Putramu tawananya

1565 Kata
Renatha datang tergesa tidak sengaja melihat Hagena menangis di hadapan seorang wanita, lalu ia mendekati dengan degup jantung tak menentu. Berpikir kondisi Elesh yang ditangisi Hagena nyatanya ada hal lain. “Siapa yang menjauh dari siapa, Gena?” Tanya Renatha yang sudah berdiri tepat di belakang Jingga. Jingga menoleh kebelakang, dimana suara itu berasal. Ia meneguk air ludahnya, melihat Renatha. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu, rasanya wanita itu awet muda. Jingga berdiri dari tempat duduknya dan berbalik menatap Renatha. Renatha melebarkan mata melihat Jingga. Sangat mudah mengenali Jingga, meskipun tidak secantik remajanya. Perempuan ini memiliki warna mata yang indah, biru. “Jingga.” Gumam Renatha tanpa mengalihkan tatapannya dari Jingga. Hagena tersenyum sekilas, tidak perlu terang-terangan mengadu pada Ibu mertuanya ini. Ia hanya akan menonton pertunjukan lalu perlahan mengambil hati Elesh. Semoga saja hasilnya sesuai harapannya. Hagena kembali pada raut wajah sedihnya. "Elesh bagaimana keadaanmu? Tolong aku, El." Jingga membatin, membalas tatapan Renatha yang tajam. "Nyonya Jingga, pasien atas nama Elesh memanggil anda." Panggil seorang perawat dari pintu IGD, menarik perhatian dua orang yang saling bertatapan tanpa berkedip. Renatha kesal mendengarnya. Hagena kecewa. Jingga? Menjadi serba salah. Ia melihat wajah Hagena yang tampak sedih. Jingga harus menemui Elesh, untuk memastikan pria itu baik-baik saja sebelum dia memutuskan untuk pergi diam-diam dari kehidupan Elesh seperti yang diminta Hagena. Ia melangkahkan kakinya, dan Renatha segera menghalangi langkah Jingga. "Kau tidak berhak masuk ke dalam sana. Istrinya ada disini." ujar Renatha, menatap dingin Jingga. "Hagena, temui Elesh." "Tapi, Ma." "Kau ingin perempuan ini yang menemuinya?" Renatha menggeramkan ucapannya, tanpa melepas tatapan dari Jingga. Hagena membawa langkahnya masuk ke ruang IGD. Ia menekan langkah menghampiri Elesh yang terbaring di bangsal. "Elesh," Elesh mengernyitkan dahi begitu melihat Hagena berdiri di sisinya. Ada raut kecewa terpancar dari netranya. Ia berusaha bangun melawan kematian yang sempat berbahagia memeluknya, hanya untuk Jingga. Berharap orang pertama yang ia lihat saat membuka mata dari kematian adalah Jingga. "Jingga dimana?" gumam Elesh. "El," "Ge, tolong panggilkan Jingga. Aku ingin melihatnya." Hagena mendesah kecewa, "Dia sudah pulang." ujarnya. Elesh memalingkan wajahnya, menyembunyikan raut kecewanya. Apa Jingga sama sekali tidak peduli padanya? Begitulah asumsi Elesh. "El, apa yang terjadi? Jingga bilang, suaminya menusu—" "Ge, ponselku mana?" Elesh memotong ucapan Hagena. "Aku tidak tahu, El." "Tolong pinjamkan ponselmu," "Untuk apa?" "Aku harus bicara dengan Jingga. Ia pasti mencemaskan aku, Ge." gumamnya, berusaha bergerak untuk bersandar pada sandaran bangsal. Hagena kembali mendesah, ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan menyerahkan pada Elesh. "Makasih, Ge." Ia mengetik nomor ponsel lamanya disana dan menghubungi Aldebaran. Sementara di tempat lain. "Aku dengar kau melahirkan bayi itu?" Tanya Renatha saat mereka berada di taman rumah sakit. "Kau penasaran?" Renatha terkekeh, tentu saja tidak. Memangnya kenapa kalau perempuan ini melahirkan darah daging Elesh. Baginya, tidak boleh darah keturunan orang miskin mengalir dalam tubuh cucunya, titik. "Sebenarnya aku salut padamu, mengorbankan masa depanmu demi melahirkan bayi itu. Tapi, pengorbanan itu sia-sia. Anak itu tidak akan pernah bisa masuk dalam keluarga Altair." Jingga mengulum senyum, entah kenapa tiba-tiba ia punya keberanian menatap wanita di hadapannya dengan dagu terangkat. "Aku juga tidak butuh pengakuan Altair pada putraku, Nyonya. Putraku bahkan tidak pantas menyandang nama itu." "Astaga, rupanya kau sangat sombong." ucap Renatha. Jingga tersenyum sinis, wanita tua ini menyinggung tentang putranya tentu saja itu menyakiti telinga juga hatinya. Andai saja Renatha lihat bagaimana putranya bersujud di kakinya demi kata maaf. Pasti Renatha membungkam mulutnya sendiri. "Lantas apa maksudmu mendekati Elesh? Pasti ini tentang uang, kan?" Renatha menautkan kedua alisnya, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ia menekan M-banking di ponselnya lalu bertanya. "Sebutkan berapa yang kau inginkan? Dan jangan lupa sebutkan juga nomor rekeningnya." ucapnya dengan nada sombong. Jingga mendengus, lagi-lagi dirinya dinilai dengan uang. "Seratus juta? Dua ratus juta? Ah, baiklah lima ratus juta. Menurutku itu cukup besar untukmu. Kau pasti belum pernah melihat uang sebanyak itu. Benar kan? Jadi selagi aku berbaik hati kau bisa sebutkan nomor rekeningmu." "Aku sangat tergiur dengan uangmu, Nyonya." "Ha ha tentu saja." "Tapi, aku tidak berniat menjual harga diriku, terutama pada keluarga Altair." "Kau!" "Apa?" "Lihatlah dirimu! Kau seperti kain usang yang siap dibuang ke tempat sampah. Tapi, masih bersikap sombong di hadapanku." ucap Renatha memindai penampilan lusuh Jingga dengan tatapan mencela. Jingga menahan sakit di hati, benar yang dikatakan Renatha kalau penampilan nya sangat memprihatinkan, namun bukan berarti wanita ini berhak menghinanya. Baiklah, jika wanita tua ini menghinanya, maka Jingga berniat membalas dengan caranya. Bermain-main diatas perasaan tulus Elesh padanya. "Ah, kau benar Nyonya, penampilanku memang sangat buruk." Jingga terkikik dibuat-buat. "tetapi aku heran kenapa Elesh sa ...ngat tertarik padaku." Jingga kembali terbahak. Lalu mendekati Renatha yang menatapnya kesal dan berujar dengan nada berbisik. "Bagaimana kalau uangmu kita tukar dengan putramu?Aku menginginnya." Plak! Renatha menampar Jingga dengan kejam, Jingga menoleh ke kiri menahan sakit. "Sudah kuduga kalau inilah tujuanmu mendekati putraku." Renatha mendesiskan ucapannya. Jingga mengusap wajahnya yang terasa pedas seraya menatap Renatha dengan sinis. "Aku berjanji akan mengambil Elesh dari tanganmu, Nyonya." katanya, tanpa melepas tatapannya dari Renatha. Renatha menyungingkan senyum kecut maju selangkah mendekat. "Lakukan jika kau berani. Kita lihat sejauh mana keberanianmu menghadapi seorang Renatha." "Baiklah, kalau itu yang kau mau." "Putramu, kau ingin dia hidup, kan?" Desis Renatha. Jingga membelalak mendengar ucapan Renatha. Kenapa pertanyaan itu terdengar seperti peringatan. "Apa maksudmu?" Renatha tersenyum sinis, melihat wajah pias Jingga. "Jika kau berani mendekati putraku, maka putramu akan menjadi tawanannya. Jadi, selagi aku berniat baik maka larilah dari kehidupan putraku. Aku tahu putraku yang bodoh itu tergila-gila padamu tapi, kau yang harus mengakhiri hubungan kalian dengan cara menghilang. Itupun kalau kau ingin putramu selamat." Ancam Renatha. Jingga menelan saliva melihat wajah kejam Renatha. Di dunia ini hanya Aldebaran yang ia miliki. Dia hidup hanya untuk putranya. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Aldebaran maka hidup Jingga akan tamat. Masalah cinta atau masalah menginginkan Elesh, itu hanya memancing kemarahan wanita yang menghinanya itu. Cintanya sudah lama kandas untuk pria itu, terbilang sejak Elesh meninggalkannya, sepuluh tahun yang lalu. "Kau pasti butuh uang untuk menghilang kan, Jingga?" Jingga menggeleng lemah. "Berapa? Sebutkan aku akan memberikannya." Jingga menggeleng lagi. Ponsel yang sedari tadi ia genggam berbunyi. 'Hatiku 'tertulis disana, Jingga tidak tahu siapa yang menelpon ke nomor Elesh. Mungkin Hagena. Yah, tentu saja, itu ponsel Elesh. Siapa lagi 'hati 'pria itu kalau bukan istrinya. Jingga menyentuh jawab dan meletakkan ponselnya di telinga, tatapannya masih terarah pada Renatha yang berdiri melipat lengan di depan d**a. "Halo," gumam Jingga. "Halo, Ma. Mama dimana papa nelpon dan cari mama." Ia tersentak, mendengar suara putranya. Lalu menurunkan ponsel dari telinga dan melihat nama di layar. 'Hatiku'. Jadi nama ini untukku?Ah tidak mungkin untuk Aldebaran. Ia bergumam dalam hati. "Papa menelponnmu?" Tanya Jingga penasaran. Renatha membelalak, mendengar Jingga bicara pada putranya. "Mmm, papa bilang mama jangan khawatir. Apa yang terjadi, Ma?" "Jadi Elesh tidak mengatakan kalau dia masuk rumah sakit. Baguslah." Bicara dalam hati. "Tidak ada, tunggu mama di rumah. Mama akan pulang." Jingga mematikan ponsel itu lalu menyerahkan pada Renatha. Renatha kebingungan, melihat ponsel di tangannya. lalu melihat Jingga yang sudah berlari meninggalkannya. "Ini kan ponsel, Elesh. Perempuan ini memang benar-benar." katanya kesal, lalu memasukkan ke dalam tasnya. …. Setibanya Jingga di Apartemen Elesh, ia masuk ke dalam kamar putranya. "Al, kita harus pergi." Aldebaran mengernyit saat melihat Jingga merapikan tas nya. "Kemana, Ma?" "Menjauh dari sini." "Papa dimana?" "Papa kerja." "Terus kenapa kita harus pergi?" "Aldebaran!" Hardik Jingga, saat putranya banyak tanya. "Ma …," Aldebaran memohon lewat tatapannya. Jingga menjatuhkan tas Aldebaran ke lantai. Ia berjongkok menyamakan tinggi dengan putranya. "Tolong mama sayang, aku nggak mau kehilangan kamu." Jingga memeluk Aldebaran sangat erat, penuh ketakutan. "Ada apa, Ma?" "Kita harus meninggalkan tempat ini. Demi keselamatan kita." "Apa ini tentang ayah?" Jingga tampak berpikir lalu mengangguk. "Papa sudah janji akan menjaga kita." "Jangan berharap. Ayo kita pergi."Jingga berdiri dan menarik Aldebaran keluar kamar. Aldebaran menangis tanpa suara, ia lelah kenapa ketenangan selalu menjauh darinya. Mengikuti langkah Jingga masuk ke dalam lift diam tanpa mengatakan apa-apa. Ding Suara bunyi lift terbuka, ia menarik tangan Aldebaran keluar lift dan membawanya keluar area Apartemen. Berjalan di teriknya matahari, menyusuri jalanan Jakarta. Aldebaran masih membisu, Jingga bisa merasakan kalau putranya sedang marah. "Aldebaran, kau haus?" Tanya Jingga. "Aku mau bertemu papa," Aldebaran mengabaikan pertanyaan Jingga. "Kita harus cari kontrakan untuk sementara waktu, setelah mama dapat uang nanti kita bisa pulang kampung." "Mama!" Hardik Aldebaran. Jingga menitikkan air matanya lalu mendesah panjang. Ia tahu ini akan sulit tapi jalan satu-satunya adalah menjauh dari Elesh jika mereka ingin hidup damai. Aldebaran melepas tangannya yang di genggam Jingga. "Aku mau sama papa," Tegas Aldebaran, lalu berlari melintasi jalan saat lampu merah. "Aldebaran!" Panggil Jingga, mengejar Aldebaran menyebrang di jalanan besar itu. Angka lampu merah berganti nol, lalu berubah warna jadi hijau. Mobil mulai melaju. Ciiitttt. Sebuah mobil berwarna merah marun melakukan rem mendadak, mobil itu nyaris saja menabrak Aldebaran. "Al …." Teriak Jingga. Tersentak kaget . lututnya lemah, ia melihat putranya dari jarak jauh berdiri menangis karena terkejut. "Hei anak muda, kalau mau menyebrang hati-hati." Seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan kemeja putih dan bergaya formal membantu Aldebaran. Dia pemilik mobil yang nyaris menabrak Aldebaran. "Maaf paman." gumam Aldebaran dengan napas terengah. "Al, kau ingin lihat mama mati." ujar Jingga begitu sampai. "Mama," Jingga terjatuh pingsan karena terkejut. "Mama." Jerit Aldebaran. Pria itu menolong dan menggendong Jingga ke dalam mobilnya. Aldebaran naik sembari menangis. Pria berpakaian formal itu, mengemudikan mobilnya ke suatu tempat. ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN