Hari itu Luna Raya akhirnya bisa bernafas lega dengan bangunnya alpha mereka, Jimmy. Setelah mengalami siksaan dari dalam ruang bawah tanah sendirian pria itu berhasil melewati masa kritisnya saat ini. Luna Raya turun tangan sendiri membantu perawatan Jimmy selama tertidur. Dan saat ini dengan perasaan ringan dirinya membantu menyiapkan kebutuhan anaknya setelah bangun dari tidurnya.
Luna Raya mengusap lembut helai demi helai rambut basah Jimmy yang baru saja dipotongnya dengan handuk kecil. Seorang pelayan di situ juga sedang sibuk membersihkan sisa potongan rambut Jimmy yang memanjang di saat pria itu melewati masa segelnya dan pelayan itu beranjak pergi setelah menyelesaikan tugasnya.
"Bagaimana keadaanmu saat ini Jimmy?" suara Luna Raya terdengar begitu lembut menenangkan hati Jimmy.
"Aku baik-baik saja mom. Luka Jimmy sudah mulai pulih." jawab Jimmy sambil memejamkan matanya merasakan usapan lembut dari jemari Luna Raya, ratunya.
"Baguslah sayang. Setelah ini kau harus sarapan yang banyak untuk memulihkan tenagamu. Mommy sudah menyiapkan daging yang banyak untukmu." Luna Raya terlihat begitu semangat hari ini membuat Jimmy tersenyum kecil.
"Baiklah Ratuku. Apa pun untukmu." ujar Jimmy yang di sambut pelukan hangat dari Luna Raya di belakangnya. Luna Raya mengecup pelipis Jimmy penuh kasih. Terlihat sekali bagaimana dirinya begitu menyayangi alpha kecilnya. Jimmy selalu menyadari itu dan lalu dirinya mengingat kembali kejadian malam dimana Beta Kai menyerang Ratunya membuat raut wajah Jimmy mendingin.
"Mom."
"Iya sayang." Luna Raya yang tengah mengeringkan rambut Jimmy masih tidak menyadari perubahan raut wajah pria serigala itu yang telah berubah.
"Sejak kapan Beta Kai memperlakukanmu seperti itu?" nada yang diucapkan Jimmy begitu datar. Luna Raya melirik kaca di depan mereka hanya untuk bersitatap dengan pandangan Jimmy yang menatap lekat ke arahnya. Luna Raya menghela nafasnya, menyadari dirinya sudah tidak bisa menghindari anaknya lagi.
"Beta Kai adalah teman kecil mommy, Jimmy. Kami sering bermain bersama dan aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Suatu hari aku bertemu dengan mateku, Ednan, ayahmu yang seorang Alpha. Dan akhirnya menikah bersamanya. Ednan mengetahui bahwa Kai adalah teman masa kecil mommy, dan karena dedikasi dan kemampuannya yang tinggi akhirnya Ednan menjadikannya seorang Beta untuk menjaga mommy. Mommy tidak pernah menyadari perasaannya. Yang aku tahu, setelah perang bersama rogue selesai, mommy tidak sengaja melihat tanda betrayal yang sudah menghitam dalam tubuhnya. Beta Kai telah dikhianati matenya sendiri sebelum takdir mempertemukan mereka. Dan matenya sudah mati.
Mommy menyesal baru mengetahui kenyataan itu, Jimmy. Beta Kai begitu baik terhadap aku dan Ednan. Dirinya rela mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Ednan dalam pertempuran. Dan setelah kematian ayahmu, Beta Kai mulai menunjukkan sisinya yang lain. Beta Kai tidak ingin menutupi perasaannya lagi terhadap mommy."
"Apa dia sering memaksamu seperti itu di belakangku?"
"Tidak sampai sejauh malam itu."
Jimmy menghadapkan tubuhnya ke arah Luna Raya. Terlihat pancaran terluka dari dalam matanya. Jimmy merasa kecewa karena mommynya menyembunyikan semua ini. Bagaimanapun juga Beta Kai sudah bertindak kurang ajar terhadap Ratunya.
"Kenapa tidak pernah mengatakan ini padaku, mom. Kau membuatku terluka."
"Dan melihatmu kehilangan diri seperti kemarin? Tidak Jim. Mommy tidak sanggup melihatmu seperti itu. Mommy tidak ingin membuatmu terhambat mencari matemu karena mengkhawatirkan mommy sayang. Mommy baik-baik saja di sini."
Mendengar penuturan Luna Raya membuat hati Jimmy seakan diremas. Ini karena dirinya yang belum juga menemukan matenya sendiri. Jimmy berdiri untuk memeluk Luna Raya.
"Maafkan aku My Queen. Aku akan bekerja lebih keras lagi mencari kekasihku. Berusaha mengendalikan diriku dan menjadi alpha yang bisa melindungi keluargaku. Aku berjanji Mom." tekad Jimmy. Luna Raya tersenyum dalam dekapan Jimmy.
"Aku tahu sayang. Kau pasti bisa menemukannya. Demi dirimu sendiri. Demi mommy. Berjuanglah lebih keras lagi nak."
***
Evan sudah berada dalam kamar pribadinya dengan masih mempertahankan wujud ular putihnya yang berukuran besar. Dirinya merayap menuju sisi ranjangnya dan menegakkan kepalanya. Melakukan sesuatu dalam tubuhnya hingga terlihat bagian b awah tubuhnya sedikit mengembung dan lalu gembungan itu naik menuju lehernya dan memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Tubuh Elena yang baru saja dimuntahkan Evan terdiam dengan banyaknya lendir ular yang membasahi seluruh tubuhnya. Evan menunggu sejenak pergerakan gadis di depannya.
"Uhuk uhuk! Hahhh hahh! Iyuhh apa ini? Menjijikkan!" pekik Elena begitu keras beberapa saat kemudian sambil mengibas-ibaskan kedua tangannya dengan jijik. Berusaha membersihkan lendir yang menempel di seluruh tubuhnya. Evan melihat tingkah Elena dengan malas sambil memutar bola matanya bosan.
"Cepat bersihkan tubuhmu itu. Dasar bau. Kau tidak ada bedanya dengan tikus yang baru saja masuk ke selokan."
Evan merayap ke atas ranjangnya yang berukuran besar dan melingkar dengan nyaman. Tidak mempedulikan Elena yang terperangah mendengar ucapannya. Gadis itu sontak berdiri dan menunjuknya tidak santai.
"Yak! Aku seperti ini karena ulahmu. Berani-beraninya kau menelanku seperti itu. Kau menjijikkan." Seru gadis itu tidak terima. Muncul perempatan siku dalam kepala Evan. Gadis itu berani sekali mengatainya.
"Tutup mulutmu. Aku terpaksa membawamu seperti itu karena aku tidak mau menunggu manusia lamban sepertimu." Sindir Evan. Elena hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal sambil mencari sesuatu di sekitarnya.
"Uh kau bahkan meninggalkan koperku." gerutu Elena sambil menghapus kasar lendir yang mengalir melewati pipinya dengan jijik.
"Kau tidak memerlukannya. Baju pelayan sudah ada dalam lemari itu. Sekarang cepat bersihkan kamar ini terutama lendir itu. Ah sebelum itu bersihkan tubuhmu dulu. Kau menjijikkan sekali. Ingatlah posisimu saat ini sebagai pelayanku, manusia." Titah Evan. Elena menahan nafasnya kesal. Dan beralih menuruti ular di depannya. Dirinya juga tidak betah jika harus membiarkan lendir ini menempel di tubuhnya semakin lama dan berkerak. Sudah bau, lendir ini menjijikkan sekali. Iyuhhh ...
Elena segera memasuki pintu yang dikiranya adalah kamar mandi dan langsung terpaku di tempat. Mewah sekali. Sungguh. Peralatan yang lengkap dan bahkan ada jacuzzi besar berlapis emas di dalamnya. Luar biasa. Apa seperti ini tempat mandi seekor ular. Jika dipikir-pikir kembali kamar ular itu juga sangat luas. Jauh dari kata biasa. Bahkan sekilas Lena sempat melihat mesin kopi di ujung ruangan. Apa seekor ular juga minum kopi? Atau mungkin itu hanyalah sebuah pajangan. Ya pasti begitu.
Elena mengawasi sekitarnya untuk lebih meneliti lebih jauh. Luar biasa. Dirinya tidak berhenti terperangah karena apa yang dilihatnya saat ini. Isi dalam kamar mandi ini benar-benar lengkap. Shampoo, sabun, sikat gigi, aroma terapi, sampai pisau cukurpun ada di dalamnya. Fix ini bukan milik ular itu. Pastinya ada manusia yang tinggal bersama ular itu selain dirinya. Ular itu sudah melakukan perjanjian dengannya dan menjadikan Elena sebagai pelayan di sini. Mungkin saja ular itu juga melakukan perjanjian lainnya dengan orang yang berbeda dan menjadikan orang itu sebagai pelayan sepertinya. Tapi, ular itu baik sekali menyiapkan semua ini untuk pelayannya. Ini terlalu mewah. Atau mungkin semua ini memang milik ular itu. Rasanya konyol jika harus membayangkan seekor ular berukuran besar berendam dalam jacuzzi dengan aroma terapi beserta kelopak bunga mawar sebagai pelengkap. Elena memukul kecil kepalanya untuk menyadarkan diri. Semakin dipikir semakin membuatnya merasa geli.
Elena langsung mengunci pintunya. Berjaga-jaga jika mungkin seekor ular akan merayap masuk ke dalam bathupnya. Itu sungguh kejutan yang tidak pernah diharapkannya. Perlahan dan pasti Elena membuka bajunya dan membersihkan diri.
Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Elena melongokkan kepalanya untuk mengawasi sekitar dan melihat ular putih itu masih melingkar di atas ranjang. Mendengkur dengan suara desisan samar khas seekor ular. Entah sejak kapan ular itu terlihat jinak dimata Elena meski gadis itu juga harus meningkatkan kewaspadaan jika berhadapan langsung dengan ular itu.
Merasa cukup aman, Elena mengendap-endap keluar dari kamar mandi menuju almari yang berisi pakaian pelayannya dengan hanya berbalut handuk yang menutupi d**a hingga pertengahan paha. Perlahan gadis itu membuka pintu almari tanpa harus membangunkan tuan ularnya. Sebisa mungkin Elena berusaha tidak berhadapan dan kontak mata ataupun fisik dengan ular itu. Bagaimanapun juga seekor ular adalah hewan berdarah dingin yang kapan pun bisa memangsanya bukan.
Baju maid ini terlihat luar biasa. Elena ingin menangis rasanya melihat panjang baju itu yang hanya sampai pertengahan pahanya. Bagaimana dirinya bisa bekerja dengan leluasa jika membungkuk saja celana dalamnya bisa terekspose bebas. Mau tidak mau Elena kembali memikirkan kemungkinan bahwa seekor ular bisa berfikir secabul ini. Elena dengan sebal melirik tajam ke arah ular putih itu dan menarik salah satu bajunya untuk dipakainya.
Elena memulai pekerjaannya dengan mengepel lantai yang penuh dengan bekas lendir. Mengelap tiap bagian sisinya hingga dia menemukan sesuatu di seberang ranjang. Elena mendekati tumpukan lembaran-lembaran yang berserakan di pojokan dekat ranjang. Bahannya seperti karet namun bukan karet, mulai mengering dan berukuran lebar kurang lebih setengah meter. Panjangnya, Elena mencoba mengangkatnya tinggi dan benda ini panjang sekali. Seperti sebuah selendang sutra saking halusnya dan transparant. Samar-samar terdapat corak yang tergambar di lembaran itu. Elena menajamkan kembali penglihatannya namun tetap tidak mengerti corak apa itu. Setelah dipikir-pikir bukankah ini mirip, Elena mengalihkan pandangan ke arah ular itu. Matanya membulat tidak percaya bukankah ini kulit ular yang mengering. Sontak Elena melempar kulit itu sejauh mungkin merasa geli sendiri.
"Sedang apa kau?" Evan terusik karena suara berisik yang ditimbulkan Elena.
"Itu. Apa itu kulitmu?" Elena menunjuk tumpukan kulit ular itu.
"Iya. Kau suka?" tanya Evan terdengar berbangga diri dengan kulit matinya yang berukuran besar menunjukkan betapa gagahnya tubuhnya.
"Apa! Kau jorok sekali. Kenapa meninggalkan kulitmu disana."
"Apa! Kau ingin kumakan sekarang ha!" gertakan ular itu membuat Elena terkejut dan memundurkan tubuhnya.
"Ck! Cepat bersihkan itu dan buatkan aku makanan sekarang. Melihatmu membuatku lapar." Ucapan Evan membuat Elena membolakan kedua matanya. Apa sekarang ular itu menyuruhnya mencari tikus dan sebangsanya untuk makanan.
"Kau punya jebakan tikus di sini Tuan?"
"Untuk apa kau menanyakan itu."
"Untuk mendapatkan makananmu. Aku tidak bisa mendapatkannya dengan tangan kosong." Evan memajukan kepalanya ke arah Elena. Gadis ini sungguh menguji kesabarannya.
"Kau gila! Kau ingin menghidangkan tikus sebagai makananku ha? Kau pikir aku apa!"
"K-kau ular tentu saja."
"Aaarrghhkk! Tentu saja aku ular bodoh! b*****h! Sialan!" ekor ularnya menghempaskan gucci besar di sebelahnya dengan kuat.
Harga diri Evan sebagai siluman ular rasanya dipertaruhkan. Dirinya memanglah ular. Tapi kastanya jauh lebih tinggi dibanding ular biasa yang mereka temui di dunia nyata. Evan adalah seorang raja di dunianya. Dia terbiasa hidup dengan kemewahan layaknya seorang bangsawan. Harusnya Elena melayaninya seperti melayani seorang raja pada dunia manusia.
"Cepat buatkan aku makanan di dapur atau kau sendiri yang akan kujadikan santapanku!" Teriakan ular itu membuat Elena gemetar ketakutan. Elena tidak mengerti apa salahnya namun gadis itu tetap berlari keluar untuk membuat sesuatu di dapur. Air matanya menetes deras. Meski ini adalah pilihannya, hidup bersama seekor ular itu terlalu sulit baginya yang notebanenya bukan pecinta reptile. Elena tetap berusaha tegar hanya untuk membalaskan dendam neneknya. Sudah sejauh ini, Elena tidak bisa mundur lagi.