Pulang dari kantor, El tidak langsung pulang ke rumahnya, tapi mampir dulu ke rumah nini nya. Saat ia tiba di sana, di teras samping ada Nini Rara, Kai Razzi. Mereka berdua sedang menikmati teh hangat dan lempeng pisang panas.
"Bagaimana tadi hari pertama ke kantor?" Tanya Nini Rara.
"Aku belum mulai bekerja hari ini, Nini. Baru melihat situasinya saja, perkenalan dengan karyawan di sana," jawab El seraya duduk di kursi setelah mencium punggung tangan Kai dan nini nya.
"Kai ambilkan cangkir ke dapur." Kai Razzi yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun ingin bangkit dari duduk
"Tidak usah, Kai. Aku ambil sendiri saja."
El bangkit dari duduk lalu melangkah ke dalam untuk mengambil cangkir. El kembali duduk, kemudian menuang teh ke dalam cangkir kosong yang ia bawa.
"Sudah bertemu dengan semua karyawan di sana?"
"Sudah, Kai." El menjawab setelah meminum teh nya.
"Bagaimana tanggapan mereka menyambut kehadiran kamu, El?"
"Mereka baik, Nini. Hanya ada satu orang yang kurang ajar." El teringat El OG.
"Siapa?" Nini dan Kai menatap El.
"Office girl bernama El. Dia galak sekali." El masih menyimpan rasa kesal pada El OG.
"Oh dia." Nini Rara dan Kai Razzi tertawa. Mereka mengenal Elia, karena beberapa kali Elia datang ke rumah saat ada acara di rumah keluarga Ramadan.
"Kenapa kamu mengatakan dia kurang ajar? Dia baik dan sopan saat datang ke rumah ini."
"Dia memarahi aku, karena aku masuk ke dalam kantor memakai sepatu."
"Pasti karena sepatu kamu kotor?"
"Ya kotor, Ni. Di luar kan hujan, becek, jadi wajar sepatuku kotor. Dia menggerutu karena harus ngepel dua kali." El menceritakan kejadian di kantor tadi.
"Itu kan salahmu sendiri, El. Sudah tahu sepatu kotor, kenapa tidak melepas sepatu di depan pintu kantor," ucap Nini Rara.
"Mana ada aturan begitu, Nini. Selama aku bekerja, tidak ada orang masuk kantor harus lepas sepatu di depan pintu kantor."
"Begitulah seharusnya. Jangan samakan kantor besar di Jakarta dengan kantor kecil kita di sini, El. Dan jangan mempersulit pekerjaan orang lain, agar pekerjaan kamu juga tidak dipersulit oleh orang lain. Pamanmu pasti lepas sepatu di depan pintu kantor, ya kan." Nini Rara menasehati El. Terlalu lama tinggal di Jakarta membuat kepekaan El sebagai seorang Ramadhan berkurang.
"Paman pergi ke kantor pakai sandal jepit, Nini. Sandal jepitnya dilepas di depan pintu kantor, lalu diambilkan sandal jepit lain oleh si office girl itu."
"Lain kali kalau kamu pergi ke kantor, hari hujan ya begitu juga. Aku yakin semua staf kantor pasti melepas sepatu di depan pintu kantor."
"Iya, Nini."
"Office girl itu digaji memang untuk membersihkan kantor, tapi bukan berarti kita bisa seenaknya. Belajar peka pada pekerjaan orang lain, El. Hargai profesi mereka. Hormati mereka sebagai manusia."
"Iya, Nini."
El tidak berani membantah kalau sang Nini sudah ceramah. Jangan coba-coba mendebat Nini nya. Siapapun tidak akan pernah menang.
"Pamanmu itu pergi ke kantor memang tidak memakai sepatu. Dia memakai sandal jepit. Sepatunya ditinggal di kantor. Karena dia kadang harus menghadiri rapat, kadang harus ke lokasi tambang. Tentu sepatu yang dipakai berbeda. Jadi di ruangan kantornya dia sediakan pakaian ganti dan sepatu juga."
"Berarti nanti aku pergi dari rumah juga pakai sandal ya, Nini, dan sepatu aku tinggal di sana seperti paman."
"Kadang ada urusan tak terduga yang membuat kamu harus pergi ke sana dan ke sini. Kamu ikuti saja cara pamanmu. Siapkan sepatu dan pakaian di ruangan kantormu."
"Iya, Nini."
"Kalau hujan, pakai sandal jepit dari rumah. Lepas di depan pintu kantor. Sediakan satu sandal lain di sana, biar kamu tidak nyeker saat masuk ke dalam kantor."
"Iya, Nini."
El heran, perkara sandal dan sepatu saja bisa seribet ini di hadapan nini nya. Dan semua hanya gara-gara si office girl galak itu.
'Awas kamu, El OG, aku akan buat kamu tidak betah dan minta ke luar dari kantor. Gara-gara kamu, aku diomeli Nini ku.'
El semakin kesal pada Elia.
"Karena sekarang sudah ada kamu di kantor, jadi pamanmu bisa sering turun ke lokasi untuk melihat keadaan tambang langsung." Kai yang bicara setelah sepi sesaat tadi. Kai menatap El yang menyuap lempeng.
"Iya, Kai."
"Sebenarnya Kai kasihan dengan paman kamu, karena harus bolak-balik lokasi tambang, tapi mau bagaimana lagi. Itu memang harus dilakukan."
"Nanti El juga harus belajar menguasai medan tambang. Haris tahu cara kerja di sana. Jadi gantian kamu yang bolak-balik ke tambang El. Biar paman kamu di kantor saja."
"Iya, Nini."
Mereka melanjutkan obrolan tentang pekerjaan baru El.
Dari rumah nini nya El pulang ke rumah orang tuanya.
*
Hari kedua masuk kantor.
Hujan kembali turun.
"Ke kantor kok pakai sendal jepit, El?" tegur abahnya saat El pamit pergi ke kantor. Pakaian El rapi seperti akan ke kantor biasanya, tapi ia memakai sandal jepit.
"Hujan, Abba. Sepatu ku di sini." El menunjukkan tas yang ia bawa.
"Bawa tas apa isinya, El?" Tanya Amma nya.
"Kata Nini sebaiknya aku bawa sepatu kantor, sepatu untuk ke tambang, sandal jepit, dan pakaian ganti, seperti Paman Aay. Karena kadang ada rapat mendadak, atau ke lokasi mendadak. Jadi aku ikuti seperti itu."
"Oh begitu ya. Tapi kenapa kamu pakai sandal jepit dari rumah?" Tanya Amma nya.
"Office girl di kantor itu galak sekali, Amma. Kemarin aku bertengkar dengan dia, gara-gara sepatuku membawa becek dan menempel di lantai yang sudah dipel. Dia marah-marah. Aku lihat Paman Aay datang pakai sandal jepit. Sandalnya dilepas di depan pintu. Lalu Paman masuk kantor dengan sandal jepit yang disiapkan di kantor."
"Ya tidak salah kalau dia marah. Sudah capek ngepel lalu dikotori lagi. Amma juga marah kalau begitu, El."
"Tapi itu kan tugas dia, Amma. Seorang office girl tidak boleh mengomentari apa yang dilakukan bosnya."
El semakin kesal pada El OG, karena keluarganya justru membela si office girl galak itu.
"Bosnya harus peka, El. Kalau kotor, sepatu kamu harus lepas di depan pintu, bukan dibawa masuk."
"Aku heran. Kenapa semua orang membela si office girl galak itu." Akhirnya El mengungkapkan rasa kesalnya.
"Bukan membela dia, tapi memang kamu yang salah. Kamu harus peka. Jangan mentang-mentang ada tukang bersih lantai, lalu kamu seenaknya mengotori lantai yang sudah dibersihkan."
"Iya, Amma."
EL tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang si office girl galak dengan kedua orang tuanya. Amma nya bukan orang yang suka banyak bicara. Jika amma nya banyak bicara, itu artinya ia harus berhenti bicara.
Setelah sarapan, El langsung pergi dengan mobil amma nya, karena mobilnya sendiri belum dikirim dari Jakarta. El masih bimbang tentang mobilnya. Ada niat untuk menjual mobilnya itu, tapi ada rasa sayang, karena ada kenangan bersama Sabila di sana. Juga karen mobil itu mobil pertama yang ia beli dengan tetes keringatnya sendiri.
El tiba di kantor. Ia keluar dari mobil dengan membuka payung dan menenteng tas berisi sepatu, sandal, dan pakaian untuk cadangan yang akan ia simpan di ruangan kantornya. El juga membawa tas kecil berisi bekal yang tadi ia minta pada Amma nya..
Office girl judes itu membukakan pintu untuknya. El melepas sandal jepitnya di depan pintu, lalu meletakkan sandal jepit itu agak ke samping agar tidak menghalangi orang yang ingin masuk.
El yakin si office girl galak itu pasti merasa menang, karena El mengikuti apa yang dia katakan.
"Selamat pagi, Pak El bos. Terima kasih untuk memakai sandal jepit dan melepaskan sandal Bapak di depan pintu. Dengan begitu, saya tidak perlu mengepel lantai dua kali lagi. Bapak ingin minum apa untuk pagi ini?"
Ramah sekali si office girl menyapa El, tapi El justru merasa diolok-olok.
"Tidak usah. Aku bawa minum dari rumah." El menolak ketus tawaran Elia, karena ia membawa termos kecil yang berisi kopi s**u dari rumah. Juga membawa bekal singkong goreng dengan sambal petis buatan amma nya.
"Ditanya baik-baik jawabnya begitu. Bos ketus!" Elia menggerutu saat El sudah berlalu dari hadapannya.
"Kamu bicara apa?"
El mendengar gerutu Elia. El memutar tubuh menatap Elia dengan tatapan kesal.
"Tidak ada." Kepala Elia menggeleng.
"Kamu menggerutu karena saya!?'
"Saya hanya bingung. Bapak saya tanya baik-baik, Bapak jawabnya ngegas begitu."
"Saya tidak ingin berdebat dengan kamu. Dan jangan mencari-cari masalah dengan saya!"
El memutar tubuh, lalu melangkah meninggalkan Elia.
"Ganteng ganteng pemarah. Mau bikin sinetron, Pak." Elia kembali menggerutu.
"Siapa yang ganteng, El?"
Elia sangat terkejut, karena bos sudah berada di dekatnya.
"Tidak, Pak Bos. Bos ingin minum apa?"
"Terima kasih, saya bawa minum dan bekal bolu dari rumah." Aay memperlihatkan tas bekalnya.
"Oh, baik, Pak."
"Saya ke ruangan saya, El."
"Silakan, Pak."
Elia menatap Bos Aay yang masuk ke ruangannya. Elia teringat keluarga Ramadhan. Semua Ramadhan yang ia temui baik, ramah, sopan. Tapi Ramadhan yang namanya sama dengannya sangat berbeda.
'Apa mungkin karena si bos ketus itu kelamaan tinggal di Jakarta ya. Eh, tapi aku juga dari Jakarta. Aku ... astaga aku juga judes ke dia. Kenapa aku bisa judes begitu ya ke El Bos. Hhh ... harus judes sih ke orang seperti dia.'
*