memotong bawang daun. “Apa Teddy tidur dengan nyenyak?” tanya Dieter lagi karena dia tidak tahan dengan keheningan. Thea menganggukan kepala. “Anehnya, iya. Biasanya jika sudah seperti itu dia akan kesulitan tidur. Tapi rupanya tidak demikian. Ini melegakan,” ujar Thea kemudian. Dieter kini memasukan bawang putih yang telah dia cincang ke dalam panci kecil dan menumisnya bersama dengan bawang daun hingga harum. Menimbulkan bunyi desisan, tak lama setelah dia memasukan air ke dalam panci. Dieter sedikit melirik ke arah Thea, sorot mata penuh rasa keingintahuan benar-benar terlihat dari air mukanya. “Apa kamu mau memberitahu aku soal apa yang terjadi?” Nada bicara Dieter terdengar lembut. “Kenapa kamu tidak boleh terlambat menjemput Teddy? Kenapa jagoan kecil itu bisa begitu sedih hanya karena keterlambatanmu saja?” Mendadak ketika pertanyaan itu terucap, saat itu pula Dieter teringat oleh perkataan ayahnya dan para pegawai rumah sakit soal Thea yang paling anti menceritakan kisah masa lalunya. Berkat apa yang dia katakan, Dieter mengutuk rasa penasarannya yang kelewatan. Dia takut Thea akan semakin jaga jarak dan menutup hatinya semakin rapat. “Maaf, lupakan saja pertanyaanku,” ralat Dieter cepat. “Kamu pasti terganggu dengan aku yang terlalu banyak ingin tahu, padahal bukan urusanku.” Thea tidak menjawab, perempuan itu hanya mengamati Dieter dari posisinya. Menggunakan sebelah tangan untuk menyangga dagu, dan kemudian tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, sejujurnya kamu mungkin berhak tahu mengingat kamu banyak membantu hari ini. Jika bukan karena bantuanmu, mungkin segalanya akan jadi jauh lebih buruk. Maaf karena telah berpikir buruk padamu,” jelas Thea panjang lebar. Dieter diam-diam membeku, tangan yang semula hendak mengambil mie instan dan membuka bungkusnya langsung diam di tempat. Diam-diam dia tersenyum, dan untungnya posisi Dieter saat ini membelakangi Thea. Sedikit bersyukur karena Thea tidak melihat ekspresinya sekarang, tapi disisi lain Dieter juga penasaran bagaimana raut wajah perempuan itu sekarang. “Ayahnya Teddy tidak pernah kembali, saya menyimpulkan bahwa dia barangkali telah memutuskan untuk tidak ingin bersama kami lagi,” ungkap Thea lagi, nada bicara perempuan itu terdengar lebih lugas dari biasanya. “Dia tidak repot-repot memberitahu kami alasannya. Hanya secarik kertas berisi pesan, sisanya saya yang mengartikan semua itu sendiri.” Mie instan telah Dieter masukan ke dalam panci, berikut pula dengan telur yang direbus bersamaan dengannya. Dieter tidak langsung bereaksi, untuk beberapa alasan pemandangan mie dan telur di panci terasa jauh lebih bagus daripada memandang wajah Thea saat ini. “Kau suka pedas?” “Ya.” Mendapat jawaban Dieter langsung menuangkan bubuk cabe ke dalam panci. Kuah mie buatannya berubah menjadi merah dan aroma harum langsung menyebar di udara. “Kembali ke topik, apa dia tidak memberitahu kemana dia pergi?” tanya Dieter sekali lagi, dia tidak ingin kehilangan topik. Saat itu Dieter melirik sedikit dari posisinya, mendapati Thea yang terlihat jauh lebih rapuh daripada yang dia ingat di sekolah. “Tidak, dia tidak memberitahu siapa-siapa.” Thea menggigit bibir. “Hari dimana dia memutuskan untuk pergi adalah hari dimana dia harus menjemput Teddy di sekolah. Saat itu kebetulan saya sedang bekerja di rumah sakit, saya tidak memberitahu pihak sekolah karena saya berasumsi bahwa orang itu akan menjemput Teddy.” “Ya Tuhan.” Dieter memejamkan mata sejenak dan ketika membuka kedua matanya lagi Thea sudah duduk di tepi meja dapur sambil menekuri lantai. “Jadi, tidak ada seorang pun yang muncul untuk menjemput Teddy di sekolah?” Thea menggeleng. “Pihak sekolah menghubungi semua teman sekelasnya dan salah satu dari mereka mencoba menghubungi ayahnya. Tapi tentu saja saat itu dia sudah tidak ada bersama kami.” Tubuh perempuan itu sedikit bergetar. “Saya pulang ke rumah setelah shift kerja selesai dan menemukan secarik kertas yang ditinggalkan oleh ayahnya Teddy. Saya mencari keberadaan Teddy detik itu juga dan mendapat informasi dia menginap di rumah gurunya. Itu benar-benar sebuah kejadian yang tidak terduga untuk kami berdua.” “Jika seperti itu maka segalanya masuk akal. Pantas saja Teddy begitu marah dan terluka saat kamu terlambat menjemputnya.” “Ya, sejak peristiwa itu terjadi, Teddy selalu bingung dan sedih,” ujar Thea, kali ini suaranya agak parau. “Waktu saya beritahu kalau ayahnya tidak akan pulang lagi dia terguncang. Dia masih berusia tiga empat tahun saat itu, dia belum bisa mengerti soal kepergiaan ayahnya yang begitu mendadak. Dia mengasumsikan bahwa ayahnya pergi karena dia anak yang nakal.” Dieter merasakan amarah bergejolak di dalam dadanya. “Apa hingga sekarang dia belum bertemu dengan ayahnya lagi?” Thea menggeleng. “Saya berusaha mencari keberadaan ayahnya Teddy, dan mendapatkan info kalau dia berada di Bandung. Karena itulah saya disini, menuntut pertanggung jawabannya dan juga keputusannya kepada kami. Tapi setelah kami disini, sampai sekarang saya belum bertemu dengannya. Tidak ada informasi yang cukup untuk mengetahui keberadaannya,” jawabnya. “Kalau begitu apa artinya kau dan ayahnya Teddy—” “Ya, status kami masih menikah. Kami belum bercerai.” Dieter mematikan kompor, seraya meraih tisu dan menyerahkannya pada Thea. Perempuan itu langsung menerimanya dan menghapus air mata dengan itu. “Maaf,” katanya mencoba menahan agar suaranya tidak terdengar terisak. “Ini bukan kisah yang bagus untuk didengar.” “Aku mengerti.” Dieter benar soal Thea tidaklah sekeras dan setangguh itu. Bagaimana pun juga dia hanyalah seorang perempuan biasa yang mencoba kuat untuk diri sendiri dan putranya. Kepahitan dari kisah hidupnya menyentuh sesuatu yang berada di dalam lubuk hati Dieter. Dia tergugah untuk membantu Thea menyelesaikan probelmatika ini. Terlebih dia merasa lebih terganggu dengan fakta bahwa Thea masih berstatus sebagai istri dari pria b******n yang kini tidak tahu rimbanya. “Tolong jangan kasihani kami,” ungkap Thea tiba-tiba sambil menyunggingkan senyum tipis yang Dieter ketahui dia lakukan dengan sangat susah payah. “Bersikaplah biasa seperti kamu tidak mendengar apa-apa malam ini. Kamu tidak perlu cemas dan khawatir kepada Teddy, anak itu hanya perlu sedikit penyesuaian saja. Setelah ini dia tidak akan apa-apa asal kejadian yang sama tidak terulang kembali.” “Tapi bagaimana denganmu?” Dieter tidak bisa menahan dirinya untuk menanyakan pertanyaan itu. “Kamu datang dari tempat asalmu kemari, mencari sesuatu yang tidak pasti. Jika kamu tahu kebenarannya apa kamu akan baik-baik saja?” “Setiap langkah hidup akan ada resikonya,” ujar Thea diplomatis. “Setidaknya jika kami mengetahui segalanya, dan kami bisa bertemu kembali. Kami bisa bicara dan menyelesaikan apa yang tidak bisa kami selesaikan dimasa lalu. Memulai kehidupan baru dari awal lagi akan jauh lebih melegakan daripada digantung tak pasti dengan pengharapan yang tidak kunjung terjadi,” tambahnya. Kemudian Thea berdehem, sepertinya dia menyadari bahwa dia terlalu banyak bicara. Dia sadar bahwa mereka perlu mengganti topik pembicaraan. “Jadi, dokter Dieter apakah kamu mau berdiri disitu semalaman atau memberikan sesuatu yang kau tutupi dengan tubuhmu di atas komporku?” Ketabahan Thea membuat tenggorokan Dieter agak tercekat, tapi setelahnya dia mengerti bahwa pembicaraan seperti ini tidak akan membawa mereka kemana pun, selain menggali luka. Karena itu Dieter segera membuat suasana menjadi lebih santai seperti yang Thea inginkan. “Sesuatu?” Dieter berpura-pura tersinggung. “Kamu sebut hasil masakanku sesuatu? Oh ayolah Nyonya, ini adalah mahakarya penemuan seni kuliner luar biasa dari bahan-bahan sederhana yang dibuat oleh dokter tampan nan muda.” Thea tersenyum. “Maafkan saya, sebelum ini saya belum pernah bertemu dengan seorang pria yang berprofesi sebagai bapak rumah tangga.” Dieter membawa panci yang berisi mie instan olahannya ke hadapan Thea. Menyajikannya dengan beberapa garnish sehingga tampilan dari sajian tersebut terlihat jauh lebih mewah dan menggiurkan. “Ibu waktu aku kecil mengajariku, ah—lebih tepatnya memaksaku untuk bisa mengurus diri sendiri, paling tidak untuk urusan perut.” Raut wajah Thea berseri-seri melihat makanan yang Dieter hidangkan. “Kamu harus berterima kasih padanya, dari caranya mendidikmu sepertinya beliau orang yang luar biasa.” “Memang, dia adalah wanita tercantik di dunia.” Dieter bertekad membuat Thea tenang dalam kedamaian, tersenyum sambil menaruh kedua tangan di dagu menyakiskan Thea yang mencoba untuk tidak menjatuhkan air liurnya. “Baik, sudah cukup basa basinya, sekarang habiskan.” Thea langsung mengambil sumpit dan mulai memasukan mie yang masih panas itu ke mulutnya. Dia tersenyum dan badannya bergoyang-goyang ketika mengunyah mie instan buatan Dieter seolah makanan itu paling nikmat seantero alam semesta. “Kamu tidak berbohong, mie ini enak sekali. Terima kasih.” “Sama-sama. Oh yak amu suka tinggal di sini?” “Tentu saja, saya suka tempat ini. Saya heran mendengar kalau tempat sebagus ini kesulitan mendapatkan penyewa.” Dieter sempat menukikan alis tidak setuju, dia hendak buka mlutu dan memberitahu bahwa apartment ini sangatlah diminati. Tapi kemudian dia menyadari bahwa ini adalah cara yang ayahnya buat agar Thea mau tinggal disini. Diam-diam Dieter bangga pada si tua bangka yang dia sebut ayah karena telah menampung bidadari secantik Thea terjebak di apartment miliknya seperti ini. “Tidak banyak yang datang kemari,” elak Dieter, mencoba mengalihkan topik dari apartment miliknya ke pada hal lain. Dia penasaran bagaimana cara ayahnya menempatkan Thea yang keras kepala disini. Dia mengharapkan kisah yang menarik darinya. “Oh ya, bagaimana caramu bisa tinggal disini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN