AMARAH2

1185 Kata
"Nenek! Nenek! Tidak nek, jangan tinggalkan Lena lagi. Nenek bangunlah. Lena mohon nek. Cepat bangun!" Tangisan Elena langsung pecah saat melihat kondisi mengenaskan neneknya. Gadis itu berhambur menyentuh sisi wajah neneknya yang dipenuhi aliran darah segar. Lena tidak peduli dengan tangan dan bajunya yang kotor terkena darah Maria. Rian yang masih terkejut dengan kejadian ini berusaha menyadarkan diri. Pandangannya menyebar ke segala penjuru untuk memastikan tidak ada lagi bahaya yang mengintai mereka di rumah ini. Setelah meyakinkan keadaan yang sudah aman pria itu mendekati Elena yang masih memeluk tubuh neneknya. "Lena, Lena tenanglah. Kuatkan dirimu." "Rian, nenek yan. Kenapa ini bisa terjadi. Hiks ini salahku Rian. Harusnya aku tidak meninggalkan nenek sendiri. Ini salahku. Nenek maafkan aku hiks hiks!" "Lena, dengarkan aku. Kau harus kuat. Ini bukan salahmu. Lebih baik kita mempersiapkan pemakaman nenek sekarang. Aku akan membantumu mengurusnya." Rian menyejajarkan kepalanya dengan Elena agar dapat menatap mata gadis itu. Mencoba meyakinkan bahwa dia tidak sendiri dan semua akan baik-baik saja. Air mata gadis itu mengalir deras. Terlihat sekali jiwa gadis itu begitu terguncang. Rian mengerti bahwa nenek Maria adalah satu-satunya keluarga yang Elena punya saat ini. Rian bertekad akan membantu gadis itu. Diusapnya air mata yang mengalir di pipi Elena. Rian membawa tubuh Lena dalam dekapannya untuk menenangkannya. Elena masih menangis dalam pelukannya. Tidak lama Rian merasakan tubuh Lena memberat. Elena pingsan. Pria itu segera membawa pergi gadis itu dengan bridal style ke kamarnya. Setelah memastikan bahwa Elena nyaman di ranjangnya, Rian menelpon seseorang. "Hallo ..." *** Elena membuka matanya perlahan. Kepalanya begitu pening dirasanya setelah kesadarannya mengumpul. Elena melihat ke sekelilingnya hanya untuk menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing. Kamar ini bukan miliknya. Sinar mentari masuk melalui celah-celah tirai jendela. Menunjukkan waktu sudah semakin siang. Elena mendudukkan dirinya. Tubuhnya begitu lemas saat ini. Tenaganya menghilang. Bahkan untuk turun bergerak menuju kamar mandi Elena merasa tidak sanggup. Dadanya begitu sesak seakan separuh nyawanya telah menghilang mengingat keadaan terakhir neneknya. Apakah itu nyata ataukah hanyalah sebuah mimpi belaka? Jika itu mimpi, lalu bagaimana Elena bisa berada di kamar asing ini. Pintu kamar terbuka menampakkan seorang gadis cantik yang ikut terkejut melihatnya. "Astaga, kau sudah bangun ternyata." gadis itu segera menghampirinya dengan wajah berseri seakan begitu senang melihatnya yang akhirnya tersadar. "Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja kan. Apa kau lapar? Akan kuambilkan makanan untukmu. Tunggulah." gadis itu berceloteh dengan riangnya tanpa mempedulikan ekspresi Elena yang bahkan sama sekali tidak merespon ucapannya. Gadis itu langsung melangkah pergi setelah menyuruh Elena untuk menunggunya. Elena tetap di tempatnya tanpa pergerakan sedikit pun. Wajahnya terlihat pucat. Takdir terlalu mempermainkan kehidupannya. Sebulan yang lalu dirinya telah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan beruntun di kota. Elena mencoba tabah dalam menghadapi cobaan ini. Dirinya berusaha bangkit dan bertekad untuk tinggal bersama neneknya, satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Menghabiskan hidupnya untuk menemani neneknya hingga maut memisahkan mereka. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Neneknya disiksa. Elena sudah pasti yakin neneknya telah disiksa. Perampok kah? Apa yang mereka cari? Kesalahan dirinya yang telah meninggalkan neneknya di rumah sendirian. Kenapa bukan dirinya saja yang meninggal. Elena tidak bisa membayangkan betapa takutnya neneknya saat itu. Tidak ada siapa pun yang bisa menolongnya. "Elena." terdengar suara Rian dari arah pintu. Pria itu bergegas menemuinya setelah mendapat kabar bahwa gadis itu telah bangun. Rian sekarang bisa melihat mayat hidup yang duduk diam di dalam kamarnya. Ya begitulah gambaran Elena saat ini. Duduk diam tanpa merespon siapa pun di sekitarnya. Rian bisa memakluminya saat ini. Sudah dua hari sejak kejadian itu dan mereka sudah melakukan pemakaman nenek Maria tanpa kehadiran cucunya, Elena. Rian bergerak mendekati Elena di ranjangnya. Pria itu duduk di depan Elena. "Elena, syukurlah kau sudah bangun. Bagaimana keadaanmu?" tidak ada tanggapan dari bibir gadis itu. Rian tidak menyerah sampai disitu. "Elena, maafkan aku. Aku sudah melakukan prosesi pemakaman nenek Maria tanpa menunggu kehadiranmu." sejak Rian mengatakan proses pemakaman itu bibir Elena bergetar menahan tangisnya. Rian melihat emosi yang dikeluarkan gadis itu. Dipegangnya dengan lembut kedua tangan Elena yang bertautan menjadi satu di pangkuannya. "Tidak apa-apa. Kau bisa menangis sepuasmu di sini. Aku tidak akan menahanmu Lena. Tapi setelah berjuanglah untuk berdiri kembali. Nenek pasti juga menginginkan dirimu yang seperti dulu." "Hiks Hiks huaaa ... Nenekkk! Nenekkk!" teriakan Elena sudah tidak bisa tertahan lagi. Gadis itu meluapkan seluruh emosinya di depan Rian. Elena menangis histeris mengundang beberapa orang dalam rumah itu berdatangan menuju kamarnya. Takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun setelah mengerti situasinya, mereka memakluminya dan kembali pada pekerjaan masing-masing. Rian masih menunggu tangisan Elena mereda. Pria itu sudah menyiapkan sekotak tissue di hadapan Elena sebelumnya. Dan tissue terbukti berguna. Beberapa lembar sudah berceceran di lantai bekas Elena. Butuh waktu cukup lama untuk menunggu Elena selesai meluapkan emosinya. Gadis itu kini mulai terlihat lebih tenang. Tersisa suara kecilnya yang masih sesenggukan. Wajahnya begitu kusut dan sayu. Matanya sudah membengkak begitu juga dengan hidungnya yang memerah. "Kau sudah merasa lebih baik sekarang?" tanya Rian sambil bergerak menghapus sisa air mata Elena dengan tisunya. "Aku lelah." "Khekhe tentu saja kau akan merasa lelah jika menangis selama berjam-jam seperti itu." Rian tertawa kecil karena ucapan Elena yang menurutnya lucu. Pria itu juga membantu membenarkan rambut Elena yang cukup berantakan. "Terima kasih." "Tidak masalah. Aku cukup terhibur melihatmu yang menangis seperti ini. Ku fikir aku perlu membeli sekotak tissue lagi." ujar Rian berusaha mencairkan suasana dalam kamarnya. Meski sebenarnya melihat cara menangis Elena memang benar-benar berhasil membuatnya terhibur. Gadis itu terlihat lucu dengan caranya sendiri. Seperti seorang adik yang manis. "Aku ingin berterima kasih telah membantu melakukan prosesi pemakaman nenek." Elena berbicara dengan lirih. Rian tersenyum kecil. "Tidak masalah. Nenek Maria sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri. Kau ingin pergi menemuinya?" Pertanyaan Rian langsung diangguki gadis itu. Rian menganggukkan kepalanya mengerti. Tangannya bergerak mengusap pucuk kepala Elena dengan lembut. "Baiklah. Kita akan pergi menemuinya. Setelah kau menghabiskan sarapanmu, gadis manis." Rian beranjak keluar kamar untuk mengambil sarapan Elena di dapur. Tidak lama pria itu datang kembali bersama seorang gadis yang menemukan Elena terbangun pertama kali tadi. Gadis itu menunjukkan senyuman cerah di hadapan Elena dengan nampan di tangannya. Pasti itu adalah sarapan untuknya. "Hai aku membawakanmu sarapan. Karena kau baru bangun setelah tidur lama jadi aku membuatkanmu bubur. Semoga kau menyukainya." gadis itu meletakkan semangkok bubur di hadapan Elena dan diterima gadis itu dengan baik. "Terima kasih eum ..." "Aleta. Namaku Aleta, teman Rian." Elena sempat tertegun mendengar namanya. Ah ternyata gadis ini yang pernah diceritakan Rian. Elena meneliti wajah gadis di depannya dengan baik. Membuat Aleta saling berpandangan dengan Rian sejenak karena bingung dengan sikap Elena. "K-kenapa?" "Kau cantik sekali Aleta." ya Elena tidak salah mengatakan bahwa Aleta adalah seorang gadis yang cantik. Wajahnya terlihat campuran. Kulitnya putih bersih dengan mata bulat dan hidung juga dagu yang lancip. Bibirnya tipis. Seperti barbie. Ucapan Elena sontak membuat gadis itu tersipu malu. "Ah terima kasih." "Aleta memang cantik. Tapi aku lebih tertarik denganmu Lena." celetuk Rian yang sengaja menggoda kedua gadis itu. Lihatlah mereka sekarang. Wajah Elena kini terlihat merona merah dan teman kecilnya Aleta yang mendenguskan hidungnya, jengah. Rian tersenyum senang. "Dasar menyebalkan." sahut Aleta yang sudah terbiasa dengan sikap Rian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN