Jingga aku mencintaimu

1521 Kata
“Tidak sayang, kau bukan sebuah kesalahan. Jangan katakan itu, hatiku sakit mendengarnya." Jingga memeluk Aldebaran yang sudah sesenggukan. Hatinya sakit melihat putranya menangis. “Lalu apa?” “Papa sayang kamu tapi, dia dihadapkan pada satu pilihan yang membuatnya jadi pengecut. Mama sangat ingat dia menciummu dalam perut mama. Dia juga sering membawakan makanan yang aku mau, yang kau mau juga.” kata Jingga, menceritakan apa yang ia ingat. Membesarkan hati putranya. “Kalau dia sayang Al. Kenapa dia pergi?” Tanya Aldebaran masih penasaran. “Jangan tanya apapun mengenai itu, Al. Kau cukup tahu kalau mama sangat mencintaimu. Kau kehidupan mama, dan mama janji akan berusaha membahagiakan kamu, sayang.” ujar Jingga, mengansurkan ibu jarinya membelai pipi basah Aldebaran. “Jangan membencinya, Al. Dia papa kamu, dalam dirimu ada darahnya yang tidak bisa kita hapus.” Cukup Mama saja yang membencinya. bergumam dalam hati, menipiskan bibir menatap manik putranya. “Al tidak benci hanya marah.” “Iya, kau boleh marah padanya, tapi jangan larut sayang.” "Kemarin aku berusaha menolak kehadirannya. Aku membencinya saat dia mendekatimu. Rasanya ingin mencabik wajahnya, tapi Al. Mama sadar, kau berhak tahu siapa Papa kandungmu.” Jingga membatin, mengingat betapa marahnya dia saat bertemu Elesh. “Iya mama.” Aldebaran tersenyum. Aku akan memberinya maaf setelah mama tersenyum melihatnya. Aldebaran membatin. Jingga mencium kening Aldebaran lalu membaringkan putranya kemudian memeluk dari belakang. “Mama ingin tidur bersamamu, aku sayang, Al.” gumam Jingga. “Al juga sayang, Mama.” Balas Aldebaran. Mereka terdiam masuk dalam pikiran masing-masing sampai rasa kantuk membuat mereka terpejam. ….. “Kau yakin tidak mau diantar?” Tanya Elesh saat Jingga hendak keluar apartemen. “Tidak perlu, tolong jaga Aldebaran sebentar. Aku segera kembali dan kau bisa bekerja.” “Baiklah, hati-hati, Jingga.” aku mencintaimu. Menelan kata-kata itu dalam hatinya. Jingga berlalu meninggalkan tempat itu. Elesh masuk ke dalam kamar Aldebaran, pria kecil terlihat murung ketika melihat Elesh. “Kau sudah makan?” Tanya Elesh dengan sangat hati-hati. Putranya sangat pintar menyakiti hati. Ia tak ingin kecewa. “Kau pikir Mama akan pergi tanpa memberiku makan?” sahutnya ketus. Elesh menarik napas pelan, salah lagi. Ia mendekati Aldebaran yang duduk di atas ranjang. “Bagaimana kalau kita main PlayStation hari ini?” “Jangan bicara denganku.” “Al, maafin papa. Katakan apa yang harus aku lakukan?” “Kau lupa apa yang aku katakan?” “Baiklah, Mama sangat susah tersenyum tapi, aku akan berusaha.” ujar Elesh, duduk ditepi ranjang. Mengingat syarat yang diajukan putranya. Hening …. Berhadapan dengan Aldebaran sama tegangnya saat ia pertama kali merobek perut orang hamil di meja operasi. Panas dingin dan tidak dapat menghindar selain menghadapinya. “Kau tidak khawatir melihatnya pergi sendiri?” Tanya Aldebaran, ia melihat Elesh, yang menunduk diam. “Aku tidak bisa memaksa, Al. Jingga ingin pergi sendiri.” balasnya. Sejujurnya ia sangat berharap Jingga mengajaknya tapi, perempuan itu memilih pergi sendiri. “Kalau begitu kau boleh pergi, aku tidak membutuhkanmu disini.” Aldebaran ingin menutup dirinya dengan selimut, Namun Elesh menahannya. “Aku harus bagaimana? Aku bingung, Al. Kalian tolong jangan memusuhiku seperti ini." ucapnya lirih, dan menatap Aldebaran dengan tatapan mengiba. “Kalau kau peduli, kejar mama dan temenin ke rumah. Ayah tidak akan mengizinkan mama kembali kalau sampai ayah melihatnya.” ujar Aldebaran, netranya sudah berkaca-kaca. Elesh tertegun melihat putranya yang selalu memperhatikan Jingga, melebihi orang dewasa. Elesh mengangguk kecil, ia mengusap pucuk kepala Aldebaran dengan sayang lalu berujar. “Kau yakin bisa tinggal sendiri?” “Aku bukan anak kecil?” “Kau benar, baiklah. Papa akan menyusul mama.” Elesh berdiri kemudian keluar kamar dan mengejar Jingga ke lobby apartemen namun, tidak terlihat lagi. …. Jingga memperhatikan sekitarnya, seperti pencuri masuk ke dalam rumahnya sendiri. Pelan-pelan Jingga menekan handle pintu lalu mendorong pelan. Ia membawa langkah masuk dan menuju kamarnya, memeriksa keberadaan Amos. Ia bernapas lega, saat tidak menemukan pria itu di dalam kamar. Jingga buru-buru membuka lemari, mengambil tas jinjing. Mengeluarkan berkas-berkas milik putranya dari laci almari lalu memasukkan ke dalam tas. Dia juga tak lupa memasukkan beberapa helai pakaiannya ke dalam tas. “Kau butuh bantuan, Jingga?” Jingga tersentak mendengar suara Amos yang tengah bersandar di kusen pintu kamar seraya melipat tangan didepan d**a. Amos tersenyum, ia tidak sengaja melihat Jingga turun dari taksi di depan pintu kompleks saat ia hendak kembali mencari Aldebaran ke sekolahan lalu ia mengikuti dari belakang dengan jarak jauh. "Amos," Gumam Jingga, ia berdiri ketakutan melihat bibir Amos tersenyum sinis ke arahnya. "Kau mau kemana?" Amos melepas sabuk pinggangnya. "Aku ingin kita berpisah, Amos. Aku mau hidup berdua dengan putraku." ujar Jingga, dengan nada takut-takut. "Tolong ceraikan aku." Pintanya. Amos tergelak, ia meluruskan ikat lalu menggulung kepalanya di telapak tangan kemudian Amos melecutkan ekor ikat pinggang ke udara hingga menghasilkan suara menakutkan. "Sampai kau mati Jingga, aku tidak akan pernah melepasmu." Ia mendekat. Jingga refleks mundur ke sudut ruangan. "Katakan apa yang kau lakukan di belakangku selama ini?" Amos menarik paksa tangan Jingga dan menghempaskan nya hingga terjatuh ke tengah ruang kamar. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apapun, Amos. Aku mohon lepaskan aku." Jingga mengatupkan kedua telapak tangan menjadi satu didepan d**a, memohon pada Amos. "Sungguh?" Amos berdiri menjulang di hadapan Jingga. Ia berjongkok dan menekan rahang Jingga kuat-kuat. "Elesh Altair." Sebutnya. Jingga membelalak mendengar nama itu dari mulut Amos. "Siapa pria yang mengaku ayahnya Aldebaran?" Jingga menggeleng kecil, Amos melepas tangannya dari rahang Jingga kasar. "Kau tidak mau mengaku? Lantas dimana Aldebaran?" Tanya Amos dengan suara datar. Tangannya berayun dan ... Ctash! Jingga menjerit kesakitan, satu cambukan merobek kulitnya hingga merah dan panas. "Ampun Amos, aku mohon lepaskan aku. Amos tolong kasihanilah aku." Amos tergelak, gelak mengerikan memenuhi ruang kamar itu. Jingga mencoba mengusap punggungnya yang terasa di bakar. "Katakan siapa pria itu, Jingga!" Teriak Amos. Ctash! Ia mengayunkan kembali sabuk pinggang dan mengenai tangan Jingga. "Aaahh … sakit Amos, dia papa Aldebaran. Kami bertemu secara kebetulan." ujar menahan sakit luar biasa. "Secara kebetulan? Kau selingkuh di belakangku, Jingga. Pantas saja kau tidak pernah ikhlas setiap kali aku menginginkanmu. Rupanya kau memiliki pria lain." Ctash! Cambukan ketiga mendarat di punggung Jingga. Gadis itu menjerit sakit. Tak puas sampai menguliti Jingga. Amos menarik kerah kaos Jingga, membuat perempuan mungil itu berdiri gemetar. Amos mendorong Jingga ke ranjang lalu menindihnya dari atas. Jingga berontak, menendang-nendangkan kakinya. Dengan mudah Amos mengunci tangan Jingga di atas kepala dengan satu tangan. Sementara tangan lain menurunkan celana Jingga. "Jangan lakukan itu, aku mohon…." Jingga memohon, dia lelah selalu saja di lecehkan Amos. Elesh baru saja tiba di depan rumah Jingga, ia berniat mengetuk pintu tapi urung. Samar-samar telinganya mendengar suara isakan tangis dari dalam rumah. Elesh melebarkan mata. "Jingga," Membatin. Menekan handle pintu dan tidak terkunci. Ia masuk dan semakin jelas mendengar Jingga menangis. "Lepaskan, Amos. Kau menjijikkan." Elesh menekan langkah panjang dan melihat dari ambang pintu Jingga nyaris dilecehkan suaminya. "k*****t!" Teriak Elesh, ia berlari masuk menarik Amos yang sempat menoleh padanya. Lalu menghantam mulut Amos dengan kepalan tangannya sebanyak tiga kali. Amos terhuyung dan jatuh ke lantai. "Jingga," Elesh menghampiri, Jingga segera beringsut ke sudut ranjang, menggelengkan kepala. Ia menarik selimut menutup setengah badannya yang nyaris telanjang. Amos mengusap mulutnya yang berdarah, ia terkekeh begitu melihat Elesh yang memiliki kemiripan dengan Aldebaran. "Jadi b******n ini yang menghamilimu Jingga? Dan memang kau w************n. Kau menerimanya kembali setelah dia membuangmu." "Diam!" Elesh menarik kerah kemeja Amos, memaksa pria itu berdiri. Amos melakukan perlawanan dengan cara mencengkram lengan Elesh kuat-kuat. "Aku akan mengirimmu ke neraka." Desis Elesh. "Lakukan kalau kau sanggup." Mereka bersitatap dengan sorot kejam. Saling mengetatkan rahang. Satu sama lain sama-sama menantang. Jingga segera turun dari ranjang tetapi perempuan itu malah terjatuh di lantai karena panik. Elesh lengah mendengar Jingga memekik sakit. Amos melayangkan tinju ke ulu hati Elesh. "Elesh!" Teriak Jingga, berupaya bangun dari lantai hendak menolong Elesh yang sudah berada di bawah tubuh Amos. Amos mencekik leher Elesh hingga napas pria itu tercekat. "Kau mau mengirimku ke neraka? Hah?Kita lihat siapa yang akan ke neraka terlebih dulu." Amos semakin menekan tangannya di leher Elesh. "Kau ingin mengambil istriku? Beraninya kau b*****t!" Prang! Jingga memukul kepala Amos dengan botol bir milik Amos yang ada di kamar itu. Amos menyentuh kepalanya. Darah segar menetes. Ia melebarkan mata dan menyingkir dari tubuh Elesh. Elesh terbatuk-batuk hingga muntah air liur banyak. Amos mendorong Jingga dan membenturkan kepala perempuan itu pada dinding sebanyak tiga kali. Jingga terjatuh lemah, matanya berkunang-kunang. "Istri sialan!" Amos mengumpat. "b*****t!" Elesh menyeruduk punggung Amos hingga terbanting ke dinding. Hidung dan wajahnya mencium tembok dengan kasar. Ia menolong Jingga, menggendong wanita itu ke luar kamar. Amos berusaha bangun, wajahnya bersimbah darah. Ia mengambil gunting dari dalam laci meja rias. Menekan langkah mengejar lalu menarik rambut Elesh ke belakang. Jingga terjatuh dari gendongan Elesh lalu Amos menusuk perut Amos menggunakan gunting. "Elesh." Teriak Jingga, saat melihat gunting menancap di perut Elesh. Ia menutup telinganya dikala Elesh tak berdaya dan tergeletak di lantai. Amos meludah, "Mati saja kau." Amos keluar dari rumah. "Amos kau sialan!" Teriak Jingga. "Elesh, aku mohon bangun. Buka matamu, jangan tutup. Aku mohon. Tolong jangan begini. Kenapa kau kesini?" Jingga gemetar, mengangkat kepala Elesh ke pangkuannya. "Jingga, aku mencintaimu." lirihnya, dengan mata setengah memejam. "Kenapa bicara cinta saat begini. Aku tidak cinta samamu." Jingga menyentuh perut Elesh. Disana masih ada gunting menancap. "Kalau begitu aku mati saja." "Ya sudah mati saja kalau kau tidak kasihan padaku, El." Jingga menangis, gemetaran. ......
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN