5. Lamaran

1850 Kata
Semua orang tahu, pernikahan merupakan salah satu prosesi yang dianggap sakral bagi sebagian masyarakat pada umumnya. Karena begitu sakralnya, mereka mempersiapkan segala prosesi dengan sangat matang dan terperinci. Setiap adat atau suku mempunyai ciri khas, keunikan, atau tradisi pernikahan yang berbeda-beda. Apalagi keturunan Arab Ba'alawi atau Alawiyin seperti Elfathan dan Alanna. Itu sebabnya, tanpa menunggu waktu lama, dua hari berselang setelah mengantongi restu, Elfathan kembali berkunjung ke kediaman keluarga besar Alqadrie. Namun, kali ini pria berdarah Arab tersebut membawa serta seluruh keluarga intinya. Walaupun ini bukan pernikahan yang pertama bagi Elfathan, tetap saja demi menghargai posisi Alanna, keluarga besar Assegaf melakukan semua prosesi seperti yang biasa di lakukan para Jaamah atau para keturunan Arab lainnya. Sekali lagi, walau ini bukan momen yang pertama, tetap saja Elfathan merasa gugup. Begitu di sambut dan diminta untuk duduk menunggu di ruang tengah, terlihat pria itu berapa kali mengusap peluh dingin yang membasahi keningnya. Sesekali ia mengajak salah satu saudara berbincang untuk mengurangi rasa canggung. "Santai aja, El. Nggak usah tegang. Kayak baru pertama kali aja," bisik Ezra yang merupakan sepupu dekat dari Elfathan. Pria itu memang ditugaskan untuk mendampingi. "Nggak bisa. Udah baca doa berkali-kali, tetap aja aku gugup. Takut salah ngomong." "Ya udah banyak-banyak dzikir aja. Lagian sebentar lagi juga mulai acaranya. Aku doain semuanya lancar sampai selesai." Sementara itu, di kamar Alanna, Alinna nampak sibuk membantu memulas make up ke wajah saudari kembarnya. Sembari mengecek kembali lipstick dan eyeshadow yang baru saja ia berikan, wanita itu terdengar terus-terusan mengoceh. Entah apa-apa saja yang ia bahas sedari tadi. "Kak, ini kamu udah yakin beneran mau nikah sama dokter Elfathan?" Bukan hanya Alinna, Chava pun turut berada di kamar Alanna. Istri dari dokter Ashraf tersebut bantu merapikan serta memastikan kembali pakaian yang adik kembarnya kenakan. "Udahlah, Na. Kamu nggak perlu khawatir terus," sahut Alanna dengan santai. "Mau gimana lagi. Tetap aja aku kepikiran. Pernikahan kamu ini nggak normal." "Jadi kamu anggap aku gila?" Alinna langsung berdecak, lalu menarik wajahnya. "Kakak sendiri ya yang ngomong gila. Bukan aku." Tawa sontak berderai dari bibir Chava. Wanita itu terkikik geli mendengar ocehan kedua adiknya. Mereka berdua memang begitu. Kadang terlihat sangat serasi dan saling sayang satu sama lain. Tapi terkadang sering juga adu argumen dan tentu saja Alinna adalah sosok yang tidak pernah mau mengalah. Alinna itu mirip sekali dengan sang Ayah. Banyak yang mengira kalau wanita itu begitu pemalu. Padahal, di samping keras kepala, bila sudah membuat keputusan atau sudah mengatakan A, maka tidak ada satu pun yang bisa mengubahnya kepurusan Alinna menjadi B. Cocok sekali wanita itu berjodoh dengan Rayhan. "Kalian berdua kenapa, sih? Dari tadi kakak liat ngoceh terus ribut banget." "Kakak dengar sendiri, kan? Yang banyak protes dari tadi siapa?" sahut Alanna menanggapi. "Namanya saudara, pasti khawatir, Kak. Aku ragu aja sama calon suaminya Alanna." Alinna pantas untuk khawatir. Ia tahu benar bagaimana sedihnya Alanna di masa lalu saat dua kali terluka karena karena pria yang dicintai lebih memilih wanita lain. Jujur, Alinna tidak ingin saudari kembarnya itu kembali kecewa. Lebih-lebih ini harus jadi istri kedua. Harap-harap cemas di kemudian hari Alanna terbaikan atau malah tidak diperlakukan adil sebagai mana mestinya. "Insya Allah aku bakal baik-baik aja. Kamu nggak usah segitunya mikirin aku," kata Alanna kemudian. "Doain aja yang terbaik, apa susahnya?" Chava mengangguk. Sambil merapikan hijab yang Alanna kenakan, wanita yang berprofesi sebagai perancang busana tersebut menengahi obrolan kedua adiknya. "Udah ... udah. Alinna kamu nggak perlu overthinking terus. Benar kata Alanna, cukup doakan aja yang terbaik untuk rumah tangganya. Siapa tau ternyata Dokter Elfathan nggak seperti yang kamu pikirkan." "Tapi, kak ... dari tampangnya aja, dokter Elfathan itu keliatannya tipe-tipe nyebelin. Mirip banget sama .... " "Sama siapa?" Suara bariton khas pria tiba-tiba saja menyela obrolan ketiga wanita yang tengah berbincang tersebut. Menoleh bersamaan, ada sosok Ashraf dan Rayhan di ambang pintu. Keduanya tampak berdiri sembari melempar senyum penuh arti. "Nggak mirip siapa-siapa, kok," bual Alinna. Layaknya orang yang tengah kepergok menggosipkan sesuatu, wanita itu langsung salah tingkah. "Bilang aja kalau kamu mau ngomong calon suaminya Alanna mirip Ashraf, kan?" "Ihh, ngaco!" Alinna langsung mendelik. Kenapa suaminya itu bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan? Apakah ini karena ia dan Rayhan memang sehati? "Jangan nuduh sembarangan ya, kak," balas Alinna kemudian pada Rayhan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alah, ngaku aja, Na," kata Rayhan sembari tersenyum menggoda. Takut Ashraf salah paham, Alinna langsung menoleh ke arah kakak iparnya itu. Sambil terus memandangi, ia mengibaskan kedua tangannya, isyarat menolak apa yang suaminya tuduhkan. Sebenarnya, Ashraf tidak mungkin marah. Hanya saja, ia tetap harus mengklarifikasi kalau yang suaminya katakan 100% tidak benar. "Demi Allah, aku nggak maksud ngomongin kak Ashraf, ya. Itu Kak Rayhan aja yang sembarang tuduh. Dasar nyebelin!" Semuanya langsung tertawa. Memastikan Alanna sudah siap, Ashraf dan Rayhan lebih dulu pergi menuju ruang keluarga untuk bergabung dengan para tamu. Sementara Alinna dan Chava tetap menemani Alanna di dalam kamar sembari menunggu gelaran acara berlangsung. Dimulai dengan prosesi Khitbah, keluarga besar Elfathan datang untuk melakukan lamaran secara resmi. Dengan disambut oleh wali yang menggantikan posisi Ahmed untuk menerima lamaran, Elfathan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada keluarga Alqadrie. "Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh." Elfathan menyampaikan salam, tanda memulai prosesi khitbah. "Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh. Di malam yang penuh rahmat ini, izinkan saya, Elfathan Arash Assegaf, meminta izin kepada Bapak Ahmed Ibrahim Alqadrie yang diwakilkan kepada Bapak Muhammad Razieq Alqadrie untuk mempersunting ananda Alanna Aisha Alqadrie. Menjadikannya seorang istri. Pendamping hidup, serta calon ibu dari anak-anak kami kelak." Di seberang Elfathan, Razieq bangkit dari duduknya, sambil memegangi microphone, pria berumur 48 tahun itu balas menjawab salam sekaligus permintaan izin yang Elfathan sampaikan. "Bismillahhirahmannirrahim.Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pertama-tama, saya haturkan ucapan terima kasih kepada keluarga besar Elhaq atas kehadirannya untuk datang ke kediaman kami. Di sini, saya selaku Wali menggantikan posisis ayah dari Ananda Alanna Aisha Alqadrie, memberikan izin dan restu. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat serta memberkahi pernikahan dan rumah tangga kalian nantinya." Terdengar seluruh anggota keluarga dari kedua bslah pihak saling mengucap syukur atas diterimanya lamaran. Detik berikutnya, dari dalam ruangan, tampak Alanna dituntun oleh Chava untuk segera bergabung dan duduk pada kursi yang sudah disediakan. Melihat Alanna sudah di posisi duduknya, pandangan Elfathan langsung beralih. Pria itu berusaha mengulas senyum tipis kemudian mulai meminta persetujuan secara resmi kepada calon istri keduanya tersebut. "Bismillahirahmannirahmi, Alanna. Qad la akun rafiq maw iduk al-awwal. Aw ubbuka al awwal. Aku memang bukan kekasih pertamamu. Mungkin bukan juga cinta pertamamu. Tapi, hari ini aku ingin melamarmu. Mempersunting, menjadikan istri sekaligus ibu dari anak-anakku. Apakah kamu bersedia menerima pinanganku?" Alanna lantas mendongak. Dengan hati yang mantap ia lantas tersenyum. Turut meraih microphone yang disodorkan, kemudian balas memberikan jawaban. "Bismillahirahmannirahim. Malam ini, saya Alanna Aisha Alqadrie memutuskan untuk menerima lamaran saudara Elfathan. Semoga Allah senantiasa meridhai pernikahan dan rumah tangga kita, nantinya." Untuk kali kedua, seluruh keluarga serentak mengucap syukur. Diikuti dengan pembacaan doa kemudian musyawarah penentuan tanggal pernikahan. Tampak sekali kedua orang tua begitu serius berdiskusi. Saling bertukar pendapat. Hingga tak berapa lama, ditentukanlah hari pernikahan yang akan dilakasanakan dua minggu lagi dari proses lamaran. Sementara Elfathan sibuk ikut bermusyawarah dengan para keluarga inti, Viona sendiri tidak sedikit pun beranjak dari sisi Alanna. Wanita itu tampak betah berlama-lama duduk di sebelah sahabatnya tersebut. "Lana, soal persiapan pernikahan, kamu nggak repot. Nanti aku semua yang urus. Gaun pernikahan kamu mau yang gimana? Nanti bantu cari." Alanna tersenyum saja. Sebenarnya soal gaun ia juga tidak perlu repot. Jauh sebelum Elfathan dan Viona kembali hadir, ia sendiri sudah merancang gaun impian untuk dikenakan kalau-kalau menikah di kemudian hari. Sekarang, cita-cita itu terwujud. Tidak sia-sia ia merancang. Karena pada akhirnya bisa segera dikenakan di hari bersejarah dalam hidupnya. "Nggak perlu. Soal gaun aku udah siapin sendiri. Lagian, kamu perlu terlalu repot, Vio. Bukannya pernikahan ini akan diadakan secara sederhana?" Viona mengangguk. Atas permintaan Alanna secara pribadi, ia ingin pernikahan ini dilaksanakan secara private dan tertutup sebatas keluarga besar dan kerabat dekat saja. Bukan karena malu. Tapi karena ingin menikmati kesakralan serta keintimanan di antara keluarga besar dari kedua belah pihak. "Apa pun itu, kalau butuh sesuatu, kamu jangan sungkan buat ngomong sama aku, Lana. Sebisa mungkin aku bakal melakukan yang terbaik demi kelancaran acara pernikahanmu dan Elfathan." Alanna mengangguk saja. Setelah melewati seluruh rangkaian prosesi, ia dan keluarga besar Alqadrie lantas melepas kepergian keluarga besar Elfathan untuk pamit pulang. Selebihnya sisa menunggu hari pernikahan yang hanya berselang dua minggu lagi dari sekarang. *** Ke esokan harinya Elfathan kembali bekerja seperti biasa. Setelah melakukan visit dan menangani beberapa pasien, pria itu menyempatkan diri untuk mengikuti seminar yang ada di auditorium rumah sakit. Berapasan dengan Ashraf, keduanya sempat beberapa saat terlibat perbincangan. Dari pembahasan soal rumah sakit, lalu beberapa pasien, dan diakhiri soal persiapan pernikahan yang akan berlangsung dalam waktu dekat "Sampai detik ini, aku nggak nyangka kamu bakal menikahi adik iparku, El," kata Ashraf. Pria itu mengajak Elfathan untuk singgah ke ruangannya. "Ya Allah, Ash. Aku aja sampai detik ini masih suka tanya sama diri sendiri, ini yakin mau nikah lagi? Nggak pernah terbesit sekali pun dalam otakku untuk memiliki istri lebih dari satu." Ashraf dapat melihat bagaimana Elfathan menghela napas begitu dalam. Ia meyakini seolah ada beban berat yang pria itu tengah pikul saat ini. "Sebenarnya kamu punya perasaan nggak sama Alanna?" tanya Ashraf ingin tahu. Namun Elfathan hanya diam saja. Pria itu tidak menjawab dengan pasti pertanyaan yang Ashraf layangkan kepadanya. Melihat partner kerjanya diam saja, Ashraf tersenyum tipis. Pria itu dengan sengaja kembali melanjut ucapan sebelumnya. "Sebenarnya, aku nggak ingin ikut campur lebih dalam urusan rumah tanggamu, El. Tapi sebagai teman dan partner kerja yang baik, aku cuma mau mengingatkan, segala sesuatu yang dilakukan dengan penuh keragu-raguan itu nggak akan berjalan dengan lancar dan baik." "Aku tau itu, Ash. Aku paham apa yang kamu maksudkan." "Lalu?" "Menurutmu, aku harus bagaimana? Membatalkan pernikahan ini?" Asharaf menggeleng. Ia malah tidak setuju dengan apa yang Elfathan ucapkan barusan. "Sudah terlambat. Kalau mau membatalkan, kenapa nggak dari awal aja kamu menolak permintaan istrimu untuk poligami?" "Demi Allah aku sudah melakukan hal itu, Ash. Tapi ada sebab dan lain hal yang buat aku pada akhirnya nggak bisa menolak permintaan Viona." Asharaf kali ini tersenyum. Tidak ingin memperdalam pembahasan karena merasa tidak etis, ia hanya menanggapi ucapan Elfathan dengan jawaban yang diplomatis. "Itu artinya, mulai sekarang kamu harus pelan-pelan belajar apa itu namanya adil dan tidak memihak salah satu. Yang pasti, dari awal aku cuma mau peringatkan, kalau kamu sampai menyakiti anggota keluargaku siapa pun itu, sama saja artinya kamu berurusan sama aku, El," ancam Ashraf. Walaupun kalimat itu terdengar santai, Elfathan sendiri yakin kalau rekan kerjanya tersebut mengatakan dengan sangat sungguh-sungguh. "Iya, insya Allah, Ash," angguk Elfathan dengan yakin. Lagi pula semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menghadapi semuanya. "Aku juga nggak mau kalau harus berurusan sama kamu. Doakan aja semua ini berjalan lancar dan sesuai sebagaimana mestinya." Begitu Elfathan hendak bangkit bermaksud untuk pergi dari ruangan Ashraf, tiba-tiba saja Alissa datang menghampiri. Wanita yang juta berprofesi sebagai dokter tersebut langsung meminta Elfathan untuk ikut bersamanya. Tampak sekali seperti ada sesuatu yang penting ingin wanita itu segera sampaikan dengan rekan sejawatnya tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN