Setelah Rian membawa tubuh Elena yang tidak sadarkan diri, pria itu segera menelpon keluarganya untuk membantunya mengurusi kekacauan di rumah nenek Maria. Semua begitu terkejut dengan kejadian itu. Beruntung ayah Rian adalah Kepala desa setempat. Beliau segera memerintahkan penduduk desa untuk membantu mengurusi kekacauan ini.
Rian segera membopong Elena ikut pulang bersamanya di rumah atas persetujuan keluarganya. Untuk sementara Elena akan tinggal bersamanya. Mereka hanya tidak ingin terjadi sesuatu karena membiarkan gadis itu tinggal sendiri setelah adanya kejadian seperti ini. Pihak kepolisian menduga adanya perampokan dalam rumah itu.
Ada kemungkinan perampok itu akan kembali ke tempat itu jadi untuk sementara rumah itu akan dikosongkan.
Itulah yang diceritakan Rian selama menemani Elena menghabiskan sarapannya. Setelah Elena membersihkan dirinya dan bersiap-siap dengan bantuan Aleta, mereka bertiga pergi ketempat pemakaman nenek Maria. Suasana begitu tenang ketika Elena dengan khusyuk memanjatkan doanya di depan makam Nenek Maria. Diikuti Rian dan Aleta di belakangnya yang juga ikut berdoa untuk kebahagiaan nenek Maria di alam sana.
Elena kini berusaha mengikhlaskan kepergian neneknya agar beliau tenang. Setelah menunggu cukup lama mereka akhirnya beranjak pergi meninggalkan area pemakaman.
Hari sudah semakin sore, Aleta juga baru saja berpamitan pulang ke rumahnya yang berada di blok sebelah. Kini Elena berdiam diri di atas ranjangnya setelah menyelesaikan acara makan malam mereka bersama keluarga Rian. Entah sampai kapan gadis itu harus tinggal di tempat Rian. Tapi Elena sudah memikirkannya sedari tadi. Dirinya tidak bisa berlama-lama tinggal di tempat Rian. Elena harus belajar mandiri dan belajar hidup sendiri. Haruskah dirinya kembali ke kota meneruskan pendidikannya yang sempat tertunda? Elena berpikir keras untuk menata rencana masa depannya setelah ini. Sehingga tidak menyadari kehadiran Rian yang berada di depan pintunya.
Tok tok! Rian mencoba mengetuk pintunya untuk membuyarkan lamunan gadis itu. Elena menoleh ke arahnya.
"Rian?"
"Apa aku mengganggumu?" sapa pria itu dengan menampilkan dimplenya.
"Tidak. Masuklah." sambut Elena hangat. Rian memasuki kamar Elena dan duduk di sebelahnya.
"Kau belum tidur? Apa kau merasa kurang nyaman disini?"
"Tidak tidak. Aku senang di sini. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu." Rian terlihat tertarik dengan ucapan Elena.
"Apa yang sedang kau pikirkan?”
"Aku hanya memikirkan rencanaku setelah ini. Tidak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal di sini lagi." Elena mengucapkannya sembari menundukkan kepalanya. Sebenarnya gadis itu merasa ragu untuk kembali ke kota. Hatinya masih belum siap untuk menghadapi riuhnya kota yang semakin membuatnya sesak. Elena ingin menata hatinya terlebih dahulu.
"Kau ingin pergi?"
"Hemh entahlah. Aku juga tidak bisa menetap lama di sini bukan."
"Tinggallah di sini selama yang kau inginkan. Kami sudah menganggapmu sebagai keluarga di sini. Ayah dan ibuku tidak keberatan jika kau menganggap mereka sebagai orang tuamu sendiri. Begitu juga denganku." Ucapan Rian berhasil menyentuh relung hati Elena. Rian dan keluarganya adalah orang yang begitu baik.
"Terima kasih Rian."
"Sama-sama. Sebenarnya aku ke sini ingin menunjukkan sesuatu kepadamu."
"Apa itu?"
Rian merogoh saku celananya dan menunjukkan sebuah benda seukuran logam berwarna hijau di depan Elena.
"Ini. Aku tidak mengerti apa ini. Seorang warga menemukannya menempel di sela-sela baju nenek Maria. Bukankah itu sesuatu yang mahal."
Elena menerima benda itu dari tangan Rian. Tubuhnya membeku di tempat.
Bukankah ini sisik ular seperti yang pernah ditunjukkan neneknya. Sisik ini berwarna hijau. Mungkinkah ada ular lainnya? Mungkinkah sebenarnya yang mencelakai neneknya bukanlah perampok, melainkan seekor ular seperti dalam mimpinya? Mungkinkah itu terjadi?
Terlalu banyak dugaan-dugaan tidak masuk akal dalam kepala Elena. Dirinya harus mencari tahu lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi. Kejadian seperti ini seakan terlalu tidak masuk akal jika disebut kebetulan. Sejak dirinya yang selalu bermimpi tentang seekor ular besar berwarna putih yang selalu menerornya, lalu sisik ular putih yang disimpan neneknya. Ataukah sejak dirinya memasuki hutan terlarang itu dan menemui ular putih sebelas tahun yang lalu. Nenek Maria melarangnya untuk pergi ke sana. Dan ular putih itu menyuruhnya pergi ke hutan itu lagi untuk menemuinya. Dan sekarang adanya sisik ular berwarna hijau di tempat kekacauan itu. Elena yakin ini bukanlah ulah perampok. Elena harus mencari tahu. Meskipun harus memasuki hutan terlarang itu lagi dan menemui ular putih. Elena akan melakukannya untuk membalaskan perbuatan pembunuh itu terhadap neneknya.
Kesimpulan yang bisa diambilnya saat ini adalah ular hijau yang membunuh neneknya. Elena telah bertekad akan menemui ular putih untuk mencari tahu lebih lanjut. Elena sanggup mempertaruhkan nyawanya saat ini karena baginya sudah tidak ada lagi hal berharga yang harus dipertahankannya selain membalas dendam atas kematian neneknya.
"Lena, Elena!" suara gertakan dari Rian menyadarkan Elena dari lamunan tadi. Elena mengerjapkan kedua matanya beberapa kali untuk memfokuskan diri kembali. Dilihatnya wajah Rian yang terlihat mengkhawatirkan dirinya.
"Hem?"
"Kau kenapa? Apa ada sesuatu yang salah? Kenapa tiba-tiba melamun seperti itu." Elena menggelengkan kepalanya untuk meyakinkan Rian bahwa semua baik-baik saja.
"Maafkan aku. Aku hanya masih teringat dengan nenek." Elena menyimpan sisik itu dalam sakunya. "Ini, terima kasih sudah menemukannya."
"Memang apa itu?"
"Bukan apa-apa. Hanya sebatas mainan saja."
"Begitu. Sekarang tidurlah. Kau harus banyak beristirahat untuk memulihkan semangatmu lagi."
"Ya, Baiklah."
Rian mengusap kepala Elena sebelum beranjak keluar dari kamar gadis itu. Menyisakan Elena yang sibuk dalam pikirannya. Dikeluarkannya lagi sisik hijau dari sakunya.
Aku pasti akan menemukanmu,dasar pembunuh! tekad gadis itu.
***
Hari masih begitu pagi ketika Elena sudah berada di depan pinggiran hutan terlarang itu. Suasana begitu sepi di sekitar. Elena sudah memantapkan hatinya. Berbekal sebuah pisau kecil di saku celana belakangnya yang tertutup dengan kardigan panjang, Elena mantap memasuki hutan itu.
Elena menelusuri jalan seperti dalam ingatan masa kecilnya dulu. Hutan ini semakin dimasuki menjadi semakin lebat dan gelap. Elena sesekali menatap ke arah belakang hanya untuk melihat jarak dirinya dan tempatnya berdiri sebelumnya semakin menjauh.
Dalam benak Elena, gadis itu berulang kali meminta maaf kepada Rian karena telah membohonginya. Beralasan pergi ke makam neneknya hanya untuk memasuki hutan terlarang yang pernah dilarang neneknya untuk dimasuki. Tapi Elena sudah tidak bisa berhenti sekarang.
Di tempatnya, seekor ular putih berukuran cukup besar sedang bertengger melingkar di atas batu dengan santai. Sesekali terdengar suara desisan dari moncongnya seakan sedang menanti tamu yang akan datang. Evan menyeringai senang mengetahui mangsanya telah masuk ke dalam perangkapnya.
Elena menghentikan langkahnya ketika melihat di depan sana telah sampai di tempat kenangannya dulu. Sebuah batu besar yang berdiri sendiri di tengah-tengah hutan yang lenggang. Elena mendekat. Matanya bergerak menelusuri sekitarnya yang tiba-tiba terasa sunyi. Tidak ada suara hewan sedikit pun dalam hutan yang luas ini. Kanan kiri atas dan bawah juga belakang, seluruh penjuru ditelisiknya. Berpikir seekor ular dapat bersembunyi dimana pun dirinya inginkan dan berkamuflase dengan sekitarnya.
Elena merogoh saku celananya untuk bersiap mengambil pisau yang dibawanya sambil tetap berjalan mendekati batu di depan. Tidak ada apa pun di sana. Elena mengitari batu itu untuk mencari jejak yang mungkin ditinggalkan ular putih yang ditemuinya sebelas tahun yang lalu. Sisik ular, bekas rayapan di tanah, jejak darah, kulit ular ataupun tulang belulang sedikit pun tidak ada di sana. Mungkinkah itu berarti ular yang ditemuinya memang masih hidup.
Pasti ada yang menyelamatkannya saat itu. Tapi siapa? Bukankah warga dilarang memasuki hutan ini. Lalu apa juga maksud ular itu menyuruh dirinya untuk datang. Mungkinkah itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak berarti apa-apa.
Sedang mencariku?
Elena terlonjak kaget ketika mendengar suara yang menggema dalam kepalanya. Kembali gadis itu melihat ke segala penjuru hutan. Tidak ada siapapun. Gadis itu bersiaga di tempat dengan pisau di tangan.
"Siapa!" Elena menempelkan punggungnya pada sisi batu. Bersikap waspada.
Sshhh! Kau pikir siapa.
"Kau ular putih yang menyuruhku kesini?"
"Kau benar." suara itu begitu dekat di telinga Elena membuatnya langsung berbalik dan juga langsung berhadapan dengan moncong ular putih yang bertengger di atas batu. Sejak kapan? Elena mengacungkan mata pisaunya di depan ular itu.
"Kau ingin mengajakku berperang dengan menunjukkan pisau kecil yang kau pegang?"
Risa tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini. Suara itu jelas milik suara pria. Begitu berat dan dalam, dan dirinya yakin suara itu milik sang ular putih di depannya. Meski mulut ular itu tidak bergerak layaknya orang berbicara dan hanya diam dengan suara desisan dan juluran lidah panjangnya sesekali, Elena yakin ular itulah yang mengajaknya berbicara.
"Maafkan aku. Aku hanya ingin melindungi diri dari serangan ular besar sepertimu."
"Khekhekhe kau pikir itu bisa membantumu berlindung dari seranganku? Percayalah goresan dari pisau itu tidak akan membuatku merasa sakit." ular itu menegakkan kepalanya semakin tinggi di atas batu. Elena semakin waspada.
"Aku tahu. Aku sudah datang menemuimu. Apa maumu sekarang?"
"Sarungkan pisaumu itu terlebih dahulu. Dasar manusia tidak sopan. Aku tidak akan menyerangmu." tidak untuk sekarang. Ular itu beringsut turun dari atas batu. Dan melingkar diam menatap Elena. Perlahan Elena menyarungkan pisaunya dan menyimpan kembali.
"Bagus. Kau bertanya tentang keadaanku waktu itu bukan. Seperti yang kau lihat sekarang. Aku sehat meski seseorang telah mengingkari janjinya untuk kembali menyelamatkanku."
"Maafkan aku. Aku tidak menyangka akan pulang ke kota secepat itu. Apa kau menyuruhku ke sini hanya untuk membahas itu?"
"Ha ha kau juga datang ke sini karena menginginkan sesuatu dariku bukan." Evan merundukkan kepalanya seakan tidak perduli.
"Apa kau mengetahui tentang ini?" Elena menunjukkan sisik ular hijau di hadapan Evan. Jiwa manusia Evan mendecih kesal melihat sisiknya yang jatuh tanpa sepengetahuan dirinya.
"Tentu saja." moncong ular itu menghadap ke arah Elena.
"Ular hijau itu, apa dia temanmu?"
"Apa?" Evan bingung dengan ucapan gadis itu. Siluman ular di hutan ini bukankah hanya dirinya saja. Dan ucapan Evan yang terlihat bingung itu semakin menguatkan asumsi Elena bahwa kedua ular itu memang bukanlah sepasang teman.
"Jika bukan, bisakah kau membantuku untuk membunuhnya. Ular hijau itu telah membunuh nenekku. Aku ingin membalasnya. Kau mau?"
"Ha?"
Jiwa Evan melongo. Sebelum berseru senang setelah mengerti keadaannya. Gadis itu telah salah mengira bahwa sebenarnya ular putih dan ular hijau adalah ular yang sama. Ini membuatnya semakin ingin memperdayai gadis itu.
"Ha ha ha atas dasar apa kau meminta bantuanku gadis kecil?" ular itu menegakkan kepalanya.
"Karena, karena aku pernah menolongmu. Jadi kau harus membalasnya."
"Huh licik sekali. Manusia memang tidak pernah bisa memberi tanpa meminta imbalan." Elena refleks mundur ketika ular itu mendekatinya. Melihat gerakan Elena yang menghindarinya membuat Evan berhenti.
"Kau takut padaku?"
"T-tidak." sekuat hati Elena menutupi rasa takut yang bercampur gelinya ketika melihat ular itu kembali maju mendekat. Elena tetap berdiam diri ketika ular putih itu mengitarinya dan mulai membelit tubuhnya. Elena pasrah.
Shaahhh!
Ular itu mendesis keras tepat di hadapan Elena yang berada dalam lilitannya.
"Kau manusia yang serakah. Kau hanya memberiku air dan kau memintaku untuk menghilangkan nyawa."
"Kau tidak ingin melakukannya? Tidak apa-apa. Setidaknya cukup bantu aku menemukan ular itu. Aku akan membalasnya sendiri."
Evan kembali menyeringai. Gadisnya cukup menarik karena ingin melawannya dengan tubuh sekecil ini.
"Kau tahu yang kau cari adalah salah satu penguasa hutan ini. Berhadapan dengan ular itu tidak mudah. Aku bersedia membantumu tapi dengan satu syarat. Kau harus melayaniku." Tawar pria ular itu.
"Melayani? Bagaimana?"
"Cukup katakan ya. Dan akan ku ajarkan bagaimana cara melayaniku dengan baik. Itu berarti kau akan tinggal bersamaku."
Terjadi perdebatan dalam benak Elena. Apakah ini benar nyata. Bagaimana bisa dirinya tinggal bersama ular ini. Apakah nantinya dia akan mengikutinya masuk ke dalam sarang ular dalam gorong-gorong tanah. Membayangkan itu semua membuatnya bergidik ngeri. Tidak bisa. Elena tidak bisa hidup seperti itu.
"Tuan ular, aku tidak bisa harus tinggal di tempat yang penuh dengan banyak ular dan pengap seperti itu."
"Ck apa yang kau pikirkan. Kau fikir aku tidak memiliki tempatku sendiri dan harus berbagi dengan kasta rendah seperti mereka begitu. Tempatku jauh lebih bagus di banding lubang semut seperti itu. Bahkan lebih bagus dari tempat yang kau tinggali saat ini, dasar manusia rendah." ucapan sarkas Evan membuat Elena tertegun. Membuatnya semakin penasaran dengan bentuk rumah yang dibicarakan seekor ular sombong sepertinya.
"Sudahlah. Jika kau tidak menyetujuinya maka aku tidak akan membantumu bahkan informasi sekecil apapun itu."
Ular itu melepaskan lilitannya pada tubuh Elena dan beranjak pergi. Elena yang tersadar kesempatannya untuk membalas dendam akan menghilang segera menghentikan ular itu dengan mencengkeram ekornya .
"Tunggu, argh hiii!"
Evan berhenti dan membalikkan diri ketika mendengar pekikan geli dari gadis itu setelah tanpa sadar menyentuhnya. Kemarahan pria itu seketika bergejolak. Gadis kecil itu beraninya merendahkan dirinya. Evan bersiap akan menerkam gadis itu yang membuat kesabarannya habis dan lalu pria itu mengurungkan niatnya setelah mendengar ucapan yang terlontar dari gadis kecilnya.
"Maaf aku tidak terbiasa menyentuh ular seperti ini. Baiklah aku setuju."
"Biasakan dari sekarang! Temui aku besok di sini, pelayan." setelah mengatakan itu Evan merayap pergi dan menghilang di balik pohon meninggalkan Elena sendiri.
Saat itu Elena kembali ke rumah Rian dan mengatakan rencananya yang akan kembali ke kota untuk meneruskan pendidikan. Terpaksa mereka menyetujui keputusan Elena yang begitu mendadak. Sejujurnya gadis itu cukup berat untuk mengambil keputusan ini terlebih dirinya yang sudah mulai menaruh rasa kepada Rian. Elena berharap suatu saat mereka bisa kembali bertemu.
***
Elena datang di waktu yang sama membawa koper berisi pakaiannya. Di sana ular itu sudah menunggunya. Terjadi jeda di antara mereka karena tidak ada yang mulai berbicara.
"Kau sudah bersiap."
"Iya."
"Bagus. Sekarang bersiaplah masuk ke dalam perutku."
Elena terkejut mendengar ucapan ular itu. Belum sempat menghindar, Evan sudah membuka mulutnya lebar-lebar di hadapan Elena dan, Hap!
Evan menelan tubuh Elena. Ular itu menjilat mulutnya dengan nikmat.
***
Di lain tempat,
Seorang pria yang sudah berhari-hari menutup matanya kini mulai menggerakkan tangannya. Diikuti kelopak matanya yang membuka pelan.
"Jimmy, kau sudah bangun sayang." Luna Raya mengelus rambut Jimmy penuh kasih.
"Mom."