Biar Kan Saja

1450 Kata
“Sendirian?” Menurut L? tutur Icha dalam hati dan nyaris terkikik andai tak melihat ada orangnya disini. Fadlan malah memeriksa keningnya yang sedikit panas. Ia tiba-tiba membeku. Kaget ditambah deg-degan. Kok deg-degan sih? tanyanya dalam hati. Yang namanya dokter memeriksa pasien kan begitu ya. Biasanya juga tak pakek acara deg-degan segala. Lah ini? Icha mengeluh dalam hati. “Sudah makan?” “Puasa,” jawabnya. “Jangan puasa dulu,” sergah Fadlan lantas menatapnya dengan tajam. “Mau makan apa?” tawarnya. Icha menghela nafas. Awalnya sih agak-agak ge-er. Tapi saat ingat kejadian kemarin dan lelaki ini ternyata yang menabraknya, ia buang jauh-jauh sikap baper alias bawa perasaan itu. Ini kan cuma karena Fadlan ingin tanggung jawab saja, begitu kata hatinya. “Sa-te Pa-dang?” Ia agak menawar meski ragu. Fadlan melongo sesaat walau akhirnya ter-kekeh. Bahkan kemudian lelaki itu tersenyum kecil. Aih, biasanya sih kalau sama perempuan lain cuma masang wajah datar saja biar tak dideketin. Lah sama yang ini? Kalau punya perasaan itu memang beda ya? “Aku pesan saja, ya? Menunggu sebentar tak apa-apa? Soalnya kantin rumah sakit saat puasa begini,” curcolnya yang disambut mangut-mangut oleh Icha. Icha sih tak peduli selama ia masih bisa makan sate Padang! Uhuy! Mana gratisan pula! Bahagia banget menjadi anak kos! Hahahah! Rasanya yang namanya gratisan bagi anak kosan itu surga dunia! Fadlan berdeham saat tak tahu harus berbicara apalagi padahal banyak sekali yang ingin ia tanyakan. Apa? Nomor ponsel misalnya, hihihi. “Teman kamu mana?” “Pulang.” “Kenapa?” “Harus kuliah.” “Oh?” Fadlan terkaget. “Kamu sudah kuliah?” tanyanya yang membuat muka Icha berubah senewen. Hei-hei, begini-begini ia tingkat akhir loh. Wajah boleh baby face tapi umur sudah awal dua puluhan alias dua puluh satu tahun. Herannya, banyak orang yang selalu kaget setelah bertanya tentang status pelsajarnya yang sudah berganti menjadi mahasiswa. Dulu kan sebagai siswa sekarang kan naik dikit. Bahkan sebentar lagi bakalan jadi alumni. Mana hari ini ia bolos pula. Tapi tak apa sih. Ghina sudah mendapatkan surat izin sakit dari rumah sakit sebagai ganti keabsenannya di kampus. “Sudah semester berapa?” Fadlan mengabaikan tampang yang senewen itu. Ia malah serius sekali dengan pertanyaannya sejak tadi. “Tujuh.” Fadlan mengangguk-angguk. Sudah mau selesai ya? tanyanya dalam hati. “Ada lagi, dok? Biar aku jawab sekalian,” dumel Icha yang membuat Fadlan terkekeh. Aih, gadis ini lucu juga, pikirnya. Yeah, selain cantiknya. “Nomor ponsel kamu berapa?” Dan Icha ternganga-nganga mendengar pertanyaannya. Benar-benar tak menyangka kalau lelaki ini seterus-terang ini. Tapi mungkin ini yang agak menarik. Walau Fadlan terlihat santai dan tak mengejar padahal dipepet terus. Tapi ia lihai menyembunyikannya biar terkesan agak jual mahal dan tidak gampang jatuh hati. Padahal? Icha terkekeh. Berpura-pura menganggapnya sebagai candaan. Padahal tadi sempat tercengang. Tapi masa iya lelaki seganteng ini, sewibawa ini, jomblo sih? Duh! Duh! “Kenapa ketawa?” tanya Fadlan. Icha langsung berdeham, menghentikan tawanya. Fadlan menatapnya dengan senyuman kecil. “Aku serius,” tambahnya yang membuat Icha segera menoleh ke arahnya. “Aku tidak bercanda tentang hal-hal yang seperti itu biar kamu tahu.” “Laan!” panggil Mami sambil mengetuk pintu kamar anak bujangnya yang tak kunjung menikah itu. “Sahur!” Airin yang baru keluar dari kamar, mengernyit heran melihat Maminya di depan kamar kakaknya. Padahal semalam, Airin melihat kalau kakaknya itu pergi entah kemana. Kalau lihat dari stelannya sih stelan kerja. Walau yah, kadang pergi main, nongkrong atau jalan-jalan pun stelannya sama. “Memang kak Fadlan sudah pulang, mi?” tanya Airin. Ia sih agak sangsi. “Semalem Airin lihat kak Fadlan pergi.” “Pergi?” Airin mengangguk. “Coba Airin cek deh mobilnya,” tuturnya lantas segera keluar menuju garasi mobil. Benar saja. Mobil kakaknya itu tak ada. Airin menghela nafas. Kadang kakaknya itu suka menghilang selama bulan puasa ini. Bahkan ini sudah hari ke-25 ramadhan. “Tak ada, mi!” Mami menghela nafas. Kemana lagi? Pikirnya. Ia benar-benar tak paham akan tingkah laku anak lelakinya yang satu itu. “Kenapa lagi?” tanya Papi saat melihat wajah masam milik istrinya. “Anakmu itu entah kemana perginya,” tutur Mami dengan tampang sedih. Yah sedih saja karena Fadlan sering kali menghilang. Kejadian seperti ini bukan sekali-dua kal terjadi. “Paling ke rumah sakit, kerja. Si Fahri bilang, dia sibuk terus di sana.” Mami menghela nafas. Makin lama ia makin khawatir. Takut-takut dengan kondisi fisik anaknya. Walaupun terlihat sangat bugar. Tapi siapa yang tahu? Banyak orang yang kadang suka meninggal tiba-tiba karena lelah. “Kenapa lagi anakmu itu?” Papi terkekeh. “Katanya lagi patah hati. Makanya kerja terus untuk pelarian,” terang Papi yang membuat Mami menghela nafas. Ini sih namanya nyari penyakit, gumamnya dalam hati. Sementara Fadlan masih sibuk di rumah sakit. Ia sudah mondar-mandir sana-sini mengurusi pasien yang menjadi korban tabrakan sepagi tadi tepat jam satu pagi. Mengabaikan berbagai tatapan dari para petugas yang sering kali tertangkap basah melihat wajah dinginnya yang tampak serius sekali bekerja. Yeah, semakin keras usahanya untuk melupakan nyatanya semakin keras pula ia bekerja. Ia memang terlihat memaksakan diri. Bahkan sejak kembali bekerja di sini, ia hanya sempat beristirahat dua jam, yaitu saat tiba waktunya solat, berbuka puasa dan tidur setengah jam di malam hari. Kantung matanya bahkan sudah tebal dan menghitam. “Telepon aku kalau ada apa-apa,” tutur Fadlan saat pamit akan pulang ke rumah. Icha hanya mengangguk sementara Ghina melongo. Hohoho ada yang baru dan ia tertinggal informasi? “Itu cuma sekedar rasa tanggung jawab atau dia suka?” “Gak usah ngomong macem-macem deh,” tegur Icha yang membuat Ghina terkikik. Icha berusaha menepisnya. Iya. Lagi pula ia tak yakin dengan Fadlan dan apa-apa yang ia lakukan padanya seharian ini. Memang sih, lelaki itu baik sekali hari ini. Mulai dari sate Padang lalu ditemani rontgen dan dilanjutkan dengan jalan-jalan sebentar di sekitar taman rumah sakit. Bermodal-kan kursi roda, Fadlan membawanya ke sana biar ia tak bosan karena terus ber-ada di kamar rawat. Namun yang membuat Icha tak tahan itu adalah berbagai tatapan mata yang ter-tuju ke arahnya. Kemudian ledekan dokter Fahri yang ba-ru dikenal Icha hari ini. Setelah itu, ia ditanya mau apalagi. Icha bilang ingin pu-lang saja. Ingin istirahat di kosnya tapi belum diizinkan. Tentu saja tak akan di-izinkan. Kalau bisa dirawat sebulan sih Fadlan akan menahannya mati-matian. “Dia baik gak sama lo?” tanya Ghina dengan tatapan usil. Icha tahu kemana arah dan maksud pertanyaan itu makanya ia hanya mendengus. Ghina terkekeh karena percuma toh ia tak akan mendapat jawaban. Tapi ia akui sih, Fadlan sosok yang baik dan gentleman. Sedikit-sedikit ia ditanya apa ada yang sakit atau tidak. Lalu ditanya mau makan apa tapi ia menggeleng. Belum nafsu makan. “Gue laper deh, Ghin.” Kali ini gantian Ghina yang mendengus. “Tadi lo ditawarin mau apa, lo tolak!” Icha terkekeh. Itu sih tadi sekarang kan beda lagi. Cewek sih begitu. “Ya kan itu tadi!” “Cha?” Sosok Danu muncul. Dua orang itu segera menoleh. Ghina langsung men-dengus. Icha? Mendadak diam saja. Ia agak kaget dengan kedatangan lelaki yang satu itu. Sementara Fadlan tiba di rumah dan langsung memeluk gulingnya berhubung tak ada siapa-siapa di rumah. Mami dan Papi baru akan pulang besok. Airin di sekolah. Aisha? Sedang koass di daerah pelosok. Fadlan bersiul-siul sambil keramas kemudian memakai baju. Lalu menyingkap kulkas yang kosong. Aaah, ia melirik jam tangannya lantas segera menelpon. Uhuy! Fadlan sudah mendapatkan nomor ponsel gadis itu. “Sudah lapar?” Tanpa salam ia langsung bertanya. Icha langsung tergagap. Belum terbiasa. Lagi pula kalau tidak ada Danu, ia tak akan mengangkatnya. Ia mengangkatnya agar tak perlu meladeni basa-basi Danu. “B-be eh sudah!” jawabnya plin-plan. Fadlan terkekeh. Ia berjalan menuju mobilnya. “Mau makan apa? Biar ku beli kan!” Euung... Icha tampak berpikir. Ia melirik Ghina lantas berdeham. “Apa saja, dok!” “Jangan panggil dok,” ingat Fadlan. Ia sudah memperingatkannya tadi saat di taman. Entah kenapa, kalau dipanggil dokter itu terkesan formal sekali. “Iya, maaf.” Fadlan berdeham membuang rasa aneh yang sempat memenuhi dadanya tadi. “Gak apa-apa. Aku belikan sushi bagaimana? Atau kamu mau yang lain?” “Terserah kakak saja.” Fadlan tersenyum kecil walau ia jengkel mendengar kata terserah dari perempuan. Asal tahu saja, jangan protes kalau ia benar-benar membelikan makanan semau hatinya. Siapa suruh bilang terserah? Icha mematikan telepon usai Fadlan bilang akan berangkat. Ia menghela nafas lantas menyandarkan punggungnya. Kemudian perutnya berbunyi. Ghina terkekeh. “Kamu laper, Cha?” “Enggak.” “Mau Danu belikan sesuatu gak?” Icha menggeleng lantas merebahkan badan. Apa lelaki yang satu ini tak paham kalau Icha tak suka? Icha memang tidak memberitahunya secara gam-blang. Tapi sadar diri lah. Ia sendiri yang menyerah dan memilih perempuan lain, Delima, teman sekelas mereka. Kemudian saat sadar kalau dengan caranya me-macari perempuan lain di depan Icha dan tak berpengaruh apa-apa, ia datang kembali. Icha sudah bosan jadi bahan gosip teman-teman sejurusannya karena hal ini. Dikira merebut pacar orang lah, sok jual mahal karena dulu tak kunjung menerima Danu. Padahal? Icha itu tipe orang yang suka tak enakan. Makanya ia jarang berterus terang. Khawatir orang itu akan sakit hati atas ucapannya. Ia tidak mencari orang agar membencinya. Namun yang terjadi malah lebih parah dari ini. Icha tak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Mana pacarnya si Danu ini drama banget lagi. Suka sekali menyindirnya lewat kata-kata. Icha sih diam saja. Biarin saja. Percaya deh, selama ia tak buruk dimata Allah maka ia tak harus peduli pada penilaian manusia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN