Dia Hanya Masa lalumu

1509 Kata
Hagena menepikan mobilnya pada jembatan panjang dan cukup tinggi. Suasana hatinya jadi buruk, kepalanya dipenuhi pikiran tentang keinginan Aldebaran yang ingin tinggal bersama Elesh. Ini terlalu mendadak, Elesh bahkan tidak meminta pendapatnya. Membuatnya seperti tak dianggap. Pria itu bertindak sesuai keinginan. Tidak ingin mengambil resiko, bekerja dalam keadaan bad mood. Hagena memutuskan izin, pulang untuk menenangkan pikirannya. Ia meluruhkan tatapannya ke depan seraya mengeratkan genggaman tangan pada stir mobil. Dari jembatan ini ia pernah nyaris melompat untuk mengakhiri hidupnya. Elesh datang seperti malaikat, menyelamatkannya dari kematian. Namun, kalau tahu akhir hidupnya akan menyedihkan, ia tidak akan menerima uluran tangan Elesh. Ia lebih baik hijrah ke dunia gelapnya. Kebaikan Elesh hanya menunda penderitaannya. Tetap saja dia mengalami hal buruk bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Karena cintanya tumbuh semakin besar pada Elesh. Ia membawa ingatannya pada kisah lama, Sejak kejadian itu keduanya jadi saling menyapa. Elesh bersedia menjadi teman curhat Hagena begitu juga sebaliknya. Hagena melambaikan tangan saat Elesh melihatnya duduk salah satu meja cafe sambil menikmati alunan musik romantis yang dimainkan di Elesh lewat Violin. Pria itu tersenyum dari panggung Cafe, melanjutkan menggesek alat musik untuk menghasilkan alunan indah. Elesh selalu melakukan itu di kala ada panggilan dari cafe. Sejak sekolah menengah Elesh memang suka manggung di cafe itu. Bukan untuk mendapatkan bayaran tapi, ia senang bisa menyalurkan cita-citanya yang terabaikan. Lagu lama dari George Benson yang berjudul Nothing's Gonna Change My Love For You menjadi lagu andalannya malam itu. Dunia mungkin mengubah seluruh hidup saya, tapi tidak ada yang akan mengubah cintaku padamu begitu kira-kira arti dari lirik lagu yang ia mainkan. Permainan tangannya seolah menghipnotis pengunjung di ruangan itu, semua melihat ke arahnya lalu sorak tepuk tangan terdengar ketika ia berhasil mengakhiri permainan musiknya.. Hagena turut bertepuk tangan bersama pengunjung lainnya. Elesh memberi senyum terbaiknya pada para pengunjung, kemudian turun dari panggung, menitipkan Violin miliknya pada pelayan cafe. Ia kemudian melangkah menghampiri Hagena di mejanya. "Hei …." Sapa Elesh, ramah. "Permainan Violinmu sangat bagus. Seperti pemain violin profesional." Puji Hagena. "Terima kasih. Aku hanya hobby saja." Balas Elesh. Pelayan cafe meletakkan satu botol Tequila berikut gelas berisi es batu. Elesh menuang ke dalam gelas dan meletakkan di depan Hagena. "Aku tidak minum ini." Hagena menolak dan mendorong pelan gelas kecil ke hadapan Elesh. "Ah, sorry." ujar Elesh sedikit canggung. "Aku lupa kalau kau seorang dokter," ujar Elesh dibarengi kekehan ringan. "Alasannya bukan itu, Elesh." Hagena ikut terkekeh. "Aku memang pernah minum beberapa kali tapi, untuk sekarang tidak." Tambahnya seraya mengelus perut datarnya di bawah meja.Gadis itu tiba-tiba murung. "Kau mau ke suatu tempat?" Tanya Elesh saat melihat raut wajah Hagena berubah murung. Hagena mengernyit, "tempat seperti apa?" Tanya Hagena, menatap Elesh curiga. "Jangan salah paham, aku memang pernah jadi b******n tapi sekarang tidak lagi." ujar Elesh seraya terkekeh. Ia bangun dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk gadis itu. Hagen menerima uluran tangan Elesh dan mengikuti langkah pria itu naik ke atas gedung cafe. Mereka menatap Jakarta bertabur lampu malam. Tampak indah di jam sepuluh malam. "Indah," gumam Hagena, mengagumi. "Aku selalu berharap membawa orang spesial naik kesini. Tapi, itu hanya mimpi. Membayangkan berdua dengannya, menikmati angin malam, menatap Jakarta di malam hari lalu … yah, aku akan memesrainya disini." ujar Elesh lalu terkekeh kecil. "Tapi kau membawaku kesini, apa aku orang spesial?" tanya Hagena dibarengi kekehan ringan. Elesh melihat Hagena, tersenyum lalu berujar. "Dalam waktu dekat kita langsung akrap, saling bercerita satu sama lain. Menurutku kau cukup spesial tapi, bukan untuk dimesrai." Mereka berdua tertawa bersama, lalu kemudian hening dan saling menatap lurus ke depan. "Dia pasti beruntung, El." ujar Hagena memecah keheningan diantara mereka. "Siapa?" Elesh menoleh padanya. "Kekasih remajamu." Elesh tertawa, tawa menyedihkan untuk dirinya sendiri. Mana mungkin Jingga beruntung mengenalnya. Dialah yang menciptakan neraka bagi perempuan itu. Hening ... "Aku sangat merindukannya, setiap saat, setiap hari, setiap detak napasku. Terutama saat sendirian, wajah kecilnya selalu ada di mataku." "Sudah berapa lama kalian berpisah?" Tanya Hagena, ia berdiri tepat di samping Elesh. "Cukup lama. Aku yang berlari darinya, meninggalkannya dalam keadaan hancur." "Dia pasti baik-baik saja di luar sana." ujar Hagena, ia menepuk lengan Elesh. "Aku selalu berdoa untuk itu, Gena. Hanya satu harapanku, aku ingin melihat dan memastikan kalau dia baik-baik saja." ujarnya, ia melihat Hagena memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. "Kau kedinginan?" "Mmm," "Itu sebabnya kau butuh pasangan kesini." Keduanya terkekeh lagi lalu kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. "Elesh, aku hamil." ujar Hagena. Elesh terkejut lalu menarik perhatiannya dari lampu-lampu gedung yang menghiasi kota Jakarta. "Itulah sebabnya aku berada di jembatan itu." lirihnya kemudian. "Putus asa?" "Mmm," Hagena mengangguk. Elesh mengambil tangan Hagena, seolah mentransfer kekuatan bagi perempuan itu. Sekejap ia mengingat Jingga dan berujar dalam hati. Jingga, apa kau juga berpikir bodoh saat aku meninggalkanmu? Ya Tuhan, aku berharap Jingga tidak pernah melakukan itu. "Itu sebabnya kekasihmu meninggalkanmu?" Tanya Elesh, menatap Hagena sedih. Hagena mengangguk pelan. Air matanya sudah menitik. Elesh merasa tertampar, seolah diingatkan pada kisah lamanya. Hagena dan Jingga bernasib sama, menjalin hubungan dengan pria b******n. Elesh memang tidak mengatakan pada Hagena kalau dia menghamili Jingga, lalu kabur. Elesh hanya mengatakan ia meninggalkan Jingga karena hubungan mereka tidak dapat restu dan Elesh sudah pernah tidur dengan kekasih remajanya itu. "Kau berbeda darinya, El. Kau bukan b******n seperti yang kau bilang. Kau kembali untuknya, meskipun kalian tidak bertemu. Tapi, Brian dia menghilang begitu tahu aku hamil." Hagena gemetar, menangis. Elesh membawa Hagena ke dalam pelukannya. "Tapi bukan berarti kau harus mengakhiri hidupmu, Gena." "Apa yang harus aku lakukan? Kedua orang tuaku akan marah. Mereka tidak pernah setuju aku berhubungan dengan Brian." Hagena sesenggukan menangis di d**a Elesh. "Kau hanya memperburuk keadaan Gena. Kedua orang tuamu akan semakin kecewa, mengetahui putri mereka bunuh diri karena hamil." "Setidaknya aku tidak melihat kesedihan mereka, El." "Tetap saja, Hagena. Kau hanya akan meninggalkan luka bagi mereka." Elesh melepas pelukannya dari Hagena. Ia menangkup kedua sisi wajah Hagena dan mengusap air mata di pipi perempuan itu. "Apa rencanamu kedepannya?" "Entahlah, aku masih bingung. Aku berpikir aborsi adalah jalan terbaik tapi, aku ragu." Hagena menyeka air matanya, ia berdehem menetralkan suaranya. Ia sudah menangis di depan pria yang belum lama dikenal. Pertemanan mereka baru beranjak tiga minggu setelah kejadian di jembatan itu. "Maaf El. Aku sudah membuatmu ikutan sedih." Katanya. Elesh menggeleng kecil, ia tampak berpikir lalu mengutarakan isi pikirannya. "Ayo kita menikah, Gena." Hagena tercengan mendengar ucapan Elesh. Ia terkekeh garing lalu memukul lengan Elesh. "Bicara apa sih," "Aku bersedia menjadi ayah anak ini." ujarnya, melihat perut datar Hagena. "Tapi, masalah hati. Aku nggak bisa menyerahkannya untukmu. Aku tidak dapat mencintai lagi, Gena. Hatiku sudah ditawan gadis lain." sambungnya. "Jangan main-main, El. Aku tidak meminta belas kasihanmu. Jangan membuatku tersinggung." "Gena …." "El, kita teman dan baru berteman. Aku dan kau belum saling memahami, dan apa tujuanmu menikahi aku?" "Untuk menjalin hubungan ini kita tidak perlu melibatkan perasaan, Ge. Bahkan aku sudah bilang. Aku tidak bisa mencintai perempuan lain. Tujuanku hanya satu yaitu, untuk membantumu keluar dari masalah ini. Jangan menambah dosa lagi untuk menggugurkannya dan …, bayimu terhindar dari cemoohan orang." ujar Elesh. Hagena terdiam menatap Elesh. Pria itu tampak serius dengan ucapannya. "Gena, pikirkan baik-baik ucapanku tadi. Aku berjanji akan melepasmu saat kau ingin pergi. Kau juga demikian, saat aku pergi. Kau harus bersedia melepaskan aku." ujarnya. Ia menarik napas panjang lalu berujuar lagi. "Datanglah padaku kalau kau sudah membuat keputusan." Tambahnya, menyeka air mata Hagena. Dua minggu kemudian Hagena mendatangi Elesh di rumah sakit sekalian periksa kandungannya. Elesh terkekeh, "Kenapa memeriksakan bayimu padaku?" Tanya Elesh, saat Hagena berbaring di bangsal. Mengingat Hagena bekerja di klinik besar. "Karena kau akan jadi ayahnya." balas Hagena. Elesh berhenti menggerakkan transducer di perut Hagena. Ia melihat ke arah perawat yang sedang menemani mereka. Perawat itu mengerti tatapan itu lalu kemudian pergi dari ruangan itu. "Keputusanmu sudah tekad?" Tanya Elesh, memastikan. Hagena bangun dari baring nya. "Bantu aku, El. Usia kandunganku jalan empat bulan. Seperti syarat yang kau katakan aku akan melepasmu dan kau akan melepasku jika sudah waktunya."ujar Hagena, suaranya terdengar pasrah. Elesh mengangguk setuju. "Baiklah, kita sepakat." kataya kemudian. Ponsel Hagena berdering dari dalam tas, membawanya kembali dari lamunannya. Ia tak sadar sudah mengeluarkan banyak air mata hingga sesenggukan. Suaminya sudah menemukan mantan kekasihnya sekaligus putra buah cinta mereka di masa lalu. Pria itu pasti akan pergi dan seperti janji mereka Hagena akan melepasnya. "Jangan, El. Kau tidak boleh pergi padanya. Tidak boleh. Dia hanya masa lalumu, aku dan Adara masa depanmu. Kau tidak boleh pergi." Ia terisak. Dadanya naik turun, mengabaikan panggilan telepon pengasuh Adara. Hagena menelungkupkan wajahnya di atas setir mobil, menangis getir. ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN