PART. 4

942 Kata
Happy reading. Jam kantor sudah usai, Devira segera beranjak ke parkiran, ia ada janji dengan Bara, Bara datang menjemputnya, ia harus segera mempersiapkan jawaban untuk Bara. Devira lupa pada apa yang tadi pagi diucapkan Fahri padanya, kalau Fahri yang akan mengantar pulang. Begitu melihat Bara, yang menunggunya di parkiran, Devira langsung menemui Bara. "Kita makan dulu ya," ujar Bara. "Aku telpon Papi sebentar ya" "Oke." Devira mengambil ponsel dari dalam tasnya. "Assalamuallaikum, Pi" "Walaikum salam, Sayang" "Pi, tidak usah dijemput ya, Vira pulang sama Bara, tapi kita mau mampir untuk makan dulu, boleh ya, Pi?" "Loh, bukannya Fahri yang akan mengantarmu pulang. Tadi pagi dia telpon Papi, katanya mau antar kamu pulang." Devira terdiam sesaat, ia benar-benar lupa soal itu. "Aku lupa Pi, besok saja ikut Mas Fahri, hari ini aku sama Bara ya, kasihan dia sudah jemput." "Terserah kamu saja, Sayang. Jangan pulang malam ya, jaga diri baik-baik, assalamualaikum." "Walaikum salam, Pi" "Ayo," Devira menatap Bara, Bara membuka pintu mobil untuknya. Devira tidak tahu, kalau Fahri tengah mencari-carinya. "Ingin makan di mana?" "Terserah kamu saja," jawab Devira, ia mengambil ponsel yang berbunyi dari dalam tasnya. Devira tersenyum dikulum, saat melihat siapa yang menelpon. Dimasukan lagi ponsel itu ke dalam tas, setelah ia matikan nada deringnya, tanpa ia berniat menjawab panggilan itu. "Kenapa tidak dijawab?" tanya Bara penasaran. "Bukan orang penting, cuma orang caper saja," sahut Devira. "Laki-laki?" "Iya" "Pengagummu?" "Hmmm ...." "Ternyata banyak juga sainganku ya" "Hmmm ...." Devira mengangguk dengan rasa bangga di dalam hatinya. Bara tidak bertanya lagi, karena pertanyaannya hanya dijawab hmm, saja oleh Devira. Devira memang sedang tidak fokus pada pembicaraannya dengan Bara, ia tengah membayangkan tampang Fahri yang ia tinggalkan, dan tidak ia jawab panggilan telponnya. 'Besok, kira-kira, aku bakal kena marah si mas boss tidak ya? Hmmm, si mas boss ini sebenarnya ada rasa tidak sih sama aku. Kadang cuek, kadang perhatian kadang seperti cemburuan, tapi yang pasti dia menyebalkan, dipancing pakai umpan cacing tidak mempan, pakai ulat daun pisang tidak mempan, apa harus pakai umpan kodok. Hmmm, sepertinya harus pakai kodok deh, Mas Fahri itukan seperti ikan haruan, cara mancing, dan umpannya harus yang tidak biasa' Devira asik melamunkan Fahri, sedang Bara yang ada di sebelahnya tidak ia perhatikan. Dan, jawaban untuk Bara juga belum ia siapkan. **** Fahri menghempaskan pantatnya di atas jok mobil. Ia baru saja selesai menelpon papi Devira, karena Devira tidak menjawab telponnya. Dan, kabar yang ia terima dari papi Devira, justru membuat kesal hatinya. Devira sengaja mengabaikan ucapannya, dan menganggap remeh dirinya. Tapi, apa yang bisa dilakukannya, jam kerja Devira sudah habis, ia tidak punya hak untuk mengatur hidup Devira. Dan, pikiran itu bukannya membuat hatinya tenang, justru membuat hatinya makin gelisah saja. Akhirnya, Fahri memutuskan untuk pulang saja, membawa keresahan di dalam hatinya. Fahri tiba di rumah, disambut oleh ibunya. "Assalamu'alaikum, Bu" Fahri mencium punggung tangan ibunya. "Walaikum salam, mandilah, setelah itu temui ibu, dan ayah di kamar ya. Ada yang ingin ibu, dan ayah bicarakan." "Baik, Bu" Fahri menganggukan kepala. Sesuai keinginan ibunya, setelah mandi, Fahri menemui kedua orang tuanya. "Duduklah, Fahri" pinta Fauzan, ayah Fahri. Fahri duduk di sofa, di hadapan kedua orang tuanya. "Ada yang ingin Ayah, dan Ibu sampaikan," ucap Fauzan. "Ada apa, Ayah?" "Usiamu sekarang sudah dua puluh delapan, usiamu sudah cukup matang, pekerjaanmu sudah sangat mapan. Kamu sudah punya semua yang diharapkan, cuma kurang satu hal, istri." Fahri menatap ayahnya, ia bisa meraba kemana arah pembicaraan akan dibawa. "Selama ini, kamu tidak pernah membawa satu wanita pun ke rumah ini. Kami yakin, pasti di luar sana banyak wanita yang menyukaimu. Sekarang katakan Fahri, apakah kamu sudah mempunyai calon istri!?" Tanya Fauzan, sambil menatap lekat wajah putranya. Lidah Fahri terasa kelu, ia hanya memilih menggelengkan kepala. Ia tidak ingin menyakiti perasaan orang tuanya, dengan mengungkapkan siapa pilihan hatinya. Kedua orang tuanya saling pandang, senyum tipis terlihat di bibir keduanya. "Apa kamu bersedia, kalau kami yang memilihkan istri untukmu?" tanya Indah, ibu Fahri. Meski tahu arah pembicaraan akan ke sini, namun Fahri tidak bisa menutupi rasa terkejut, saat hal itu terlontar dari mulut ibunya. "Aku belum ingin menikah," jawab Fahri akhirnya. "Kenapa? Tidak ada lagi yang harus kamu pikirkan Fahri. Meninggalnya Devina, sudah membuat janji pada almarhum kakekmu, gugur dengan sendirinya. Sekarang, saatnya kamu memikirkan dirimu sendiri, masa depanmu, hari tuamu" ucap Fauzan. Fahri menundukkan kepala, rasa gelisah benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata. "Begini saja, kamu berkenalan dulu dengan calon- calon yang kami sodorkan, selanjutnya terserah padamu. Kami tidak akan memaksa, bila kamu tidak suka." "Calon-calon, maksud Ayah?" Fahri menatap ayahnya bingung. "Calon-calon, itu artinya tidak hanya satu, Fahri. Ada banyak teman-teman kami yang ingin mengajak besanan. Kamu bisa berkenalan dulu dengan mereka satu persatu, keputusan akhir, tetap berada di tanganmu." Fahri menarik napasnya perlahan, ia merasa tidak punya pilihan, selain menganggukkan kepala, menyetujui keinginan orang tuanya. Kedua orang tua Fahri saling pandang, senyum senang terkembang di bibir mereka. "Terimakasih Fahri, kamu tahu, kami sangat ingin untuk segera menimang cucu. Semoga di antara gadis-gadis itu, ada yang sesuai dengan keinginan hatimu, aamiin" ucap ibu Fahri. "Aamiin," ayah Fahri mengamini, namun Fahri hanya diam saja, karena rasa gundah yang melanda perasaannya. Fahri kembali ke kamarnya, dengan rasa resah yang berlipat ganda. Resah memikirkan Devira yang mengabaikan ucapannya, resah memikirkan keinginan orang tuanya. Ingin sekali Fahri menelpon Devira, tapi ia takut, Devira kembali mengabaikan telponnya. Fahri menatap ponselnya, lalu menarik dalam napasnya. "Dulu, saat aku mencintai Devita, hatiku tidak seresah ini. Tidak ada rasa takut, jika ayah dan ibu menentang pilihanku. Aku merasa sangat siap menanggung resiko. Tapi, kenapa sekarang aku seperti ini, apakah karena hatiku sendiri belum yakin, kalau aku jatuh cinta pada Devira. Ya Allah, aku tidak tahu, apa yang terjadi dengan hatiku, aku hanya bisa pasrah pada kehendak-Mu' BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN