Sementara itu.
Elia yang ditinggalkan oleh El masuk ke dapur. Perasaan Elia kesal sekali dengan sikap El yang menurutnya arogan, sombong, congkak, sangat jauh berbeda dengan sang paman yang selalu sopan dan lemah lembut dalam bertutur kata.
"Dia itu keturunan Ramadhan betulan atau anak pungut sih!? Beda sekali dengan Bos besar dan keluarga Ramadhan lain. Apa karena merasa hebat, pernah tinggal di Jakarta, kuliah di Jakarta, manajer di Jakarta, jadi sikapnya seperti itu. Dia kan bukan OKB, tapi kaya dari lahir. Aduh, kenapa aku harus memikirkan dia. Lebih baik aku makan."
Elia meletakkan nasi bungkus yang ia beli di atas meja dapur. Lalu ia mengambil piring, sendok, dan air mineral gelas di dalam kulkas. Elia duduk di kursi dapur. Dibuka nasi bungkus yang ia beli dari warung di samping kantor. Nasi bungkus di situ murah. Nasi pecel, nasi urap, atau, nasi campur dengan lauk tempe, tahu goreng, dan ikan asin, atau irisan telur dadar hanya lima ribu saja. Elia memilih membeli, daripada memasak. Untuk makan tiga kali sehari ia hanya habis lima belas ribu saja. Daripada harus memasak, tidak akan cukup lima belas ribu sehari. Harus membeli sayur, ikan, beras, bumbu dapur, dan gas untuk memasak.
Elia tidak masalah harus makan nasi dengan lauk sayur, tempe, tahu, telur dadar yang satu telur dadar dibagi empat, dan ikan asin sehari tiga kali. Hanya sesekali Elia makan enak. Yang jelas, untuk biaya makan sudah ia anggarkan satu bulan hanya boleh habis sekitar tujuh ratus lima puluh ribu saja, termasuk membeli teh botol kesukaannya. Bayar uang kos tiga ratus ribu sebulan. Listrik dan air cukup seratus ribu sebulan. Elia hanya memiliki kipas angin, sebagai barang eletronik yang menarik listrik selain bola lampu. Elia juga hanya mandi di rumah saat pagi saja. Sore sebelum pulang ia mandi di kantor. Biaya seperti pembelian pembalut, sabun mandi, shampoo, sabun cuci baju, cuci piring, pewangi, parfum dan biaya tak terduga ia anggarkan tiga ratus lima puluh ribu. Total pengeluaran yang ia persiapkan satu juta lima ratus untuk satu bulan. Gajinya dua juta, jadi ia masih bisa menabung lima ratus ribu sebulan.
Elia sendiri tidak tahu kenapa ia menghemat, padahal ia tidak memiliki anak, atau adik yang harus dibiayai. Ia juga tidak memiliki orang tua yang harus dikirimi uang. Elia sudah yatim piatu sejak beberapa tahun lalu. Hidup di Kalimantan bagi Elia adalah sebuah perjuangan. Kehidupan baru yang penuh perjuangan, namun membuat perasaannya bahagia.
Setelah makan, Elia mencuci piring dan sendok bekasnya makan. Hari ini kantor sangat sepi, yang ada di kantor hanya dirinya dan El saja. Karyawan lain banyak melakukan aktivitas di luar kantor. Ada yang ke tambang, ada yang pergi bersama bos besar, untuk urusan pengiriman batubara. Elia sudah biasa tinggal di kantor sendirian. Elia menatap kalender yang tergantung di dinding. Lusa jadwalnya ke tambang untuk mengantarkan sembako. Besok ia harus menelpon toko langganan, untuk menyiapkan apa saja yang akan dibawa ke tambang. Jadi lusa tinggal bayar dan mengambil barang saja.
Elia salat Dzuhur di musholla kecil yang ada di kantor itu. Setelah itu Elia ingin beranjak ke lobi. Elia ingin duduk di sana sambil menonton televisi, karena saat ini, tidak ada lagi yang harus ia kerjakan.
Elia berpapasan dengan El di depan pintu ruangan El.
"Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" Elia masih berusaha bersikap ramah, meski perasaannya kesal.
"Saya perlu mangkok agak besar, sendok, garpu, dan piring." El menjawab cepat. Ia lupa sudah berkata tidak perlu bantuan Elia sebelumnya.
"Bapak tunggu saja di dalam ruangan, nanti saya antarkan."
Tanpa berkata apa-apa,:El berbalik dan melangkah kembali ke ruangannya.
Elia menghembuskan nafasnya dengan kuat.
'Yang galak itu dia, bukan aku! Bisa-bisanya dia menyebut aku galak,dasar bos arogan!' Elia menggerutu di dalam hatinya.
Elia masuk ke dapur sembari terus menggerutu, lalu ia mengambil apa yang diperlukan El. Satu buah mangkok yang cukup besar, satu buah piring, satu sendok, dan satu garpu. Elia mengantarkan semua itu ke ruangan El.
"Perlu bantuan lagi, Pak?" tanya Elia saat meletakkan perkakas makan di atas meja.
"Tidak, kamu boleh pergi."
"Baik, Pak."
Elia keluar dari ruangan El, ia kembali menggerutu.
"Beda sekali dengan bos besar. Kalau bos besar, setelah dibantu selalu bilang terima kasih. Nah ini, tidak tahu terima kasih. Mungkin dulu saat bapak Pak El masih muda, sebelum bertemu keluarga Ramadan, seperti dia juga. Kalau sekarang, setahu aku Pak Al itu baik. Tapi anaknya seperti itu."
Elia melanjutkan rencananya untuk duduk di lobi sambil menonton televisi.
Sementara itu di ruangan kantor El.
El sudah menuang soto dari plastik ke dalam mangkok dan memindahkan sate ke dalam piring. Aroma khas soto Banjar sangat menggugah seleranya. Dalam keluarga Ramadan, laki-laki pintar memasak itu sudah biasa. Dari kakek buyutnya Raka Ramadan, kemudian Kai soleh, lalu kai Aska, Kai Razzi, Paman Aay, dan Paman Aan, semua pintar memasak.
Tadi El membeli satu porsi soto Banjar, dan dua porsi sate. Satu porsi sate memakai lontong, satu lagi tidak. Yang memakai lontong, ia berikan pada Pak satpam yang mengantarkan makanan ke ruangannya.
Ponsel El berbunyi, panggilan dari amma nya.
"Assalamualaikum, Amma."
"Wa'alaikum salam. El kamu sudah makan." Suara lembut Amma nya menyapa.
"Ini sedang makan, Amma. Tadi aku beli online soto Banjar dan sate."
"Syukurlah. Jangan lupa salat dzuhur ya."
"Iya, Amma."
"Ya sudah, assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
El meletakkan ponsel dan melanjutkan makannya. Suasana di kantor ini sangat berbeda dengan suasana kantor di Jakarta. Kantor di sini sangat sepi, tenang, kalau tidak ada pekerjaan bisa-bisa El tertidur.
"Kalau kantor sepi begini, berarti si OG galak itu apa yang dia kerjakan? Tidak ada yang meminta dia membuat minum, atau membeli makanan. Santai sekali dia berarti. Makan gaji buta."
Selesai makan, El membuang semua bekasnya ke tempat sampah. Lalu El keluar menuju dapur dengan membawa alat makan yang kotor. El masuk ke dapur, tidak ada Elia di dapur. El mencuci bekas makannya sendiri. Setelah selesai, ia beranjak mencari Elia ke lobi kantor.
El melihat Elia sedang duduk menonton televisi.
"Enak ya santai-santai tidak ada pekerjaan." El berkata sinis.
"Pekerjaan saya sudah selesai semua, Pak. Saya sudah nyapu, ngepel, membersihkan kaca, membersihkan dapur, kamar mandi. Tidak ada lagi yang harus saya kerjakan. Jadi ya saya duduk di sini. Masih mending saya duduk nonton televisi, daripada saya tidur di musholla."
"Apa seperti ini kerjaan kamu setiap hari? Makan gaji buta."
"Tidak juga. Kalau orang kantor sedang banyak, ya saya banyak pekerjaan. Membuatkan minum, mencuci bekas minum. Memasakan mie instant, membelikan makan. Belum lagi kalau ada tamu yang datang, saya lebih sibuk lagi. Menyediakan minuman, mencarikan makanan. Jadi saya tidak makan gaji buta ya, Pak."
"Memang tidak gaji buta, tapi gaji juling! Lebih banyak nongkrong daripada kerjanya!"
"Ya bagaimana, pekerjaan saya sudah selesai semua."
"Aku mau salat Dzuhur dulu."
"Berdoa sama Allah, Pak. Biar dihapus sifat Bapak yang sombong!"
"Kamu bilang apa!?" El yang tadinya ingin melangkah berbalik menatap Elia.
"Bapak sadar tidak, Bapak itu sombong!" Elia menantang tatapan mata El, meski ia harus mendongak saat melakukannya.
"Kamu galak!" El mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya bertolak pinggang.
"Bapak lebih galak dari saya!" Kaki Elia berjinjit.. El menundukkan kepala. Wajah mereka sangat dekat. Tatapan El dari mata turun ke bibir Elia. Elia menyadari arah tatapan mata El.
"Bapak melihat apa!?" Mata Elia melotot. Elia mundur satu langkah.
"Melihat bibir kamu yang ceriwis itu!"
"Sana, katanya mau salat dzuhur!"
Tanpa bicara El berbalik pergi meninggalkan Elia.
*