."Aku hamil."
El tak bereaksi atas ucapan Sabila, kekasihnya.
"Aku hamil, El!" Sabila nyaris berteriak di hadapan El. El terperanjat, bagai baru bangun dari lamunan.
"Apa? Apa maksud kamu. Kita tidak pernah ...."
"Aku hamil bukan anakmu!"
Ucapan Sabila membuat El membeku sesaat.
"Aku hamil bukan anakmu!" Sabila mengulangi ucapannya. Kali ini El bereaksi.
"Apa!?" Mata El melotot menatap Bila.
"Tidak mungkin." Kepala El menggeleng. Bagaimana bisa, Sabila yang sudah dua tahun menjadi kekasihnya, mengaku hamil, dan itu sudah pasti memang bukan anaknya. Karena mereka tidak pernah tidur berdua.
"Aku minta maaf ...." Suara Sabila yang tadi cukup nyaring berubah pelan. Namun El tidak merasakan ada ketulusan dari permintaan maaf Sabila. El ingin memaki untuk meluapkan rasa kecewa, tapi mulutnya sulit untuk berkata-kata. Bibirnya terkunci dengan tiba-tiba, hanya kedua telapak tangannya yang mengepal dengan kuat, menunjukkan kalau ia tengah menahan rasa kecewa.
"Awalnya, aku melakukannya dengan tidak sengaja. Kesalahanku adalah, aku mengulanginya di lain waktu." Mata Sabila menatap El yang diam membeku. El terlalu terkejut dengan pengakuan wanita yang sudah menerima lamarannya.
"Bicara, El. Kita tidak mungkin melanjutkan rencana pernikahan kita. Aku tidak bisa menikah denganmu, karena ini bukan anakmu. Kecuali kalau kamu bersedia menerima dia sebagai anakmu."
Sungguh El tidak melihat rasa bersalah sedikitpun dari cara bicara dan dari sikap Sabila kepadanya. Maaf yang Sabila ucapkan bagai hanya basa basi semata.
"Siapa dia?" tanya El dengan suara dingin.
"Rian." Sabila menyebut satu nama. El mencoba mengingat apakah Sabila pernah menyebut nama itu di hadapannya.
"Rian?"
"Mantanku saat SMA dulu."
"Apa ini bermula dari saat kamu ikut reuni SMA waktu itu?" Tanya El. Sabila memang pernah minta ijin mengikuti reuni SMA. El tidak ikut karena menurut Sabila dilarang membawa pasangan.
"Iya." Kepala Sabila mengangguk.
"Kenapa kamu baru bercerita, setelah aku memintamu kepada orang tuamu. Kenapa tidak kamu ceritakan saat aku melamar kamu. Kenapa kamu baru jujur setelah aku memberitahu keluargaku, agar datang ke sini untuk melamar kamu secara resmi, kenapa, Sabila?"
"Maafkan aku. Aku pikir tidak akan hamil."
El terkejut mendengar nada bicara Sabila yang sangat enteng, seakan kesalahan yang dia lakukan bukan masalah besar, bukan dosa.
"Jadi kamu ingin berbohong padaku. Kamu ingin aku menerima dirimu dengan kesalahan yang sudah kamu perbuat. Kamu tidak akan memberitahuku, apa yang kamu lakukan di belakangku, kalau kamu tidak hamil?"
El menggebrak meja dengan telapak tangannya. El tak habis pikir dengan Sabila yang menganggap sepele hubungan mereka.
"Aku sudah minta maaf. Mau kamu maafkan, atau tidak, terserah kamu."
"Kenapa harus mengulangi kesalahan yang sama, Sabila? Aku bisa menerima kamu, dengan masa lalu kamu yang buruk saat SMA. Aku bisa menerima cara kamu bergaul dengan bebas saat dulu. Aku menghargai kejujuran kamu yang yang mengakui tidak perawan lagi, karena sudah tidur dengan si Rian itu saat SMA. Apakah masih kurang penerimaanku terhadap kamu selama ini?"
"Sudah aku katakan, kalau apa yang kulakukan dengan Rian awalnya tidak sengaja."
"Jika kamu tahu itu kesalahan, kenapa kamu mengulanginya?"
"Aku tidak tahu, aku tidak bisa menghindarinya. Yang pasti sekarang aku tidak ingin melanjutkan rencana pernikahan kita."
"Lalu bagaimana dengan anak yang sedang kamu kandung saat ini?"
"Rian siap bertanggung jawab. Aku akan menikah dengan Rian."
"Kamu pernah bercerita, kalau Rian sudah menikah dan sudah memiliki anak. Dia menikah muda karena pacarnya hamil di luar nikah."
Aku tidak punya pilihan. Anak ini harus mendapatkan cinta dan kasih sayang dari ayah kandungnya. Keputusanku sudah bulat. Tidak ada lamaran, apalagi pernikahan di antara kita. Aku harus pergi sekarang selamat siang."
Sabila mengambil tas yang ada di atas meja kerja El, lalu ia beranjak meninggalkan ruangan kantor El. El terdiam, terpaku. Segampang itu hubungan yang sudah berjalan serius selama dua tahun berakhir. Semudah utu Sabila datang membatalkan pernikahan, di saat semua rencana sudah disusun. El sudah meminta Sabila kepada kedua orang tuanya. Setelah itu El melamar Sabila satu minggu yang lalu dan sabila menerima lamarannya. Begitu Sabila menerima lamarannya. El langsung meminta kepada orang tuanya untuk datang melamar sabila secara resmi. Siang ini kedua orang tuanya, kakek dan neneknya, akan tiba di Jakarta. Besok malam mereka akan datang berkunjung ke rumah Sabila.
El meremas rambut dengan kedua telapak tangan. El tidak tahu apa yang harus dikatakan. Apa yang harus dikatakan kepada keluarganya. Kedua orang tua, nenek, dan kakeknya sangat bahagia saat tahu dirinya sudah menemukan calon teman hidup untuk sepanjang sisa usia. Masih terbayang di dalam ingatan El bagaimana saat ia menelpon, lalu mengadakan video call dengan keluarga di sana. Neneknya yang paling bahagia saat tahu ia akan menikah.
Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan. Keputusan Sabila bukan hanya mematahkan hatinya, tapi juga pasti akan menghempaskan harapan keluarga besarnya. Usianya sekarang sudah tiga puluh tahun. Pernikahannya adalah hal yang paling ditunggu oleh keluarganya. Saudara kembarnya, Zizi, sudah menikah sepuluh tahun lalu dan sudah memiliki tiga orang anak kembar.
Ponsel El di atas meja berbunyi. El mengambil ponsel dan melihat siapa yang meneleponnya. Ternyata yang menelepon adalah ibunya Sabila.
"Assalamualaikum, Ibu."
"Wa'alaikum salam. Apakah kamu sudah bertemu Sabila hari ini, El?" Lembut suara wanita tua itu menyapa El. Usia ibu Sabila hampir sama dengan usia nenek El.
"Sudah, Bu." El menjawab dengan nada lembut juga.
Terdengar suara tangis dari wanita tua itu. El menghela nafas. El sangat menghormati orang tua Sabila. Bagi El, ibunya Sabila bukan hanya sekedar calon mertua, tapi sudah dianggap seperti ibunya sendiri, karena dirinya tinggal berjauhan dengan ibu kandungnya.
"Bu ...."
"Maafkan, Ibu, El."
"Ibu tidak salah. Tidak perlu meminta maaf, Bu."
"Kesalahan ibu karena tidak bisa mendidik Sabila. Ibu tidak bisa menjaga dia, agar tidak berbuat dosa." Wanita tua itu kembali terisak.
"Sabila sudah dewasa, Bu. Dia sudah tahu apakah yang diperbuat salah, atau benar. Jadi ini bukan salah Ibu."
"Tapi tetap saja Ibu bersalah, El. Sebelum dia menikah, dia masih tanggung jawab kami sebagai orang tuanya. Ibu merasa tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Kamu jangan benci ibu ya. Ibu menyayangimu."
"Bu, kami tidak berjodoh, itu sudah kehendakNya. Buat aku, tidak ada yang harus berubah dari hubungan kita, Bu. Ibu tetap aku anggap sebagai ibuku, meski aku tidak menikah dengan Sabila." El berusaha menghalau kecemasan ibunya Sabila. Selama ini, El merasakan kasih sayang tulus dari ibunya Sabila.
"Begitu luasnya hatimu, El. Pemikiran kamu sangat dewasa. Ibu sangat kecewa pada Sabila. Bagaimana bisa dia melakukan hal seperti ini pada kamu. Dia mengkhianati kamu dengan lelaki yang sudah memiliki istri dan anak."
"Kita hanya bisa sabar dan tabah menghadapi semua ini. Ibu tidak perlu khawatirkan tentang aku. Aku baik-baik saja, meskipun jujur aku merasa kecewa. Tapi aku akan mencoba ikhlas menerima ini. Berarti kami tidak berjodoh, Bu. Aku bukan yang terbaik untuk Sabila."
"Tidak El. Sabila bukan yang terbaik untukmu. Kamu sangat baik, dari keluarga baik-baik. Ibu yakin kamu akan menemukan jodoh yang jauh lebih baik. Doa ibu selalu menyertai langkahmu, El. Ibu dan bapak menyayangi kamu."
"Terima kasih, Ibu. Aku juga menyayangi ibu dan bapak. Ibu dan bapak sudah ku anggap seperti orang tuaku sendiri."
"Terima kasih, El. Karena kamu tidak membenci Ibu."
Perasaan El bergetar. El tahu, ibunya Sabila pasti sangat kecewa pada Sabila.
"Tidak ada sesuatu hal yang membuat aku harus membenci ibu dan bapak. Apa yang terjadi adalah tanggung jawab Sabila sendiri, Bu. Aku yakin ibu dan bapak sudah mendidik dia dengan baik, tapi lingkungan yang mempengaruhi dia."
"Sekali lagi, atas nama keluarga, Ibu memohon maaf kepadamu, El. Sampaikan juga maaf kami kepada keluargamu. Doa ibu yang terbaik untukmu. Kamu pasti mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dari Sabila, aamiin."
"Aamiin. terima kasih, Ibu."
"Assalamualaikum, El."
"Wa'alaikum salam, Bu."
*