Dia putraku

1156 Kata
" Kau! Kau yang menyakitiku, Elesh!” Teriak Jingga, menuding Elesh. Elesh menengadah ke atas, seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia ingin berteriak melegakan sesak di dadanya. Apa yang dialami Jingga dan Aldebaran menjadikannya benar-benar menjadi pria buruk. Semua salahnya. “Al, sayang ayo bangun, kita pulang.”Jingga membangunkan Aldebaran, ia mencoba mendudukkan pria kecil itu. Aldebaran menepis tangan Ibunya, “Aku nggak mau.” gumam Aldebaran menolak. “Aldebaran, ini bukan tempat kita.” “Rumah itu juga bukan tempat, Al,” “Apa maksudmu? Kau lahir di sana bersama mama dan ayah. Rumah itu milikmu.” Jingga menangis, melihat putranya memberinya punggung. “Kita pulang sayang,” bujuk Jingga lagi. “Aku bilang nggak mau! Pulang saja sendiri!” Teriak Aldebaran sekaligus duduk menatap Jingga dengan linang air mata. “Pulang saja sendiri, pulang saja dan mati di tangannya.” ujarnya, tubuh kecilnya bergetar karena menangis. Jingga termangu, melihat penolakan putranya. Ia menatap Elesh penuh kebencian. Apa yang salah? Seharian putranya baik-baik saja. Jingga merasa tidak melakukan kesalahan yang menyakiti hati putranya, lalu tiba-tiba pria kecilnya berada di tangan orang yang ia benci dan itu semua karena pria ini. Beraninya Elesh meracuni pikiran putranya. Pria kecil ini selalu patuh padanya. Jingga satu-satunya orang yang ia kasihi. Ia bahkan berjanji akan melindungi Jingga jika sudah besar nanti. Sekarang apa yang terjadi? Apa putranya tidak ingin bersamanya? Putranya tidak ingin melindunginya lagi? “Aldebaran, kau marah sama mama?” Tanya Jingga, membelai lembut kepala putranya yang sudah kembali berbaring. “Apa mama melakukan kesalahan? Mama minta maaf, tapi tolong ikut mama sayang. Kita pulang.” bujuknya. Apa artinya hidup, jika orang yang menjadi alasannya hidup tidak lagi bersamanya. Aldebaran membisu. "Jingga, biarkan aku bicara dengannya." ujar Elesh. "Tidak perlu, aku akan membawanya." Sahut Jingga ketus, perempuan itu berdiri dan menarik paksa tangan Aldebaran. “Aldebaran ikut mama pulang." Aldebaran terpaksa bangun, menunjukkan raut wajah menyendu. "Aku nggak mau pulang." Menangis sesenggukan. "Ada apa denganmu, Al. Kenapa begini? Apa yang kau dengar darinya?" Jingga mengeratkan genggaman di pergelangan tangan Aldebaran hingga memerah. "Aku nggak mau," Aldebaran terisak, melihat ke arah Elesh. Seolah meminta pertolongan. "Jingga hentikan! Kau menyakitinya." Elesh memisahkan keduanya, mengambil Aldebaran dan menariknya ke belakangnya. "Jangan ikut campur, kau bukan siapa-siapa." "Aku Papanya. Dia putraku." Menghentikan Jingga yang ingin merebut Aldebaran dari belakangnya. Jingga terpaku mendengarnya. Putranya? Jadi itu sebabnya Aldebaran tidak mau ikut dengannya. Jingga menengadah menatap Elesh. Sirat kebencian sangat kental di netranya. Pria ini beraninya mengakui dirinya papa putranya. "Kita bicara baik-baik, Ji." ujar Elesh dengan nada lembut. Ia menggenggam erat tangan Aldebaran. "Kau sangat tidak tahu malu." ucap Jingga penuh penekanan pada Elesh, "Aldebaran, ayo kita pulang. Dia cuma bicara omong kosong. Dia bukan papamu." Bujuk Jingga. Pria kecil bersembunyi di belakang punggung Elesh. "Tidak, Jingga. Aku nggak mengizinkan Aldebaran ikut denganmu. Kalau kau ingin bersama putramu. Syarat pernah kita bicarakan harus kau lakukan." Elesh membawa Aldebaran melangkah menuju kamar. "Elesh, dia putraku. Kau tidak bisa mengambilnya!" Jingga menarik Aldebaran dan tidak sengaja terjatuh kepalanya terbentur pada sudut meja. Pria kecil memekik sakit, mengusap tengkuknya dan merasakan sesuatu yang hangat di tangannya. "Mama sakit," lirihnya dan memejamkan mata. "Aldebaran." Elesh. "Al." Jingga. Mereka panik saat melihat Aldebaran menutup mata. "Al bangun," gumam Jingga, tangannya gemetar, menyentuh belakang kepala Aldebaran. "Elesh, darahnya. Darah putraku El." Jingga menangis saat melihat darah di tangannya. Jingga ketakutan serta diserang rasa panik. "Hei jagoan, bangun." Elesh mengangkat tubuh Aldebaran ke sofa. "Tolong selamatkan dia, El. Aku mohon." Pinta Jingga dengan suara getir. "Cuci tanganmu, cepat." Di tengah kepanikan, Jingga segera melakukan apa yang diminta Elesh. Ia berlari ke wastafel dan mencuci tangannya. Sementara Elesh menekan luka di belakang kepala Aldebaran untuk menghentikan perdarahan. "Cepat Jingga." Elesh mengangkat tubuh Aldebaran dan membawanya keluar, Jingga berlari mengikutinya. Mereka membawa Aldebaran ke rumah sakit malam itu. Jingga memangku Aldebaran sembari menekan luka kepala Aldebaran dengan tangannya sesuai instruksi Elesh. Sementara Elesh menyetir membelah jalanan di tengah malam. ..... Hagena mencoba menelpon Elesh. Ia mencemaskan pria itu. Sudah cukup lama setelah Elesh keluar menjemput Aldebaran tapi, pria itu tak kunjung pulang atau Elesh tidak juga memberinya kabar. Hagena berdecak, lagi-lagi panggilan telponnya tidak terjawab. Ia menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja rias. Melihat bayangannya di cermin yang menunjukkan raut sendu. "Elesh, apa yang terjadi? Kenapa belum pulang." Ia membatin masih menatap dirinya di cermin itu. .... Elesh dibantu perawat menjahit luka Aldebaran. Sementara Jingga duduk menunduk mencemaskan keadaan putranya. Ia menyesal, semua salahnya. Andai saja ia tidak egois memaksa putranya untuk pulang bersamanya. "Jingga," Jingga mengangkat wajah saat Elesh memanggil namanya. Ia bangun dari duduknya dan menghampiri Elesh. Mengambil tangan pria itu dan menggenggamnya. "Bagaimana keadaanya? Dia tidak apa-apa, kan El?" Tanya Jingga dengan raut wajah takut. Elesh melihat tangannya berada di genggaman Jingga. Ia tersenyum kecil. Meski itu spontan tetap saja hatinya merasa senang. "Lima jahitan. Tapi, jangan khawatir Aldebaran baik-baik saja. Ia lagi tidur. kau boleh masuk." Jingga melepas tangan itu dan segera masuk keruang praktek Elesh. Elesh mengepal tangan bekas genggaman Jingga. Rasanya hangat, masih sama seperti dulu. "Jangan khawatir, putra ibu baik-baik saja. Biarkan dia tidur." Kata perawat, sambil merapikan alat-alat yang digunakan menjahit luka Aldebaran. "Makasih, Sus." ujar Jingga, ia merasa lega saat melihat Aldebaran. Ia menciumi punggung tangan putranya. Sebagai rasa bersalahnya. Ia sudah melukai putranya dengan tangannya sendiri. "Kau boleh istirahat, aku akan berjaga disini." Ucap Elesh, ia duduk di meja kerjanya. Jingga melihat Elesh, yang tengah duduk di kursi kerjanya. Pria disana terlihat tampan. Bentuk tubuhnya tidak lagi panjang kurus seperti masa remajanya. Tubuh itu kini tegap dan cukup berotot. Wajahnya putih bersih, ia juga memiliki bibir merah, dan bibir bawahnya sedikit tebal. Hidung mancung bertulang langsing. Kedua alis tercetak jelas terlihat sempurna mendampingi bola matanya yang hitam pekat. Jingga memalingkan wajah ketika Elesh tiba-tiba melihat ke arahnya. Jangan sampai pria itu salah paham mengenai tatapan Jingga padanya. "Kau tidak istirahat?" Tanya Elesh, ia bangun dari kursinya dan mendekati bangsal Aldebaran. "Jangan menyentuhnya." Jingga menepis tangan Elesh saat menyentuh dahi Aldebaran. "Dia putraku." Tambahnya dengan nada ketus. "Ck, apa kita harus bertengkar mengenai ini, Jingga?" Elesh mendesah panjang. "Lihat hasilnya, dia berbaring disini karena keegoisan kita." ujarnya, melangkah menjauh dari bangsal. Jingga meletakkan tangan Aldebaran pelan. Ia sependapat mengenai itu, tetapi entah kenapa hatinya sangat sakit saat melihat Elesh berlaku lembut pada putranya. "Kenapa bisa Aldebaran bersamamu?" Tanya Jingga, menghampiri Elesh yang sudah kembali duduk di kursi kerjanya. Elesh melihat Jingga, bibir perempuan ini masih tampak bengkak. "Apa dia selalu melukaimu seperti itu?" Jingga mengernyit, ia tak paham maksud Elesh. "Luka di bibirmu akan hitam. Kau harus memberinya obat." "Aku tidak membahas bibir, Elesh." Jingga menyahuti. Ia nyaris berteriak pada pria itu. "Kau sangat pemarah," ucap Elesh dengan tenang. "Ck," Jingga berdecak, lalu terkekeh garing. " Aldebaran menelponku, ia minta di jemput." "Sejak kapan ponselmu ada sama Aldebaran?" Tanya Jingga mendesak Elesh. "Sebelum kita bertemu waktu itu. Aku sudah menemui Aldebaran terlebih dulu di sekolah. Aku memberinya ponsel untuk merekam jika sewaktu-waktu suamimu bertindak kasar padamu." "Astaga Elesh, kau benar-benar keterlaluan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN