Hatinya sengaja dibekukan

1442 Kata
Aldebaran memejamkan mata, keputusan yang ia buat sudah final. Tujuannya tidak untuk menyakiti Ibunya, namun anak ajaib ini ingin mengakhiri hubungan ibunya dengan Amos. Jingga terpaku. Putranya meminta sesuatu yang menyesakkan hatinya. sesuatu yang tidak dapat ia berikan. “Mama akan tinggalkan ayah, supaya kita bisa tinggal berdua. Bagaimana?” Jingga menawarkan jalan keluar yang menurutnya lebih tepat. “Aku mau tinggal sama paman di rumah tinggi itu.” ucapnya lirih tanpa membuka mata. Aldebaran memiliki pemikiran dewasa, keadaan memaksanya begitu. Elesh bahkan mengakui hal itu di dalam hatinya. Aldebaran sengaja memilih tinggal sama Elesh untuk berlindung. Amos tidak akan mengizinkan mereka begitu saja pergi. Pria itu akan menangkap mereka dan membawanya kembali ke neraka nya. Hening …. Jingga menolehkan kepala saat mendengar pintu terbuka, pria dewasa masuk dengan keadaan segar. Rambutnya terlihat basah dan ia sudah berganti pakaian. Sejak kapan dia melakukan itu semua? Elesh pulang setelah memastikan Jingga terlelap di jam tiga subuh hari. “Putra kita sudah bangun?” Elesh meletakkan ponselnya di atas meja kerjanya. Putra kita? Dasar sialan! Tidak tahu diri dan egois. Semua karena pria b******k ini. Aku jadi terlihat buruk di mata putraku. Jingga menatap tajam juga merasa kesal mendengar ucapan Elesh. Tidak sedikitpun terbesit olehnya akan berbagi anak terutama pada pria ini sekalipun Elesh papa putranya. “Apa Aldebaran bisa pulang hari ini?” Tanya Jingga mengabaikan pertanyaan pria itu. “Sebenarnya .... tadi malam bisa langsung pulang, tapi kasihan Aldebaran dia terlihat kelelahan.” ujar Elesh, ia membelai pipi putranya dengan jarinya. "Selain luka di kepalanya, tidak ada yang dikhawatirkan, kan?" Tanya Jingga memastikan. "Semuanya baik." Balas Elesh, tak lupa memberi senyum untuk Jingga. Jingga menatap Elesh dengan tatapan curiga, jika tidak ada yang mengkhawatirkan pada luka Aldebaran kenapa harus menginap di ruangan ini. Kelelahan? Bukankah itu terdengar sumbang. Jarak antara rumah sakit dengan apartemen milik Elesh tidak terlalu jauh. Hanya lima belas menit berkendara terutama saat larut malam. Jadi bisa dikatakan alasan Elesh sudah jelas dibuat-buat. Elesh menangkap tatapan curiga Jingga padanya. Ia mengulas senyum. Baiklah, pria ini memang licik. Menahan Aldebaran di ruangan itu bukan tanpa alasan. Ia ingin melihat dua orang ini lebih lama. Bahkan sebelum ia meninggalkan ruangan itu. Elesh sempat membelai kepala Jingga yang terlelap pulas lalu kemudian mencium kening putranya. “Jangan menatapku begitu, dia mendapatkan lima jahitan di kepala. Kita harus waspada, kan?” Elesh diam-diam tersenyum seraya melangkah menuju meja kerjanya. Jingga mendesah panjang. Menautkan kedua alisnya melihat sikap santai dan binar wajahnya bahagia Elesh. Jingga menggelengkan kepalanya, ia tak perlu penasaran apa yang membuat pria itu bahagia. “Bangun sayang. Kita pulang, Al,” Jingga membelai kepala putranya pelan. Pria kecil membuka matanya, sejak tadi dia tidak tidur. Ia bahkan merasakan lembutnya tangan Elesh membelai pipinya. Bahagia? Tentu saja, namun ia masih menyimpan sejuta kemarahan pada pria dewasa itu. “Kita pulang ke rumah ya?” Bujuk Jingga, membantu Aldebaran duduk. “Mama ….” Suara Aldebaran terdengar malas, ia melihat ke arah Elesh. Elesh mengerti tatapan itu, ia berdiri dari kursinya dan mendekati mereka. “Papa akan membawamu ke apartemen, dan tinggal disana.” “Elesh.” Jingga menyahuti. “Kita sudah bahas ini, Jingga.” “Aku akan patuhi syarat yang kau berikan, tapi bukan berarti aku setuju tinggal bersamamu!” Aldebaran kembali berbaring, menarik selimut menutup seluruh tubuhnya. Jingga menahan napas, ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia melepas napas putus asa. “Jingga,” gumam Elesh tanpa suara. “Baiklah, kita kesana.” ucap Jingga, menyerah. Aldebaran menyibak selimut, ia kembali duduk, membuka lebar kedua tangannya minta di peluk. Tanpa mengatakan apapun. Jingga terkekeh kemudian berdecak melihat betapa liciknya putranya lalu tatapannya beralih pada Elesh dan merasa muak. Pikiran licik itu pasti turunan pria sialan itu. "Baiklah, kebahagianmu yang terpenting." Jingga masuk kedalam pelukan Aldebaran. “Terima kasih, Mama.” Bisiknya. Elesh tersenyum melihat suasana itu, ia ingin turut bergabung tapi, itu mustahil. Aldebaran menatapnya tajam, mengubah senyumnya menjadi senyum canggung Pria kecil itu tampak membencinya ….. Hagena dikejutkan kedatangan Renatha di klinik tempat ia bekerja. Tak biasanya wanita setengah baya ini berkunjung langsung ke klinik. Ia menyambut dengan wajah ramah dan mengambil bag paper berisi kotak makan siang dari tangan Renatha. “Kenapa kesini bukan ke rumah, Ma?” “Kau tahu hubunganku dengan Elesh seperti apa.” ujarnya mengeluh, ia menyilangkan kaki di tempat duduknya. “Atau kita bicara di tempat lain, Ma?” “Tidak perlu, Mama cuma mengantar makan siang untukmu.” Hagena melihat Bag paper yang dibawakan mertuanya. Kediaman Renatha berada di Jakarta Barat sementara mereka di Jakarta selatan, bukankah mertuanya sangat perhatian? Hagena merasa bahagia sekaligus merasa sedih. Kesedihan itu bukan tanpa alasan, andai saja Elesh mencintainya hidupnya tentu sempurna. “Terima kasih, Mama.” ucap Hagena, menipiskan bibir tersenyum manis. Renatha mengangguk, memperhatikan raut wajah menantunya. Lingkaran hitam muncul di sekeliling matanya. Seperti kurang tidur dan kelelahan. “Dara tidak rewel, kan?” Tanya Renatha. Kedatangan Renatha ke klinik Hagena bukan semata hanya mengantar makan siang. Ia sengaja berkunjung untuk mengetahui keadaan keluarga menantunya ini. Tempo hari, putranya bicara omong kosong tentang masa lalunya yang menyedihkan. Ia mencemaskan Hagena dan memutuskan ingin menyelidik secara diam-diam. “Sehat dan dia seorang yang pengertian.” “Kau tampak kelelahan,” Selidik Renatha, tak melepas tatapan dari wajah menantunya. Hagena terkekeh, menepuk-nepuk tangan di wajahnya. “Akhir-akhir ini banyak pekerjaan yang menyita tenaga, aku juga seorang ibu menyusui. Dua jam sekali harus bangun.” ujarnya. “Gena,” “Yah,” “Hubunganmu dengan Elesh baik-baik saja, kan?” Hagena terdiam, mendengar pertanyaan mertuanya. Ia menatap Renatha yang memberinya tatapan khawatir sekaligus curiga. “Baik, Ma. Kami tidak ada masalah.” ujar Hagena mencoba menyakinkan Renatha. Namun, sialnya sinar mata perempuan itu mengkhianatinya. Ia lupa kalau mata tidak pernah berdusta. Renatha tersenyum simpul, bangun dari tempat duduknya dan melangkah maju mendekati meja kerja Hagena. “Kau boleh datang sama Mama jika putraku melukai hatimu. Aku akan memihakmu.” ujar Renatha membuat Hagena tampak bingung. “Kami baik-baik saja, Ma.” ucapnya lirih “Itu harus.” Renatha kembali melangkah ke tempat duduknya, ia mengambil tas dan berniat pulang untuk mengakhiri pertemuannya dengan Hagena. “Mama sudah mau pulang?” Tanya Hagena, ia refleks berdiri. “Mmm. kau jangan lupa makan siang."Renatha menunjuk makan siang Hagena dengan dagu yang ada di atas meja. Setelah kepergian Renatha dari ruangan Hagena, perempuan itu kembali duduk dengan raut wajah sedih. Ia menghela napas melihat makan siang yang dibawakan mertuanya. Tidak tertarik untuk menyentuh, bukan karena tak suka masakan Renatha tetapi, sesuatu sangat mengganggu pikirannya, ini tentang Elesh. Menunggu sampai dini hari hingga ketiduran di sofa, tiba-tiba saat terjaga ia sudah melihat Elesh berpakaian rapi keluar dari kamar mandi. “Jam berapa kau pulang, El?” Tanya Hagena setelah mengumpulkan nyawanya dan duduk di sofa, melihat pria itu menekan langkah menuju meja rias. “Jam tiga pagi,” balasnya seraya menata rambutnya. “Kau sudah mau pergi lagi?” “Mmm, kerja.” Elesh menghampiri Hagena, lalu mendesah panjang. “Aldebaran masuk rumah sakit.” ujarnya, membuat Hagena terkejut. Jadi itu alasan suaminya tidak pulang? Pikirannya sudah macam-macam sejak semalam. Bagaimana tidak? Sepuluh tahun pria ini hanya mencintai satu wanita, Seolah terkena kutukan. Hatinya sengaja dibekukan di tempat yang tak dapat disentuh oleh siapapun dan hanya Jingga yang dapat mencairkan dari kebekuan itu. Hagena bukannya tidak mencoba menyentuh hati Elesh dari kebekuan yang membatu. suatu malam ia sengaja menggoda pria ini. Naik ke atas tubuh Elesh dan berhasil melepas kaos yang dikenakan Elesh. Meraba dan menciumi d**a bidang suaminya. menggigit-gigit di area leher Elesh, memberikan basah dan mencoba menciptakan jejak di kulit itu. Elesh terbawa suasana, ia menarik Hagena untuk mendapatkan bibir sensual istrinya. Menciumi lembut kemudian melumatnya kasar. Hagena membalasnya dengan baik, tangannya mengusap belakang leher Elesh supaya lebih membara. Elesh turun ke leher Hagena, menciumi leher itu dengan napsu dan sangat liar seolah macam mendapatkan mangsa. Hagena mendesah, cumbuaan hebat dari Elesh sangat memabukkan. Ia melingkarkan kedua tungkainya mengikat pinggang Elesh. Rintihannya semakin nakal ketika tangan Elesh meremas satu gundukan di d**a Hagena sementara lehernya masih dihisap pria itu. “Elesh ….” Hagena merintih di bawah tubuh Elesh, mata memejam, dan wajah memerah sebagai bukti dia sangat b*******h. Saat mendengar suara itu gerakan Elesh seketika terhenti. Suara Jingga remaja terngiang di telinganya saat gadis itu merintih hebat di bawah tubuh nya sepuluh tahun lalu. Jingga …. ia membatin. "s**t!" Ia mengumpat dalam hati, menyingkir dari atas tubuh Hagena. “Elesh, ada apa?” Hagena kecewa, Elesh meninggalkannya dengan keadaan berkabut hasrat. “Arhhhh …” Pria itu berteriak keluar kamar. Sejak hari itu, Hagena menahan diri untuk menggoda Elesh. Ia tidak ingin penolakan memalukan itu terulang. “Sakit apa?” “Jingga tidak sengaja menariknya hingga terjatuh dan kepalanya membentur sudut meja. ia sangat marah karena Aldebaran memilih tinggal bersamaku.” ujarnya. Hagena menelan saliva, “L-lalu?bagaimana selanjutnya?” Hagena bertanya terbata-bata. “Entahlah, Jingga masih keras kepala. Aku ingin mereka tinggal di Apartemen. Putraku harus mendapatkan kehidupan yang layak. Merek sudah terlalu lama menderita.” Elesh mengambil kunci mobilnya dari meja rias. “Aku sudah membuatkan s**u untuk Adara, kau bisa sambung nanti.” Katanya kemudian berlalu meninggalkan Hagena terpaku di sofa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN