“Parah memang lu! Gue kirain bakal mati atau minimal koma!” omel Mamad setelah dapat masuk ke ruang rawat inap Icha usai mendapat kabar super panik dari Ghina yang ditelepon Fadlan satu jam yang lalu. Ghina terbahak mendengar-nya padahal beberapa menit yang lalu ia menangis. Tadi sore, saat kejadian ia memang tertinggal. Tahu-tahu Icha sudah dibawa dengan mobil si penabrak. Tak sempat tahu siapa yang menabrak. Ia bahkan baru tahu dimana Icha dirawat satu jam yang lalu.
“Aaah elu! Bukannya seneng kalau gue tak kenapa-napa!” keluh Icha.
Sahabatnya terbahak termasuk Tio yang sedari datang diam karena panik. Padahal tadi Tio bolos tarawihan di masjid demi mengejar abang ketoprak, ia mengendarai motor berlawanan arah dan saat tiba dibelokan, ia tak bisa meng-hindari truk yang berhenti di sana. Alhasil, ia menabrak. Untungnya tak ada yang luka. Ia sih meringis tapi saat mendapat telepon dari Ghina, sakitnya langsung hilang. Rasanya kalau ingat kejadian tadi, ia ingin tertawa.
Alya, si pacarnya Mamad, ikut mengomeli Icha karena memarahi pacarnya. Ghina sudah tak bisa menahan tawanya. Mereka gaduh sekali sampai dokter di ruangan sebelah datang ke ruangan mereka dan menegur mereka. Dengan kompak, mereka hanya bisa meminta maaf dengan anggukan lantas terkikik pelan. Memang, kalau sudah kumpul bersama sahabat itu pasti selalu ribut dan rusuh kayak gini. Sementara Fadlan yang memerhati diam-diam dari luar ruangan merasa lega melihat gadis itu tersenyum lagi.
Fadlan menghela nafas. Ia cuma bisa menelan pahit ketika melewati ruang rawat di mana Icha pernah dirawat dulu. Iya Icha, gadis yang dulu ia panggil Rissa karena itu nama aslinya. Ini lah yang ia sesalkan kalau terlalu lama di rumah sakit ini. Sekelebat bayangan masa lalu kembali menghiasi diri. Fadlan mengeluh dalam hati. Rasanya sesak sekali. Ternyata jatuh cinta begitu mudah baginya tapi melupakan tidak sama sekali. Fadlan berjalan menuju ruangan-nya lagi. Tampang kusut, masam, datar dan tidak ada ramahnya sama sekali itu membuat beberapa perawat menyingkir. Khawatir membuat Fadlan kesal. Yeah, dari pada urusannya panjang sekali lalu tiba-tiba selesai begitu saja. Maklum, Fadlan suka lupa masalah apa yang ia per-buat jadi ya begitu.
“Masih patah hati, kak?” tanya Aisha yang berjalan pelan di samping Fahri. Dua orang itu terus memantau kelakuan Fadlan selama beberapa hari ini.
“Lo liat saja, gimana kelihatannya?”
Aisha menghela nafas. Ia tak tahu sama sekali bagaimana ceritanya. Tahu-tahu kakaknya agak gila karena jatuh cinta lalu stres begitu patah hati. Perempuannya? Mana Aisha kenal. Aisha tak pernah bertemu. Tak pernah dikenalkan Fadlan. Ia bahkan hanya tahu wajah perempuan itu dari foto yang dikirimkan Fahri. Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu kakaknya dan perempuan itu berpisah. Desas-desusnya sih si perempuan ada di negara tetangga. Tapi kakaknya tak ada pergerakan sama sekali. Padahal tahu mengenai kabar itu.
“Baru beberapa tahun ini gue liat ada perubahan banyak di kehidupan kakak lo yang datar itu. Biasanya cuma tahu buku, bisnis, buku.”
Aisha terkekeh. Ia juga. Ia pikir Fadlan tak pernah tertarik pada perempuan. Eeh sekalinya tertarik begini. Abis jatuh cinta langsung patah hati.
“Apa gue yang samperin ceweknya ya, kak?”
“Jangan lah,” Fahri menolak. “Biar Fadlan yang usaha sendiri. Kalo memang jodoh ya bakal ketemu lagi.”
Aisha mengangguk, mengiyakan. Walau sebenarnya ia sedih melihat kakak tersayangnya seperti itu.
“Ehem,” deham Fadlan. Lelaki itu masuk ke dalam ruang rawat yang tadinya ramai mendadak senyap karena kehadirannya. “Jam besuk sudah selesai,” tutur-nya yang membuat Tio, Alya dan Mamad segera berberes dan bersiap pulang. Ketiganya juga pamit pada Fadlan yang berdiri di pintu.
“Kamu yang jaga?” tanya Fadlan pada Ghina yang duduk kaku saking gugup-nya ditanya dokter ganteng. Hahahaha.
“I-iya, dok,” tutur Ghina yang diam-diam meringis karena gugupnya sangat kentara. Icha malah mengernyit heran melihatnya.
“Oke, kalau begitu aku tinggal dulu. Kalau ada apa-apa hubungi saja nomor yang tadi,” pesan Fadlan lantas pamit keluar. Dalam sekejab saja Ghina terkikik setelah menghela nafas lega. Icha menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Omong-omong Icha agak sebal karena harus dirawat selama beberapa hari. Rasa-rasanya cuma lecet tapi dokter yang satu itu memaksa untuk rongent besok pagi. Ia sih pasrah saja.
“Jadi, yang nabrak dia, Cha?”
Icha mengangguk. Ia sih baru tahu usai Fadlan menelepon Ghina tadi. Lelaki itu menjelaskan bagaimana kejadian perkara terjadi. Sementara si Ghina malah girang. “Beruntung banget sih lo, Chaaaaa!”
Icha menganga. Beruntung apanya kalau ia sampai dirawat begini? Heloo! Rasanya kewarasan Ghina sudah pindah sejak ketemu dokter ganteng itu. Yah, walaupun Icha mengakui sih kalau lelaki itu ganteng. Asal tahu saja, mahal loh pujian ganteng dari Icha. Karena menurutnya ganteng itu harus diikuti dengan wibawa dan lelaki itu punya itu. “Kaki gue sampe berdarah terus sekarang rasa-nya bengkak, lo bilang beruntung?”
Ghina terkikik. Ia tak memikirkan hal itu sih. Menurutnya selalu ada hikmah dari setiap musibah. Hahaha. Sementara Fadlan sudah berjalan menuju ruangan-nya. Ia tak jadi pulang ke rumah. Airin sudah ia ungsikan ke rumah Fadli meski-pun awalnya Airin keberatan. Yah maklum lah, Airin memang tak begitu dekat dengan Fadli. Fadlan malah duduk di sofa di dalam ruangannya. Pikirannya ber-alih pada gadis cantik di ruang rawat itu. Bahkan pikirannya sudah penuh dengan gadis itu. Hatinya juga. Eh? Sejak kapan? Entah lah. Fadlan tak tahu. Yang Fadlan tahu, hari ini ia harus banyak bersyukur. Hahaha.
Setengah jam ia termenung, ia bosan. Jadi ia memutuskan untuk beranjak dari sofa lalu mengambil jas putihnya. Selanjutnya ia sudah berjalan menuju ruang rawat itu untuk mengintip apa yang sedang dua perempuan itu lakukan. Terdengar suara gelak tawa yang khas dari dalam. Ia hanya bisa mendengarnya. Kemudian ia duduk di bangku yang ada di depan ruang rawat itu. Perlahan-lahan memejamkan mata sambil tersenyum. Rasanya Fadlan sudah gila hari ini.
Ya, ia sudah tergila-gila.
“Fadlan mana suka dijodoh-jodohin gitu, pi,” ucap Mami yang terang-terangan menolak rencana Papi untuk menjodohkan anak mereka dengan keluarga yang dulu tinggal di depan rumah mereka. Kini keluarga itu sudah pindah ke Afganistan.
“Ya, Papi tak bilang menjodohkan tapi memperkenalkan kembali. Toh mereka sudah saling kenal. Lagi pula, anaknya juga baik. Papi dengar, ia baru kembali lagi ke sini dan akan membuka butik di dekat sini.”
Haaah. Mami menghela nafas. Ia sih agak bimbang. Karena tahu benar akan tipikal Fadlan yang paling tidak suka dipaksa melakukan sesuatu. Lagi pula, nanti juga Fadlan akan menikah tepat pada waktunya. Usia yang baru menginjak 30 tahun ini pun belum terlalu tua kok. Mami berkilah. Sementara Fadlan baru saja keluar dari lift hendak pulang ke rumah. Tepat di parkiran, ia berpapasan dengan Fahri yang juga akan pulang.
“Yakin? Gue saja yang ke Malaysia?”
Fahri bertanya sekali lagi. Dengan mantap Fadlan mengangguk. Ia memang menghindari negara itu sejak tahu kalau gadis itu berada di sana. Ia tahu? Tentu saja. Bagaimana mungkin ia tak tahu kalau Regan s****n itu terus membahasnya. Fahri hanya menghela nafas. Pasrah. Kemudian masuk ke dalam mobilnya sementara mobil Fadlan sudah membunyikan klakson. Sahabatnya itu pulang duluan. Di sepanjang jalan Fadlan termenung. Ketermenungannya ini nyaris membuat celaka andai ia tak melihat lampu merah. Ia menekan rem kuat-kuat lantas menghela nafas lega. Hampir saja.
Tiba di rumah, ia mengernyit melihat perempuan cantik hendak pamit pada Mami dan Papi. Ia keluar dari mobil lantas mengembangkan senyum saat tahu siapa yang baru saja datang. “Hai, Lan! Baru kelihatan!” sapanya yang disambut senyum Fadlan. Fadlan menyambut salamannya. Gadis itu Sara. Ia tampak cantik dengan hijabnya. “Tumben ke sini,” celetuk Fadlan yang dibalas kekehan kecil. “Antar undangan. Dua minggu lagi aku nikah. Datang ya,” tuturnya yang tentu saja diangguki oleh Fadlan.
Keduanya tampak mengobrol sebentar kemudian Sara benar-benar pamit. Sepulangnya gadis itu, dua wajah kecewa muncul. Siapa lagi kalau bukan Papi dan Mami yang baru saja membicarakan rencana perjodohan antara Fadlan dan Sara. Mendengar tutur kata kecewa itu, Fadlan menghela nafas.
“Kalau pun dia belum akan menikah, Fadlan juga tak mau, Mi.”
Itu katanya lalu berjalan ke lantai dua, kamarnya. Ia sih tidak galau me-ngetahui Sara akan menikah karena ia memang tak menyukai perempuan itu. Ia justru galau dengan kelakuannya sendiri selama beberapa hari ini. Baru saja kembali ke Jakarta dan tinggal di Depok tapi ia nyaris gila karena kenangan itu terus bermunculan. Fadlan sampai tak paham bagaimana cara menghentikan-nya. Ia sudah menyibukan diri bahkan hari ini tak membiarkan tubuhnya untuk beristirahat. Ia sudah berusaha menguras pikirannya. Tapi sialnya, pikirannya masih berpaling pada gadis itu. Hatinya masih tergila-gila pada gadis itu, ia bisa apa?
Gadis itu? Kurang lebih ya sama saja. Hatinya juga nelangsa. Apalagi saat tak sengaja bertemu dengan Fahri di KLCC. Katanya lelaki itu baru pulang mengurus proyek dan memutuskan untuk berbelanja sedikit. Siapa sangka akhirnya malah bertemu tanpa sengaja?
Icha sih tampak mencari sosok sahabat Fahri tapi tak ada. Icha kecewa apalagi saat Fahri bilang kalau ia datang sendiri. Lagi pula, apa sih yang ia harapkan? Fadlan?
Ia mengeluh dalam hati dan kini malah menggalau di apartemennya. Pertemuan terakhir mereka bahkan tiga tahun lalu. Fadlan tak pernah mencarinya lagi. Lelaki itu benar-benar pergi begitu ditolak. Iya lah! Lelaki mana yang masih mau bertahan?
Jika dulu yang terlihat sangat tergila-gila padanya adalah Fadlan maka gini sebaliknya. Ia bahkan lebih gila disaat Fadlan memutuskan untuk benar-benar melupakannya.