Karma tidak berlaku

1227 Kata
Jingga kembali duduk di dekat bangsal Aldebaran, memperhatikan wajah putranya lalu melihat ke arah Elesh. Ah, rasanya muak. Wajah keduanya sangat mirip. Apa hidup begitu membencinya? Hingga bermain-main atas kehidupannya? Bertemu atau tidak dengan Elesh, tetap saja bayangan pria sialan itu selalu membayanginya terlebih saat putranya tersenyum. Benar-benar menyedihkan bila dia membenci putraya saat tertawa bahagia hanya karena mirip dengan Elesh. Jika menilik kembali ke belakang, titik kehancuran hidupnya dimulai detik saat Elesh meninggalkannya dengan seorang bayi tumbuh di dalam rahim. Jingga selalu mengutuk dalam hati, saat mengingat pria itu melalui wajah putranya yang sangat mirip dengan Elesh. Mengenal Elesh adalah sebuah kesalahan besar baginya, tapi …. dari kesalahan itu tumbuh seorang anak ajaib yang selalu mampu membesarkan hatinya lantas dia harus bagaimana? Jingga menarik hidungnya yang terasa mampet, terbilang dari sore hari ia mengalami hal buruk. Air mata itu selalu saja tumpah, karena suami yang hampir membunuhnya dan mantan kekasih mencoba mengusik kehidupannya. Rasanya ingin mati saja dan hilang dari dunia ini. Elesh melihat arloji yang melingkar apik di pergelangan tangannya, waktu sudah memasuki dini hari. Ia melihat Jingga mengusap kedua telapak tangan, mencari rasa hangat. Suhu ruangan itu cukup dingin pun mungkin Jingga tak terbiasa. Elesh berjalan mendekati pintu keluar, ia menoleh dan bersiborok dengan tatapan Jingga. “Kau mau sesuatu?” Jingga segera memalingkan wajahnya, ekspresi wajah itu sangat sangat suram. Elesh mengulum senyum lalu mengangguk-anggukan kepala. Membuka pintu pelan untuk keluar membelikan sesuatu di kantin rumah sakit. “Al, maafin mama sayang. Mama sudah menyakitimu begini. Kau jadi korban kemarahan mama.” Jingga bergumam, ia bergerak mencium wajah putranya. Aldebaran tidur menghadapnya, karena bekas jahitan di belakang kepala ia tidak boleh berbaring telentang. “Apa yang harus aku lakukan tanpamu? Apa kau tega meninggalkan mama, dia memang papa kandungmu tapi, mama yang merawatmu dari sejak di rahim.” Jingga membatin. Jika ia bersumpah tiada untuk mempertahankan putranya dari Elesh, lain halnya yang terjadi sekarang. Putranya yang memilih pria itu bukan direbut. Memikirkan itu Jingga semakin frustasi. Elesh membawakan dua cup kopi panas dari kantin rumah sakit. “Sambil menunggu Aldebaran bangun, kau bisa minum ini.” Ia menyodorkan satu untuk Jingga. “Minum saja,” Tolak Jingga. “Jingga.” Suara Elesh sedikit memaksa. Jingga menarik napas pelan dan menerima kopi itu. Diam-diam Elesh mengulas senyum, memaksa sedikit ternyata membuahkan hasil juga. Perempuan itu menerima kopinya. Ia melangkah menuju meja kerjanya. Ia mengikuti langkah Elesh, dan berdiri di depan meja kerja Elesh. Membaca tanda pengenal Elesh yang terpajang di meja. Ia berdecih dalam hati. Pria ini sukses sementara dirinya hancur berantakan. Apa karma tidak berlaku di dunia ini? Sepertinya tidak. Seharusnya Tuhan mendengar doa-doanya yang selalu meminta Elesh mati saja atau menderita dalam hidupnya. Jingga berdecak, doa nya terlalu buruk itu sebabnya Tuhan tidak mendengarnya. Yah, semua orang melakukan itu saat kita membenci seseorang. Hal yang sulit mendoakan orang yang sudah menyakiti dengan doa baik. Jingga bukan malaikat, dalam jiwanya juga ada iblis bersarang. “Duduklah, Jingga.” ujar Elesh, sejak tadi ia melihat Jingga berdiri di depan meja kerjanya. Menatap papan tanda pengenalnya di meja itu dengan sorot tak suka. Jingga menghembuskan napas panjang. Ia melihat Elesh kemudian berujar. "Aku selalu berharap sesuatu yang buruk terjadi padamu, tapi lihatlah kau bahkan sukses dan berhasil melihat kehidupanku yang menyedihkan. Hidup memang tidak adil. Aku benci situasi ini, bukankah seharusnya kau yang menderita ketimbang aku, Altair? Ah, aku lupa kalau kau bisa membeli dunia.” Sindir Jingga, ia mencium aroma kopi di gelasnya tanpa mencicipinya. “Yah kau benar, seharusnya aku yang mengalami penderitaan ini, tapi aku tidak membeli posisi ini dengan uang, Jingga. Aku berusaha mendapatkannya dengan kerja kerasku.” Jingga terkekeh garing, meletakkan cup kopi di meja Elesh. Ia tak mencicipnya sedikitpun. “A-apa kau cerita pada Aldebaran tentang sikapmu yang b******k itu?” “Aku berniat cerita, tapi putramu sudah tahu semua.” “Tentang kau meninggalkannya?” “Mmm,” “Dari mana Aldebaran tahu?” "Aku pikir kau menceritakannya supaya dia membenciku." "Konyol. Aku memang sangat membencimu tapi, putraku dia tidak boleh tahu kalau dia ditolak olehmu." "Sayangnya dia tahu Jingga. Itulah kenapa aku curiga padamu." Jingga membawa tatapannya pada Aldebaran. Bahkan dia belum pernah mengatakan secara langsung kalau Elesh Papanya. Apalagi bercerita tentang penolakan Elesh. "Lalu dari siapa dia tahu?" Ia bergumam, Jingga kemudian melebarkan mata, ia ingat pria mabuk itu mengungkit tentang masa lalunya saat bertengkar. Jingga menutup mulutnya, lalu melihat Elesh dengan tatapan tak percaya. “Ya Tuhan, Aldebaran mendengar semua itu.” Ia membatin dengan raut wajah sedih. Jingga menelan saliva, ia mencoba meminta sesuatu pada Elesh. “Elesh, aku mohon jangan mengambilnya dariku, aku tidak punya kehidupan lain selain dia, El. Tolong mengerti aku.” Elesh melihat raut kesedihan di wajah Jingga. Sejujurnya dia tidak berniat mengambil Aldebaran darinya. Ia hanya mengancam saja. Jingga tiba -tiba saja menangis dan berlutut di lantai, mengejutkan Elesh. “Jingga,” Elesh bangun dari duduknya dan mendekati perempuan itu. Ia berjongkok membantu Jingga untuk berdiri. "Aku mohon, Elesh."Pintanya. “Lakukan apa yang aku katakan, tinggalkan suamimu.” “Kalau aku meninggalkannya, apa kau berjanji akan pergi?” Tanya Jingga. Elesh melepas lengan Jingga, dia menjadi serakah. Ia menginginkan dua orang ini menjadi miliknya. Tentu saja, ia tidak akan pergi. Sepuluh tahun sudah sangat menyiksa kehilangan Jingga, saat ada kesempatan ia tidak boleh lengah, tapi untuk mendapatkan kembali hati perempuan ini Elesh harus menyingkirkan Amos terlebih dulu. Elesh mengangguk, ia membantu Jingga berdiri. "Aku tidak akan mengambilnya darimu, aku tidak akan memisahkan kalian. Aku tidak berhak untuk itu. Dia putramu, dia akan jadi putraku atas izinmu. Percaya padaku." ujarnya lembut, membantu Jingga duduk. “Tapi kau harus melakukan apa yang aku minta, jika ingin bersama Aldebaran. Kau harus meninggalkan pria itu. Demi kebaikanmu, demi kebaikan Aldebaran juga.” Elesh refleks membelai kepala Jingga. Perempuan itu menyadarinya. Ia berdecak dan menepis tangan Elesh lalu menekan langkah kembali duduk dan menelungkupkan wajahnya di bangsal Aldebaran. Elesh menggeleng kecil, melihat sikap Jingga yang tidak pernah melihatnya dengan baik. Selalu saja sinis kendati demikian ia tidak mempermasalahkan itu. Kemarahan Jingga hal yang wajar untuk seorang yang pernah menderita karenanya. Elesh kembali ke kursi kerjanya, duduk bersandar dan mengawasi dua orang di bangsal itu sampai matahari menyapa bumi. …… Aldebaran terbangun, semalam dia ingat Elesh menjahit lukanya dengan telaten. Tapi, kemana pria dewasa itu? Ia tak melihatnya di ruangan itu lagi. Aldebaran menyentuh kepala Jingga yang masih tidur. Tidak ada kemarahan di wajahnya untuk Jingga karena sudah membuatnya terluka. Ibunya begitu karena dia membangkang. Aldebaran sengaja membangkang untuk membawa Jingga keluar dari rumah Amos. “Mama,” Jingga terbangun saat mendengar suara putranya, ia mengangkat kepalanya dan duduk tegak. “Kau sudah bangun, sayang?” Jingga membawa tangan putranya untuk ia cium. “Mama,” “Maaf, Al. Ini salah mama. Kau terluka karena mama.” air matanya sudah menitik membasahi punggung tangan Aldebaran. Menciumi tangan kecil itu berulang-ulang. “Tidak kok, Ma. Ini bukan salah mama.” gumam Aldebaran “Apa yang harus mama lakukan untuk menebusnya, Al? Katakan apapun itu, mama akan turutin.” “Aku mau tinggal sama orang itu,” sahut Aldebaran menjadikan Jingga membisu. "Orang siapa?" "Paman Elesh." “Tapi, kenapa? Kau mau ikut dengannya dan meninggalkan mama?” Jingga bertanya dengan suara gemetar. Tidak tahu apa yang terjadi dengan putranya. Apa Aldebaran lelah hidup dengan keadaan pas-pasan bahkan bisa dikatakan kekurangan dan tergiur melihat kemewahan Elesh. “Aku mau mama juga bersamaku,” Jingga memang berencana meninggalkan Amos, tapi bukan berarti dia tinggal bersama Elesh. Astaga yang benar saja. “Mana bisa sayang,” Jingga menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Elesh memiliki kehidupan lain dan kita tidak boleh menganggunya.” “Kalau begitu, mama bisa pulang ke rumah.” “Al ….” Pinta memelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN