Kisah Nyata Berbalut Imajinasi

1833 Kata
Amanda berdiri mematung di lantai dua Saung Sehati, dia menyapu satu dua orang yang berada di lantai atas itu dengan matanya. Gadis itu sedang mencari sedang mencari sosok yang mengundangnya berbincang di sini setelah setengah jam sebelumnya tertunda karena dia ada janji dengan Pak Malik, guru BK SMA Pilar Bangsa. Mata gadis itu tertuju kepada seorang pemuda berseragam putih abu yang duduk di pojok Utara, dia mengenali sekali siapa sosok itu. Dia adalah Kakak kelas pujaannya selama ini, Arios Sumpah Palapa. Pemuda jangkung berkulit putih itu nampak sedang membaca sesuatu di ponselnya, entah itu berita, informasi atau hanya sebuah status di media sosial. Gadis berhidung bangir yang berseragam sekolah sama dengan Arios itu berjalan perlahan menghampirinya. Wangi parfum sang gadis langsung mengalihkan mata pemuda itu dari layar ponselnya ke sosok cantik yang baru datang itu. “Halo, Finally …” kata pemuda itu seraya meletakkan ponselnya ke atas meja. Dia mengulurkan tangannya ke gadis itu untuk berjabat tangan. Sang gadis menerimanya dengan menyematkan sebuah senyum yang sangat manis. “Maaf aku lama ya, Kak,” ujar gadis itu dengan masih mengulum senyum. “Enggak, kok, Manda. Ayo silahkan duduk,” kata pemuda jangkung itu. Gadis cantik itu duduk di kursi yang ada di hadapan Arios, tatapan mereka tertaut sejenak. Hal itu membuat kedua insan yang belum lama saling mengenal itu tertunduk sejenak dan tertawa kecil. “Kita pesan dulu ya, supaya bincang-bincangnya makin asyik,” kata pemuda berkulit putih itu seraya mengangkat tangannya untuk memanggil waitress. Seorang pelayan cantik ber-span hitam melangkah mendekati kedua pengunjung yang masih berseragam sekolah itu. Terlihat dia memegang sebuah notes di tangannya untuk menulis pesanan apa yang akan diminta oleh Arios dan Amanda itu. “Selamat siang, Kak. Ada yang bisa kami bantu?” ujar waitress itu sambil tersenyum ramah. “Siang, Kak,” ujar Arios dengan membalas senyum gadis berseragam Saung Sehati yang berwarna pink. “Kita mau pesan ya, Kak.” “Silahkan,” kata waitress itu sambil bersiap menuliskan apa yang diucapkan kedua sosok yang ada di hadapannya. “Aku pesan jus alpukat ya, Kak. Roti bakar dengan topping es krim,” kata pemuda jangkung itu, dia lalu menoleh ke gadis berseragam putih abu yang ada di hadapannya. “Kamu mau pesan apa, Manda?” “Aku … aku pesan sama saja dengan Kak Arios,” kata gadis itu sambil menoleh ke waitress yang ada di sampingnya. “Berarti pesanannya adalah jus alpukat dua dan roti bakar topping es krim dua juga,” apa yang diucapkan waitress itu mendapat jawaban anggukan dari kedua orang berseragam putih abu itu. “Ada lagi yang mau ditambahkan, Kak?” “Sementara itu saja dulu,” kata Arios yang dijawab anggukan waitress itu. “Baik, ditunggu ya, Kak.” Gadis ber-span hitam itu membalikkan badannya, dia melangkah meninggalkan meja di mana ada dua sejoli yang sepertinya saling mengagumi itu. “Kamu kok pesanannya sama denganku, Manda?” tanya Arios setelah kesunyian menjebak mereka beberapa detik. “Enggak boleh ya, Kak?” kata gadis itu seraya mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Kakak kelasnya. “Boleh,” kata Arios dengan sebuah senyum di wajahnya. “Enggak ada larangan, kok. Aku hanya bertanya saja, memastikan apakah kamu juga menyukai apa yang aku sukai.” “Oh, aku kirain ada larangan seperti itu,” sebuah tawa kecil terlihat di ujung bibir Amanda. Arios yang kebetulan sedang menatap gadis berhidung bangir di hadapannya itu terpesona takjub melihat pemandangan di depannya. Dia tak menyangka sama sekali adik kelasnya di kelas 11 MIPA 1 ini mempunyai tertawa sekelas bidadari yang membuat hati rasanya dipenuhi dengan  bunga-bunga. “Jangan menatapku seperti itu, Kak, nanti jatuh cinta.” Kini tertawa yang tadi ada di wajah Amanda berganti dengan sebuah senyum, namun apa yang dilakukan gadis itu pun membuat Arios takjub dengan keindahan senyum gadis berhidung bangir di hadapannya. “Aku memang sudah jatuh cinta, Manda,” kata pemuda jangkung itu lirih. “Hah?” kata Amanda, dia agak terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh pemuda di hadapannya. “Ups! Kedengaran ya?” kata pemuda itu sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. “Ya kedengaran dong, Kak. Suaranya keras begitu mana mungkin enggak kedengaran,” ujar Amanda dengan sebuah tawa menyertainya. “Maaf ya, mulutku suka lepas kendali jika berada di depan orang yang kukagumi.” “Wow! Kak Arios mengagumi aku?” “Enggak boleh ya?” “Aku enggak bisa melarangnya, Kak,” sebuah tawa kecil melengkapi rangkaian kata yang diucapkan oleh gadis itu. “Tapi lucu saja.” “Lucu bagaimana maksudmu?” “Ya lucu, Kak. Siswa yang paling sering digunjingkan di sekolah oleh para kaum Hawa ternyata mengagumi seorang Amanda Maharani Utami yang hanya siswi biasa dan suka halu.” “Aku sering digunjingkan?” Arios tertawa lepas. “Suaranya meong-meong dong, Manda.” “Itu namanya kucing bukan gunjing, Kak.” Sebuah cemberut terlihat di wajah Amanda, Arios tertawa lagi. “Oh, sudah ganti namanya ya?” “Bukan sudah ganti, memang dari dulu yang meong-meong itu kucing, yang guk-guk itu anjing.” Masih terlihat sebuah cemberut di wajah gadis berhidung bangir itu. “Ini gunjing, Kak. Jadi bahan pembicaraan orang-orang. Bahasa lainnya adalah di-ghibah-in.” “Iya, aku kira sama.” “Stop, Kak. Jangan bertingkah seolah bodoh di hadapanku.” “Aku enggak tahu mengapa aku jadi seperti ini, Manda,” kata pemuda jangkung itu sambil menggaruk pelipisnya dengan telunjuk. “Padahal tadi sebelum berjumpa denganmu aku merasa pintar sekali. Aku mampu menjawab 1 tambah 1 itu sama dengan dua dengan mudah, bahkan tanpa perlu menghitung menggunakan jari tangan apalagi menggunakan kalkulator.” Amanda menghela napas dalam, sebuah gelengan kepala dan senyum tipis terlihat di wajahnya. Ternyata Kakak kelasnya ini bisa membuat sebuah guyonan yang lumayan lucu. “Mengapa Kakak setelah bertemu denganku menjadi bodoh?” tanya gadis itu dengan wajah serius. Gadis berhidung bangir itu menduga pastilah kalimat yang akan menjadi jawabannya adalah rangkaian kata bucin atau mungkin lucu. “Aku enggak tahu apa yang terjadi dengan diriku yang tiba-tiba bodoh di hadapanmu, Manda. Yang aku tahu hanyalah saat kamu memanjakan mataku dengan senyum manis dan tawamu yang menawan aku hanya ingin memikirkan kamu saja. Aku hempaskan semua ingatan lain selain apa yang ada di depan mataku. Aku ingin terus bersamamu, Manda, Tinggal di dunia yang sama dan menetap selamanya di sana.” Sebuah senyum terlihat di wajah gadis berhidung bangir itu, wajahnya merah merona. Baru kali ini ada seorang pemuda yang berhasil membuatnya baper, ataukah mungkin ini di karenakan dia memiliki perasaan yang sama dengan apa yang ada di dalam d**a Mantan Ketua OSIS SMA PB itu. Tangan kanan Arios menggenggam tangan gadis itu yang berada di atas meja, Amanda membiarkan saja apa yang dilakukan oleh pemuda itu karena dia juga menyukainya. Rasa hangat mengalir dari tangan itu ke otak dengan menumpang aliran darah. Sebuah ketukan pintu mengalihkan konsentrasi kedua insan yang saling mengagumi itu, Amanda menoleh ke arah pintu kamarnya dengan bete. Seorang perempuan berdiri di ambang pintu dengan sebuah senyum di wajahnya. “Ada apa sih, Bun?” ujar Amanda dengan intonasi suara yang terdengar tidak senang. “Bunda cuma mau memberikan ini saja, Manda,” kata perempuan itu sambil menyodorkan sebuah piring. “Bunda tahu enggak, Bunda sudah mengganggu konsentrasiku menulis. Apa yang ada di otakku buyar semua.” “Iya, Bunda minta maaf kalau mengganggu, Bunda kira saat menulis pasti akan butuh asupan yang akan membuat otak tetap berjalan,” kata perempuan itu sambil menyodorkan piring itu. “Semangat nulisnya ya, Sayang. Selamat menikmati singkong kejunya ” Gadis bertubuh gempal itu mau tak mau menerima piring yang disodorkan oleh Bundanya, perempuan itu membalikkan badannya dan pergi meninggalkan putrinya yang masih berdiri di ambang pintu. Amanda menutup pintu kembali dan menguncinya lagi. Piring berisi singkong keju itu diletakkannya di atas meja. Gadis bertubuh gempal itu menjatuhkan dirinya ke atas kasur, di wajahnya terlihat raut bete dengan hal yang baru saja terjadi. “Buyar sudah konsentrasi gue,” katanya lirih dengan tersungut. “Mengapa sih Bunda mesti datang di saat di mana mood-ku menulisku sedang bagus? Untuk melanjutkannya aku ‘kan butuh waktu yang lama lagi.” Tangan kanan gadis itu menekan tombol save di aplikasi menulis ponsel itu untuk mengamankan hasil imajinasinya. Amanda lalu meletakkan telepon genggamnya di atas kasur. “Malam ini stop dulu deh, besok lanjut lagi. Padahal gua ingin upload-nya malam ini supaya Kak Arios membacanya juga. Apa daya mood-nya hilang.” Amanda mengingat apa yang terjadi siang tadi sepulang sekolah di Saung Sehati, ada rasa kecewa yang belum bisa diobatinya karena ternyata Arios tidak mengenalinya sebagai Amanda Maharani Utami. Dalam benak Mantan Ketua OSIS itu sosok Amanda adalah persis seperti apa yang dideskripsikan oleh penulisnya di dalam n****+ online itu, seorang gadis maha perfect dengan keanomalian otak yang disebut dengan Hyperthymesia. Entah apa yang akan terjadi dengan Kakak kelas favoritnya itu saat dia mengetahui bahwa orang yang ingin sekali ditemuinya hanyalah seorang gadis gendut dengan kulit hitam? Ada satu hal yang menjadi pikiran Amanda sebelum pamit terlebih dahulu kepada Arios di tempat itu. Mantan Ketua OSIS itu menitipkan pesan kepada Amanda, jika ternyata gadis yang ditunggunya tidak datang maka dia akan menemuinya di sekolah besok. Itu tentunya akan menjadi sebuah kabar gembira dan hal yang menyenangkan untuk Amanda jika saja dia sosok maha perfect yang dikagumi banyak orang, tetapi untuk seorang Amanda yang bertubuh gendut dan buluk itu adalah kabar duka. Akan ada hal besar yang terjadi jika dia tidak menyusun sebuah skenario bagaimana menghindari Arios di sekolah. Dia teringat sebuah berita yang sempat dibacanya di portal berita online tentang beberapa orang Korea yang melakukan operasi plastik untuk membuat wajah mereka menjadi tampan atau cantik. “Bagaimana jika gue operasi plastik saja untuk membongkar wajah jelek ini menjadi wajah yang sesuai dengan wajah Miss Perfect? Gadis yang cantik, berhidung mancung dan berkulit putih,” sebuah senyum terlihat di wajah wajah gadis bertubuh gempal itu. Amanda menghela napas panjang setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya adalah sesuatu yang masih sulit untuk digapainya saat ini. “Dari mana juga uangnya untuk operasi plastik itu? Buat makan dan bayar sekolah saja Bunda masih suka kebingungan. Atau bagaimana jika aku mengandalkan bonus menulis n****+? Dari mana juga uang itu? Novelku ‘kan sepi dan yang membacanya langka. Bagaimana akan mendapatkan uang dari sana? Andaikan saja ada platform menulis n****+ yang membayar penulisnya enggak perlu mengandalkan view semata.” Tangan gadis bertubuh gempal itu meraih kembali ponselnya yang tergolek di atas kasur, dia lalu menekan browser di layar ponselnya, ada dua hal yang akan dicarinya di peramban itu yaitu ‘menghasilkan uang dari menulis n****+ dan biaya operasi plastik’. “Mungkin nanti saat aku berhasil menemukan platform yang membayar penulis tanpa melihat view, aku akan berjuang untuk operasi plastik, supaya wajahku seperti Amanda Maharani Utami yang berada di novelnya.” Sebuah senyum tersemat di wajah gadis bertubuh gempal itu, sebelum akhirnya dia tertidur. Amanda membawa cerita yang tadi dialaminya ke dalam mimpi, membawa cerita yang tadi sempat dituliskannya di aplikasi menulis di ponsel ke dalam dunia yang hanya bisa dikunjungi saat terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN