Saung Sehati

1801 Kata
Semilir angin yang hadir bertandang mengusir panas yang terasa masih menyengat, walau hadirnya hanya sesaat tetapi cukup menghibur diri Amanda. Gadis itu sedang merayu dirinya sendiri untuk melepaskan sedikit gugupnya. Mata siswi bertubuh gempal itu menatap sebuah bangunan 2 lantai dari posisinya yang masih duduk di atas jok motor di tepi jalan. Dia masih belum memutuskan untuk masuk ke halaman parkir Saung Sehati, karena masih belum berhasil untuk memberanikan diri. Terlihat banyak kendaraan roda dua dan empat yang diparkir di sana, ternyata pengunjung tempat ini lumayan ramai. Belum lagi mereka yang baru datang dengan berpasang-pasangan dan masih mengenakan seragam sekolah. Mengapa Kak Arios memilih tempat ini untuk bincang-bincang kalau ramai? “Mbak, tolong jangan parkir di situ, kalau mau masuk buruan ke dalam kalau enggak jangan di situ. Banyak yang keluar masuk, ribet jadinya.” Amanda melihat ke arah suara yang sepertinya bicara kepadanya, seorang pemuda berambut gondrong dan badan dipenuhi tato berdiri tak jauh darinya. Dari jarak tiga meter Tukang Parkir Saung Sehati itu berkacak pinggang ke arahnya, tatapan matanya tajam ke arahnya. Gadis bertubuh gempal itu menelan ludah, dia tidak bisa di posisinya terus harus segera mengambil keputusan ke dalam atau tidak? Jika tidak menemui Arios pasti Mantan Ketua OSIS itu akan marah kepadanya dan mungkin tidak akan mau untuk membuat janji lagi dengannya. Jika itu terjadi bagaimana dengan nasib nak-anaknya yang masih di dalam rahim dan belum diberi benih Kakak kelas pujaannya. “Woy! Malah bengong di situ? Mau masuk enggak? Kalau enggak masuk jangan di situ.” Amanda terkesiap mendengar suara Tukang Parkir yang meneriakinya lagi, dia menoleh sebentar ke arahnya dan menyalakan mesin motornya. Gadis bertubuh gempal itu menarik gasnya perlahan memasuki halaman parkir Saung Sehati. “Aku akan menjalankan rencana yang tadi sudah disusun,” gumam gadis itu dalam hatinya seraya memarkirkan motornya di samping kendaraan roda dua pengunjung lainnya. Dia mengunci stang kendaraannya. “Jangan di-stang,” kata Tukang Parkir bertato itu yang tiba-tiba sudah berada di samping Amanda. “Jangan di-stang?” Amanda membuat pertanyaan dari perintah yang diucapkan kepadanya. “Iya, jangan di-stang. Gitu aja kok repot,” kata pemuda berambut gondrong itu dengan nada tak senang karena ditanya balik. Kalimatnya terdengar tidak enak sama sekali di telinga Amanda, mungkin di telinga semua orang jika mendengarnya. “Tapi ...” kata Amanda, dia khawatir motor satu-satunya itu akan hilang jika tidak dikunci stang. Yang dikunci saja banyak yang raib apalagi yang tak di-stang. “Takut hilang? Enggak. Semua motor di sini enggak ada yang distang, lagian kalau mau hilang ngapain juga maling nyolong motor butut kayak begini selagi banyak motor bagus?” Suara Tukang Parkir itu kian tidak enak terdengar. Semerbak bau alkohol keluar dari mulutnya dan tercium oleh Amanda, gadis itu menahan napasnya. Amanda menghela napas dalam, dia melangkahkan kakinya menjauh dari Tukang Parkir toxic itu. Sudah disengat panas ditambah pula dengan mulut pedas pemuda gondrong itu, belum lagi dia merayu dirinya sendiri untuk tidak nervous dengan hal yang akan terjadi beberapa menit ke depan. Gadis itu mengayunkan kakinya menuju pintu masuk Saung Sehati, terlihat seorang pemuda berpakaian rapi dengan kaus berwarna pink berdiri. Di wajahnya tersemat sebuah senyum ramah saat tak sengaja Amanda melihat ke arahnya. Sungguh berbeda sekali dengan perlakuan yang diterimanya oleh Tukang Parkir itu.    “Selamat datang di Saung Sehati,” kata pemuda itu ramah dengan menyatukan kedua telapak tangannya di depan d**a. “Terima kasih,” ujar Amanda dengan suara parau. Di dalam hatinya gadis itu bertanya-tanya, mengapa suara jadi parau begini? Apa karena menahan emosi tadi ke Tukang Parkir Toxic? Bagaimana nanti saat bincang-bincang dengan calon Abi untuk anak-anakku dengan suara yang tak enak didengar ini? “Mohon maaf jika merasa tidak nyaman dengan perlakuan Tukang Parkir kami, Kak,” ujar pemuda itu sesaat Amanda melewatinya. Gadis itu berhenti dan menoleh ke arahnya, rupanya tadi dia melihat kejadian yang dialaminya dengan si Toxic itu. “Tukang Parkirnya toxic banget, Mas. Kayaknya lagi mabuk dia,” kata gadis bertubuh gempal itu memberanikan diri mengungkapkan apa yang dipendamnya. “Mohon maaf atas ketidak nyamanan yang ditimbulkan, Kak. Sebenarnya dia bukan bagian dari Saung Sehati, istilah tepatnya adalah freelancer. Orang luar management yang ikut mencari nafkah di sini.” “Oh, orang luar, aku kira bagian dari Saung ini.” “Bukan, Kak. Mohon maaf atas ketidak nyamanan yang dirasakan,” kata pemuda itu lagi seraya menyatukan kembali telapak tangannya di depan d**a. “Silahkan, Kak.” Amanda mengangguk, dia mengayunkan langkahnya masuk. Kegugupan mulai merayapinya lagi saat di depannya banyak sekali pengunjung di lantai dasar ini.  Dia menghela napas dalam, mengingat apakah tadi Arios sempat menyebutkan di lantai berapa bertemunya? Seingatnya tidak, Mantan Ketua OSIS itu hanya meyebutkan nama tempatnya saja. Untuk memastikannya, gadis bertubuh gempal itu membuka ponselnya mengecek benar atau tidak ingatannya. “Benar ingatanku, hanya disebutkan namanya saja, lantai berapa atau sebelah mananya enggak dibilang,” kata gadis itu sambil menghela napas. Sebuah hal paling membuatnya enggan untuk melakukan terbentang luas di hadapannya, mencari Arios di antara banyak pengunjung Saung Sehati akan menguras sekali otaknya. Untuk gadis Introvert sepertinya melakukan hal itu adalah sesuatu yang menyebalkan sekali, dia harus memotivasi dirinya sendiri untuk tidak malu menghadapinya. Dari posisinya berdiri dia bisa menjangkau semua pengunjung yang berada di mejanya masing-masing. Walaupun tempat ini lumayan ramai tetapi mudah diselusuri dengan matanya karena rata-rata mereka duduk dengan pasangan atau teman-temannya. “Di mana sih kamu, Kak?” Amanda menghela napas, jika pujaannya itu tidak berada di lantai dasar ini berarti kemungkinan besar ada di lantai 2. Amanda memberanikan dirinya untuk melangkahkan kakinya menaiki tangga lantai 2, sebuah kalimat basmallah digaungkannya dalam hati. Lucu sekali memang saat manusia yang tidak taat agama seperti dia meminta pertolongan Sang Pencipta saat seperti ini. Ternyata lantai atas ini tidak seramai di lantai dasar, rata-rata meja di sini diisi pasangan kekasih yang sedang berbincang sambil menikmati hidangan. Debar jantung Amanda terasa berdetak lebih hebat saat kedua matanya menangkap sosok yang dicarinya sedang duduk di meja paling pojok Utara. Arios sedang menonton sesuatu dari ponsel yang dalam posisi miring, di meja yang ada di hadapannya nampak sebuah gelas tinggi berisi jus mangga. Ada sebuah meja tak berpenghuni di samping Mantan Ketua OSIS SMA PB itu. “Rencana yang tadi sudah disusun harus dijalankan, aku akan duduk di meja yang ada di samping Kak Arios,” kata gadis itu sambil melangkahkan kakinya. Gadis bertubuh gempal itu merasakan jantungnya kian berdebar hebat, langkah demi langkah yang mendekat ke pemuda pujaannya membuat dia kian merasa sesak napas. Ini adalah suatu hal baru untuknya, mungkinkah jika sudah sering melakukannya tidak akan terlalu berdebar seperti ini? Amanda menggeserkan perlahan bangku yang akan didudukinya. Sekilas matanya menangkap sebuah teks ‘reserved’ tertulis di atas meja, dia mengabaikannya karena memang rencananya harus tetap dijalankan. Seorang waitress menghampiri Amanda yang sedang mencuri pandang dengan pemuda yang asyik dengan gadget di sampingnya. Dugaan gadis itu paling dia akan memberikan menu atau menanyakan pesanannya. “Selamat siang, Kak,” sapa waitress cantik itu dengan sebuah senyum ramah. Amanda menoleh ke arahnya menunggu kalimat apa lagi yang keluar dari mulut gadis ber-span hitam itu. “Mohon maaf, Kak. Tempat ini sudah dipesan,” kata gadis pelayan itu sambil menunjukkan teks yang tadi sempat diabaikan oleh Amanda. “Oh, sudah dipesan ya?” kata Amanda, sesaat dia gugup karena hanya meja inilah yang ada di dekat Arios dan hanya meja satu-satunya yang kosong di lantai 2. “s**t!” kata Amanda dalam hatinya. “Bisa gagal ini rencana kalau seperti ini rencana.” “Boleh enggak aku di sini dulu sampai yang memesan meja ini datang, Mbak?” tanya Amanda dengan  penuh harap. “Tentu boleh, Kak,” kata waitress itu masih dengan sebuah senyum ramah. Amanda menghela napas lega karena akhirnya rencananya tidak jadi gagal. “Hanya saja kebetulan yang reserve meja sudah tiba, jadi mohon maaf Kakak bisa pindah ke meja yang ada di lantai dasar. Sudah kami siapkan meja di sana untuk Kakak.” “Hah?” Amanda tak menduga akan ada lanjutan dari kalimat yang diucapkan oleh waitress yang berdiri di hadapannya. “Aku maunya yang ada di lantai ini, Mbak. Adakah?” “Mohon maaf, sementara ini masih belum ada, Kak.” “Tapi, aku ....” Arios mengalihkan matanya dari layar ponsel karena percakapan dua orang yang ada di sampingnya, pemuda itu sepertinya terganggu. Amanda yang sempat melihat pemuda pujaannya itu menoleh deg-degan dengan respons apa yang akan ditunjukkan olehnya.  Gadis bertubuh gempal  itu mendengkus kecewa karena ternyata Mantan Ketua OSIS itu tidak mengenalinya sebagai orang yang ditunggunya di sini. “Aku ke lantai bawah saja deh,” kata Amanda akhirnya dengan kecewa. Dia bangkit dari kursinya lalu bersiap meninggalkan meja itu. Amanda merasakan hatinya pedih, tetapi itu bukan karena dia diminta pindah meja oleh waitress yang masih berdiri denganm senyum ramahnya.  Penyebab utama hatinya berdarah tapi tanpa luka sayatan itu karena Arios tak mengenalinya saat melihat wajahnya. “Kami mohon maaf atas ketidak nyamanan ini, Kak,” kata waitress itu, dia menunduk untuk menunjukkan keseriusannya meminta maaf. Amanda rasanya tidak ingin lagi menanggapi apa yang dikatakan pelayan Saung Sehati itu, dia melangkah menjauhi meja sambil menelan kekecewaannya. “Untuk apa juga tetap berada di meja itu jika ternyata Kak Arios tidak mengenaliku sebagai orang yang ingin diajaknya bincang-bincang? Bagaimana jika dia tahu wajahku seperti apa jika belum pernah melihat wajahku? Apakah dia hanya membayangkan sosok Amanda Maharani Utami yang maha perfect itu, bukan Amanda yang gendut item ini?” “Kak, tunggu sebentar!” Terdengar suara waitress tadi memanggilnya. Amanda menghentikan langkahnya namun tak menoleh. Dia menunggu apa yang akan dilakukan oleh pelayan cantik itu. “Mohon maaf, Kak,” ujar waitress itu setelah berhasil menyusul Amanda dengan lari kecilnya. Gadis bertubuh gempal itu menatapnya. “Ada apa, Mbak? Aku ambil meja di bawah saja, enggak apa-apa,” kata Amanda dengan suara parau. “Sepertinya Kakak enggak usah ambil meja yang di bawah, teman Kakak menawarkan kursinya yang kosong. Jadi Kakak bisa bergabung dengannya di sana.” “Temanku?” Amanda mengerutkan dahinya mendengar apa yang diucapkan oleh pelayan ber-span hitam itu. “Iya, teman satu sekolah Kakak katanya,” kata waitress itu dengan senyum ramahnya lagi. “Itu, Kak. Yang tadi ada di meja sebelah meja yang sudah dipesan itu.” Pelayan itu menunjukan meja yang tadi disebut dengan temannya. Amanda merasakan dadanya sesak setelah menyadari bahawa yang disebutkannya itu adalah Arios. Jadi Kakak kelas favoritnya itu menawarkan Amanda untuk bergabung di mejanya. “Sebuah rencana yang gagal dijalankan namun berhasil,” gumam gadis itu dalam hati. “Silahkan, Kak,” kata waitress itu. Dia berlalu meninggalkan Amanda setelah gadis bertubuh gempal itu melangkah mendekat ke meja Arios. Sebuah senyuman dihadiahkan oleh Mantan Ketua OSIS itu sesaat Amanda berdiri di samping mejanya, dia mempersilahkan duduk bertubuh gempal itu. Menyebalkan memang saat Arios tidak mengenalinya, namun tetap saja menyenangkan akhirnya bisa duduk berhadapan dengan Kakak kelas pujaannya itu.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN