PART. 5
Fahri menatap rumah di depannya. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia bisa berada di depan rumah papi Devira. Saat ke luar rumah, setelah sholat isya tadi, ia tidak punya tujuan pasti, ia hanya ingin berjalan-jalan saja, untuk mengusir keresahan hatinya.
"Fahri!" terlambat bagi Fahri untuk pergi, karena papi Devira yang ke luar dari dalam rumah sudah melihatnya. Zul ke luar tidak sendirian, ia bersama sepasang pria, dan wanita setengah baya. Dan, Fahri baru menyadari, ada mobil lain yang terparkir di samping mobilnya.
Fahri ke luar dari dalam mobil, ia mendekati Zul, dan kedua tamunya.
"Pak Syahril, Bu Jannah, kenalkan ini Fahri. Fahri ini terangga saya di Banjarbaru. Tapi, kedua orang tuanya tinggal di Jakarta. Dia ini pengusaha muda yang sukses" Zul menepuk punggung Fahri, ia membanggakan Fahri seakan Fahri putranya sendiri. Fahri menyalami kedua orang di hadapannya.
"Fahri ini, sudah seperti putraku sendiri, Pak Syahril. Fahri, Pak Syahril ini, ayahnya adalah teman ayah papi."
"Zul tidak punya putra, pasti dia senang kalau memiliki putra sepertimu, Fahri."
"Terimakasih, Om" Fahri menganggukan kepalanya, dan mengulas senyum di bibirnya.
"Baiklah Zul, kami pergi dulu, nanti telpon saja aku kalau kalian sudah mengambil keputusan," ujar Syahril.
"Iya, Pak. Jawabannya akan aku berikan segera, terimakasih banyak Pak Syahril, dan Bu Jannah mau datang ke rumahku."
"Baik, Zul, Fahri, kami permisi dulu, assalamuallaikum."
"Walaikum salam."
Zul, dan Fahri menatap mobil yang membawa sepasang suami istri itu sampai hilang dari pandangan mereka.
"Masuk, Fahri" Zul menepuk lembut punggung Fahri.
"Iya, Pi. Ehmm, Devira sudah pulang, Pi?"
"Sudah, tapi dia menginap di rumah Devita. Besok ke kantor, kamu yang jemput dia, atau papi yang antar?" Zul, dan Fahri duduk di sofa.
"Biar aku yang jemput, Pi"
"Ehmmm," Zul menganggukan kepalanya.
"Pi"
"Ya"
"Devira sudah cerita kalau dia aku minta jadi asisten pribadiku?"
"Sudah, apa dia nanti tidak akan merepotkanmu. Devira itu belum terbiasa bekerja, Papi hanya takut, dia bukannya membantu pekerjaanmu, tapi justru membuatmu repot, Fahri."
"Semoga tidak, Pi."
"Ehmmm, kedatangan Pak Syahril tadi sebenarnya ada hubungannya dengan Devira"
"Maksud, Papi?"
"Pak Syahril itu punya putra yang kuliah di Singapura, beberapa bulan lagi akan pulang. Jadi, Pak Syahril ingin Devira menjadi istri Syahrul, putranya."
Fahri menatap wajah Zul, seakan tengah mencari kebenaran di sana. Meski Fahri tahu, pria di hadapannya ini tidak pernah berdusta.
"Ooh," hanya itu yang bisa ke luar dari sela bibir Fahri.
"Papi terserah Devira saja, kalau dia merasa yakin untuk menerima, ataupun menolak, Papi hanya mendukung saja, karena dia yang akan menjalaninya."
"Iya, Pi"
"Devira itu berbeda dengan Devita. Kalau Devita mungkin akan iya saja, asal orang tuanya bahagia. Sedang Devira, kamu tahukan, dia itu ekspresif, ceplas ceplos," tutur Zul dengan suara lembut.
"Iya, Pi"
"Kamu sendiri, kapan ingin menikah Fahri?"
"Aku belum siap, Pi"
"Belum siap bagaimana, kamu ini, kalau Papi lihat, sudah matang dari segi usia, sudah mapan dari segi kehidupan, apa lagi yang kamu tunggu?"
"Belum siap mental, Pi"
"Papi rasa, tidak ada istilah tidak siap mental dalam pernikahan, Fahri. Itu hanya rasa cemas, dan ketakutan saja. Takut nanti begini, begitu, padahal belum tentu juga yang dicemaskan terjadi." Zul menarik napasnya dalam, ia teringat akan pernikahannya sendiri.
"Kalau sudah punya pilihan, lebih baik disegerakan"
"Aku belum punya pilihan, Pi"
"Itu mungkin karena kamu tidak berusaha mencari. Pria muda dan sukses seperti kamu, pasti tidak sulit mencari istri."
Fahri tersenyum mendengar ucapan Zul.
"Dengan menikah, tujuan hidup lebih pasti Fahri. Bekerja lebih semangat, hidup juga pasti lebih berwarna. Segerakan kalau sudah ada pasangan."
"Iya, Pi"
Fahri menganggukan kepalanya, berkelebat bayangan Devira di dalam benaknya.
Devira sengaja menginap di rumah Devita, karena ingin curhat pada saudara kembarnya. Mereka berbaring di atas ranjang, di kamar tempat Devita menginap, karena Adrian sedang pergi ke syukuran di rumah tetangga.
"Jadi Kak Vira bekerja di kantor Kak Fahri?"
"Iya, posisiku asisten pribadi. Asisten pribadi itu apa ya kerjaannya Vita? Papi, dan Mas Adrian tidak pakai asisten pribadikan?"
"Heum, bahkan ayah Malik yang perusahaannya besar saja tidak pakai asisten pribadi. Kak Vira tidak tanya sama Kak Fahri, apa tugas Kak Vira?"
"Aku sudah tanya, tapi dia malah minta aku belajar sama sekretarisnya"
"Ooh, bagaimana suasana di tempat kerja, Kak?"
"Cowok-cowoknya ganteng dan ramah, tapi ceweknya, hmmm nggak tahu deh."
"Kakak mau kerja, apa ingin cari cowok sih?"
"Menyelam sambil minum air, Vita. Siapa tahu dapat jodoh di sana, aku ingin cepat kawin tahu." Devita tertawa mendengar ucapan Devira. Apa yang terjadi diantara mereka saat ini sungguh sangat ia syukuri. Dulu, jangankan tertawa bersama, bicara baik-baik saja sangat sulit terasa.
"Kenapa tidak bossnya saja yang dijadikan jodoh, Kak?"
"Hmmm, menurutmu, Mas Fahri suka tidak sih sama aku, sikapnya itu kadang membuat aku bingung."
"Kalau aku lihat, Kak Fahri punya perhatian sama Kak Vira. Kalau tidak perhatian, tidak mungkinkan sering mampir ke rumah Papi, terus menawarkan pekerjaan pada Kak Vira."
"Iya, mungkin sekedar suka, tapi bukan cinta, seperti perasaannya padamu, Vita."
"Kak Vira, hal itu sudah lewat, jangan dibahas lagi."
"Maaf ya, adikku tersayang," Devira memiringkan tubuhnya, dipeluknya Devita.
"Ehmm, jadi Kak Vita cinta sama Kak Fahri, tidak sih? Kalau cinta ya diperjuangkan, Kak."
"Aku sih santai saja, tapi tetap berusaha, artinya kalau dia jodohku ya syukur, kalau tidak, ya harus diusahakan biar jadi jodohku."
Devita tertawa, dicubit lengan Devira yang memeluknya. Devira juga ikut tertawa.
"Maksa ya, Kak?"
"Mas Fahri itu idaman wanita, wajib diusahakan untuk meraih cintanya, aku betulkan?"
"Iya, iya, aku cuma bisa mendukung Kak Vira dengan doa, semoga Kak Vira, berjodoh dengan Kak Fahri. Ya Allah, tolong jadikan Kak Fahri sebagai jodoh Kak Vira, aamiin."
"Aamiin, kabulkan doa adikku ya Allah, aamiin"
"Aamiin"
BERSAMBUNG