Malaikat Tampan
Pada sebuah pertemuan, tanpa keinginan
Ku pamerkan kebencian bermaterai kepongahan
Sengaja ku bangun dinding bercangkang es tebal
Membentengi hati yang mungkin saja berhianat.
______ Stuck With You, Dee.
"Aku tidak ingin masalah ini terulang kembali."
Suara itu begitu tenang namun di penuhi ancaman yang mendebarkan jantung. Seketika hawa mencekam memenuhi ruangan itu, seolah pasokan udara terampas paksa menyisakan napas terengah.
Darren Criss Light, memiliki wajah tampan rupawan lengkap dengan sepasang mata biru tajam yang saat ini tampak dilumuri oleh kemarahan yang luar biasa. Dia sama sekali tidak menduga bahwa manager keuangan di perusahaannya memiliki taring untuk berhianat. Darren menggertakkan giginya kuat-kuat, sementara dadanya bergemuruh ingin secepatnya menyeret lelaki itu di hadapannya untuk kemudian meremukkan seluruh tulangnya. Hal itu membuat Darren tidak bisa menahan diri untuk kembali bersuara.
"Anthonio." Ucapnya tegas dalam desisisan.
Anthonio yang saat itu berdiri di belakang punggung Darren, secepat kilat langsung beranjak lalu melangkah maju sebelum kemudian berdiri di depan Darren dengan sikap hormat.
"Ya tuan." Sahutnya cepat.
Ada jeda sejenak sebelum Darren berkata. Dia melempar tatapan memindai pada semua orang yang bersamaan menundukkan kepala. Kemudian tanpa perlu menatap ke arah Anthonio, dia berucap lagi.
"Temukan tikus sialan itu. Lalu penggal kepalanya dan lempar potongan-potongan tubuhnya kepada para penghuni air tawar ku. Itu adalah hukuman yang tepat bagi seorang penghianat."
Dan perintah itu semakin membuat suasana semakin mencekam. Jantung yang malang
berdebar memukul-mukul, membuat d**a bertambah sesak. Sementara Darren tidak menahan diri untuk menyeringai melihat wajah mereka yang pucat pasi. Perlahan dengan gerakan mengancam dia bangkit dari tempat duduknya, menatap dalam pada Anthonio.
"Aku ingin hasil sebelum matahari tenggelam." sambungnya kemudian.
Mendengar itu, Antonio mendongak dan membuat pandangan mereka bertemu. Mata hijau emeraldnya menatap mata biru tajam Darren, sementara bibirnya menipis. Dia sudah terlalu lama bersembunyi dalam kubu hangat yang sama sekali tidak membuatnya nyaman. Sebab hasrat gilanya untuk membunuh terpaksa harus di tahan sekuat tenaga. Tapi hari ini dia tidak perlu menahan diri lagi, karena satu perintah dari Darren pasti akan sangat memuaskannya. Jiwa iblis Anthonio bergejolak untuk segera melenyapkan nyawa manusia tidak berguna yang hanya bisa menjadi tikus kecil di perusahaan ini kemudian dengan berani menggerogoti kekayaan Light.
Bagaimana pun juga tikus menjijikkan itu harus dimusnahkan sebelum semakin jauh bertindak. Anthonio sudah mendapatkan izin dan kesempatan baik ini sama sekali tidak boleh di buang percuma.
Sementara Darren mengurai bibir tipis, semua ekspresi wajah Anthonio tidak luput dari pandangannya.
"Bermainlah tanpa meninggalkan setitik jejak. Karena aku sangat tidak menyukai kesalahan."
Anthonio menganggukkan kepala, dia sudah sangat lama mengabdikan diri pada Darren. Sebab itulah tidak ada keraguan di wajahnya ketika menjawab perintah tegas Darren. Siapapun itu, Anthonio selalu berhasil membersihkan diri tanpa noda.
"Baik tuan. Saya akan bermain seperti biasa." sahut Anthonio mengurai kecurigaan di wajah Darren.
"Bagus." Darren menipiskan bibirnya membuat ekspresinya semakin menggelap meskipun ada kepuasan disana. "Urus masalah ini. Aku harus menjemput Cleo." tambahnya lagi.
Anthonio menganggukkan kepala dan memberi sikap hormat. "Silahkan tuan." kemudian tanpa perintah menyingkir dari hadapan Darren sedikit untuk memberi jalan pada lelaki itu.
Darren melangkah maju tanpa kata lagi, meninggalkan Anthonio yang menyeringai kejam lalu melempar tatapan seksama pada mereka.
"Kembali bekerja."
Sebuah perintah singkat diberikan oleh Anthonio dan langsung membuat seisi penghuni ruangan itu bubar bersamaan mengambil langkah lebar untuk kemudian berlari tergopoh-gopoh.
"Aurora?"
Ketika mendengar namanya di panggil Aurora segera membalikkan badan. Senyumnya melebar ketika menemukan sosok wanita cantik berkulit putih di hadapannya. Perempuan setengah baya yang terbiasa dengan sikap lembutnya. Dengan sigap Aurora melangkah maju, menyempitkan jarak di antara mereka.
"Ada apa ibu?" suara Aurora lembut, dengan senyum lebarnya.
Ibu Amira tersenyum lembut, Aurora memang seperti putri bangsawan. Kulitnya yang halus terawat, matanya yang berwarna coklat terang, rambutnya hitam panjang tergerai lengkap dengan bibir kecil dengan sedikit tebal di bagian bawah dan juga hidung mancungnya membuat perempuan itu seperti seorang Dewi. Hebatnya, meskipun Aurora hidup dan di besarkan di panti asuhan namun sikapnya sangat lembut dan bertutur kata halus nan sopan. Hal itulah yang membuat Aurora selalu mendapat cinta dari anak-anak dan pengurus panti.
"Sayang, tolong jemput adikmu di sekolah yah." dengan nada lembut ibu Amira berucap.
Aurora menganggukkan kepala. "Baik ibu, biar aku saja yang menjemput Shasa."
"Baiklah. Pergilah sayang, hati-hati di jalan." sambung ibu Amira kemudian memberi peringatan cukup keras di kalimat akhirnya.
Sekali lagi Aurora menganggukkan kepala, tanpa kata dia membalikkan badan untuk segera memenuhi perintah ibu Amira.
Cleo menyipitkan matanya ketika melihat sebuah mobil berwarna silver memasuki pekarangan sekolah. Senyumnya melebar dan hendak menggerakkan kakinya untuk berlari namun di detik yang sama segera diurungkan. Kekecewaan langsung menghayuti benaknya ketika menyadari sosok lelaki yang keluar dari mobil itu bukanlah ayahnya. Dengan kepala menunduk, Cleo membalikkan badan melangkah malas ke arah ayunan sekolah. Di sana dia kembali mendudukkan dirinya sambil menyandarkan punggungnya sementara mata Cleo tetap mengawasi jalanan.
Cleo menghela napas gusar, berulangkali dia berdiri menjulurkan kepalanya hendak mencari-cari keberadaan ayahnya tapi tak jua ditemukan. Akhirnya dengan menahan perasaan kesal Cleo menggendong tas punggungnya kemudian beranjak ke arah gerbang. Tetapi baru saja kakinya tiba di bibir gerbang, Cleo menghentikan langkahnya saat melihat seorang perempuan yang sangat cantik. Perempuan berkulit putih dengan mata coklat indah berjalan ke arahnya. Cleo mengerjap, menggerakkan-gerakkan kelopak matanya seolah memastikan bahwa perempuan itu adalah nyata. Hingga ketika indera pendengarannya menangkap suara yang begitu lembut, sejenak hati Cleo dibanjiri kehangatan yang sangat.
"Hei... apa kau melihat seseorang perempuan seusiamu dengan rambut yang di kepang kuda?" Aurora berucap dengan nada lembut, sengaja membungkuk sedikit untuk kemudian sejajar dengan Cleo.
Sejenak dahi Aurora berkerut, matanya dilumuri kebingungan ketika melihat tatapan Cleo yang terpaku sepenuhnya padanya. Aurora membalas tatapan Cleo, mata coklatnya memandangi dalam-dalam mata biru itu.
"Hei... apa ada sesuatu di wajah ku?" mata coklat Aurora menelusuri wajah Cleo, sementara pikirannya berkecamuk.
"Kau... sangat cantik seperti seorang Dewi." sahut Cleo dengan ekspresi datar, tatapannya masih saja tertuju pada Aurora.
Aurora tersenyum tipis, menatap anak laki-laki yang memiliki pengamatan yang luar biasa itu. Bagaimana tidak, kalau diamati lebih seksama lagi Cleo hanya seorang anak lelaki kecil yang berusia 7 tahun tetapi pemikirannya tampak seperti seorang anak yang sudah berusia remaja. Kebingungan yang sempat menyinggahi wajah Aurora, perlahan sirna menjadi ekspresi geli.
"Terimakasih sayang. Kau juga sangat tampan, kau seperti seorang dewa." Aurora menggerakkan tangannya untuk mengusap kepala Cleo.
Sementara Cleo hampir saja menitikkan air mata, dirinya tidak pernah merasakan cinta dari seorang ibu, hanya ayahnya yang selalu melimpahinya kasih sayang, selalu berusaha untuk menjadi sosok ayah yang sekaligus ibu untuknya. Sebab itulah, Cleo berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan rindunya akan kasih sayang ibu, dia tidak ingin membuat ayahnya bersedih.
Rupanya semua ekspresi Cleo tidak sedikitpun lepas dari pengawasan Aurora. Dia menyadari bahwa anak kecil di hadapannya ini sedang bersedih, mata birunya tak lagi dilumuri rasa kekaguman. Dan entah dorongan darimana, Aurora mengusap pipi anak itu lembut dengan jemarinya.
"Siapa namamu sayang?" ekspresi Aurora tampak sendu, seolah turut merasakan kesedihan Cleo.
Bibir Cleo bergetar, suaranya serak karena ingin mengisi. "Cleo. Namaku Cleo. Aku... merindukan ibu tetapi aku tidak punya ibu. Apa kau akan marah jika ku panggil ibu?"
Aurora tertegun, jemarinya berubah kaku sementara tubuhnya membeku. Cukup lama Aurora terdiam, membiarkan matanya menatap kedalam mata Cleo. Perlahan bibirnya melengkung membentuk garis tipis yang menyerupai senyuman. Aurora menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menenangkan Cleo.
"Tidak sayang. Kau boleh memanggilku ibu. Namaku Aurora, jika kau mau sebut saja aku ibu Aurora."
Senyum Cleo melebar, tanpa menahan diri lagi dia langsung melempat tubuhnya ke dalam tubuh Aurora, kemudian dengan sigap menggerakkan kedua tangannya untuk mendekap punggung Aurora.
Mata Aurora terbelalak, dirinya hampir saja terjungkal ketika Cleo memeluknya tiba-tiba. Beruntung kaki kanannya dengan sigap bertopang di atas lantai untuk menahan tubuhnya.
"Ibu... ibu... aku merindukan ibu."
Jantung Aurora seolah di remas kuat ketika mendengar suara bergetar Cleo, terasa pilu dan menusuk-nusuk jantungnya. Aurora bahkan merasakan tetesan air hangat terjatuh di pundaknya, rupanya Cleo menenggelamkan wajahnya dan menangis tersedu disana. Karena itulah, Aurora melingkupi tubuh bergetar Cleo dengan pelukannya, berusaha untuk menangkan anak kecil itu.
Tangisan Cleo semakin kencang seiring dengan usapan lembut Aurora di kepalanya. Dia mengeratkan kedua tangannya, memeluk kuat-kuat Aurora seolah takut kalau perempuan itu pergi.
"Sssttt... sayang. Jangan menangis lagi." bisik Aurora penuh kasih di telinga Cleo.
Perlahan tangis Cleo mulai mereda, hanya tersisa napasnya yang tersendat-sendat sementara Cleo masih ingin mengangkat wajahnya dari ceruk leher Aurora. Dia malah semakin menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam pelukan Aurora.
"Kak Aurora."
Suara panggilan lembut membuat perhatian Aurora dan Cleo teralihkan. Aurora mendongak, senyumnya seketika melebar ketika menemukan sosok perempuan mungil bermata besar tak jauh dari hadapannya.
"Shasa?" ucapnya dengan ekspresi bahagia.
Sementara Cleo merasakan kecemburuan yang teramat sangat ketika mendengar nada lembut Aurora. Entah mengapa dia tidak menyukai itu, tetapi dirinya tidak bisa bersikap egois dan hendak menguasai Aurora sepenuhnya. Karena itulah, dengan sangat terpaksa Cleo mengangkat wajahnya, kemudian membalikkan badan. Ekspresinya dingin dan tak terbaca saat melihat perempuan kecil dengan rambut kepang dua itu berlari ke arah Aurora dan langsung memeluknya. Cleo menyingkir dengan perasaan jengkel, sementara matanya dilumuri kekesalan yang sangat.
"Kakak, apa kau datang untuk menjemput ku?" tanya Shasa dengan mata berbinar.
"Tentu sayang. Ibu Amira menyuruh kakak untuk menjemputmu. Lebih kita sekarang pulang, karena anak-anak panti sedang menunggumu kita." sahut Aurora penuh arti, sengaja untuk membuat Shasa penasaran.
Dahi Shasa berkerut. "Apa kita akan merayakan sesuatu? Mengapa semua anak-anak panti harus menungguku?"
"Rahasia putri tidur." Aurora menggerakkan ujung jari untuk mencolek hidung Shasa. "Ayo pulang."
Aurora hendak melangkah namun segera diurungkan ketika menyadari bahwa Cleo masih saja bersama dengan mereka. Aurora merutuki dirinya sendiri saat menyadari bahwa sejenak dia sudah melupakan keberadaan Cleo. Dengan perasaan bersalah yang menghayuti benaknya, Aurora kembali membalikkan badan. Dan di detik yang sama mata biru itu tengah menatap ke arahnya.
"Sayang, kau tidak ingin pulang?" tanya Aurora dengan cemas.
Cleo menggelengkan kepalanya, kedua tangannya saling meremas seolah hendak menimbang-nimbang kata yang benar untuk di ucapkan.
"Ibu... bolehkah aku ikut denganmu?" Cleo berujar pelan dan penuh harap yang langsung membuat suara Aurora terkesiap.