6. Sedikit Persiapan

2049 Kata
Elfathan tampak lelah kala dirinya tengah berada di salah satu toko perhiasaan mewah. Sore tadi, sebelum benar-benar pulang, Viona sengaja menjemputnya ke rumah sakit kemudian membawa pria itu menuju salah satu mall besar di pusat kota. Viona memaksa Elfathan agar mau ikut memilih perhiasan yang akan diberikan kepada Alanna untuk acara Fatihah besok malam. Fatihah sendiri adalah tradisi wajib bagi para calon pengantin keturunan Arab yang harus diselenggarakan calon mempelai wanita. Acara tersebut menjadi simbolis bahwa pinangan pihak pria terhadap pihak wanita telah diterima. Penyematan cincin pun tidak boleh dilakukan oleh calon mempelai pria, melainkan oleh ibu dari pihak pria. Dan lebih uniknya, di acara ini mempelai pria tidak diperkenankan untuk ikut menghadiri acara tersebut. "Sayang, mau sampai kapan kamu pilih-pilih perhiasannya? Ini udah hampir magrib. Nanti kita kemalaman pulangnya," keluh Elftahan. Wajah pria itu mulai kusut karena sudah satu jam lebih Viona seolah tak kunjung jua menemukan perhiasan yang pas untuk segera dibeli. Entah model seperti apa yang sebenarnya wanita itu inginkan. "Bentar, El. Aku masih pilih-pilih. Bingung banget," sahut istrinya kemudian. "Kalau nggak ada yang bagus, cari tempat lain aja." "Bukan nggak bagus, El. Cuma belum ketemu yang pas aja. Kamu dong bantuin aku pilih. Jangan diam aja." Elfathan mendesah seraya geleng-geleng kepala. Jujur, ia memang sedang dalam keadaan lelah karena sebelumnya baru menyelesaikan operasi dengan durasi waktu yang lumayan panjang. Tentu hal ini sedikit menguras tenaganya. Namun, sebagai suami yang baik, sulit sekali bagi Elfathan untuk menolak permintaan Viona. Itu sebabnya, walau lelah, tetap saja dirinya mau menemani sang istri pergi ke mall seperti sekarang. Menanggapi permintaan sang istri untuk bantu memilih, Elfathan akhirnya mendekati salah satu etalase. Membawa matanya, menelisik satu per satu perhiasan dari cincin, kalung, hingga gelang yang tersusun rapi di sana. "Mba, saya boleh liat cincin di baris ke dua yang paling kiri?" pinta Elfathan kepada pelayan toko yang tengah berjaga. "Ini, Pak," sahut pelayan tersebut sembari menyerahkan apa yang Elfathan pinta. "Ini true diamond new square mixed platinum band keluaran terbaru dari Tiffany and Co. Cincin pernikahan ini koleksi terbatas yang hanya diproduksi 50 pcs saja di dunia," jelas pelayan tersebut. "Sayang, coba kamu pakai cincin ini, kira-kira cukup nggak?" "Kok malah pilihin aku?" Viona dengan serta merta langsung melayangkan protes. Susah payah memilih, kenapa dirinya yang malah disuruh coba-coba. "Bukan gitu, sayang," balas Elfathan. "Aku cuma mau cocokin di tangan kamu muat atau nggak. Karena sepenglihatan aku sebelumnya, ukuran tangan Alanna dan kamu nggak beda jauh." Viona menurut. Diambilnya cincin yang berada di dalam box, lalu pelan-pelan memasangnya ke jari manis. Ketika tersemat dengan sempurna, Elfathan langsung meraih pergelangan tangan sang istri, memastikannya dengan sangat teliti sebelum akhirnya menentukan pilihan. "Ini harganya berapa, Mba?" tanya pria itu. "Yang model ini dibandrol dengan harga 14.000 dollar, Pak. Tapi, kalau bapak ambil couple, jatuhnya lebih murah. Hanya dibandrol sekitar 22.000 dollar saja." "Ya udah, ambil aja yang couple, El. Ini bagus banget cincinnya. Malahan lebih bagus dari pada punya aku." "Kamu mau yang ini? Kalau suka, aku bakal beliin kamu juga." Viona menggeleng. Dengan sopan menolak tawaran yang suaminya sodorkan. Jangankan beli baru, perhiasan yang ada saja jarang ia kenakan. Viona itu memang berbeda. Kalau teman-teman sosialitanya suka heboh memamerkan harta atau perhiasan yang dipunya setiap bertemu dalam arisan, dirinya malah enggan bahkan terkadang tidak memakai perhiasan sama sekali ketika saling berjumpa. Rasanya malas saja ikut-ikutan dalam ajang pamer seperti itu. "Nggak. Yang lagi butuh cincin itu Alanna, El. Lagian, aku kan udah punya," balas wanita itu sembari mengangkat tangan kanannya, menunjukkan cincin berlian yang tersemat cantik di jarinya. Elfathan mengangguk saja. Kalau sudah mengatakan tidak, artinya Viona memang benar-benar tidak berminat. Menoleh ke arah pelayan toko, Elfathan lantas memesan apa yang sudah dirinya coba pada sang istri. Sebenarnya ia juga malas kalau harus lama-lama disuruh memilih koleksi mana lagi yang sekiranya lebih bagus. "Kalau begitu, saya ambil ini aja Mba." "Apa mau sekalian kalung atau perhiasan lainnya, Pak? Kita lagi banyak diskon juga bulan ini." "Kayaknya ----" "Boleh, Mba," potong Viona saat Elfathan belum lagi menyelesaikan kalimatnya. "Keluarkan aja koleksi yang terbaru, biar saya dan suami enak milihnya." Sementara itu di tempat lain ada Alanna yang tengah sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Sebelum memutuskan untuk pulang, Chava sempat menanyakan perihal gaun pengantin yang sempat Alanna singgung sebelumnya. "Lana, gaun pengantin kamu udah pas ukurannya? Kalau nggak ada yang perlu diubah, mau kakak serahkan segera ke bagian penjahit." "Udah, Kak," sahut Alanna. Wanita itu bahkan menuliskan sesuatu pada selembar kertas lalu memberikannya kepada Chava. "Ini aku perjelas ukurannya biar nggak salah." Chava lantas menerima sodoran kertas dari Alanna. Membacanya sekilas, kemudian menyelipkan kertas tersebut pada lipatan kain yang akan dijahit menjadi gaun pengantin. Padahal dari pada repot-repot membuat terlebih dahulu, Chava sudah menawarkan Alanna untuk memakai gaun yang sudah tersedia dan siap pakai. Tapi tetap saja, adiknya itu bersikeras ingin memakai gaun yang sudah sedari lama ia rancang sendiri secara khusus. "Udah fix, ya? Nggak ada penambahan lainnya?" "Nggak ada, Kak." "Terus pakaian calon suamimu sendiri gimana? Kamu yang siapin? Atau dia cari sendiri?" "Aku kurang tau, kak," sahut Alanna pelan. "Tapi nanti aku tanyain sama Viona aja gimana-gimananya biar ga salah." "Kakak harap semua rangkaian prosesi ini bisa lancar sampai hari H, Lana. Kakak harap juga pernikahan ini jadi yang terakhir untuk kamu." *** Beberapa hari berselang setelah melalui satu per satu persiapan, giliran Alanna kali ini pergi ke rumah sakit. Atas saran Ashraf, wanita itu diminta untuk menjalani pre marital check up terlebih dahulu sebelum melangsungkan pernikahan. Menurut Ashraf, Premarital check up atau pemeriksaan kesehatan pranikah memang sangat perlu dan penting untuk dilakukan. Hal ini sebagai penguji apakah terdapat penyakit genetik serta penyakit infeksi dan menular pada pasangan yang akan menikah. Tujuannya, tentu saja untuk mencegah penularan penyakit kepada pasangan, mencegah masalah kesehatan, adanya penyakit keturunan, atau keterbatasan pada calon anak yang akan dilahirkan. Kalau biasanya Alanna pergi ke mana-mana dengan ditemani Chava, kali ini ia harus ke rumah sakit sendiri. Begitu sampai, ia langsung disambut dengan ramah oleh Alissa yang berada di ruangannya. "Assalamualaikum, Kak. Maaf banget aku agak telat. Tadi ada sedikit macet di jalan." Alissa tersenyum maklum. Menghentikan kegiatannya sejenak lalu mempersilakan Alanna untuk segera duduk. Sebelumnya mereka berdua memang sudah membuat janji untuk saling temu di rumah sakit. Itu sebabnya, hari ini Alissa secara khusus meluangkan waktunya untuk memeriksa Alanna seperti apa yang ia janjikan. "Nggak apa-apa. Kakak emang udah kosongin jadwal praktik biar bisa fokus. Kalau kamu udah siap, kita langsung ke tahap pemeriksaan aja, gimana? Pemeriksaan ini nggak jauh beda sama yang kamu lakukan sebelumnya." Mengingat sebelumnya Alanna pernah melakukan tes kesuburan serta kesehatan rahim bersama Viona, tentu Alissa sudah sedikit tahu bagaimana kondisi kesehatan Alanna. Saat ini, ia tinggal melakukan sedikit pemeriksaan lainnya untuk kembali memastikan apakah Alanna benar-benar dalam sehat, atau ada satu kondisi atau kelainan yang harus diperhatikan. "Kalau begitu, aku harus ngapain?" "Kita langsung ke laboratorium aja." Alisa kemudian menuntun Alanna untuk mengekori langkahnya keluar ruangan. Sesampainya di laboratorium rumah sakit, Alanna langsung di minta oleh perawat untuk memeriksakan golongan darah serta melakukan tes kelainan darah. Tes ini memang perlu dilakukan untuk mengecek apakah ada penyakit thalassemia dan hemofilia pada tubuh pasien. Selain itu, tes ini juga penting dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan darah yang nantinya bisa mengganggu kesehatan janin ketika kelak Alinna mengandung. "Tes begini, emang harus calon mempelai wanita aja, kak? Mempelai prianya gimana?" tanya Alanna disela-sela pemeriksaan. "Maksud kamu, apa Elfathan perlu melakukan pemeriksaan, begitu?" Alanna mengangguk. Sepengetahuannya secara umum, tes kesahatan sebelum menikah seperti ini harus dilakukan kedua belah pihak yaitu mempelai pria dan wanita untuk mencapai hasil yang akurat. Alanna sendiri tidak tahu, apakah Elfathan sudah melakukan pemeriksaan diri atau belum. Karena, dirasa sangat percuma, kalau kondisi rahimnya bagus, tapi malah Elfathan yang ternyata punya masalah kesehatan. "Tenang aja," kata Alissa. "Kamu nggak usah khawatir. Elfathan udah melakukan pemeriksaan dan kondisinya sangat baik. Harusnya, pemeriksaan seperti ini dilakukan beberapa bulan sebelum prosesi pernikahan. Tapi nggak apa-apa, dari pada nggak sama sekali." Selesai melakukan pemeriksaan dan menunggu beberapa saat, Alissa terlebih dahulu mencocokkan dengan teliti hasil pemeriksaan darah Alanna dengan Elfathan. Ia bahkan langsung membacakan hasil. Dan untungnya kondisi Alanna dipastikan memang sehat dan tidak sedikit pun memiliki kelainan darah yang dapat membahayakan keturunan yang akan ia lahirkan di kemudian nanti. "Alhamdulikah hasil pemeriksaan kamu ok, Lana. Nggak ada yang perlu di khawatirkan." "Alhamdulilah ... " Alanna tersenyum lebar. Raut kelegaan terukir jelas di wajahnya. "Aku sempat deg-degan, kak. Takut aja ada penyakit tertentu yang ternyata aku idap dan selama ini nggak aku ketahui." "Nggak apa-apa, itu sangat wajar. Tapi kondisi kamu emang fit dan nggak ada masalah sedikit pun." Menghabiskan waktu sejenak untuk bertanya dan berbincang seputar kesehatan, Alanna akhirnya memutuskan untuk pamit pulang. Namun, begitu melintasi lobby rumah sakit, tanpa sengaja dirinya berpapasan dengan satu sosok yang begitu familiar. Seorang pria yang dulu pernah mengisi hatinya. "Alanna," tegur pria itu. Tanpa canggung bahkan mendekat. Sengaja sekali mengikis jarak di antara mereka berdua. "Kak Al," gumam Alanna. Suara wanita itu terdengar nyaris berbisik. "Kamu apa kabar?" Alanna mengulas senyum tipis. Ada rasa terkejut sebenarnya karena tidak menyangka bisa bertemu dengan Alfatih setelah sekian lama. Itu sebabnya, alih-alih langsung menjawab, Alanna memilih untuk berdiam diri sejenak sembari menikmati pemandangan wajah tampan yang Alfatih suguhkan. Sungguh, pria yang pernah ia suka itu tidak sedikit pun berubah mulai dari tampang hingga caranya menegur sapa. Ada ciri khas tersendiri yang tidak bisa Alanna lupakan dari sosok bernama Alfatih. "Alanna?" tegur Alfatih ketika lawan bicaranya tidak sedikit pun merespon pertanyaannya dan malah memilih bengong sembari memandangi wajahnya. "Ah, iya?" "Kamu baik-baik aja?" "Alhamdulilah baik, Kak. Aku harap kakak juga dalam keadaan yang sama." "Iya, seperti yang kamu liat, aku dalam keadaan baik-baik aja. Udah lama banget sepertinya kita nggak ketemu. Terakhir, aku ketemunya malah sama Chava dan Alinna di rumah sakit ini." Alanna mengangguk. Jangan ditanya sudah berapa lama ia tidak bertemu atau berhubungan dengan Alfatih. Seingatnya, terakhir bertegur sapa beberapa bulan sebelum Alfatih dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Dulu, Alanna pikir tidak mengapa kalau Alfatih mejatuhkan hatinya kepada sang kakak. Walaupun begitu, setiap harinya ia masih bisa melihat sosok Alfatih yang kala itu masih rajin bermain ke rumahnya. Namun, Alanna merasa benar-benar patah hati ketika pria yang ia suka tersebut harus pindah jauh. Itu artinya, ia benar-benar tidak lagi memiliki kesempatan untuk melihat Alfatih dari dekat. Sempat beberapa lama Alanna merasakan patah hati. Sampai tiba masanya ia berkuliah dan menemukan sosok pengganti yaitu Elfathan. Awalnya, Alanna pikir kisah percintaannya akan berjalan mulus tanpa kendala. Di awal-awal perkenalan, Elfathan bahkan seolah memberikan sinyal yang sama terhadap dirinya. Namun, impian untuk bersama pria idaman nyatanya kembali kandas kala Alanna mengetahui kalau sang sahabat, yaitu Viona juga menyukai pria yang sama. Memilih untuk mengalah, Alanna sengaja menjauh. Hingga akhirnya ia mendengar kabar sahabatnya itu menjalin hubungan secara resmi dengan pria yang ia sukai. "Iya, mungkin kita lost contact hampir 10 tahun." "Lama juga. Omong-omong kamu dalam rangka apa ke rumah sakit? Mau ketemu Ashraf? Atau ada kepentingan lain?" Alanna menggelengkan kepala. Memang bukan itu tujuannya hari ini datang ke rumah sakit. "Aku baru aja beres pemeriksaan, Kak." "Pemeriksaan? Kamu lagi sakit?" Sambil tersenyum, Alanna sekali lagi menggeleng, membantah tebakan yang Alfatih lontarkan. "Bukan, kak. Aku baru saja selesai pemeriksaan pre marital check up." "Pre marital check up?" Kening Alfatih nampak berkerut dalam. Tidak dipungkiri, ada mimik keterkejuan tepampang jelas di wajah tampan pria itu. "Kamu mau nikah?" "Iya, kak." Alanna lantas merogoh sesuatu dari dalam shopper bag yang ia kenakan. Menbeluarkan selembar undangan, kemudian memberikannya kepada Alfatih. "Ini undangan pernikahan aku, kak. Kalau kakak nggak sibuk jangan lupa untuk datang." Masih diliputi perasaan terkejut, Alfatih menerima begitu saja sodoran undangan yang Alanna berikan. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh. Tapi karena takut tidak sopan, Alfatih mengurungkan niatan itu. "Insya Allah aku usahain untuk datang." Tanpa banyak basa-basi lagi, Alanna memilih untuk pergi. Sementara Alfatih memilih untuk melanjukan langkah menuju ruang praktiknya yang ada di lantai dua. Begitu sampai ruangan, Alfatih memilih segera duduk. Penasaran dengan undangan yang Alanna berikan, ia membukanya. Membaca dengan seksama, lalu tak lama kembali dibuat tak kalah kaget dari pada sebelumnya. Alfatih dapat melihat ada satu nama yang begitu ia kenal berhasil membuatnya membelalakkan mata sekaligus menggeleng tidak percaya. Bahkan demi memastikan apa yang tertera di undangan, Alfatih dengan sengaja mengenakan kaca mata yang biasa ia pakai untuk membaca. "Jadi Alanna calon istri kedua Elftahan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN