Thea langsung mengangkat kepala, memandang ke arah Dieter yang berada di sisinya dengan kedua lengan masih memeluk putranya dengan sangat protektif. Thea sudah mengambil posisi berdiri sambil menggendong putranya. “Terima kasih sudah membantu, mulai dari sini saya bisa menanganinya sendiri. Kamu bisa pulang duluan dokter Dieter.”
Kedua mata Dieter berkedip cepat. Cara Thea bicara dengannya formal kembali, dan yang barusan dia bilang, apakah Dieter baru saja diusir sekarang?
“Lalu bagaimana kamu akan pulang?”
“Saya bisa naik bus.”
Bus?
Langkahi dulu mayatku!
“Aku akan mengantar kalian berdua pulang.”
Dieter sama sekali tidak rela bila terlibat secara setengah-setengah. Dia sudah bertekad untuk menyelami kehidupan Thea, karena itu dia akan terus mengusahakan yang terbaik yang dia bisa berikan kepadanya secara menyeluruh. Mana bisa pula Dieter membiarkan mereka pulang begitu saja, dan membuang kesempatan emas untuk mengetahui tempat tinggal Thea begitu saja di langkah ini.
Dieter tahu kalau ini sedikit agak egois, apalagi melihat ekspresi Thea terhadapnya sekarang. Namun sebagai seorang laki-laki dia tidak akan mundur hanya karena sedikit gertakan, terlebih dia tidak mengira bahwa dia bisa tertegun dengan cara kedua mata Thea menatapnya. Selama ini Dieter mengira bahwa dirinya telah mengalami berbagai macam emosi, apalagi terhadap lawan jenis kecuali cinta tentunya. Namun di detik ini Dieter merasakan adanya kebutuhan yang begitu meluap-luap untuk melindungi seorang wanita meskipun Thea barangkali tidak membutuhkannya.
Baru sekarang ini dia begitu bertekad untuk pasang badan untuknya.
Di titik ini pula, barulah Dieter mengerti mengapa orang-orang di rumah sakit begitu protektif terhadap perempuan ini. Sebab ada sesuatu pada diri Thea, yang begitu rapuh meskipun dia berdiri setegar karang di hadapannya. Bagaimana pun juga, sisi tersebut membuat Dieter terpacu untuk semakin ingin dibutuhkan. Dia ingin melindungi keduanya, menjaganya tetap aman.
Namun sepertinya jawaban yang Dieter berikan malah membuat Thea buru-buru menjauh, menggendong putranya dan menolak Dieter dengan gesture badan yang jelas. Tapi Thea tidak memperhitungkan bahwa Dieter bukanlah pria yang akan menyerah meski sekali di tolak. Dia pria keras kepala yang harus mendapatkan apa yang dia inginkan.
***
Thea tidak percaya bahwa sekarang dirinya telah duduk di kursi belakang mobil. Bukan bus sesuai rencana awal, melainkan mobil yang sama yang dia tumpangi untuk menjemput Teddy putranya. Dia dan Dieter terlibat cekcok panjang, penolakan keras yang Thea utarakan tidak mempan dan pria itu sangat bersikukuh mengantarnya pulang. Segalanya semakin buruk ketika Teddy merasa tidak nyaman dan menangis. Sialnya, Dieter memanfaatkan moment itu untuk merayu Teddy dan membuat putranya mau menaiki mobil si dokter muda sehingga mau tidak mau, Thea harus mengikuti anaknya. Dia betul-betul licik.
Thea pikir segalanya telah usai, sejatinya dia sendiri sangat tersiksa karena peristiwa yang dia alami hari ini. Dia tidak mengira akan terlambat menjemput Teddy.
Bagaimana mungkin dia bisa seteledor itu dan membuat putra tercinta satu-satunya menangis di sekolah?
Padahal sudah setahun penuh dia sangat berhati-hati, tetapi sekarang …
Thea kecolongan dan penyebab dari seluruh rangkaian peristiwa itu adalah pria yang sama yang sedang menyetir untuk mereka sekarang.
Thea meraih tangan Teddy, tapi dia mendapati gelagat tidak mengenakan dari putranya. Dia mendengar bunyai mengi dalam napas anak itu.
Oh Tuhanku, tidak jangan sekarang! jangan lagi! Doa Thea dalah hati.
“Cobalah tenangkan diri, Teddy,” ujar Thea mencoba menguatkan putranya, nada bicara perempuan itu sedikit gemetar ketika dia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terbawa emosional. “Mommy, akan memberimu inhaler.”
“Ada masalah apa?” Dieter melirik lewat kaca spion tengah, dan matanya yang jeli langsung mencerna situasi yang terjadi di jok belakang mobil ayahnya. Pusat atensinya beralih pada Teddy. “Apa Teddy menderita asma?”
“Ya.” Thea menjawab seraya merogoh ke dalam tas yang dia bawa dengan agak panik. Menggali dalam-dalam diantara banyak barang yang dia masukan ke dalam tas tersebut. Ponsel, kertas, mainan kecil, tapi sialnya karena panik Thea tidak bisa mendapatkannya dengan cepat. “Aku tidak percaya membuat asmanya kambuh.”
“Aku akan menepi.”
Dieter menanggapi, menghentikan mobil pada sebuah lahan kosong, melepas sabuk pengaman untuk kemudian langsung putar badan ke belakang sehingga dia bisa memeriksa kondisi Teddy dengan benar.
Sementara Thea sendiri masih sibuk mencari inhaler dalam tasnya, dan untungnya dia segera menemukan inhaler yang terkubur didasar tas. Tangannya gemetaran ketika menyerahkan benda itu kepada Teddy.
“Aku baik-baik saja, Mommy,” gumam Teddy, sementara Dieter sendiri sedang fokus memperhatikan kondisi putranya dengan seksama, menghitung frekuensi napas, dan berusaha menilai seberapa serius dan fatalnya kondisi bocah itu dalam situasi ini.
“Kita akan membawanya ke apartment untuk mengecek embusan napas maksimumnya,” ungkap Dieter membuat keputusan cepat, Thea hanya bisa mengangguk. Isi kepalanya kosong, dan dia benar-benar merasa menjadi ibu yang gagal. Meski begitu ada sedikit rasa lega yang hinggap karena saat ini dia sedang bersama Dieter. Entah apa yang terjadi bila dia memaksa naik bus tadi.
“Apa kamu juga akan ikut, Om?” tanya Teddy seraya menatap Dieter dengan sorot curiga ketika pria itu kembali pada posisi semula dan menyalakan mesin mobil.
“Tentu saja.”
“Tapi—”
“Aku ada perlengkapan yang bisa digunakan di rumah, jadi kita mampir ke tempatku dulu untuk mengecek pernapasanmu, oke?” jelas Dieter agak otoriter dan dia bahkan memotong perkataan Thea seenaknya. Alhasil, Thea tidak bisa mengelak. Untuk sekarang dia harus mengesampingkan ego dan fokus untuk menstabilkan kembali kondisi Teddy.
“Kau tahu dimana kami tinggal?” tanya Thea tidak percaya ketika mereka tiba di sebuah apartment yang begitu familiar saat Dieter mematikan mesin mobilnya.
“Apa maksudmu? Aku tinggal disini. Tidak ada waktu untuk bicara, sekarang lebih baik ayo kita bawa dia keatas.”
Thea menggigit bibirnya, menyadari bahwa seharusnya dia tidak bergantung pada pria itu. Dia tidak pernah ingin bergantung kepada siapa pun. Tapi Dieter memahami segalanya dengan lebih baik, dia menebak jalan pikiran Thea karena dan menatap perempuan itu dengan sorot mata lembutnya. “Aku adalah dokter, ingat? Aku akan memeriksa Teddy untukmu. Kemudian aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Bagaimana? Apa itu cukup untuk membuatmu aman?”
Thea mengangguk pelan, menyadari dirinya tidak bisa menolak, sekaligus mengunci mulutnya rapat-rapat atas seluruh kebetulan gila yang dia hadapi sekarang. Dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak akan bisa beristirahat dan tidak akan bisa tenang, sebelum Dieter memeriksa kondisi Teddy secara penuh dengan peralatan yang dia miliki di apartmentnya. Sejak datang ke Bandung, dia tidak sempat mendaftarkan Teddy untuk mendapatkan asuransi kesehatan dan Thea menganggap bahwa asma putranya masih bisa dikontrol. Tapi setelah kejadian ini, dia benar-benar sangat menyesali keputusannya.
“Aku tidak tahu ini kebetulan atau apa,” ujar Thea mengikuti Dieter dibelakangnya saat pria itu mulai menaiki lift. “Tapi mengingat gedung ini adalah milik ayahmu, tentu saja kau pasti punya hak untuk tinggal disini.”
“Ya, kebetulan sekali aku tinggal di lantai paling atas,” timpal Dieter lagi seraya mengulurkan tangan untuk memencet tombol lift.
Hanya satu lantai di atasnya? Ini gila!
Thea melirik kearah Dieter, dia terperanjat. Bukan karena ada hal yang menakutkan tersirat diwajahnya melainkan karena kemurahan hati dan keteguhan yang membuat Thea dibuat makin gelisah.
“Aku turun disini.” Thea menahan pintu lift agar terbuka, dan Dieter mengangguk. Perempuan itu langsung membawa putranya keluar dari lift sementara Dieter menghilang dan tidak mengikutinya.
Thea tidak memikirkan hal itu dan lebih fokus merogoh saku mantelnya untuk menemukan kunci. Membuka tempat yang dia tinggal, seraya mengucap syukur karena kemurahan hati sang kepala rumah sakit kepadanya.
Begitu terang, segar dengan pemandangan yang indah dan tentu saja bersih sebab Thea merawatnya dengan sepenuh hati. Berada di tempat ini membuatnya merasa jadi jauh lebih baik.
Tak lama, Thea mendengar ketukan pintu dan Dieter telah berdiri disana dengan tas di tangan. Dieter tampak berwibawa dan tenang. Dia langsung meluncur dan melakukan pemeriksaan terhadap Teddy yang sudah dibaringkan di kamarnya. Dia benar-benar melakukannya dengan sangat menyeluruh.
“Sepertinya dia tidak apa-apa,” ujar Dieter menenangkan Thea dengan pelan. “Tapi kalau kondisinya semakin parah kamu bisa pergi ke lantai atas dan menggedor pintuku. Aku akan dengan senang hati membantumu memeriksa kondisinya kapan saja.”
Tatapan yang Dieter berikan kepadanya sekarang sungguh sangat intens. Thea hanya sanggup bergerak-gerak gelisah. Agak merasa bersalah karena dia memperlakukan Dieter dengan buruk.
“Terima kasih,” ucap perempuan itu seraya berbisik. “Terima kasih atas tumpangannya dan juga terima kasih karena sudah memeriksa kondisi Teddy.”
“Sama-sama.” Dieter menatap lekat-lekat mata Thea beberapa saat lalu beranjak keluar dari kamar. Menoleh dengan sikap santi lewat bahunya saat berjalan keluar. “Dah, Teddy. Semoga semakin membaik ya.”
Keheningan merebak sementara Teddy cuma mengamati, tapi tak lama dia menganggukan kepala. “Dah, Om. Terima kasih banyak.”
Begitu pintu tertutup, perasaan sedih dan tak berdaya langsung menyelimuti Thea. Sungguh, ini begitu melelahkan. Fakta bahwa dia hanya seorang diri dan membesarkan seorang anak yang sakit-sakitan betul-betul menguji mental dan fisiknya. Kehadiran Dieter meski sesaat sedikit memberinya ketenangan, dan sialnya begitu dia pergi Thea merasakan adanya rasa kesepian yang begitu luar biasa.
Perempuan itu mati-matian menahan diri, memilih memusatkan perhatiannya kepada Teddy dan memeluknya erat-erat. Setidaknya dia tidak separah setahun yang lalu sekarang.
“Mommy, maafkan aku karena menuduh Mommy tidak datang,” gumam bocah itu dengan nada bersalah.
“Mommy akan selalu datang,” sahut Thea seraya membungkuk dan mencium kening Teddy sebelum menyalakan lampu tidur. “Dan akan selalu menyayangimu. Beristirahatlah.”
Dia sengaja tidak menutup seluruh pintu, membiarkan sedikit terbuka sehingga Thea masih bisa mengintip keadaannya dari celah.