Berkali-kali kuusap mata yang semakin memberat. Aku tak mungkin tidur di tepi pantai dengan ombak terus menerjang kaki serta perut dalam keadaan lapar seperti ini. Terbersit keinginan kembali ke resort. Akan tetapi harga diri tak mengijinkan. Mas Danu sudah pasti akan berpikir istrinya adalah perempuan lemah tak punya pendirian.
Aku memeluk lutut, udara semakin dingin. Di langit yang mulai gelap, terlihat cahaya kekuningan yang elok di pandang mata. Beberapa orang tampak menyaksikan bias indah itu di dermaga.
"Apa sudah merasa sedikit tenang?"
Aku menoleh. Perasaan senang dan kesal menerjang dadaku secara bersamaan. Senang karena setelah seharian, akhirnya ia mencari. Tetapi juga kesal karena ia berkata seolah tak terjadi apa-apa. Mungkin baginya, aku boneka tak berharga. Tak perlu menjelaskan apa pun.
"Sejak pagi aku terus mengamatimu dari jauh. Apa tidak capek duduk terus? Tidak lapar?"
Sungguh pertanyaan bodoh. Mana mungkin tak lapar? Seharian perut tak terjamah makanan. Sungguh lelaki bodoh dan tidak peka. Tenyata, punya suami kaya saja tak cukup jika tak perhatian.
Aku kembali menoleh saat ia duduk di sampingku, tatapannya terpaku pada sunset yang mulai menghilang. Dihirupnya napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia menyenggolkan bahunya ke bahuku.
"Aku sungguh tidak menemuinya."
"Aku nggak peduli!" Aku menatap lurus ke depan.
"Jika tidak peduli, kamu tidak akan marah," balasnya. Aku menyentak napas.
"Tadinya, aku memang akan menemuinya. Tapi aku mengubah pikiranku. Tadinya, aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kali. Tapi setelah kupikir, itu tak ada gunanya. Dia sudah menikah. Aku juga. Jadi aku memutuskan keluar, pergi jauh-jauh dari resort agar tidak tergoda menemuinya."
Aku memandangnya sangsi. Mas Danu mengeluarkan HP dari saku celana, meletakkannya ke pangkuanku.
"Ada banyak panggilan tak terjawab. Juga pesan WA. Masih tersegel. Aku belum membacanya."
Dengan gerakan ragu, kuraih HP-nya.
(Jika tak jadi bertemu, kami pergi dari sini)
(Kamu niat bertemu nggak, Kak. Aku ditemani Mas Ali. Mas Ali tidak marah saat aku ijin. Dia ingin bicara padamu)
(Kak, aku sudah sampai pantai)
(Kak, aku sudah sampai pantai)
"Sudah percaya?" Mas Danu tersenyum kecil. Apa sih, dia. Istrinya sedang ngambek bukannya meminta maaf malah bersikap seperti itu. Membuatku malu saja.
"Tetap saja, saat tidur bersamaku, yang kamu bayangkan adalah gadis itu, kan? Menyebut nama gadis itu berulang-ulang seolah tengah bersamanya!"
Mas Danu menghela napas, terlihat mencoba sabar. "Iya, aku sadar menyebut namanya. Tapi, aku tak segila itu membayangkanmu adalah Syafitri. Aku membuka mataku, melihatmu menangis, apa kamu kira aku tak berperasaan?"
"Aku nggak percaya!"
"Aku normal. Apa kamu pikir aku tak bisa melakukannya jika tak membayangkanmu sebagai Syafitri?! Aku juga tahu dosa!" Sentaknya. Aku menelan ludah, kilat penuh kemarahan terlihat di matanya.
"Tapi kenapa harus nunggu 6 bulan baru melakukannya?"
"Itu ...."
"Kenapa?" Kejarku.
"Aku takut kembali membuka hati. Takut kembali disakiti. Walau kamu mulai membuatku nyaman, tapi aku mencoba menahannya. Sampai ...." Ia menghela napas.
Aku menatapnya penasaran.
"Kamu mengungkit tentang anak. Bukankah seorang yang ingin punya anak dari pasangannya, itu berarti dia benar-benar cinta?" Mas Danu menggapai tanganku, lalu menciumnya lembut.
"Syafitri hanya masa lalu. Sementara kamu adalah masa depan. Jadi, jangan bahas dia lagi mulai sekarang. Hanya ada kita. Bukankah kamu ingin punya anak dariku sampai memasukkan obat perangsang?"
Mas Danu tersenyum jail, membuatku segera berpaling. Darimana dia tahu? Sebentar. Sebentar. Apa ibu yang memberitahunya? Kurasakan wajahku merona.
"Aku menemukan bungkusnya di dapur. Ibu pasti yang menyuruhmu. Tapi kamu melakukannya. Jadi, kenapa harus mempermasalahkan masa laluku yang tak penting?" Ia meraih daguku, memaksaku menatapnya.
Rasanya ingin berpaling. Aku sungguh malu. Mas Danu tersenyum mungkin karena melihat wajahku yang menghangat ini telah berubah merah. Alih-alih menunduk, aku akhirnya memilih bersikap cuek.
"Latihan pada siapa sampai kamu bisa berkata panjang begini, Mas? Biasanya, hanya berkata ya dan tidak."
Mas Danu lagi-lagi tersenyum. Semoga ia tak kesambet setan. "Itu karena dulu aku belum mau membuka hati. Aku yang sebenarnya ya, seperti ini." Ia melingkarkan tangan ke bahuku. Jantungku berdetak kencang saat ia menoleh seperti hendak menciumku.
"Mau apa, Mas?"
"Masa tidak tau?"
"Apa?"
"Cium kamu." Ia menatapku lembut. Duuh, kenapa rasanya malu sekali, ya? Perlahan aku memejamkan mata, dengan d**a bergemuruh menanti yang dikatakannya. Kenapa ia tak kunjung melakukannya?
Aku membuka mata yang langsung disambut tawa kecil Mas Danu.
"Apaan, sih, Maas!"
"Tidak di sini juga, nanti dilihat orang. Yuk, pulang. Kamu pasti lapar, kan?"
Dia benar, aku memang lapar. Aku mengangguk lalu menerima uluran tangannya. Namun tak menatapnya, aku masih merasa malu atas kejadian tadi.
#Pemeran_tokohnya_ada_di_i********: @fitri_soh
Ada yang tungguin cerbung ini UP? Komentari biar cepet lanjut