Dia bukan putrimu

1516 Kata
Jingga berdiri di depan pintu kamar Aldebaran. Enggan masuk karena ada Elesh  bersama putranya di dalam kamar. Elesh membantu pria kecil berbaring, lalu duduk memperhatikan wajah putranya. Ia mengagumi, sekalipun mereka mirip, jika sudah dewasa nanti tentu  Aldebaran akan jauh lebih sempurna ketimbang dirinya. Jingga mewarisi tatapan hangat namun, berbeda warna. "Kau bisa pergi," ujar Aldebaran pada Elesh yang sedang duduk di tepi ranjang "Baiklah, besok papa akan kesini."  "Mau ngapain? Kalau cuma mau lihat Al. Tidak perlu, aku nggak mau lihat paman disini." Aldebaran menutup dirinya dengan selimut.  Elesh tertegun mendengar ucapan putranya. Hatinya berada dalam duka, antara sakit dan kecewa. Lisan putranya selalu mampu mencabik-cabik hatinya. Elesh menghela napas panjang, mencoba melepas sesak di dalam dadanya.  "Baiklah, jagoan. Kau boleh marah sama papa tapi, tidak berhak melarangku untuk melihatmu."  Papa akan terus datang sampai kau memaafkan dan menerimaku. Ia berujar dalam hati. Elesh membawa langkahnya keluar kamar, meninggalkan Aldebaran mengukir senyum di bibirnya. Anak kecil itu akan mengulur waktu memberi maaf pada pria ini sebelum apa yang ia minta terwujud. Senyum ibunya harus terbit saat melihat Elesh. "El, bisa kita bicara sebentar?" Tanya Jingga begitu melihat Elesh keluar kamar Aldebaran. "Iya, Jingga." Ia mengikuti langkah Jingga ke ruang tamu dan duduk di sofa, berhadapan dengan Jingga. "Apa istrimu tahu tentang kami?" Tanya Jingga, ia terlihat khawatir. "Jangan cemas, Hagena tahu semua ini." Jingga merasa lega, ia mengenal dokter Hagena sebagai orang baik. Andai saja Elesh bukan istri si dokter itu, mungkin Jingga sudah bekerja di rumahnya. Tapi, takdir menjadikan Hagena sebagai jembatan pertemuan Jingga dan Elesh. "Mengenai tempat ini juga?"  "Iya," "Setelah bercerai dari Amos dan mendapatkan pekerjaan aku akan membawa Aldebaran dari sini."  "Kemana?" Tanya Elesh mengernyitkan kening. “Mungkin kontrakan.” “Memangnya kenapa dengan tempat ini?”  “Elesh, hubungan di antara kita hanya Aldebaran. Aku tidak ingin menumpang hidup denganmu. Kau bisa kapan saja melihat putramu, kapan saja. Aku tidak keberatan tapi, tolong mengerti posisiku. Niat baikmu jangan sampai membuat orang lain salah paham.” Jingga menarik napas pelan lalu kembali berujar, “dan ... aku mengizinkan kamu jadi ayah anakku bukan berarti aku memaafkanmu.” Sambungnya, menatap Elesh dengan sinis.   Elesh merunduk hingga dagunya menyentuh d**a, tentu saja mendapatkan maaf dari Jingga tidak semudah yang ia bayangkan. “Yah, aku mengerti, tapi tolong izinkan aku memberi yang terbaik untuk putraku.” ujar Elesh setelah mengangkat wajah dan membalas tatapan sinis Jingga dengan tatapan hangat. “Kau berhak melakukan itu dan …” Jingga mengubah tatapan suramnya menjadi lembut. “terima kasih sudah mengizinkan kami tinggal untuk sementara di sini. Kau boleh pulang. ” ujarnya. Jingga memalingkan wajah, melihat ke arah pintu keluar apartemen. Ia mengusir pria itu dari tempat itu secara halus.   Elesh bangun dari duduknya dan membawa langkahnya menuju pintu. Jingga teringat sesuatu. Dia tidak memiliki apa-apa saat ini, tangannya kosong tanpa uang sepeserpun “Elesh,”  “Yah, Jingga.” Elesh menyahut cepat dan berbalik.  Jingga membuka mulut untuk mengatakan sesuatu tetapi sangat berat, seolah suaranya tercegat di dalam tenggorokannya. “Kau ingin mengatakan sesuatu?” “Aaa, begini …,” degup jantung Jingga berdetak tak beraturan. Ini sangat memalukan, tetapi Jingga tidak punya pilihan selain membunuh rasa malunya.  “Besok aku akan ke rumah dan mengambil pakaian juga berkas-berkas lahir Aldebaran. Bisakah aku minta tolong?” “Tentu, kau ingin aku mengantarmu?”  “Tidak. Mmm, tolong pinjamkan aku uangmu.” ujar Jingga dengan nada cepat, dan ia segera memalingkan wajahnya. Demi Tuhan ini sangat memalukan. Minta tolong dengan orang yang ia benci.  Astaga Jingga kau benar-benar tak tidak tahu malu.  Elesh menggigit bibir bawahnya lalu menyibak rambut kebelakang. Sok keren, merasa dibutuhkan. Elesh mengeluarkan dompet dari saku celana dan mengeluarkan lima lembar uang pecahan seratus ribu. Melangkah kembali ke sofa dan meletakkan di atas meja.  “Kau bisa mengambilnya,” ujar Elesh dalam artian cuma-cuma. “Aku akan membayarnya setelah bekerja.” Sahut Jingga.  “Baiklah, kapanpun kau bisa mengembalikannya. Jangan buru-buru.” Elesh kemudian melangkah ke pintu. “Dan … apa kau bisa datang besok pagi untuk menjaga Aldebaran. Aku tidak berani meninggalkannya sendirian.” ujar Jingga, kembali minta tolong.   Elesh melipat bibir ke dalam mulut lalu mengangguk dan berujar. “ Tentu saja. Besok aku akan datang lebih awal. Kau yakin tidak ingin di antar?”  Aku mohon Jingga minta tolonglah sebanyak yang kau mau. Aku akan melakukannya untukmu. Minta aku mengantarmu. Aku mohon.  “Pulanglah.” ujar Jingga, Elesh merasa kecewa.  “Besok saat kau ke rumah suamimu, tolong hati-hati.” Pesan Elesh, ia memperhatikan bekas luka di bibir Jingga. Elesh mencemaskannya. “Kau tidak perlu khawatir padaku, Elesh.” “Tentu saja aku khawatir, kau ibu dari putraku.” Elesh berbalik lalu meninggalkan Jingga.  Jingga melihat uang di atas meja lalu  menutup wajah dengan kedua telapak tangan. ia tidak percaya akan meminta bantuan Elesh.  Jingga menjatuhkan dirinya di sofa dan merenung. Tentang bagaimana ia melanjutkan hidupnya. Jingga tidak punya ijazah sekolah untuk melamar di pabrik. Hidupnya hancur karena kesalahan di masa muda.  "Apa aku melamar lagi kerja di restoran siap saji? Tapi mereka tidak akan menerimaku. Amos sudah membuat keributan di sana." Bermonolog sendiri. Amos memang sialan. Memberinya uang selalu pas-pas bahkan lebih sering kurang. Pria itu sengaja membuatnya menjadi Ibu rumah tangga yang patuh dan menyedihkan.  Dalam kesendiriannya meratapi hidup tiba-tiba ia dikejutkan bunyian bel. Jingga melihat ke arah pintu dan mendengar pintu terbuka, sosok Elesh masuk.   “Kau kembali?” Tanya Jingga, dahinya berkerut tebal. “Aku lupa mengatakan sesuatu,” “Apa?” “Sandi pintu ini, tanggal lahir kamu.” Katanya, lalu menutup kembali pintu dan pergi dari tempat itu. Jingga menggaruk belakang lehernya. Memangnya tidak ada angka lain selain tanggal lahirnya. “Cih,” Jingga bergumam.    …..   “Tuan, Nyonya belum pulang. Adara demam tinggi saya sudah memberinya penurun panas.” Pengasuh Adara mengadu begitu Elesh tiba di rumah.  “Kau sudah kabarin Nyonyamu?” Elesh melangkah lebar menaiki anak tangga menuju kamar.  “Nyonya tidak mengangkat teleponnya, Tuan.” Pengasuh Adara mengikuti langkah Elesh sedikit berlari.  Elesh mengambil Adara dari boks dan membawanya ke ranjang. Meletakkan pelan disana untuk diperiksa suhu tubuh bayi kecil itu dengan telapak tangannya.  “Berapa suhu tubuhnya? Jam berapa kau kasih minum obat?” Tanya Elesh, ia melepas kemejanya hingga bertelanjang d**a. Pengasuh Adara tersentak kaget melihat d**a pria itu.  “Satu jam yang lalu, suhu tubuhnya tiga puluh delapan, tuan.” ujarnya, tanpa lepas menatap d**a putih Elesh. “Keluar.”  Elesh kesal, menyadari tatapan pengasuh itu pada tubuhnya. Bisa-bisanya mengagumi saat keadaan panik begini.’ “I-iya, tuan.” Pengasuh itu berlari keluar kamar.  Elesh melepas pakaian Adara dan mendekap bayi kecil dalam dekapannya. Ia mengambil ponsel dan menelpon Hagena.  “Gena kemana sih?” Ia meletakkan ponsel di atas ranjang setelah menekan volume besar. “Elesh,” Suara perempuan di sana terdengar sedih. “Kau dimana?”  “Elesh,” Hagena menangis, “ Elesh ….” Terisak. “Gena, ada apa? Pulang ya, Adara sakit.” Bujuk Elesh. “Dia bukan putrimu, kenapa peduli?” “Gena!” Elesh menggeram, apa-apaan. Wanita yang satu ini kenapa tiba-tiba bertingkah. “Kenapa peduli?  Jangan pedulikan dia toh kau akan pergi dari hidup kami.” “Apa yang kau bicarakan? Kau ada dimana?”  “Jembatan.” Elesh terkejut mendengarnya, ia ingat pertama kali bertemu dengan Hagena. Perempuan itu putus asa dan ingin terjun dari sana. “Gena, Dara sakit, putri kita, pulang ya.” Bujuk Elesh dengan suara lembut.  Hagena menangis dan terdengar pilu, lalu ia mematikan ponselnya. Membuat Elesh melebarkan mata sempurna. Ia meletakkan Adara di ranjang dan kembali mengenakan kemeja nya kemudian berlari ke arah pintu.  “Astaga Tuhan. Ini sangat menyebalkan.” Ia memukul daun pintu dengan tangan kosong. Nyaris melupakan Adara. Elesh  kembali ke ranjang, mengambil Adara dan meletakkan di boks. Menyelimuti dengan kain tipis. Kemudian berlari keluar kamar, menuruni anak tangga.  “Hanna ….” Panggil Elesh seraya mengancingkan satu persatu kancing kemejanya.  “Iya, Tuan.” “Tolong perhatikan Adara, telepon aku kalau terjadi sesuatu. Suhu tubuhnya masih tinggi, asi Ibunya masih ada, kan?”  “Masih, Tuan.” “Lebih sering kasih minum, oke. Tolong jangan kecewakan aku.” Pinta Elesh, menepuk lengan Hanna. “Baik, Tuan.” Elesh berlari keluar rumah menuju mobilnya untuk menjemput Hagena. Ia melihat arloji, tujuh malam.  Gelap malam menyambut hujan dengan suara gemuruh kecil-kecil di langit Jakarta.  Elesh mengemudikan mobilnya ke tempat tujuan pertama kali mereka bertemu dengan Hagena. Satu jam perjalanan menuju tempat itu, Elesh mengalami macet.  Mobil di depannya tidak bergerak, ia menurunkan jendela mobilnya dan melihat polisi mengenakan mantel hujan bertugas mengatur jalanan. Elesh menelan saliva, mengeluarkan kepala lewat jendela hingga kepalanya tersiram hujan. Antrian panjang mobil di depannya membuatnya bingung.  Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Hagena dan di jawab operator.  Ia segera keluar dari mobil, menembus hujan berlari mencari tahu kenapa jalanan macet. Seorang polisi menghalanginya.  "Apa yang terjadi pak?" Tanya Elesh, "Kenapa menutup jalan?" "Ada kecelakaan dan korbannya seorang wanita. sepertinya sengaja menabrakkan mobilnya." Elesh terkejut mendengarnya, mengusap air hujan di wajahnya. "Tidak. Itu bukan kau Gena. Bukan." Elesh membatin, ia berlari ketempat kejadian, mengabaikan larangan petugas polisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN