Tolong menjauhlah dari suamiku

1636 Kata
“Ji, maaf ini salahku. Semuanya salahku. A-andai saja aku tidak pernah meninggalkanmu. K-keja-dian ini pasti tidak akan terjadi.” Elesh menggenggam tangan Jingga sangat erat, seperti anak kecil yang ketakutan. “Aku harus apa ini, El. Bagaimana kalau aku cabut guntingnya,”  “Jangan, nanti lukanya mengeluarkan banyak darah.” “Tapi, di film aku lihat tidak masalah." Elesh terkekeh mendengar ucapan Jingga. "Dasar bodoh. Aku tahu kau benci padaku, tapi jangan terlalu semangat mengirimku ke neraka." ujar Elesh, menahan rasa sakit yang menjalar diseluruh tubuhnya. "Jadi aku harus apa, El?  Kau seorang dokter pasti paham masalah seperti ini." ujar Jingga. Elesh menutup matanya, membuat Jingga menjerit.  "Elesh ..., jangan mati." "Aku masih hidup, Ji. Hanya saja rasanya sangat dingin." lirihnya, wajahnya semakin pucat "Kau menakutiku." Jingga melepas tangan Elesh dan menurunkan kepala pria itu dari pangkuannya. "Kau disini sebentar, aku cari bantuan.”  Jingga berlari menuju pintu.  “Jingga,” Panggil Elesh, tatapannya mulai nanar. Jingga menoleh, “aku takut ….,” lirihnya lalu menutup matanya.  "Aku  takut tidak punya kesempatan bertemu kamu lagi, Jingga." Bicara dalam hati lalu kemudian, kegelapan menyambutnya. Jingga berlari keluar rumah, air matanya berderai tanpa suara. Ia mengetuk pemilik rumah di depan rumahnya. Seorang Ibu setengah baya membukakan pintu Jingga meminta bantuan. Perempuan itu melebarkan mata terkejut. Ia kemudian masuk ke dalam rumahnya dan tak lama kemudian dua  pria dewasa  keluar buru-buru mengikuti Jingga masuk ke dalam rumahnya.  “Astaga ya, Allah. Apa yang terjadi mbak,  Jingga?” Tanya pria itu dengan raut terkejut. “Tolong bantu aku mas antarkan kami ke rumah sakit.” Mohon Jingga. Kedua pria  itu mencoba mengangkat tubuh Elesh dengan hati-hati. Gunting masih menancap di bagian perut kirinya. Elesh di bopong menuju mobil yang terparkir di halaman depan rumahnya.  “Kunci mobilnya mana?” Tanya pria itu. Jingga kebingungan, ia mencoba melihat ke bangku kemudi, tidak ada. Ia memeriksa saku celana Elesh dan menemukannya disana. merogoh saku itu lalu memberikan pada pria itu.  “Ini Pak.” Jingga menyerahkan kuncinya. Pria itu menghidupkan mesin mobilnya dan mulai mengemudi.  “Elesh buka mata kamu. Jangan tidur … aku mohon.” Jingga menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Rasa cemas menyergapnya.  Elesh tak sadarkan diri, wajahnya sangat pucat. Pikiran Jingga menjadi kacau mengenai pria . Apa yang terjadi jika Elesh tiada? Renata tidak akan melepaskan Jingga. Bagaimana dengan Aldebaran? Putranya belum merasakan hangatnya punya seorang Ayah.  Bagaimana kalau Jingga di penjara karena masalah ini? Putranya akan sengsara. Kepalanya dipenuhi pertanyaan dan tidak terjawab. Ia memeluk kepala Elesh yang ada di pangkuannya.  Jingga tak sanggup menahannya lagi, ia menangis pahit.  "Elesh aku mohon bangun! El, jangan begini, kau mau membunuhku rupayanya." Teriak Jingga seraya  memeluk kepala Elesh, air matanya tumpah di rambut pria itu.   Pengemudi melirik dari kaca spion, turut merasakan kesedihan Jingga meski tidak tahu kejadian apa yang menimpa tetangganya ini. Mobil meleset memasuki area rumah sakit dan berhenti di depan IGD.  Pengemudi keluar dan memanggil tenaga medis. Security yang berjaga di pintu masuk IGD berlari mengambil brankar dan mendorong ke depan mobil Elesh.  Mereka mengangkat tubuh Elesh dan meletakkan di atas brankar lalu mendorongnya masuk ke IGD, Jingga berlari mengikuti masuk ke dalam.   “Silahkan tunggu di luar, kami akan menangani pasien.” ujar salah satu perawat, menghentikan langkah Jingga. Jingga mundur, seraya menggigit bibirnya. “Nama Pasien?” Tanya perawat tersebut, bersiap menulis data pasiennya. “Elesh Altair.”  “Usia?”  Jingga tampak berpikir mencoba mengingat. “ Antara 28 atau 29 tahun,”  “Yang benar mana?” “Aku tidak tahu. Dia hanya teman.” “Golongan darah?” “Aku tidak tahu.” Teriak Jingga panik, mengejutkan perawat itu.  “Baiklah, tolong hubungi walinya.” Perawat meninggalkan Jingga masuk ke dalam IGD. Sementara di IGD, brankar masuk ke dalam bilik dan ditutup dengan gorden untuk memisahkan dengan pasien lainnya.  Tenaga medis yang lain melakukan pemeriksaan terhadap Elesh dari denyut nadi hingga luka lain selain di bagian perut. “Dokter, pasien luka tusuk butuh pertolongan urgent.” Seru dokter magang yang ada di ruangan itu. Dokter menekan langkah cepat menghampiri. "Luka tusuk di bagian?” Tanya dokter itu seraya memasang sarung tangan karetnya.  “Perut kiri, dan gunting masih menancap, dokter.” sahut dokter magang. “Denyut nadi?”  “Tidak teraba, Dokter.” “Ada cedera di leher?” “Memar dokter, sepertinya bekas cekikan.” “Nama Pasien?” “Elesh Altair.” Sahut perawat, yang berbicara pada Jingga sebelumnya. “Siapa?” Nama itu seperti tidak asing bagi sang Dokter, ia melihat dan memastikan dengan lekat. “Elesh Altair.” jawab perawat mengulangi.  “Dia dokter SpOG di rumah sakit ini,” ujarnya. Membuat tenaga medis yang lain saling tatap.  “Lakukan breathing.”  “Denyut nadi tidak teraba dokter,” Sahut salah satu dokter magang. “Baiklah, CPR.” Perintahnya. Mereka menyiapkan peralatannya untuk menyadarkan Elesh dari tidurnya sebelum melakukan operasi pencabutan gunting dari perut Elesh. ..... Jingga melipat tangan dan merapalkan doa dalam hati, mengiba pada Tuhan nya untuk keselamatan Elesh.  Selain rasa syukurnya karena Elesh menyelamatkannya dari kekejaman Amos, ia tidak ingin dipersalahkan jika pria itu sampai kenapa-napa. Berhadapan dengan keluarga Elesh sama saja masuk ke dalam neraka. Renatha tidak akan mengizinkannya hidup baik sedetikpun jika tahu putranya tiada karena menolongnya.  “Mbak Jingga, sudah ada kabar?” Jingga mendongak pada si penanya. Dia tetangga Jingga tepat di depan rumahnya.  “Belum, Mas.”  “Maaf tidak bisa menemani lebih lama, aku harus bekerja.” Jingga berdiri, “Ah, tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah bersedia menolong saya.” ujar Jingga dengan sopan. “Tidak masalah, ini  kunci mobilnya, saya sudah pesan taksi online untuk jalan pulang.”  Jingga menerima kunci mobil Elesh. “Terima kasih, Mas. Aku sudah merepotkan.” Pria itu menepuk lengan Jingga, seolah mengatakan tidak masalah. Kemudian membawa langkahnya meninggalkan Jingga di ruang tunggu IGD.  Jingga kembali duduk, ia mengusap wajahnya yang pucat dan lelah menangis. Perawat datang menghampirinya.  “Ponsel milik Dr. Elesh. kami sudah menghubungi keluarganya. tolong jangan pulang dulu.” ujar Perawat padanya, dan memberikan ponsel Elesh ke tangan Jingga. “Iya, suster.” Degup jantung Jingga semakin bergemuruh, ia bahkan lupa menanyakan keadaan Elesh. Terlalu takut saat perawat mengatakan sudah menghubungi keluarga Elesh. Tentu saja ia akan bertemu dengan Hagena dan Renatha.  “Aku harus bagaimana, Elesh. Aku sendirian, aku takut. Aku  tidak berani menghadapi ini. Tolong aku ….” ia bergumam dalam hati, air matanya menitik semakin deras membanjiri wajahnya. Membayangkan tatapan Renatha yang setajam pisau membuatnya semakin merinding ngeri.  Saat seperti ini, dia butuh penopang, tapi siapa? Dia sebatang kara di Jakarta.    …. Hagena terkejut menerima kabar mengenai Elesh. Perawat di IGD meminta asisten Elesh mengabari kalau suaminya masuk rumah sakit karena terkena tikam di bagian perut.  Hagena ingat Elesh meninggalkan rumah lebih awal dan tidak berpamitan. Bahkan Elesh tidak tidur di kamarnya sejak Hagena terang-terangan mengaku cinta padanya.  Ia juga sudah meminta Renatha segera ke rumah sakit. Hagena mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit dimana Elesh di tangani.  “Ia dibawa seorang wanita, tapi saya belum menemuinya.” ujar Asisten Elesh dari rumah sakit “Tahan dia.” ucap Hagena di telepon saat itu. Ia yakin Jingga lah wanita yang membawa Elesh ke rumah sakit.  Mobil Hagena memasuki area rumah sakit terbesar di kota Jakarta selatan. Ia keluar dari dalam mobil dan melempar kunci mobil pada petugas Valet Parking. Berlari kecil menuju IGD.  Saat ia hendak masuk ke IGD, ia melihat Jingga duduk di bangku panjang menunduk lemah.  “Jadi benar dugaanku, kalau kau masalahnya.” Membatin, ia menatap Jingga penuh kebencian kemudian ia melangkah menghampiri. “Kau.”  Jingga mendongak mendengar suara itu, ia tersentak melihat kehadiran Hagena di depannya lantas ia segera berdiri dari duduknya. “Dokter,” gumamnya. Melihat tatapan Hagena yang tajam menjadikannya menunduk. Keberaniannya seketika lenyap.  “Apa yang terjadi dengannya?”  Jingga mengangkat wajahnya, mau tidak mau harus menghadapi situasi ini. Dia harus bertanggung jawab dan menerima apapun resikonya. “S-suamiku menusuknya.” ujarnya lirih, tapi masih jelas tertangkap telinga Hagena.  “Apa?”  Hagena benar-benar kesal mendengarnya. Rasanya ingin menghancurkan wajah kecil Jingga dengan satu tamparan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak melakukan itu, Elesh. Jika suaminya tahu dia melukai Jingga maka hidupnya akan tamat. Perempuan bermata biru ini sangat berarti bagi pria itu.  Bermain polos mungkin menjadi cara terbaik untuk menghilangkan Jingga dari kehidupan Elesh. Tiba-tiba Hagena menangis, duduk di bangku menutup wajah dengan kedua telapak tangan.  “Maaf dokter, ini salahku. Aku tidak tahu kalau dia mengikutiku sampai ke rumah.” ujar Jingga, mencoba menjelaskan. “Jingga, semenjak bertemu denganmu suamiku menjadi dingin. Hubungan kami yang harmonis sekejap berubah. Ia menciptakan jarak diantara kami.” Hagena menangis getir.  Jingga duduk disamping Hagena, mengangkat tangan ingin menyentuh pundak perempuan itu untuk menguatkan.  “Elesh bahkan mengabaikan aku di hari persalinanku hanya untuk bertemu denganmu. Dia mengabaikan putri kami yang baru lahir. ini tidak adil ….” Hagena tersedu-sedu.  Jingga memberanikan diri menepuk pelan punggung Hagena. Turut sedih melihat Hagena menangis. Tidak menduga Elesh sejahat itu. “Maaf dokter, tapi aku tidak pernah mengganggunya.” gumam Jingga.  Hagena mengambil tangan Jingga dan menggenggam erat, melihat Jingga dengan sorot sedih sekaligus mengiba.  “Aku tahu hubunganmu dengannya, putramu adalah bukti dari cinta kalian. Tapi, itu masa lalu, Jingga.” Hagena menyeka air matanya. Ia mengatupkan kedua tangan di depan d**a, memohon pada Jingga lalu berujar kembali.  “Semalam Elesh meminta cerai dariku, dia berniat kembali padamu. Apa yang harus aku lakukan? Putriku masih kecil dan aku sangat mencintai suamiku. Apa yang harus aku lakukan untuk bertahan di sampingnya?” Hagena terus terisak.  Jingga menurunkan tangan Hagena yang mengatup memohon padanya. Wanita ini tidak pantas mengiba padanya. Dialah yang seharusnya meminta maaf karena tanpa sadar sudah mengusik kebahagian mereka. “Bisakah aku minta tolong, Jingga. Tolong menjauhlah dari suamiku. Demi putriku, aku mohon Jingga.” Gumam Hagena. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN