"Aku di ujung perbatasan, dengan rasa sesal tak tertahankan. Aku berbicara padamu, dengan tertatih bahasa tubuhku. Semurung mendung sederas hujan badai, bernadakan kesepian. Aku sendiri, aku menangis. Haruskah menyesal dengan keputusan..."
______ Rinda Sandria, Sulit.
Perempuan itu begitu cantik, dengan rambut panjangnya yang terurai, mata biru langitnya yang berkilauan dan kulit putihnya yang mulus membuatnya sangat cantik. Bibir merahnya yang merekah meneduhkan hati dari kegundahan saat tersenyum. Wajah itu bersinar, di terpa mentari pagi yang berwarna kejinggaan. Tak sedetik pun mata berpaling darinya, tuturnya yang lembut memberi ketenangan, menyingkap akar pahit yang telah lama terkubur. Jantung kian berdetak kencang seiring langkahnya yang mendekat, pelukan rindu telah terbuka menyambut. Hingga ketika langkahnya semakin mendekat, senyum menawan dengan kedua mata yang berbinar terurai perlahan-lahan. Sebab pelukan tak bersambut, kerinduan tak kunjung temu. Tubuh itu membeku, lidahnya kelu, sementara bibirnya memilih untuk diam. Suara tawa yang bersahutan mengalihkan sejenak kekalutan, dengan sangat berhati-hati tubuh itu bergerak, berbalik punggung hendak mencari tahu. Di detik yang sama, detak jantung langsung bertalu kencang akibat rasa syok bercampur luka yang dalam. Mata sebiru lautan itu mulai memerah, menahan tangis yang hendak meluncur di permukaan pipi. Sebab disana, cintanya telah berlabuh, memilih untuk menyambut cinta yang baru, meninggalkan cintanya bersama serpihan luka.
Penghianat. Satu kata itu memenuhi pikiran Darren setelah berhasil terlepas dari bayang masa lalu. Dicengkramnya kuat-kuat gelas kristal berisi anggur itu untuk melampiaskan emosi, hendak meremukkan karena rasa sakit yang luar biasa. Sama sekali tidak ada pancaran luka dimata biru itu, yang ada hanya dendam yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu. Permintaan Cleo yang menginkan dirinya menikahi Aurora membuat kenangan buruk yang telah lama di kubur di sudut hatinya yang terjauh malah muncul kembali, menghadirkan rasa sesak tiba-tiba. Darren tidak lagi pernah ingin membuka pintu hatinya yang telah ditutup rapat, tak lagi ingin terjatuh dalam kubungan cinta hingga membuat dirinya mengesampingkan logika dan bertindak implusif. Hati darren telah kebas, mati rasa untuk kembali menikmati keindahan cinta.
Darren menyesap anggurnya, matanya menatap ke arah layar digital yang tengah menampakkan Cleo sedang tertidur lelap. Senyum kecut muncul di bibirnya ketika mengingat kenekatan putranya itu, hanya Cleo yang mampu membuat dirinya bertekuk lutut, tak mampu membantah sekalipun mulutnya terasa gatal untuk menyemburkan kemarahan pada lelaki itu. Darren menipiskan bibirnya kemudian, otaknya mulai bekerja untuk merancang hal-hal yang akan diberikannya kepada Aurora, tentulah itu diluar dari pemikiran perempuan itu.
Aurora, kau harus bertanggungjawab untuk semua ini.
Malam semakin larut ketika Aurora mendudukkan diri di ruang tamu sambil termenung. Pikirannya masih berkelana pada perkataan Shasa, otaknya telah letih untuk mencoba menelaah kalimat terakhir Shasa sebelum dirinya terjatuh dalam mimpi indah. Aurora menghela napas panjang, lalu beranjak dari duduknya untuk kemudian melangkah ke arah jendela. Aurora memandangi dunia luar yang tampak masih tertutupi kabut, hujan pun sepertinya enggan tuk berhenti. Pikirannya melayang sementara tatapannya kosong. Cukup lama Aurora bergeming tanpa kata, hingga sebuah suara dari balik punggungnya berhasil menyentak kesadarannya seketika.
"Apa yang kau lakukan di pagi buta seperti ini?"
Aurora langsung membalikkan badan, melempar senyum manis ke arah perempuan yang melangkah kepadanya.
"Ah tidak, aku hanya tidak mampu memejamkan mata. Karena itulah aku mengambil kegiatan lain?" Aurora menjawab lembut dengan senyum kaku.
"Kegiatan lain?" sahut Ibu Amira mengulangi sambil melempar pandangan menyelidik. "Dengan berdiam diri sambil termenung, itukah maksudmu?"
Pertanyaan menohok itu membuat Aurora tertegun sejenak, hatinya mulai dilanda kecemasan, Ibu Amira sangat memiliki penilaian yang tajam, sehingga menyulitkan Aurora untuk berkata lain, hendak menyembunyikan beban pikirannya.
"Apa yang sedang ibu bicarakan? Aku tidak mengerti dengan perkataan ibu?" ucapnya lembut kali ini dengan terbata-bata.
Ibu Amira terdiam sesaat, untuk mempelajari ekspresi wajah Aurora. "Apa yang sedang mengganggu pikiranmu, Kau tampak sangat cemas." Amira meraih jemari Aurora, menggenggamnya lembut.
"Aku baik-baik saja ibu. Jangan cemaskan aku. Suasana hatiku memang sedang buruk tetapi semua itu hanya karena beban pekerjaan. Selain itu, akhir-akhir ini aku kesulitan untuk tidur. Sungguh, tidak ada yang perlu dicemaskan dariku." Aurora berucap tegas, berusaha meyakinkan ibu Amira.
Amira menyipitkan matanya, memandang Aurora dengan seksama. "Baiklah jika kau tidak ingin bercerita. Ibu akan menunggu sampai kau siap." sambungnya kemudian lalu menepuk lembut pipi Aurora sebelum kemudian melangkah ke arah dapur.
Aurora mengulas senyum tipis, tidak berkata apapun. Dirinya hanya terdiam membisu bahkan ketika langkah kaki ibu Amira tak lagi terdengar, Aurora masih bergeming, berdiri dengan tubuh kaku.
________________________________________________________________________________________________________
"Bagaimana keadaan putraku?"
Tanpa perlu berbasa-basi, Darren langsung melemparkan pertanyaan itu sesaat setelah dokter Evan melakukan tugasnya. Darren bersikap tenang, hanya mata birunya yang menyipit ke arah Dokter lain dengan lekat.
"Aku saja belum menghela napas tetapi kau sudah menghunusku dengan matamu yang seperti bola api itu. Espresi mu yang tenang tampak seperti air yang terlihat diam namun menghanyutkan, membuatku sedikit takut." ucap dokter Evan dengan nada yang mencemooh kental.
Darren menipiskan bibirnya, "Aku mengoleksi berbagai senjata yang bisa menghantarkanmu ke dalam maut dengan segera. Kau ingin mencobanya?"
Dokter Evan mendengkus, ekspresinya berubah masam. "Cleo baik-baik saja. Demamnya sudah turun, sebentar lagi putramu akan sadar. Kau puas dengan hasil pemeriksaanku?" sambungnya melempar tatapan sinis.
Darren menganggukkan kepala, mengusapkan jemarinya di rahangnya sambil menimbang-nimbang jawaban dokter Evan. "Kau yakin putraku tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut?"
Mendengar itu, dokter mengeraskan rahangnya, merasa tersinggung dengan perkataan Darren. "Berhneti meragukan kinerjaku, Light. Kau hanya pandai melukai tidak untuk mengobati. Aku sama sekali tidak terkesima dengan pujianmu itu."
Sikap pertentangan yang ditujukan oleh dokter Evan, membuat sudut bibir Darren terangkat. Lelaki itu sangat membenci jika ada yang meragukan profesionalismenya sebagai seorang dokter. Dia bahkan melupakan sikap formalnya pada Darren dan batas-batas yang sudah diajarkan padanya.
"Kau mulai langcang, eh?" ucap Darren dengan nada serius yang mebuat dokter Evan seketika tergeragap.
"T-tidak. Mana mungkin aku berani bersikap kurang ajar padamu." jawab dokter Erik dengan gugup lalu menggigit ujung lidahnya pelan sebelum kemudian melanjutkan. "Ah, sudahlah. Jangan menatapku seperti itu. Kau membuat jantungku seperti mati rasa." ucapnya kemudian melirik takut-takut ke arah Darren.
Darren tidak menanggapi, matanya semakin tajam menatap ke arah Dokter Evan. Cukup lama Darren melempar tatapan mengintimidasi itu hingga membuat suasana kamar begitu sesak, kemudian Darren memiringkan sedikit kepalanya, menoleh ke arah Anthonio dengan sudut matanya.
"Bawa dia keluar. Suasana kamar ini akan bertambah sesak jika dokter sialan itu masih saja berada disini." ucap Darren memberi perintah dengan lantang.
Mendengar itu, Anthonio segera mengangguk patuh lalu melangkah maju medekati dokter Evan. "Ayo, pintu keluar berada disana."
Dokter Evan tersenyum sinis, "Tidak perlu menunjukkan jalan keluar untukku. Aku masih dapat melihat dengan jelas keberadaan pintu. Kau dan tuan mu memang sangat menyebalkan." Dokter Evan menjeda sesaat hanya untuk memandangi Darren dan Anthonio secara bergantian. "Semoga saja, ada yang bisa meruntuhkan gunung es berjalan seperti kalian berdua. Aku sungguh menantikan hari itu." tambahnya lagi lalu melangkah ke arah pintu dengan ekspresi kesal
Darren mengangkat kedua bahunya, menunjukkan sikap tidak peduli. Ketika ruangan itu telah berubah senyap, Darren langsung menjatuhkan pandangannya ke arah ranjang, menatap dalam-dalam ke arah Cleo. Darren tidak mampu menahan diri untuk menggerakkan jemarinya, mengusap lembut kepala Cleo sebelum kemudian membungkuk untuk menghadiahkan kecupan sayang di dahinya.
Kau salah, jika menganggap ayah tidak menyayangi mu Cleo. Karena pada dasarnya akulah yang akan mati jikalau kau tak berada disisi ku. Aku teramat mencintaimu hingga aku lupa cara untuk mencintai diriku sendiri apalagi mencintai orang lain. Kau segalanya bagiku.
_______________________________________
"Aurora?"
Ketika mendengar namanya dipanggil, Aurora langsung menolehkan kepalanya ke asal suara. Ekspresinya tampak datar saat menemukan keberadaan Jason di dapur, sama sekali tidak tertarik untuk sekedar membalas tatapan lekat lelaki itu.
Jason mengerutkan dahinya, menatap bingung dengan perubahan sikap Aurora. Dia melangkahkan kakinya semakin mendekat kepada Aurora.
"Apa yang terjadi padamu? Apa aku telah melakukan kesalahan?" tanya Jason mendesak, tidak membiarkan waktu bergulir lama untuk melenyapkan rasa penasarannya.
Aurora seketika menghentikan kegiatannya yang tengah membersihkan lantai dapur sesaat untuk kemudian menatap kepada Jason.
"Apa yang telah kau katakan pada Shasa?" sahutnya melempar tatapan menyelidik.
"Apa maksudmu? Perkataan apa yang sedang kau bicarakan?" jawab Jason dengan cepat, membalas tatapan Aurora tak kalah menyelidik.
Aurora tersenyum tipis, "Benarkah kau tidak mengetahui maksud perkataan ku atau hanya sekedar berpura-pura tidak mengetahui?" tanyanya dengan nada ketus lalu menjeda sejenak untuk memastikan bahwa Jason mendengarkan perkataannya dengan baik. "Kalau begitu, bagaimana jika ku ubah menjadi sebuah pertanyaan."
Jason mengangkat alisnya, "Jelaskan apa maksud mu."
Aurora terdiam sejenak, kemudian menatap lekat-lekat ke arah Jason sebelum kemudian berkata. "Apakah kau benar-benar mencintaiku?" ucapnya yang langsung membuat tubuh Jason membeku