El memeriksa beberapa berkas yang diserahkan oleh sang paman kepadanya. Semua harus dia pelajari dulu. Meski pekerjaannya sama saja dengan di Jakarta, tapi tentu ada yang berbeda. Kalau di Jakarta yang ia urus berbagai macam tambang yang ada di seluruh Indonesia, yang dimiliki oleh perusahaan. Sedang di kantor cabang ini mereka hanya mengurusi satu macam hasil tambang, yaitu batubara saja.
Setelah menyelesaikan beberapa berkas, El beristirahat sejenak. Disandarkan punggung ke sandaran kursi kerja. Lalu ia teringat dengan bekalnya. El berdiri dari duduk, lalu mengambil tas bekal yang diletakkan di meja kecil di belakang kursi kerja. El membawa tas bekal itu ke meja kerja, kemudian ia kembali duduk. El mengeluarkan termos kecil berisi kopi s**u dan juga kotak bekal, berisi singkong goreng plus sambal petis.
Sebelum menikmati semua itu, El beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangan dulu. Lalu ia kembali duduk dan menikmati bekalnya. Singkong goreng itu diambil dari kebun milik keluarga Ramadan sendiri. Sudah lama sekali El tidak menikmati semua itu.
Suara ponselnya mengagetkan El yang tengah menikmati singkong goreng. El meraih ponsel dan menatap nama yang ada di layar ponselnya. Nama Sabila tertulis di sana. El tidak ingin menjawab panggilan dari Sabila. El sudah bertekad untuk melupakan Sabila selama-lamanya.
Ponsel El terus berbunyi, dan El masih tidak bersedia mengangkat panggilan dari Sabila. Pesan masuk dari Sabila juga ia abaikan. El ingin belajar untuk tidak lagi peduli pada Sabila. Apapun yang terjadi pada mantan kekasihnya itu. El tidak ingin membuka celah sedikitpun bagi Sabila, untuk kembali padanya. Karena ia sudah tahu alasan Sabila berselingkuh darinya. Bukan karena tidak mencintainya, atau karena lebih mencintai Rian. Tapi lebih kepada, Sabila melihat mereka lewat sisi materi. Sabila menganggap El hanya manajer biasa walaupun penghasilan El cukup tinggi. Sedang Rian pemilik perusahaan, yang tentu terlihat lebih bergengsi dari sekadar manager saja.
El sudah menghabiskan kopi s**u dan singkong goreng di dalam kotak bekal. Kemudian ia ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Setelah itu, ia melanjutkan pekerjaannya tanpa sedikitpun berniat membuka pesan dari Sabila, apalagi menelpon balik Sabila.
Suara ketukan di pintu mengagetkan El yang sudah kembali fokus pada pekerjaannya.
"Masuk!"
Pintu terbuka. Seraut wajah yang membuat El kesal muncul di sana.
"Ada apa?" tanya El sebelum Elia bicara.
"Maaf, Pak. Saya hanya ingin bertanya, sesuai dengan tugas saya. Bapak ingin makan ke luar, atau ingin saya belikan. Kalau ingin saya belikan, Bapak ingin minta dibelikan apa?"
"Tidak usah! Saya tidak butuh bantuan office gel galak seperti kamu!"
"Ini saya bertanya dengan baik-baik dan sopan loh, Pak. Kenapa Bapak bicaranya begitu?"
"Sudah sana, saya tidak perlu bantuan kamu." El mengibaskan tangannya.
"Ya sudah. Saya juga sebenarnya malas membantu orang ketus seperti Bapak."
"Hai kamu ngomong apa? Kamu menyebut saya apa?"
"Pikir saja sendiri!"
"Hey tunggu!"
El bangkit dari duduk, tapi si office girl sudah keluar dan menutup pintu kantornya. El menghempaskan pantatnya di kursi kerja dengan perasaan kesal. El malas bersikap baik kepada office girl galak itu. Setiap melihat Elina, rasa kesal muncul dengan sendirinya di dalam hatinya. Yang El heran, Elina seperti tidak takut padanya, padahal sudah tahu ia keponakan bos pemilik kantor itu. Elia seperti tidak takut dipecat olehnya.
Ponsel El kembali berbunyi. El mengambil ponselnya..
"Assalamualaikum, Paman. Ada apa?" tanya El saat melihat yang menelponnya adalah pamannya. Pamannya tadi memang ada urusan di luar kantor.
"Wa'alaikum salam, El. Kamu makan siangnya bagaimana? Ingin dibelikan Elia, ingin pesan online, ingin pergi ke luar, atau ingin pulang?" Tanya pamannya.
"Paman sendiri makan di mana?" El balik bertanya.
"Urusanku sudah selesai. Aku mau pulang. Aku makan siang di rumah saja. Setelah Dzuhur aku kembali ke kantor."
"Aku makan siang di kantor saja, Paman. Nanti aku pesan online."
"Ya sudah. Sebenarnya warung di depan kantor itu masakannya enak. Kalau kamu mau bisa minta belikan Elia."
"Iya, Paman. Terima kasih."
"Aku pulang dulu ya, titip kantor."
"Iya, Paman. Hati-hati di jalan."
"Assalamualaikum.'
"Wa'alaikum salam."
El tidak meletakkan ponselnya meski sudah tidak bicara lagi dengan pamannya. El memutuskan untuk memesan makanan secara online saja. El mulai mencari-cari makanan yang menggugah seleranya. Akhirnya El menemukan soto banjar dan sate ayam. Makanan itulah yang ia pesan.
Setelah memesan makan siang, El keluar dari ruang kantornya.
"Mau ke mana, Pak?" Pertanyaan itu diajukan oleh Elia yang berada di lobby kantor.
"Bukan urusan kamu," sahut El.
"Jadi sebenarnya yang galak itu saya, atau Bapak?"
"Sudah jelas kamu yang galak sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di kantor ini."
"Lalu, sikap Bapak barusan kepada saya, disebut apa kalau bukan galak."
"Saya bersikap, sebagaimana orang itu bersikap kepada saya." El menatap Elia.
"Saya sudah sopan loh, Pak." Elia protes dianggap El sikapnya buruk.
'Kesan pertama itu yang terekam dalam benak saya."
"Saya kan sudah minta maaf sama Bapak. Yang salah sebenarnya Bapak sendiri. Kenapa masuk ruangan kantor tidak lepas sepatu. Sudah tahu sepatunya kotor."
"Jadi kamu jenis pendendam ya."
"Bukannya bapak yang pendendam. Bapak yang bilang masih ingat pertemuan pertama kita."
"Tentu saja aku ingat, itu baru kemarin!"
El melangkah meninggalkan Elia. Tujuan El adalah pos satpam di depan kantor. El menemui satpam.
"Selamat siang, Pak." El menyapa Pak Satpam.
"Selamat siang, Pak El. Ada yang perlu dibantu?"
'Nanti ada ojek online mengantarkan makanan saya, tolong diterima ya, Pak. Tolong antarkan ke ruangan saya, sudah saya bayar."
"Baik, Pak El."
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
El masuk ke dalam kantor. Di kantor ini, tidak banyak pegawai yang bekerja di dalam kantor. Sebagian dari karyawan ada yang pergi ke lokasi tambang. Tambang milik perusahaan, tersebar di banyak tempat yang berada di beberapa kabupaten, di sekitar Kalimantan Selatan. Di beberapa provinsi, ada kantor cabang. Untuk seluruh wilayah Kalimantan Selatan, kantor pusatnya adalah kantor tempat El bekerja sekarang.
Usaha tambang ini bukan usaha asli dari keluarga Ramadan, melainkan usaha yang diwariskan oleh ayah tiri dari kakek buyut El. Perusahaan tambang diwariskan oleh Raffa Arsena, ayah tiri Raka Ramadan. Raka Ramadhan adalah kakek buyut dari Nini Rara, nenek El. Sedang untuk usaha asli keluarga Ramadan, yang dibangun sendiri oleh Raka Ramadhan, terdiri dari usaha peternakan, perkebunan, perikanan, pertanian, travel, SPBU, dan perumahan, pabrik keripik, dan beberapa bisnis lainnya. El sendiri tidak begitu tahu apa saja dan berapa banyak jumlahnya. Belum lagi perusahaan yang diwariskan dari Nini Tari, yang perusahaannya ada di Jakarta. Nini Tari, istri Kai Raka mendapatkan warisan perusahaan itu dari kakeknya, ayah dari ibunya.
El bersyukur lahir dari keluarga yang tidak kekurangan apa-apa. Orang menganggap mereka adalah keluarga konglomerat yang sederhana. Rumah keluarga Ramadan bisa dibilang sangat sederhana, bagi rumah seorang konglomerat. Tidak ada kesan mewah apalagi megah. El merasa bangga menjadi bagian dari keturunan keluarga Ramadan. Cerita tentang kakek buyutnya Raka Ramadan dan Nini Tari, turun temurun. Kedermawanan kakek buyutnya itu dikenang oleh banyak orang secara turun temurun. Dan kebaikan itu pun diwariskan kepada keturunan Ramadan lainnya.
El sudah masuk ke dalam ruangan kantornya. Ia duduk di kursi kerjanya. El baru teringat, kalau tadi ia membeli makanan tanpa membeli minuman sekalian. Kopi s**u di termasuk sudah habis. Ada air mineral gelas di atas meja tamu di hadapannya. Sedang ia terbiasa minum air es saat makan. El keluar dari ruangan kantornya. Ia mencari-cari tempat di mana beradanya dapur. Berharap di sana ada kulkas yang menyediakan minuman dingin. Di ruangannya sendiri tidak ada kulkas, berbeda dengan kantornya yang ada di Jakarta.
El masuk ke dapur. Di dapur tidak ada siapa-siapa. El membuka pintu kulkas. Ada beberapa botol air mineral dingin dan satu botol teh bermerek. El mengambil satu-satunya teh botol itu dari kulkas. El membuka tutup teh botol itu. Lalu ia minum langsung dari botolnya. Kemudian El keluar dari dapur. Di depan dapur ia berpapasan dengan Elia. Elia menatap teh botol di tangan El.
"Bapak mengambil teh itu dari kulkas?" Elia menunjuk teh botol di tangan El.
"Iya, Kenapa?" El menatap teh botol di tangannya.
"Itu teh saya." Elia menatap mata El.
"Mana saya tahu. Salah sendiri dimasukkan kulkas kantor."
"Karyawan di sini tidak ada yang masuk dapur. Kalau ingin apa-apa mereka panggil saya. Dapur adalah wilayah kekuasaan saya. Kecuali saya tidak ada."
"Office girl berlagak punya kekuasaan." El menatap kesal Elia.
"Walaupun ada karyawan yang masuk dapur, mereka tahu teh itu punya saya. Cuma saya yang suka minum teh itu di kantor ini."
"Mana saya tahu hal itu. Saya baru dua hari di sini."
"Bapak harus ganti teh saya!"
"Berapa harga teh satu botol begini, paling cuma lima ribu. Begitu saja minta ganti."
"Lima ribu sedikit bagi Bapak yang bos, tapi banyak buat saya."
"Iya, saya ganti. Perhitungan sekali."
El berlalu dari hadapan Elia Elia menggerutu di belakangnya, El memilih tidak menanggapi karena ada rasa malu juga di dalam hatinya, sudah mengambil minuman milik Elia.
*