Dialog Serius di Sebuah Pojok

1619 Kata
Perasaan gugup mulai merambati gadis bertubuh gempal itu, di mukain mengusir satu dua peluh yang membasahi pipinya dengan tissue yang diambilnya di atas meja. Ini adalah sesuat yang menyenangkan dan juga menyebalkan untuknya. Menyenangkan karena akhirnya rencananya untuk menjumpai Arios berhasil , menyebalkan karena dia harus terjebak dalam suasana kaku yang belum cair dan ternyata Kakak kelas yan dipujanya itu belum mengenal yang mana sebenarnya Amanda Maharani Utami itu di dunia nyata. “Maaf tadi aku sempat melihat kamu saat berada di meja sebelahku yang sudah reserved, jadi aku pikir dari pada kursiku kosong lebih baik aku tawarkan untuk orang yang satu sekolah denganku” kata Arios membuka pembicaraan, di wajahnya terlihat sebuah senyum. “Oh iya, aku Arios by the way,”  Mantan ketua OSIS itu mengulurkan tangannya setelah menyebutkan siapa namanya ke pada Amanda, tentu saja gadis itu sudah mengetahui namanya, nama lengkapnya saja dia tahu bahkan siapa tuhannya saja gadis bertubuh gempal itu mengetahuinya. Amanda menjabat tangan pemuda berkulit putih di hadapannya, sesaat matanmya terpaut saat melihat warna kulit mereka yang kontras sekali. Arios terlalu berkulit putih sebagai lelaki dan dia terlalu buluk untuk kulit seorang perempuan. “Jadi namamu siapa?” tanya Arios karena gadis itu tidak kunjung menyebutkan namanya setelah tangan mereka berjabat tangan tadi. “Namaku?” “Iya, namamu siapa?” “Bukankah Kakak sudah kenal aku?” tanya Amanda memastikan. Sebenarnya gadis itu agak bingung untuk menyebutkan namanya. Apakah dia kan menggunakan nama asli dan memperkenalkan diri bahwa dia adalah Amanda Maharani Utami penulis Miss Perfect di aplikasi menulis digital itu? Apakah Kak Arios tidak akan kecewa setelah melihat wujud asli dari gadis yang ingin dikenalnya yang jauh dari kata perfect, bahkan masuk kategori menarik saja tidak. Di dahi pemuda itu terlihat sebuah kerutan, dia nampak berpikir. Mungkinkah dia melewatkan sesuatu tentang gadis di hadapannya ini? “Maaf, sepertinya aku lupa namamu. Apakah kita pernah bertemu?” kata pemuda itu masih dengan wajah seriusnya. “Enggak apa-apa kalau lupa, Kak,” kata gadis bertubuh gempal itu sambil berusaha memaksakan tersenyum. “Sebutkan saja namamu? Mungkin aku akan mengingatnya kemudian.” “Aku ...” Amanda berkutat dengan benaknya, apakah dia akan menyebutkan saja nama aslinya supaya lebih jelas apa reaksi Kakak kelas pujaannya itu? Tapi bagaimana jika tidak menyenangkan? Arios menatap gadis itu dengan serius, nampaknya dia menunggu kalimat lanjutan dari sebuah kata yang baru saja dikatakan oleh gadis itu. “Aku Rani, Kak. Panggil saja aku Rani,” kata Amanda akhirnya, beruntung dia menemukan sebuah nama walau itu diambil dari kependekan nama tengahnya. “Rani ya?” pemuda tampan di hadapan Amanda itu terlihat berpikir, dia memilah ingatan dalam benaknya akan nama yang tadi disebutkan. “Maaf, sepertinya aku enggak mengingat nama Rani.” “It’s okey, Kak. Aku bukanlah orang penting yang harus tetap diingat namanya, jadi tidak mengingat siapa aku itu bukanlah sebuah aib,” kata gadis itu sambil berusaha mebyembunyikan gugupnya karena tak sengaja matanya bertaut dengan mata Arios. “Mungkin aku saja yang Amnesia hingga tak mengingat namamu, Rani. Akhir-akhir ini otakku memang agak terbelah konsentrasinya karena sedang ada event yang akan dilaksanakan oleh OSIS, kebetulan aku diminta untuk memantau kinerja mereka oleh Pembina OSIS,” kata pemuda itu dengan sebuah senyum kecil menggenapkan kalimatnya. “Tapi, menurutku sebuah aib jika tidak bisa mengingat nama orang sudah pernah kukenal. Setiap orang itu tidak ada istilah yang namanya ‘bukan orang penting’ karena pasti dia adalah seseorang dari seseorang yang menganggapnya berharga.” Amanda tertegun mendengar apa yang diucapkan oleh Mantan Ketua OSIS itu, sebuah kalimat bijak yang sangat menyentuh hatinya. Itu seperti kamu, Kak. kamu adalah seseorang dari seseorang yang sangat menganggapmu sangat berharga yaitu aku. “Kamu kelas berapa, Rani?” tanya pemuda itu di saat Amanda berdialog dengan dirinya sendiri. “Kelas 11 MIPA 1, Kak,” jawab gadis itu spontan. “Kelas 11MIPA 1? Berarti kamu kenal dong dengan Amanda? Kamu sekelas dengan dia kan?” Gadis bertubuh gempal itu agak tersentak setelah menyadari dia telah salah menyebutkan nama kelas, seharusnya dia berbohong untuk menyebutkan nama kelasnya supaya tidak diketahui oleh Arios. Jika sudah seperti ini dia harus merangkai skenario baru. “Amanda?” “Iya, Amanda Maharanu Utami. Kamu kenal dia kan? Masa enggak kenal ‘kan sekelas.” “Kenal sih, Kak. Tapi ... enggak akrab,” ujar gadis itu ragu. Entah sampai ke mana dia berbohong terus kepada Kakak kelas pujaannya itu. “Kakak kenal Amanda, Kak?” “Kenal sih enggak, aku belum pernah bertemu dengannya walau satu sekolah, tapi aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku ingin belajar darinya tentang menulis novel.” Gadis bertubuh gempal itu mengangguk pelan, dia mulai memahami mengapa Arios ingin sekali berbincang dengan Amanda, ternyata dia ingin belajar menulis n****+. Apapun alasan yang diutarakan setidaknya telah terbangun sebuah jembatan penghubung antara Mantan ketua OSIS itu dengan dirinya. “Bagaimana Kakak akan mengenalinya jika ternyata belum pernah bertemu?” Kalimat yang diucapkan oleh gadis bertubuh gempal itu membuat Arios menepuk dahinya, dia baru menyadari bahwa ada kealpaan yang dilupakan. Bagaimana dia akan mengenali Amanda jika belum pernah melihat wajahnya sekalipun. “Berarti ini apa yang terjadi hari ini adalah sebuah kebetulan sekali, Rani.” “Maksudnya, Kak?” “Bertemu kamu di sini sebuah kebetukan sekali, beruntung aku menawarkan kamu duduk di sini dari pada ke lantai bawah.” “Aku masih belum mengerti.” “Dengan duduknya kamu di sini berarti aku akan mempunyai kesempatan untuk mengenali Amanda karena ada teman sekelasnya di sini. Aku enggak perlu khawatir enggak akan mengenali Amanda karena ada kamu yang akan membantu,” kata Mantan Ketua OSIS itu dengan sebuah senyum kecil yang tersemat di bibirnya. Sebuah alasan yang masuk akal, bagaimana aku akan mengenali diriku sendiri yang sudah berada di hadapan Kak Arios,” gumam gadis bertubuh gempal itu. Mantan Ketua OSIS itu melihat jam tangannya, matanya melekat di sana selama beberapa detik. Sebuah helaan napas mengikuti setelahnya. “Aku enggak tahu Amanda akan tiba di sini, Ran. Dia bilang setengah jam akan sampai di sini, ini sudah hampir satu jam dan dia belum tiba juga.” Ada nada bete di kalimat yang diucapkan oleh pemuda itu. “Aku sudah tiba sejak tadi, Kak. hanya Kak Arios-nya saja yang tak mengenali aku,” kata gadis itu dalam hatinya. Ingin rasanya gadis bertubuh gempal itu mengungkap identitas aslinya kepada Kakak kelas pujaannya ini, namun apa yang akan terjadi setelah dia mengungkap identitasnya? Bagaimana jika Arios lari meninggalkannya dengan rasa jijik? Atau shock dan akhirnya meninggal? Sebuah kelebayan memang karena memang dia tak tahu apa yang akan terjadi jika dia berkata jujur. “Tunggu sebentar lagi kali, Kak. Mungkin dia ada kendala di kendaraannya atau ada hal lain.” “Mungkin aku telepon saja kali untuk memastikan keadaannya, Ran.” Amanda tersentak kaget saat Arios tiba-tiba menggenggam ponselnya yang diraihnya dari atas meja, tiba-tiba jantung gadis itu berdetak lebih  cepat, darahnya mengalir lebuh cepat. Dia berusaha mengingat-ingat telepon genggamnya dalam mode panggilan apa tadi sebelum tiba di Saung Sehati ini. Jika dia setting dalam keadaan berdering, habislah dia karena pasti saat Mantan Ketua OSIS itu menelepon maka ponselnya yang akan berdering. Apa yang akan dijadikannya alasan nanti? Arios menempelkan ponsel miliknya ke telinga setelah menekan tombol memanggil kontak yang diberi nama ‘Amanda’ itu. Sebelum genap semenit dia sudah meletakkan gadget itu di atas meja. Ada raut kecewa di wajahnya yang tak berusaha disembunyikan olehnya. “Dia enggak mengangkat teleponnya,” kata Arios kepada Amanda. “Mungkin dia dalam keadaan enggak bisa mengangkat telepon, Kak.” “Mungkin juga ya,” kata pemuda itu sambil mengangguk kecil setuju dengan apa yang disampaikan oleh Amanda. Mungkin saja gadis yang ditunggunya sedang mengendarai motornya menuju ke sini. “Boleh aku tanyakan sesuatu, Kak?” kata gadis bertubuh gempal itu. “Silahkan saja, Ran. Asal jangan susah-susah pertanyaannya, aku lagi malas mikir,” ujar pemuda itu dengan wajah serius, sesaat matanya melihat ke arah sang gadis. “Enggak kok, Kak. Hal ini ada kaitannya dengan Amanda, orang yang sedang Kakak tunggu.” Kalimat yang diucapkan oleh gadis di depannya membuat Arios menatap sosok di depannya dengan serius. Sepertinya dia bersemangat sekali untuk membahas gadis yang belum pernah ditemuinya itu. “Kak Arios kan belum pernah bertemu dengan Amanda,” kata gadis itu yang disambut dengan anggukan kecil Arios. “Bayangan Kakak tentang sosok Amanda itu seperti apa, Kak?” “Maksudnya gimana, Ran?” Arios mengerutkan dahinya karena pertanyaannya kurang jelas arahnya. “Maksudku apa yang Kakak bayangkan tentang Amanda ini, gendut atau kurus, jelek atau cantik?” “Oh,” Arios melengkapi katanya dengan sebuah tawa. “Aku sih membayangkan Amanda ini seperti sosok yang aku baca di novelnya. Dia adalah  gadis maha perfect yang Hyperthymesia, bisa mengingat detil semua hal yang sudah terjadi.” Gadis bertubuh gempal itu menelan ludah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Kakak kelas pujaannya itu. Dia pasti akan kecewa saat melihat sosok asli dari Amanda Maharani Utami, dia bukanlah gadis maha perfect seperti yang tertulis dalam narasi n****+. Gadis itu hanyalah seorang gendut yang berkulit hitam, semuanya memang terbalik 360 derajat antara dunia fiksi yang diciptakan imajinasinya dengan dunia nyata di mana dia benar-benar berpijak di atas tanah. “Bagaimana jika sebaliknya, Kak?” kata Amanda akhirnya. Gadis itu ingin memastikan jawaban dari Kakak kelas pujaannya itu, supaya lebih siap dengan kekecewaan yang bisa saja terjadi. “Sebaliknya gimana?” kata Arios dengan kerutan di dahinya. “Iya misalkan apa yang tadi Kakak katakan itu tidak sesuai harapan, Amanda bukan sosok yang seperti dia gambarkan di novelnya? Amanda tidak seperti sosok yang digambarkan oleh majinasi Kakak?” Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Mantan Ketua OSIS itu, nampaknya dia belum punya jawaban jika apa yang ada di imajinasinya ternyata adalah sebaliknya. Bagaimana jika ...  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN