Kau ingin aku seperti Jingga?

1226 Kata
Beberapa petugas berjaga di lingkaran garis polisi yang terpasang. Sekelompok wartawan mengambil gambar kejadian dan ada juga yang langsung menyiarkan live di televisi kejadian tersebut. Sebuah mobil Mitsubishi Pajero Sport mengalami kecelakaan tunggal. Mobil putih tersebut menabrak pembatas jalan hingga terbalik. Elesh menekan d**a. Ia merasa lega, itu bukan mobil Hagena. Ia mencari mobil Hagena di antara barisan mobil yang antri untuk mendapatkan giliran memutar arah. Air matanya menitik deras bercampur dengan air hujan. Ia bergumam sambil melangkah lelah di hujan deras. “Ada apa ini Tuhan, kenapa jadi rumit.” Elesh mengeluh, mengusap air mata yang membuat matanya perih. Ia merasa lelah, menepuk-nepuk d**a yang terasa sesak. Semua masalah tiba-tiba menghampirinya seolah berbahagia tinggal bersama nya. “Elesh …,” Elesh melihat ke sumber suara, ia mengenal suara itu. Tentu saja milik Hagena. Ia melihat Hagena berdiri tak jauh darinya. Hujan mengguyur tubuh keduanya di malam hari dengan penerangan malam yang remang. “Gena.” Elesh bergumam, hatinya terasa sesak. Rasanya ingin memaki perempuan yang nyaris mencopot jantungnya dari tempatnya. Hagena berlari di bawah hujan deras dan melompat pada Elesh. Mengikat pinggang Elesh dengan kedua kakinya dan memeluk erat di leher. “Jangan kembali padanya, aku mohon. Jangan Elesh. Aku mencintaimu, aku mencintaimu. Sungguh, aku mencintaimu.” Hagena berujar sembari menangis, di ceruk leher pria itu. Elesh terenyuh, kehilangan kata-kata. Rasa kesalnya hilang lenyap ketika melihat Hagena rapuh. Ia menepuk pelan punggung Hagena lalu membawa Hagena menuju mobilnya. Mendudukkan wanita itu di bangku penumpang. Melihat wajah Hagena yang pucat membuatnya jadi iba. “Jingga cuma masa lalu, El. Kau tidak boleh pergi padanya.” Ucapnya sembari sesenggukan, meraih wajah Elesh dan menatap netra pria itu dengan tatapan memelas. “Apa yang kau lakukan disini?” Elesh menyeka air mata Hagena. “Ada apa denganmu?” Tanyanya, ia mendesah panjang. “Jangan tinggalkan kami, El. Aku mohon.” Sejak tadi hanya itu yang terucap dari mulutnya. Tubuhnya mulai gemetar kedinginan. “Kita pulang.” “Katakan iya, El.” “Gena ….” “Kau tidak boleh pergi padanya" Teriak Gena. “Sepuluh tahun hatiku mati, jika ada semangat untuk hidup itu karena mereka." "Tidak El, coba kau buka hatimu untukku. Kau pasti melupakan Jingga." "Kita bahas ini di rumah. Adara sakit, suhu tubuhnya tinggi.Tolong pahami aku, Ge.” Elesh menutup pintu mobil lalu masuk ke kursi kemudi. Ia menghidupkan mesin mobil dan mematikan pendingin mobil. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup, istrinya melakukan drama mengerikan. …. Amos menginjak kuat sisa rokoknya di lantai, sejak sadar dari mabuknya ia tidak menemukan Jingga dan putranya di rumah. Kepalanya dipenuhi pertanyaan mengenai hilangnya dua orang itu. Siang hari Amos, mengunjungi sekolahan Aldebaran dan bertanya mengenai putranya. Bukannya mendapat jawaban benar, ia justru tercengang mendengar ucapan guru Aldebaran “Aku bertanya dia masuk atau tidak, kau malah bertanya macam-macam. Aku ayahnya.” Suara Amos meninggi di ruang guru. Membuat beberapa guru menoleh kepada mereka. “Seingat saya, Ayah Aldebaran bukan anda. Belum lama ini, ayah Aldebaran datang dan saya bicara sendiri dengannya." “Omong kosong apa ini?” Amos mengusap rahangnya yang berjambang. “Kalau nggak salah namanya Elesh Altair. Mereka juga sangat mirip.” “Apa?” Amos tercengang, namun ia tak mengenal nama itu. "Tapi, kenapa nama itu seolah mirip- mirip. Aldebaran dan Elesh. Bukankah itu nama-nama bintang? " gumam Amos dalam hati. “Maaf, anda silahkan keluar. Kami akan menghubungi Ibu Jingga. Selama ini hanya dia yang kami kenal sebagai wali Aldebaran. Jadi tolong tinggalkan ruangan ini.” ujar guru, Aldebaran menyadarkan Amos dari lamunannya. Amos menyeret langkahnya keluar dari area sekolah. Memikirkan siapa pria yang bernama Elesh Altair, yang mengaku ayah Aldebaran. "Ayah Aldebaran?" Ia terkekeh, tawanya terdengar menyebalkan. Amos menggaruk rambut lebatnya yang mulai beruban. “Apa yang kau lakukan di belakangku selama ini, Jingga?” Ia bertanya seraya memukul-mukul belakang kepala ke sandaran sofa. Bersumpah akan menemukan Jingga dan memberinya hukuman sampai perempuan itu tahu artinya kata patuh. …. Elesh mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, berjalan menuju boks Adara. Bayi kecil terlelap di sana setelah minum obat. Hagena duduk di sofa menunduk seperti orang kebingungan. Elesh menghampiri dan duduk di hadapan perempuan itu. Hagena mengangkat wajahnya, air matanya menitik begitu saja. “Tolong Gena, kita sudah sepakat dulu. Aku mau mengejar Jingga dan membuat putraku menerimaku. Sejak dia tahu aku mengabaikannya, dia menatapku penuh kebencian. Aku menderita, Gena.” “El, disini juga ada aku. Kita memang menikah diatas perjanjian tetapi, aku sah istrimu dimata hukum dan agama. Aku akan bertahan, dan tidak akan melepasmu.” ujar Hagena. Elesh kecewa, “Sejak awal aku sudah bilang, jangan melibatkan hati dalam hubungan kita. Jika ingin terluka, kau boleh bertahan. Aku sudah memutuskan akan mendapatkan Jingga kembali.” ujarnya. Elesh berdiri dan segera ditahan Hagena. Perempuan bertubuh semampai itu pun berdiri lalu memeluk Elesh dari belakang. “Elesh, harus bagaimana aku mengatakannya? Harus seperti apa aku supaya kau jatuh cinta padaku? Katakan, El. Kau ingin aku seperti Jingga? Aku akan mencobanya. Dia kenapa begitu menarik untukmu? Bukankah aku lebih menarik dari segi apapun?” ujar Hagena, menangis di punggung Elesh. Elesh melepas jalinan tangan Hagena di perutnya, berbalik dan menangkup kedua sisi wajah Hegena. Tinggi mereka hampir sama, Gena berlinang air mata. “Kau tidak perlu melakukan apapun untuk mendapatkan hatiku, Gena. Itu tidak akan mengubah apapun. Hatiku sudah dikutuk hanya untuk dia, kau pikir aku tidak berusaha melupakannya? Aku berusaha melupakan Jingga dalam hidupku. Tapi, tidak bisa Gena. Kau hanya akan menderita jika memaksakan keinginanmu bertahan denganku. Tolong, mari kita saling mengerti.” Elesh melepas Hagena, lalu memilih ke luar kamar. Hagena menjatuhkan dirinya di sofa dan kembali menangis. Ia membenci dirinya yang selalu gagal mengambil hati Elesh bahkan sebelum Jingga hadir. Hagena harus mendapatkan Elesh atau atau ia harus mempertahankan Elesh bersamanya dengan cara apapun itu. Lalu Hagena teringat akan Renatha. Ibu mertuanya pasti bisa menolongnya. “Mama, tolong Hagena.” Gumamnya. ….. Eles menyeduh teh dan membawanya ke kamar yang sering digunakan saat menyendiri. Ia meletakkan gelas teh nya di atas meja, mengunci pintu rapat-rapat. lalu Ia membuka lemari dan mengeluarkan pakaian Jingga juga sprei bekas noda perawan Jingga yang ia simpan tanpa di cuci Tidur di sofa dan menyelimuti dirinya dengan sprei. Menciumi baju Jingga dan memeluknya di d**a, membayangkan perempuan bermata biru bersamanya. “Jingga aku mencintaimu,” bergumam, melepas celananya di dalam sprei. “Aku mencintaimu, tolong aku Jingga. Aku kesepian.” Bicara meracau, menurunkan tangan menyentuh miliknya dan melakukan apapun yang membuatnya bahagia. Ia bercinta dengan bayang-bayang Jingga di sofa itu. ….. Jingga tersenyum saat melihat dirinya dalam foto di ponsel lama Elesh. Sangat muda dan cantik. Rasanya ingin kembali kemasa itu dan … memilih tidak jatuh cinta dengan pria kota yang merayunya dengan sedikit memaksa. “Mama sangat cantik saat tersenyum.” Puji Aldebaran. Jingga tersentak kaget ketika melihat putranya terbangun. Ia jadi bersemu, putranya memang anak ajaib. Selalu bisa membuatnya tersenyum. “Terima kasih, sayang." Jingga meletakkan ponsel di atas nakas tepat disamping ranjang Aldebaran. “Mama sangat cantik, Al mirip mama kan?” Puji Aldebaran sekaligus bertanya. “Kau mirip Papamu, aku sangat iri.” “Aku tidak mirip dia,” Aldebaran menyibak poninya. “Kau benar-benar mirip dia, jangan melakukan itu. Itu gaya papamu, apaan … dia pikir kalau ia menyibak rambut akan terlihat keren. Menyebalkan.” Tanpa sadar Jingga bersungut-sungut, mengingat Elesh sering menyibak rambutnya. Biar terlihat keren. Aldebaran terkekeh mendengarnya. Tiba-tiba suasana hening. Jingga memperhatikan wajah putranya dengan lekat lalu bertanya. “Bagaimana perasaanmu setelah mengenal papamu?” Aldebaran menunduk, tiba-tiba bahunya bergetar. Jingga mengambil dagu putranya dan ikut menangis melihat sungai kecil di pipi putranya. “Maafkan mama, seharusnya kau tidak mengalami hal sulit seperti ini. Seharusnya kami tidak membuatmu bingung.” ujar Jingga menyapu air mata putranya. “Kenapa dia menolakku, Ma? Apa karena aku sebuah kesalahan?” ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN