Sampai di rumah pukul 7 pagi. Mas Danu membantu membawakan oleh-oleh ke dalam lalu langsung tidur. Sementara aku memutuskan membuat sarapan sambil tak henti tersenyum. Setelah menunggu lama, akhirnya hubungan kami mengalami peningkatan.
"Li."
Aku menoleh. "Eh, Mas, kukira kamu tidur." Aku memandangnya yang duduk bertopang dagu di meja makan, mengamatiku.
"Cuma lima menit. Tidak bisa tidur. Tidak kebiasaan tidur pagi."
"Oh." Aku mengambil dua ikat kangkung lalu memotongnya dengan tangan.
"Sini Li, kubantu."
"Nggak usah, Mas. Ini pekerjaan cewek."
"Kata siapa? Memang ada dalilnya memasak adalah pekerjaan cewek? Aku menikah biar ada yang menemani, tak ada niat menjadikan istriku pembantu."
Aku menatapnya terharu. Kenapa tidak dulu-dulu sih, Mas, bersikap menyenangkan begini? Segera kubawa kangkung serta wadah ke hadapannya sementara aku menyiapkan bumbu.
"Setelah sarapan antar aku ke rumah ibu ya, Mas."
"Oke."
Aku memandang Mas Danu yang terus memetik. Lihatlah, ia melakukannya dengan kaku. Kentara sekali tak pernah melakukannya. Dan itu membuatku senang. Aku mendekat untuk membantu. Pasti akan lama selesai jika ia melakukannya sendiri.
"Mas gak pernah masak, apa, kaku banget?"
Ia hanya nyengir.
"Mas mandi saja. Biar aku yang selesaikan."
Mas Danu beranjak berdiri, mengecup pelan pipiku, lalu melangkah cepat menuju kamar mandi. Aku memutar bola mata. Dia kenapa sih, terlihat salah tingkah begitu?
Hanya membutuhkan waktu 20 menit semua makanan telah tersaji di atas meja makan. Nasi, tumis kangkung, ayam goreng dan sambal tomat. Serta irisan buah dan dua gelas s**u. Mas Danu menghampiriku, mengenakan youcanse berwarna kuning yang membuat kulit putihnya terlihat memesona dan celana kodok di bawah lutut. Ia melingkarkan tangannya ke pinggangku lalu memutar tubuhku menghadapnya. Tatapannya yang lembut, tak urung membuat dadaku berdebar.
"Kenapa Mas?" tanyaku, berusaha tak terlihat gugup padahal d**a bergemuruh hebat. Apa seperti ini yang biasa dilakukan suami istri setelah menikah?
"Hanya ingin mamdangmu."
Aku tersenyum kecil. "Kan bisa dari situ." Aku menuding kursi.
"Aku suka memandangmu dari dekat."
"Sejak kapan, suka memandangku dari dekat?" Aku menatapnya penasaran. Mencoba melenyapkan debar tak biasa yang membuat tubuhku terasa panas dingin.
"Sejak pertama menikah."
Aku menatapnya tak percaya. Kedua tangan Mas Danu menyentuh masing-masing pergelangan tanganku.
"Tidak bohong. Kamu kekanakan. Saat tidur, kamu begitu mendamaikan."
"Ah, gombal."
"Tidak, serius," elaknya, telunjuknya menyentil hidungku.
"Sebelum bulan madu ke Jakarta, Mas pernah gak cium aku saat aku tidur?" Aku menatapnya ingin tahu.
Mas Danu tersenyum kecil. "Setiap malam, aku selalu cium kamu."
"Masa, Mas?" Tapi kenapa sikapnya selalu saja dingin?
"Mencium istri sendiri kan tidak dosa."
"Curang, ya, beraninya hanya pas tidur saja. Saat bangun, dingin banget."
"Sekarang berani." Mas Danu menarikku mendekat, mengecup pelan pipiku, lalu merambat ke kening. Saat ia mendekatkan bibir ke bibirku, terdengar sebuah pekikan.
"Apa tidak bisa melakukannya di kamar!"
Aku dan Mas Danu menoleh bersamaan. "Ayah, Ibu." Aku melepaskan diri dari pelukan Mas Danu kemudian menyambut ayah dan ibu mertua yang tersenyum menatap kami. Kusalami keduanya bergantian lalu menyuruhnya duduk.
"Padahal aku mau ke rumah Ibu. Baru ke rumah ayah."
"Kalau begitu ibu pulang ya? Ibu tunggu di rumah."
"Ibu jangan mulai," ucap Mas Danu sambil mengenyakkan diri di kursi. Aku segera meraih dua piring serta membuatkan dua gelas s**u. Setelah itu, mengisi 4 piring dengan nasi serta lauk dan sayur. Ibu mengucap terima kasih sambil sedikit memuji saat piring kuulurkan padanya.
"Bagaimana acara bulan madunya? Lancar?" Ibu mengedip padaku. Mas Danu menggelengkan kepala, seakan mencoba memaklumi sikap sang ibu.
"Rahasia." Mas Danu menjawab tak lama kemudian.
"Li, masih capek tidak?" Ibu mertua menatapku.
"Habis perjalanan jauh tentu masih capek, Bu. Tidak ada acara mengajak Liana pergi." Lagi-lagi, Mas Danu yang menjawab.
"Aku sudah gak capek kok, Mas." Aku meluruskan. Aku dan ibu memang sering belanja bersama ke swalayan. Asyik juga ada yang menemani mencari stok makanan untuk empat hari ke depan.
"Persediaan makanan juga sudah habis, jadi--"
"Tuh, kan. Liana aja bilang sudah tidak capek."
"Liana pasti masih capek. Li, kamu berhak menolak. Bilang capek kalau masih capek. Jangan karena tidak enak sama ibu, jadi terpaksa pergi." Mas Danu menyudahi makannya lalu menutupnya dengan meneguk susunya hingga kandas. Aku menatapnya heran. Kenapa sih, dia? Yang merasakan capek siapa, yang ngotot juga siapa.
Ibu memandang Mas Danu cukup lama dan akhirnya mengangguk sambil tersenyum.
Katanya sambil mengusap mulutnya dengan tisu, "Ibu mengerti sekarang." Ibu mengedip pada Ayah yang langsung ayah sambut dengan anggukan maklum. Kenapa sih mereka, jadi aneh begini.
"Sudah kenyang. Ayah pulang sekarang," kata Ayah sambil berdiri.
"Ibu juga." Ibu ikut berdiri. "Ibu mau belanja kebutuhan dapur."
"Tunggu sebentar, Bu." Lalu aku bergegas menuju kamar, mengambil dua tas plastik yang masing-masing berisi baju kemudian memberikannya pada ayah dan Ibu.
"Semoga ibu dan ayah suka."
"Sungguh menantu yang baik." Ibu mengeluarkan isinya, lalu melekatkan gamis cokelat tua berpayet itu di tubuhnya. "Bagus. Ini selera ibu." Ibu melipatnya lalu memasukkan kembali ke dalam tas.
Tak lama, keduanya segera pamit. Aku langsung membawa piring dan gelas kotor ke wastafel yang langsung disusul oleh Mas Danu. Ia membawakan mangkuk bekas sayur.
"Mas duduk aja."
"Tidak papa. Besok tidak bisa bantu lagi karena sudah mulai kerja."
Aku mengangguk, merasa senang mendapat perhatiannya. Segera kusabuni piring dan Mas Danu membantu membilas. Membersihkan meja makan, setelah itu duduk di sofa menyaksikan televisi.
"Mas tadi kenapa, sih, aku kan memang udah nggak capek. Kalau belanja ada yang temenin enak, jadi nggak kaya orang hilang."
Mas Danu membawaku merebah di dadanya, lalu menunduk untuk mencium keningku.
"Kamu kalau belanja sama ibu, bisa sehari penuh."
"Namanya juga perempuan, Mas."
"Nah, itu. Makanya tidak kubolehkan."
Aku mendongak untuk memandangnya.
"Memangnya kenapa?"
"Mau tau sesuatu tidak?"
Aku menantinya dengan tak sabar. "Apa?"
"Saat seseorang sedang jatuh cinta, ia ingin selalu dekat dengan pasangannya. Aku ingin menghabiskan waktu seharian denganmu, Li."
Aku merasakan wajahku menghangat dan perasaan senang menelusup ke dalam d**a.
"Nanti sore kutemani ke swalayan."
"Serius?"
Mas Danu mengangguk lalu menyentil hidungku. "Iya, nanti kutemani," katanya, melingkarkan tangan ke tubuhku lalu mendekatkan bibir ke leherku. Aku tertawa geli.
Bersambung.
#Wajah_para tokoh ada di i********: @fitri_soh
*Komentari jika ingin lanjut besok. Ehemp