El meletakkan ponsel di atas meja. Ia duduk dengan punggung bersandar di kursi kerjanya. El teringat masa dua tahun yang lalu, saat pertama kali ia bertemu dengan Sabila. Mereka diperkenalkan oleh Rizky, teman kuliah El dulu. Sabila adalah teman adik Rizky. Mereka bertemu di rumah Rizky saat Rizky menikah. Sabila yang lebih agresif dalam mendekatinya. El menerima Sabila dengan tangan terbuka. Karena keluarganya di kampung, juga sudah menuntutnya untuk segera menikah. El ingin mencari istri, bukan pacar lagi. Ternyata Sabila juga berpikiran sama. Namun mereka tidak tergesa untuk menikah. Mereka ingin mendalami karakter masing-masing dulu. Agar lebih saling mengenal satu sama lain.
Selama dua tahun ini hubungannya dengan Sabila memang pasang surut. Mereka masih tidak bisa meredam ego, karena itu sering bertengkar dan putus sambung beberapa kali. Tapi El tidak pernah menceritakan masalah putus sambungnya dengan Sabila pada keluarganya. Karena tidak ingin masalahnya menjadi beban bagi keluarga, terutama bagi neneknya dan kakeknya yang sudah tua.
El mantap untuk melamar Sabila, setelah selama enam bulan ini hubungan mereka stabil, tidak ada pertengkaran yang berarti. El sudah berusaha meredam egonya dan membiarkan Sabila melakukan yang dia inginkan untuk tetap bekerja. Karena awalnya, El ingin Sabila berhenti bekerja setelah mereka menikah. El sendiri tadinya merasa masih bimbang, ingin tetap bertahan di Jakarta, ataukah pulang ke kampung halamannya, karena tenaganya juga sangat diperlukan di sana, dalam mengelola perusahaan keluarga. Namun, karena Sabila mengatakan ingin tetap tinggal di Jakarta dan tidak ingin tinggal di kampung, maka El memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta.
Untuk sementara ini, El tinggal di apartemen. sejak lulus kuliah dan mulai bekerja penuh waktu di perusahaan, El tidak lagi tinggal di rumah salah satu keluarganya yang ada di Jakarta. El berusaha untuk mandiri. Baginya, mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah hal yang susah, karena ia sudah terbiasa. Untuk urusan makan pun tidak kerepotan, karena ia pintar memasak. Hampir semua laki-laki dalam keluarganya, bisa memasak. Bahkan ayahnya yang tadinya tidak bisa memasak, jadi bisa memasak sejak masuk dalam keluarga besar ibunya.
El mengusap wajah, keputusan Sabila yang tiba-tiba membatalkan pernikahan mereka membuat dadanya sesak. El berusaha ikhlas, dan berpikir positif dengan meyakini, pasti ada hikmah dari kejadian pahit yang dialami saat ini. Yang menjadi pikiran El saat ini bukan rasa sakit hatinya, tapi bagaimana cara ia menyampaikan kepada keluarganya tentang Sabila.
Ponsel El di atas meja berbunyi.
El meraih ponsel, panggilan dari neneknya..
"Assalamualaikum, Nini."
"Wa'alaikum salam, El. Ini kami akan segera terbang ke Jakarta. Kami akan dijemput dan bermalam di rumah Ello. Jadi kamu tidak perlu menjemput kami."
"Baik, Nini. Semoga selamat sampai di tujuan. Salam untuk Kai, Abba, dan Amma."
"Iya. Nini hanya ingin memberitahukan itu, assalamualaikum, El."
"Wa'alaikum salam. Telepon aku kalau sudah sampai di sana ya, Ni."
"Iya._
Sambungan telepon berakhir, El meletakkan ponselnya di atas meja.
Eh bingung, bagaimana cara menyampaikan keputusan Sabila kepada keluarganya. Keluarga datang dari kampung dengan rasa gembira, sukacita, dan bahagia dengan tujuan melamar Sabila pada keluarganya. Tapi apa yang sudah Sabila lakukan sungguh menyakitkan perasaan El. Sabila mengkhianatinya dan terjerumus dalam hubungan dosa. yang katanya diawali dari tidak sengaja, tapi kemudian mengulanginya lagi. Berarti tidak ada penyesalan pada diri Sabila, saat melakukan untuk pertama kalinya, sehingga terus berlanjut sampai Sabila hamil.
'Kenapa kamu Setega ini, Sabila? Kamu bukan lagi gadis yang beranjak dewasa, apalagi masih remaja. Kamu sudah dewasa yang tentunya sudah bisa berpikir dengan baik. Harusnya kamu tidak tergoda bujuk rayu pria. Harusnya kamu bisa menempatkan diri dengan baik. Entah apa yang membuat kamu seperti ini. Bisa melupakan hubungan kita demi cinta masa lalu kamu. Apa yang kamu lakukan menyakiti banyak hati. Hatiku, hati Isti Rian, hati anak Rian, hari keluargaku, dan terutama hati kedua orang tuamu. Sungguh aku tidak mengerti, kenapa kamu bisa seperti ini.'
El menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan perlahan.
Rian itu adalah pria yang mengambil keperawanan Sabila di masa SMA. Sabila memang jujur menceritakan itu kepada El, dan El tidak keberatan menerima Sabila dengan semua masa lalunya. Karena dirinya sendiri pun sering berhubungan dengan para wanita, walaupun tidak sampai di titik seperti yang Sabila lakukan bersama Rian.
El kembali menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan perlahan, ia berusaha mengusir sesak yang sangat mengganggunya. El berusaha untuk menata hati yang remuk redam, karena sebuah pengkhianatan yang menyakitkan. El merasa sangat kecewa, Sabila memutuskan hubungan mereka di saat rencana untuk menikahi Sabila sudah matang, bahkan sudah meminta keluarga dari kampung datang untuk melamar Sabila secara resmi. Andai Sabila menolak lamarannya, itu lebih baik. Agar ia tidak memberi harapan pada keluarganya.
El mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, lalu mengusap dadanya, berusaha mengusir sesak yang belum mau sirna.
'Sudahlah, El. Percayalah ini yang terbaik dari Allah untukmu. Yakinlah akan ada hikmah yang bisa kamu petik dari kejadian ini. Lebih baik kamu tahu sekarang, kalau Sabila bukan wanita yang setia. Daripada tahu nanti, setelah kalian menikah. Allah Maha baik, El. Dia tunjukkan lebih awal seperti apa sifat Sabila padamu, sebelum hubungan kalian lebih jauh lagi.'
El berusaha berprasangka baik pada rasa patah hati yang ia alami saat ini. Sekarang ia harus fokus merangkai kata untuk menyampaikan kabar ini pada keluarganya.
*
Dari kantor El langsung berangkat menuju rumah keluarganya, tempat di mana keluarga dari kampung menginap.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
El disambut dengan pelukan oleh ibunya.
"Amma." Dalam keluarga mereka, memanggil ibu dengan sebutan amma dan memanggil ayah dengan sebutan abba. Ini sudah turun temurun dari nenek moyang seperti itu. El balas memeluk sang ibu Wanita cantik dengan wajah ala Timur Tengah yang diturunkan kepadanya, sehingga orang-orang selalu menyebutnya mirip orang Turki.
"Apa kabar, El."
"Alhamdulillah sehat, Amma. Amma juga apa kabar?"
"Alhamdulillah sehat."
El sejenak memeluk wanita yang sudah melahirkannya. Wanita yang memiliki masa lalu istimewa. Lalu El berpindah memeluk Abba nya.
"Sehat, El?"
"Alhamdulillah sehat, Abba."
Kemudian El berpindah lagi kepada neneknya, yang ia panggil dengan sebutan Nini, dan kakeknya yang ia panggil dengan sebutan kai, panggilan khas dari orang Kalimantan Selatan.
El memeluk neneknya dengan erat. Tubuh neneknya sama besar dengan tubuh ibunya, sehingga tenggelam dalam pelukan kedua tangannya. Usia neneknya hampir tujuh puluh tahun. Di usia senja kecantikan neneknya masih terlihat dengan jelas. Juga kegesitannya.
"Apa kabar keluarga di kampung, Ni?"
"Alhamdulillah, sehat semua, El."
"Alhamdulillah."
Lalu El beralih kepada kai nya. Seorang pria yang masih tampan dalam usianya yang sudah banyak. Kai seorang yang selalu lembut dalam bersikap dan bertutur kata. Kai yang baik, perhatian, penuh kasih sayang, dan tak pernah bersuara kasar, apalagi bertindak kasar. Bagi El, kai adalah idolanya.
"Mana calon istrimu? Kenapa tidak kamu ajak ke sini untuk diperkenalkan kepada kamu?' tanya Kai.
El tidak langsung menjawab. Ia menghela nafas berat, lalu menatap satu persatu keluarganya yang ada di sana.
"Helaan nafas kamu itu tidak menunjukkan kalau kamu sedang bahagia karena akan menikah, El. Ada masalah apa yang membuat kamu gelisah?" Neneknya, Nini Rara, memang memiliki kepekaan yang lebih dari orang lain. Nini Rara selalu bisa membaca bila ada yang tidak beres pada keluarganya.
"Duduk dulu Amma, Abba, Nini, dan Kai. Akan aku ceritakan apa yang sudah terjadi."
Kedua orang tuanya, nenek dan kakek duduk di sofa.
"Ada apa sebenarnya, El? Apa terjadi sesuatu terhadap hubunganmu dengan Sabila? Apakah kalian bertengkar? Ataukah Sabila memutuskan hubungan kalian?"
El kembali menghela nafas. Begitulah Nini Rara. Bak jaksa saat memberikan pertanyaan. Nini Rara orang yang paling peka, paling tegas, sekaligus paling perhatian di dalam keluarga mereka.
El masih diam, mencari kata yang tepat untuk menyampaikan keputusan Sabila pada keluarganya.
*