4. Meminta Restu

2443 Kata
Alanna terlihat berjalan sedikit tergesa saat dirinya menyusuri koridor rumah tahanan demi mengunjungi sang ayah siang ini. Ketika sampai di depan pintu ruang besuk, petugas memeriksa terlebih dahulu barang bawaan yang ia bawa. Memastikan tidak ada sesuatu yang membahayakan, Alanna langsung dipersilakan untuk segera masuk. Ia kemudian diminta untuk menunggu beberapa menit. Sampai tak berapa lama, sosok yang ingin Alanna temui terlihat berjalan mendekati meja besuk yang tersedia di ruangan. "Assalamualaikum, Abi. Lana kangen. Abi sehat-sehat aja, kan?" "Walaikumsalam. Alhamdulilah, Abi sehat walafiat. Tumben kamu datang sendiri. Mana Alinna atau Chava?" tanya pria paruh baya itu. Meskipun tinggal di rumah tahanan, Alanna dapat melihat bagaimana kondisi sang ayah yang jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Ia ingat bagaimana sosok yang begitu dirinya cintai tersebut sempat terlihat kurus kala baru pertama kali mendekam di penjara. Mungkin, dulu Ahmed sempat terpuruk karena kaget harus hidup susah di dalam penjara. Seiring berjalannya waktu, pria itu akhirnya bisa ikhlas menerima keadaan. Lagi pula, ia sadar apa yang dialaminya sekarang adalah bentuk tanggung jawab atas perbuatan jahat yang sudah ia lakukan di masa lalu. "Alinna sama kak Chava lagi kerja, Abi. Mungkin lain waktu kami bertiga akan datang sama-sama untuk menjenguk Abi," jelas Alanna. Setelah memberi pengertian, Alanna lantas menyodorkan box makanan yang memang ia siapkan secara khusus untuk diberikan kepada sang ayah. Ia yakin, ayahnya itu pasti sudah sangat lama tidak menyantap menu favorit tersebut semenjak menjalani hukuman di penjara. Ahmed itu memiliki selera makan yang sama seperti Chava. Ketimbang makan masakan khas Timur Tengah, mereka jauh lebih suka makan makanan khas Indonesia teruma nasi Padang atau soto betawi. "Kamu bawakan Abi nasi padang?" tanya Ahmed seraya tersenyum. Lama sekali ia tidak menyantap makanan ini. Sebenarnya, Karina sang istri setiap seminggu sekali gemar membawakannya masakan rumahan. Tapi untuk menu nasi Padang, memang sudah lama tidak istrinya itu berikan karena khawatir penyakit kolestrol yang Ahmed selama ini idap tiba-tiba kambuh. "Iya, Alanna tau kalau Abi udah lama nggak makan makanan ini. Jangan khawatir, Lana bawakan sekalian beberapa buah segar yang sudah di potong sekaligus obat penurun kolestrol supaya penyakit Abi nggak kambuh nantinya." Ahmed tersenyum senang. Tanpa banyak basa-basi lagi, pria itu meraih sendok yang Alanna sodorkan. Kemudian pelan-pelan mulai menyantap makan siang yang sudah repot-repot putrinya bawakan. "Alhamdulilah, rezeki Abi makan enak hari ini. Kamu sendiri udah makan siang?" "Udah. Tadi sebelum ke sini, seperti biasa makan dulu sama kak Chava." "Kamu juga tumben tiba-tiba ke sini. Ada apa? Pasti ada yang mau di omongin." Alanna tersenyum. Ayahnya itu memang pria paling peka sedunia yang pernah ia tahu. Dari dulu, setiap ia atau Alinna mendapat kesulitan atau sedang merasa kesusahan, sang ayah seolah bisa merasakan apa yang tengah terjadi pada mereka berdua. Lagi pula, sang ayah juga sosok yang tepat dan nyaman untuk dijadikan teman berbagi cerita dalam hal apa pun. "Alanna mau cerita sekaligus minta izin sama Abi." Kening Ahmed langsung berkerut dalam. Demi mendengarkan apa yang ingin putrinya sampaikan, buru-buru pria itu menyelesaikan kegiatan makan siangnya. Setelah nasi Padang dalam box habis ia santap, pria itu kemudian fokus menatap Alanna yang tampak sudah siap untuk bercerita. "Kamu mau minta izin? Izin untuk apa?" tanya Ahmed. Melihat raut serius di wajah putrinya, tentu ia jadi penasaran. Sementara Alanna sendiri terlihat seperti orang yang tengah kikuk. Mungkin sedang berpikir keras, kata-kata apa yang tepat untuk sampaikan kepada sang ayah. "Ada pria yang mau melamar Lana, Bi. Dalam waktu dekat, dia ajak Lana untuk menikah." Hening untuk beberapa saat. Ahmed seolah pelan-pelan mencerna apa yang baru saja putrinya sampaikan. Sebenarnya agak terkejut juga. Karena dua hari yang lalu sang istri berkunjung, wanita itu tidak sedikit pun membahas soal putri mereka yang mungkin sudah di lamar atau bersiap untuk menikah. "Kamu mau nikah sama siapa, Lana? Apa Abi kenal dengan calon suamimu?" Alanna menggeleng. "Abi sepertinya nggak kenal. Namanya Dokter Elfathan Arash Assegaf. Dia dulunya kakak tingkat Alanna waktu kuliah." "Dokter? Marga Assegaf?" "Iya, Bi," sahut Alanna seraya mengangguk. "Elfathan satu rumah sakit sama Kak Ashraf. Dia dokter spesialis saraf di rumah sakit Medika. Dan seperti yang Abi dengar, dia juga keturunan Arab Ba'alawy seperti kita. Orang tuanya sendiri adalah pengusaha minyak." "Alhamdulilah ... " Ahmed berucap syukur. Alanna bisa melihat ada kelegaan terpancar di wajah sang ayah. "Itu artinya bibit bebet bobotnya sudah sangat jelas. Memangnya kapan dia mau melamar dan menikahi kamu?" "Secepatnya, Bi. Hanya saja .... " "Hanya saja apa, Lana? Apa ada sesuatu kendala?" Mendengar sang putri menggantung kalimatnya, tiba-tiba satu kecurigaan muncul di benak Ahmed. Diperjelas juga dengan mimik wajah Alanna yang tadinya santai, sekarang berubah sangat serius. Sebagai ayah yang begitu dekat bahkan hapal dengan tabiat putrinya, Ahmed meyakini, ada sesuatu yang terjadi pada putrinya itu. "Lana .... " panggil Ahmed setelah sang putri tidak menjawab apa yang ia tanyakan sebelumnya. "Kamu dengar pertanyaan Abi, kan? Jangan ngomong setengah-setengah. Kamu tau sendiri, jam besuk Abi nggak panjang. Nanti keburu sipir minta Abi untuk kembali masuk ke ruang tahanan." Alanna mengangkat wajahnya perlahan. Menatap sang ayah, lalu mengunci manik cokelat di depannya dengan lekat sembari menjawab apa yang ayahnya tanyakan. "Hanya saja, Elfathan ini sudah menikah, Bi." "Maksud kamu?" Ahmed tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Walaupun sang putri belum begitu jelas memberi penjabaran, perasaannya tetap saja semakin tidak enak. "Jangan bilang kamu jadi simpanan suami orang, Lana," tebak Ahmed kemudian. Takut-takut dirinya mendengar jawaban sang putri atas pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. "Demi Allah bukan, Bi," geleng Alanna. "Lana nggak serendah itu." "Kalau begitu ceritakan dengan jelas supaya Abi nggak berspekulasi terlalu jauh." Sekali lagi Alanna menarik napasnya dalam-dalam. Meyakinkan diri, wanita itu berusaha menjelaskan apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini. Sebenarnya ada perasaan takut juga. Khawatir sang ayah menjadi emosi atau marah karena dirinya sudah menerima permintaan Viona untuk menjadi istri kedua suaminya. "Elfathan ini sebenarnya memang sudah punya istri yang namanya Viona. Dan istrinya itu adalah sahabat Lana waktu kuliah dulu. Karena satu sebab dan lain hal, Viona ini nggak memungkinkan untuk punya keturunan. Karena Viona tau kalau zaman kuliah dulu Lana pernah suka dan cinta sama Elfathan, dia minta Lana untuk mau jadi istri kedua suaminya." "Astagfirullahhaladzim. Terus kamu bersedia jadi madu dari suami sahabatmu?" Alanna mengangguk pelan, yang mana jawabannya ini membuat Ahmed tidak habis pikir. Entah apa yang tengah dicari putrinya itu. Kenapa juga mau-mau saja menerima permintaan sahabatnya untuk menjadi istri kedua. "Kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Ahmed kemudian. "Kamu itu punya segalanya, Lana. Harusnya bukan perkara sulit untuk mendapatkan seorang pendamping sesuai dengan kriteriamu. Lagi pula, pria di dunia ini ada banyak. Kenapa harus jadi istri kedua?" Persis seperti Chava dan Alinna, ayahnya pun melontarkan pertanyaan yang sama. Alanna juga bingung sendiri, motivasi apa yang membuatnya mau saja menerima permintaan Viona. Apakah ia terlalu kasihan dengan nasib yang menimpa Viona? Atau jangan-jangan rasa cinta terhadap Elfathan yang dulu sudah susah payah Alanna kubur, kini kembali muncul ke permukaan. "Lana nggak tega liat Viona, Bi. Dia bahkan sampai sujud-sujud minta Lana buat kabulkan permohoban dia." "Ck!" Ahmed terdengar berdecak. Klise sekali menurutnya alasan yang Alanna sampaikan barusan. "Kamu kasihan sama nasib orang lain tanpa memikirkan nasibmu sendiri? Poligami itu nggak gampang, Lana. Seadil-adilnya, Abi yakin namanya kecemburuan itu pasti akan ada. Memangnya kamu siap merasakan hal seperti itu? Alanna mengangguk. "Lana udah sholat istikharah. Udah mohon petunjuk juga. Insya Allah Lana yakin dengan keputusan ini." Sekarang, giliran Ahmed yang nampak berulang kali menarik napas. Memerhatikan bagaimana yakinnya sang putri, ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. "Kamu itu sudah dewasa, Lana. Tau mana yang terbaik dan mana yang tidak. Kalau kamu sendirinya sudah yakin, Abi bisa apa selain memberikan restu?" Alanna tersenyum. Ia tahu betapa beratnya sang ayah memberikan restu. Ia juga yakin pasti ada kekhawatiran yang membayangi pikiran sang ayah akan nasibnya di kemudian hari. "Insya Allah Lana bakal baik-baik aja, Bi. Asal Abi dan Umi merestui, rumah tangga Lana pasti akan sakinnah mawaddah warahmah, nantinya." "Aamiin ... Abi pasti doakan yang terbaik untuk semua anak-anak Abi." Masih terus mengukir senyum, Alanna lantas meraih pergelangan tangan Ahmed. Menciumnya dengan takzim seraya bersyukur sang ayah mau memberikan restu atas keputusan yang sudah ia ambil. Dengan ini, Alanna berjanji dalam hati, kelak ia harus menjaga rumah tangganya sebaik mungkin agar tidak mengecewakan orang-orang di sekitarnya. "Tapi, Lana ... " lanjut Ahmed kemudian. "Abi minta maaf. Mungkin nggak bisa menikahkan Lana seperti apa yang Abi lakukan pada Alinna." Alanna mendongak. Mengangguk maklum dengan apa yang baru saja ayahnya katakan. "Nggak masalah, Abi. Lana paham posisi Abi saat ini. Diberi restu saja, itu sudah lebih dari cukup." "Ngomong-ngomong, kapan memangnya calon suamimu datang untuk melamar?" "Secepatnya, Bi. Yang pasti, nanti malam Elfathan dan Viona datang ke rumah terlebih dahulu untuk minta izin dengan Umi. Kalau sudah ada kesepakatan, baru setelahnya membicarakan soal rencana lamaran kemudian pernikahan." "Apa pun itu, Abi doakan yang terbaik untukmu, Lana. Karena kamu sudah menetapkan pilihan, Abi harap nggak ada penyesalan di kemudian hari." Alanna mengangguk. Kembali meraih pergelangan tangan Ahmed yang terborgol kemudian menciumnya dengan takzim. Setelah mendapat restu dari sang ayah, ia pun memutuskan untuk pamit pulang. *** "Umi, lagi apa? Kayaknya repot banget? Mau Alinna bantu?" Alinna yang hari ini masih berada di kediaman keluarga besar Alqadrie nampak bertanya-tanya kala melihat sang ibu tengah sibuk menyiapkan beberapa kue untuk dihidangkan. Alinna tentu penasaran apakah ada tamu penting sampai ibunya tersebut jadi sibuk seperti sekarang. "Nggak usah," sahut Karina. "Umi cuma lagi potong kue brownies aja." "Dalam rangka apa siapin kue sebanyak inu? Emang mau ada tamu?" "Iya, Na. Nanti malam selepas isya, ada tamunya Alanna datang ke rumah. Lagian, hari ini suami kamu juga pulang, kan? Jadi, sekalian aja Umi belikan kue yang banyak buat kita makan sama-sama." "Tamu? Tamu siapa, Mi?" Alinna semakin bertanya-tanya. Memang dasarnya juga ia tipikal orang yang mudah penasaran dan paling kepo di rumah. "Kalau nggak salah namanya dokter Elfathan. Katanya pria yang mau melamar sekaligus menikahi Alanna." Alinna terkesiap. Ia yakin dengan apa yang baru saja dirinya dengar dari sang ibu. Padahal, beberapa waktu lalu, ia sudah memberikan saran kepada Alanna untuk tidak menerima tawaran menjadi istri kedua dari sahabatnya sendiri. "Alanna jadi nikah sama dokter Elfathan? Terus Umi bakal kasih izin?" Karina tersenyum saja. Ia sudah menduga pasti putri bungsunya itu akan protes bila mendengar kabar ini. Di keluarga Alqadrie memang Alinna yang paling suka bersuara atau melayangkan protes bila sesuatu tidak sesuai dengan hati dan jalan pikirannya. "Kita lihat nanti seperti apa. Lagi pula, Alanna itu sudah dewasa, Na. Dia tahu apa yang menjadi keputusannyaz Mau terima atau tidak pinangan Dokter Elfathan, kamu nggak berhak melakukan intervensi." "Tapi, Umi, Ini Alanna posisinya bakal jadi istri kedua. Apa kata orang-orang nantinya?" "Ya emangnya kenapa kalau jadi istri kedua? Toh istri pertama sendiri yang memaksa agar Alanna mau menikahi suaminya, kan? Mau kita hidup lurus sekali pun, pasti ada aja orang-orang yang nggak suka. Jadi buat apa terlalu memusingkan pandangan orang lain yang nggak sedikit pun berkontribusi sama hidup kita, Na." Alinna kehabisan kata-kata. Sudah tidak mampu lagi membantah argumen yang ibunya sampaikan. Dalam hati cuma bisa berdoa semoga Alanna tidak menyesali keputusannya. Maka selepas isya, tepatnya jam delapan malam, Elfathan akhirnya datang bersama Viona. Disambut dengan begitu ramah oleh Karina dan juga Alanna, keduanya nampak duduk dengan nyaman di ruang tamu. "Terima kasih banyak Umi atas sambutan hangatnya. Senang sekali saya dan Elfathan di izinkan untuk berkunjung kemari." Viona tidak hentinya mengulas senyum. Mengenakan pakaian hijab two pieces berwarna coklat s**u, wanita itu tampak cantik malam ini. Sedang Elfathan sendiri terlihat lebih banyak seyum dari pada sebelumnya. Pria itu bahkan terlihat ramah mengajak Karina untuk berbincang. "Karena tidak ingin membuang banyak waktu, saya pribadi ingin menyampaikan secara langsung niatan kami datang kemari, Umi," ungkap Elfathan. "Saya, dengan ini ingin menyampaikan niatan untuk melamar sekaligus meminang Alanna dalam waktu dekat." Karina mengangguk. Wajah wanita berumur 50 tahun tersebut terlihat sangat santai. Berbeda dengan Alanna yang tidak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. "Sebenarnya, Umi juga sudah dengar dari Alanna soal niat dan tujuan kalian datang kemari. Jujur, Umi memang sempat terkejut." "Terkejut karena saya mau menjadikan Alanna istri kedua?" tanya Elfathan. Siapa pun pasti akan bertindak sama dengan Karina kalau anak kesayangan mereka diminta untuk jadi istri kedua. "Tentu. Karena seperti yang kalian berdua tahu, Alanna ini masih single. Nggak pernah sebelumnya Umi membayangkan kalau suatu hari dia dipersunting oleh seorang pria tapi untuk dijadikan istri kedua." "Vio tau, Umi pasti syok. Tapi Vio berani memastikan kalau Alanna akan terjamin hidupnya saat menjadi istri Elfathan nantinya." Viona yang tidak sabaran ikut mengambil alih pembicaraan. Berusaha sekali meyakinkan Karina kalau nasib Alanna akan baik-baik saja setelah menikah dengan suaminya. Entah dari mana kepercayaan diri itu muncul. Kalau wanita normal pasti marah suaminya menikah lagi, berbeda dengan Viona. Wanita itu yang malah begitu antusias memaksa Elfathan untuk segera menikah. "Saya akan melakukan yang terbaik, Umi," kata Elfathan pelan. Karina diam sejenak. Menoleh ke arah Alanna sembari memandang lama-lama. Meyakinkan diri sekali lagi apakah sang putri akan baik-baik saja ketika menikah dengan pria di depannya ini. "Kamu udah yakin?" tanya Karina kepada Alanna. "Iya, Umi. Insya Allah." Karina mengangguk lantas beralih pada Elfathan. "Sebenarnya, Umi berat melepas Alanna begitu saja. Tapi melihat bagaimana dia sudah yakin, ditambah restu yang sudah Abinya berikan, Umi bisa apa? Lagi pula, Alanna juga sudah dewasa. Dia yang paling tau apa yang terbaik untuk dirinya." "Jadi, Umi memberikan izin kepada saya untuk mempersunting ananda Alanna?" tanya Elfathan hati-hati. "Sebelum Umi memberi jawaban, apa kamu dan keluarga besar sudah tau kalau Abi Alanna saat ini sedang tersandung kasus hingga menyebabkan beliau berada di penjara?" Elfathan mengangguk. Tidak sedikit pun terkejut dengan apa yang baru saja Karina sampaikan. "Saya sudah tau dari Viona, Umi. Keluarga besar saya juga tau akan hal ini dan mereka nggak sedikit pun mempermasalahkan hal itu." Mendengar jawaban Elfathan, Karina hanya tersenyum. Sekali lagi melirik ke arah sang putri. Melihat bagaimana Alanna turut tersenyum, ia lantas mengangguk lalu kembali menatap kepada Elfathan. "Kalau begitu, Umi restui permintaanmu untuk mempersunting Alanna." "Alhamdulilah." Binar bahagia terpancar jelas di wajah Viona. Sisa sedikit lagi, apa yang ia cita-citakan dalam waktu dekat akan terwujud. Sudah tidak sabar rasanya melihat sang suami resmi menikahi sahabatnya sendiri. "Kalau begitu, apa boleh lusa keluarga besar saya langsung berkunjung untuk melakukan lamaran resmi sekaligus berdiskusi untuk menentukan tanggal pernikahan?" Efathan dengan penuh ketenangan bertanya sekali lagi. Sisa satu langkah lagi dirinya akan sah mempersunting Alanna. "Boleh," angguk Karina. "Kapan saja keluarga besar kalian mau datang, kami keluarga besar Alqadrie akan senang hati menyambut," tutur wanita itu kemudian. "Hanya saja, satu pesan Umi. Kalau di kemudian hari, tidak ada lagi kecocokan diantara kamu dan Alanna, Umi mohon jangan sakiti putri Umi. Kembalikan saja dia baik-baik ke rumah kami seperti kamu memintanya hari ini." Elfathan mengangguk patuh. Menyanggupi persyaratan yang Karina sampaikan kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN