Malu Tapi Mau

1882 Kata
Satu bulan berlalu. Dua bulan juga. Tiga bulan masih sama. Ah, rasanya Fadlan menyerah sekarang. Ia pasrah saja. Tetap bekerja seperti biasanya dan memfokuskan diri pada pekerjaan. Urusan hati untuk saat ini biar kan lah. Belum bisa mencari penggantinya pula. Kenapa? Fadlan tak tertarik melihat perempuan lain. Secantik apapun perempuan itu. Bahkan Aisha dan Caca sudah mulai ikut-ikut seperti Papinya, memperkenalkannya pada banyak perempuan. Hasilnya? Amsyong! Fadlan tetap lah Fadlan. Ia masih sama. Sekeras apapun orang lain mengubah hatinya itu akan sangat sulit. Karena ia konsisten sejak awal. Jika hanya satu perempuan ini ya tetap ini. Mau hasil akhirnya seperti apapun. Tapi sekarang ia mulai menyesali. Kenapa? Ya, apalagi jawabannya kalau bukan patah hati? Dikira enak jadi Fadlan sekarang bukan seperti Fadlan tiga tahun lalu? Di negara seberang sana, si gadis jelita sibuk kuliah. Kadang ia menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Kadang sibuk dengan urusan penelitian dosennya. Kadang sibuk dengan kesendiriannya. Ia fokus sekali mengerjakan segala tugasnya sampai kadang lupa waktu dan lupa makan. Satu bulan yang lalu, ia baru saja kembali dari London, Paris dan Berlin untuk ikut seminar internasional. Rasa bertemu teman baru, berjalan di tempat yang baru dan segala kejadian yang menyenangkan membuatnya lupa tentang Fadlan. Bahkan sekarang pun, kerinduannya pada lelaki itu mulai ter-kikis dan terganti dengan kesibukannya yang sangat padat. Ia juga sedang mempersiapkan presentasi untuk seminar ilmiah di Jepang dua bulan lagi. “Kenapa lo?” “Hah?” Icha kaget. Ia kan lagi enak-enaknya bengong. Lah ini anak tiba-tiba datang langsung begindang? “Danu kesini tadi?” Muka Tio sudah berang. Kalau Danu masih berani kesini kan sia-sia ia menonjok lelaki itu. Ia sudah memperingatkan Danu beberapa kali agar tak mendekati Icha lagi tapi masih saja dilakukan. Kemana coba akal sehatnya? Kan sudah punya pacar, ia sendiri yang memutuskan untuk menyerah mengejar Icha lah sekarang ketika Icha tidak respek sama sekali atas semua yang ia lakukan, ia datang lagi? Apa ia tak memikirkan perasaan Delima yang dipermainkan begitu saja? Mana si Delima jadi benci sama Icha lalu curhat sana-sini alhasil Icha yang cuma bungkam jadi tercemar nama baiknya. Yang merebut Danu darinya lah, yang marah karena Danu dekat dengannya lah, dan yang-yang lainnya yang semuanya dusta. Apa tak capek ya itu mulutnya? Icha sampai tak habis pikir juga kok bisa-bisanya orang-orang terhasut karena hal-hal seperti itu? Padahal mereka tak melihat benar wujud nyatanya. Icha berdesis, “gue tidur deh,” tuturnya lantas membaringkan tubuh. Matanya menyipit ketika kepalanya menyentuh bantal. Menunggu Tio membuka suara tapi lelaki itu hanya menampilkan wajah marahnya. Sudah berapa kali Tio menghajar Danu hanya agar cowok itu sadar akan apa yang dilakukannya. Kalau masih sayang ya jangan begitu caranya. Tapi cowok-cowok macam Danu ini juga harus tahu sih kalau sampai kapan pun Icha atau cewek-cewek lainnya tak suka ya jangan dipaksa. Perasaan kok dipaksa? Tak baik! “Soal Danu?” Tio masih bersuara. Sejujurnya Tio tak tenang sejak mendengar kabar dari Ghina kalau Danu datang ke sini. Tadi Tio belum bisa datang karena masih ada dua mata kuliah. “Hah?” Ck! Tio menyandarkan punggungnya. Terkadang ia suka kesal dengan sosok Icha yang sok kuat ini. Sok menyembunyikan segalanya dan seolah bisa menyelesaikannya sendiri.  “Soal Danu gak usah lo pikirin. Dia gak lebih penting dari batu sampai lo harus mikir!” Hadeeeh. Icha langsung memijit keningnya.  Begini lah kalau punya teman yang suka mencurigai sesuatu tanpa bertanya lebih jelas. Suka sekali ber-praduga padahal praduga-nya belum tentu lah benar. Dasar Tio! “Siapa yang mikirin Danu sih?” Icha jengkel juga. Ia lagi pusing mikirin hal lain eeeh si Tio malah nambah-nambahin. Eeh tapi Tio benar sih. Ia agak pusing juga. Apalagi saat melihat twitter tadi. Bah! Si Delima mulai curhat lagi dengan kata-kata me-nyindir. Orang ketiga lah, ini lah, itu lah. Dikira Icha tak tahu kali siapa maksud-nya. Lagi pula sekali-kali Icha perlu melabrak perempuan yang satu itu. Cuma ya, tak ada untungnya juga sih. Untuk apa? Sekedar untuk membenarkan diri? Kadang orang yang sudah tahu buruknya kita tak akan pernah mencari kebaikan kita. Yang ada nih ya keburukan kita terus yang digali. Jadi ya sudah. Pasrahin saja sama Allah. Minta sama Allah agar aib kita ditutup oleh-Nya. Karena apa? Tak ada sebaik-baiknya penyimpan rahasia selain Allah. “Lah? Memang bukan?” “Makanya jangan sotoy jadi orang!” Tio terkekeh. Mulai merasa agak tenang karena gadis ini jujur. Biasanya suka bohong sih terutama tentang perasaan. Namun sirat muka tak pernah mengkhianati rasa yang sedang dialami. Untuk kali ini, Tio bisa membacanya jika itu memang lah sebuah kejujuran. “Kan siapa tahu lo kepikiran gitu. Secara, masalahnya dari dulu sampe sekarang kagak kelar-kelar!” “Eh! Yang bermasalah tuh siapa? Gue? Yakin?” “Yaaa....” “Bukan kali!” tuturnya menggebu. “Gue cuma kena imbas. Ibarat pelajaran nih, gue yang terkena dampaknya!” “Ye lah yang bakal lulus cumlaude!” “Dih!” Tio terbahak. Lucu sekali melihat muka sahabatnya yang bete abis itu. “Woi! Kak Fadlan!” Itu Fadli. Lelaki itu datang sambil menggendong anak perempuan pertamanya, Fasha yang sudah hampir lima bulan dan kakaknya ini baru melihatnya dua kali. Itu pun kebetulan, ketika ia dan istrinya ke rumah Mami. Kalau tidak ya Fadlan tak akan tahu wajah ponakannya seperti apa. Bahkan saat Aisha lagiran empat bulan lalu pun Fadlan absen. Alasannya, ia harus meninjau beberapa lahan di beberapa daerah. Ia ingin membangun rumah sakit di sana. Aisha? Tentu saja ngambek abis. Bahkan tak mau melihat wajah kakaknya andai Fadlan tak datang tiga bulan lalu untuk meminta maaf. Mami saja sudah geleng-geleng kepala melihat kelakuan Fadlan yang tak acuh dengan keluarganya sendiri. Saking terlalu patah hati. Fadlan menoleh, ia melihat muka Fasha yang bingung melihatnya. Saat ia menyodorkan tangan, bayi cantik itu langsung menangis dan memeluk ayahnya dengan erat. Biar kata mirip, Fasha tetap tahu kalau Fadlan bukan ayahnya. Alhasil, Fadli ter-kekeh lantas menenangkan anaknya itu. “Sibuk mulu sih lu, kak,” ledeknya tapi wajah Fadlan tampak datar dan tak bisa diajak bercanda. Alhasil, Fadli hanya mengobrol tentang perusahaan lantas segera pamit berkat kode jauh dari Fahri. Fahri terkekeh dari kejauhan. Ia saja ogah dekat-dekat dengan Fadlan karena khawatir disemprot. Sejujurnya apa yang dimiliki Fadli dan Fahri adalah apa yang Fadlan inginkan. Apa? Istri dan anak. Siapa sih yang tak mau menikah? Begitu pula dengan Fadlan kan? Ia bahkan sudah merencanakannya sejak pertama kali bertemu perempuan itu. Ia sudah menyiapkan segalanya termasuk rumah meskipun belum ia lunasi hingga akhirnya ia batalkan dan yang punya terpaksa mengembalikan uang yang telah ia bayar. Ia juga sudah menyiapkan segala urusan masa depan untuk keluarga kecilnya nanti. Tapi apa? Satu-satunya perempuan yang membuatnya tertarik, satu-satunya perempuan yang ia cintai dan satu-satunya perempuan yang ingin ia nikahi menolaknya. Sakit? Bukan lagi. Fadlan nyaris bunuh diri andai tak ingat Tuhan dan siksanya saat itu. Ia nyaris kehilangan akal. Ia marah semarah-marahnya saat itu. Ia bahkan telah mengecam perempuan itu untuk jangan muncul lagi di hadapannya. “Ada Tio kok, kak,” tolaknya saat Fadlan ingin mengantarnya pulang ke kos setelah menginap di rumah sakit selama empat hari. “Aku saja,” paksanya. Matanya bahkan membulat. Hal yang membuat Icha menahan nafas. Biasanya lelaki ini baik sekali tapi kalau ada keinginannya yang tak dituruti maka jangan harap ada keramahan di wajahnya. “Ya sudah,” suara Icha nyaris berbisik mengatakan itu. Ia menggigit bibirnya lantas segera mengambil ponsel dan memberitahu agar Tio dan Ghina menunggu di kos saja. “Ini saja barangnya?” Icha mengangguk. Tasnya hanya satu yang dipegang Fadlan saja karena sebagian barang-barangnya sudah dibawa oleh Ghina pagi tadi. “Kamu mau jalan atau pakai kursi roda saja?” “Jalan saja,” jawabnya lantas ia turun dengan pelan dari tempat tidur. Sejujurnya ia sudah bisa jalan. Hasil rongent juga tidak menunjukan ada patah atau tulang yang bergeser atau yang lainnya. Kakinya masih sehat. Ia hanya luka saja, kulitnya terkelupas ditambah bengkak karena dihantam mobil. Sekarang sih sudah mendingan. Ia juga sudah bisa ke kampus besok. Keduanya berjalan dari ruang rawat menuju parkiran mobil. Sejujurnya Icha risih sekali karena tiap berjalan bersama lelaki ini pasti banyak yang melihat. Ia tak suka dilihat begitu. Fadlan pun mengerti perasaannya makanya ia sengaja berdeham pada beberapa petugas yang tampak sumringah. Heboh karena baru kali ini melihat direktur rumah sakit mereka berjalan bersama perempuan. Hahaha. Biasanya sih berjalan bersama Fahri eh tapi kok kedengarannya agak seram ya kalau berjalan berdua dengan Fahri? Yang Icha tahu lelaki di sebelahnya ini hanya lah dokter biasa. Ia mana tahu kalau lelaki di sebelahnya ini pemilik rumah sakit. Kalau tahu mungkin ia bisa pingsan sekarang atau parahnya terkena serangan jantung. Icha saja menebak-nebak usia lelaki di sebelahnya yang kini fokus menyetir. Dikira-kira awal tiga puluhan. Hahaha. Padahal tebakannya salah. Fadlan sekarang baru berusia 26 tahun. Sudah cukup matang untuk usia lelaki. “Nanti kasih tahu jalan menuju kos kamu ya?” Icha hanya mengangguk. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Berupaya menyamankan diri. Walau yah, sebenarnya ia gugup, agak grogi dan tentu saja tidak nyaman. Rasanya aneh saja berdua dengan lelaki ini walau sudah sering bertemu akhir-akhir ini. “Kamu punya pacar?” Hah? Astaga? Icha sampai melongo sesaat. Fadlan meliriknya sekilas.  “Kamu punya?” ulangnya lagi yang membuat Icha segera tersadar dari ketermanguan-nya. Ya gimana ya? Kaget saja karena lelaki ini bertanya tanpa tendeng aling. Tak ada angin, tak ada hujan. Tak ada groginya sama sekali. Tak ada basa-basi alias to the point! “Kenapa memangnya?” Fadlan tersenyum kecil. Ia akui perempuan ini cukup berani menantangnya. “Kalau sudah punya, biar aku turunkan kamu di jalan saja.” As-ta-ga! Icha sampai tak tahu harus ngomong apalagi. Ia benar-benar tak paham dengan lelaki ini. “Aku tidak suka berurusan dengan lelaki lain,” tambah-nya lantas meng-hela nafas. Sebenarnya Fadlan gugup banget tapi pembawaan-nya yang tenang malah menutupi segalanya. Ia memang lihai sih walau baru pertama kali bertemu perempuan yang menarik hatinya seperti ini. Menghadapi perempuan ini bahkan ia samakan dengan menghadapi kliennya. “Belum?” ia masih menagih jawaban. Icha mengatupkan bibirnya sambil memegang erat tali sabuk pengaman. Ia tak tahu harus menjawab apa. “Aku anggap belum.” Ya terserah lah, pikir Icha. Tapi diam-diam ia penasaran hanya saja ditutupi dengan kegengsiannya. Padahal ia ingin sekali bertanya, apakah lelaki ini punya pacar? Rasanya tidak mungkin lelaki sekece ini dimatanya menjomblo. “Jalan yang di depan sana?” tanya Fadlan. Icha langsung melihat ke jalanan depan lantas menjelaskan jalan menuju kosnya. Kemudian ia diam sambil menyimak Fadlan menyetir. Jujur saja, ia juga tertarik dengan lelaki ini. Perempuan normal mana pun pasti akan berlaku sama. Fadlan itu punya segalanya. Ya secara fisik sih oke, berwibawa, dokter pula, mapan pula. Ya kan? "Sudah sampai." Icha berdeham. Ia melepas tali sabuk pengaman lalu membuka pintu. Sementara Fadlan sudah keluar duluan sambil menenteng tasnya. Tampak Ghina dan Tio sudah berada di teras kosnya, menunggu kedatangannya. “Jadi ngerepotin, dok,” tutur Ghina lantas mengambil alih tas yang dibawa Fadlan. Fadlan malah tersenyum. Tio juga. Ia tahu kalau Fadlan itu baik karena sempat mengobrol dengannya saat menjaga Icha di rumah sakit. Dan sepenangkap Tio, lelaki ini tampaknya menyukai sahabatnya. “Kamu istirahat,” pesan Fadlan yanh dibalas dengan senyuman tipis tapi terlihat cantik sekali dimata Fadlan. “Jangan sering-sering senyum begitu nanti banyak yang jatuh hati,” tuturnya yang spontan mengundang tawa Tio dan Ghina. Icha malah memutar bola matanya. Lelaki ini memang keseringan modus. “Aku pamit dulu,” tuturnya tapi tampak belum rela untuk pergi. Kemudian ia menghela nafas panjang. “Aku boleh ke sini lihat kamu?” pintanya terang-terangan. Tio dan Ghina kompak berdeham-deham sambil menahan tawa. Icha memelototi keduanya. Hal yang mengundang senyuman kecil milik Fadlan. “Boleh?” tanyanya sekali yang mau tidak mau harus dijawab oleh Icha. Tapi dengan kegengsiannya yang tinggi biar pun mau, mana mau Icha mengakui secara terang-terangan? Hahaha! Akhirnya, ia berdeham sebagai jawaban. Tio dan Ghina sukses terbahak sementara Fadlan pamit dengam menahan senyum. Ah, ia tahu gadis itu. Malu-malu tapi sebenarnya mau.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN