Pucuk Dicinta, Ulam Pun Tiba

1130 Kata
Dengan berdebar hati Amanda membuka pintu, ini adalah kali pertamanya dia menerima seorang laki-laki di rumahnya di malam hari. Setelah tadi berkutat dengan apa yang akan digunakannya untuk menerima kedatangan Arios akhirnya gadis bertubuh gempal itu memilih celana jins yang dikombinasikannya dengan t-shirt berwarna hitam ukuran XXXL. Arios berdiri di samping motor besarnya di halaman rumah Amanda, kulitnya yang putih terang membuat pemandangan kontras dengan jaket hitam yang dikenakannya, ditambah dengan gelapnya malam sebagai background. Tangan pemuda itu menenteng sebuah plastik berwarna hitam. Yang langsung mencuri perhatian Amanda. Pasti itu adalah makanan kesukaannya yang tadi telah membuat gadis bertubuh gempal itu akhirnya mengizinkan Mantan Ketua OSIS itu datang bertandang. “Assalamualaikum,” kata pemuda jangkung itu sambil melangkahkan kakinya mendekat ke beranda. “Waalaikumsalam, Kak. Ayo masuk,” sambut Amanda dengan sebuah senyuman. Dia membayangkan senyumannya akan semanis dengan gadis yang ada di n****+ Miss Perfect-nya, padahal sebenarnya sangat jauh dari itu. “Mau di mana, Kak. Di beranda atau di ruang tamu?” “Aku di mana pun enggak apa-apa.” Arios menjawab dengan menyematkan sebuah senyum. “Tapi sebaiknya jika enggak ada siapa-siapa di rumah sebaiknya di luar saja, Manda. Menghindari fitnah.” “Menghindari fitnah? Maksudnya gimana, Kak?” kata Amanda sambil mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti apa maksud dari kalimat yang diucapkan pemuda tampan di depannya itu. “Jaga-jaga nanti ada orang yang akan memfitnah kita karena hanya berdua di rumah, nanti kita dibilang melakukan inilah, melakukan itulah, padahal sebenarnya enggak.” “Oh, begitu, Kak?” “Iya, Manda,” Arios melengkapin kalimatnya degan sebuah anggukan. Dalam hatinya gadis bertubuh gempal itu berkata, aku sih enggak apa-apa difitnah orang juga jika bersama Kak Arios, aku rela dibilang melakukan inilah melakukan itulah walaupun tak melakukannya. Bahkan aku rela jika Kakak kelas pujaannya itu melakukan apapun kepadaku. Masa aku harus menolak keinginan suamiku jika ingin menyentuh? Tapi ... kapan aku menikah dengannya sehingga bisda mempunyai status sebagi istrinya? Supaya anak-anakku segera lahir dari benih sang pujaan hati, Arios Sumpah Palapa. “Woy, malah dibengongin tamunya?” kata Arios mengejutkan gadis bertubuh gempal itu. “Mikirin siapa sih, Manda.” “Maaf, Maaf, Kak.” Amanda tersenyum kecut karena tertangkap tangan sedang mengkhayalkan Arios di depan orangnya langsung. “Jadi kita di beranda saja ya, supaya aman dari fitnah,” kata Arios sambil menoleh ke arah kursi dan meja yang ada di beranda. “Iya, Kak.” Pemuda itu mengulurkan plastik hitam itu dan diberikannya ke Amanda, gadis bertubuh gempal itu menerimanya. Aroma sate menyeruak dan menyelusup dengan lancang menembus dinding pertahanan hidung Amanda. Gadis itu menelan ludah, berusaha mengendalikan nafsu makannya yang menggila. “Aku sengaja tadi membelinya agak banyak supaya cukup untuk kita juga untuk kedua orang tuamu. Semoga saja Ayah atau Bundamu suka dengan sate Mas Imron.”   Amanda menunduk, mengapa sih harus ada kata kedua orang tua, ayah dan Bunda? Bukankah Kak Arios sudah tahu aku tak ada Ayah di rumah? Atau memang sebenarnya dia belum tahu? Oh iya, aku ingat baru memberitahukannya di salah satu bab Miss Perfect saja, di dunia nyata hal ini masih menjadi percakapan yang harus diperjelas. Mantan Ketua OSIS itu melihat perubahan yang terjadi pada wajah Amanda, pasti ada kalimatnya yang telah membuat gadis bertubuh gempal di hadapannya tiba-tiba berubah air mukanya. “Ada kalimatku yang salah ya, Manda?” kata pemuda jangkung itu dengan nada menyesal. “Enggak salah sih, Kak karena memang aku yang belum memberitahukannya,” kata gadis itu masih dengan wajah masih tertunduk. “Aku enggak punya Ayah lagi.” “Oh, Maafkan aku. Aku enggak tahu.” “Enggak apa-apa, Kak,” gadis bertubuh gempal itu berusah menyematkan senyum di wajahnya. “Aku siapkan ini dulu ya, Kak.” “Iya, Manda.” “Silahkan duduk, Kak. Maaf aku lupa mempersilahkan duduk.” “Not big deal for me at all,” kata pemuda itu sambil menuju kursi yang berjarak dua meter darinya. Setelah melihat Kakak kelas pujaannya itu duduk, Amanda menuju ke dalam untuk menyiapkan makanan yang masih ada di plastik hitam yang masih di tangannya. Mata gadis bertubuh gempal itu sesekali tertuju kepada sosok yang ada di beranda walau sudah terhalang. Hampir saja dia menabrak tubuh seorang perempuan yang tiba-tiba keluar dari kamarnya. “Bunda, mengagetkan aku saja,” kata Amanda setelah menyadari tubuh yang hampir ditabraknya itu. “Bunda lebih kaget lagi, Manda,” kata Bunda sambil mengelus dadanya. “Ada siapa di luar? Kayaknya kamu bahagia sekali sampai dilihat terus walau sudah enggak kelihatan.” “Kak Arios, Bun,” kata Amanda dengans sebuah senyum di wajahnya. “Arios? Siapa dia?” Bunda mengernyitkan dahinya karena baru pertama kali putri semata wayangnya ini menyebutkan nama laki-laki dengan terlihat gembira. “Kak Arios ini Kakak kelasku di sekolah, dia kelas 12. Dia adalah ...” Amanda terlihat ragu melanjutkan kalimatnya. “Dia adalah pacarmu?” Bunda berusaha menebak apa yang menjadi kalimat lanjutan. “Apa’an sih, Bunda? Mana mau Kak Arios yang tampan memesona itu menjadi pacarku.” “Kali aja, mana Bunda tahu,” Bunda tertawa melihat reaksi anak perempuannya yang gembira bercampur dengan gugup. “Itu apa di tanganmu?” “Ini, Bun?” kata Amanda sambil mengangkat plastik hitam itu. “Ini dibawa Kak Arios tadi, Bun. Katanya dia tadi beli sate Mas Imron sebelum ke sini dan mau makan di sini.” “Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba,” kata Bunda, gadis bertubuh gempal itu mengerutkan dahinya karena tak mengerti apa yang diucapkan oleh orang tua satu-satunya itu. “Apa artinya itu, Bun?” “Artinya kira-kira saat lagi ingin sesuatu dan tiba-tiba datang begitu saja, kayak bunda malam ini yang sedang ingin makan sate dan tiba-tiba ada yang datang membawakan sate.” “Bisa saja, Bunda.” Amanda tertawa lebar. “Yuk Bunda bantu siapkan satenya,” kata wanita itu sambil melangkahkan kakinya ke dapur, untuk menyiapkan makanan yang dibawa oleh Arios tadi. Amanda mengikuti langkah Bundanya, dia mengambil empat piring yang akan dijadikan wadah, rencananya dua piring akan digunakan untuk sate yang akan dia bagi dua, untuk dia dan Arios di beranda dan untuk Bundanya. Dua piring lagi akan digunakan sebagai wadah nasi. “Jangan lupa untuk membawakan minumnya juga, Manda,” kata wanita itu sambil menyiapkan dua gelas besar lalu diisi dengan air putih. Rasanya sesuatu sekali merasakan kehadiran Arios malam ini di rumah, suasana yang tadinya penuh dengan bete dan bad mood dalam sekejap berubah menjadi indah, bunga-bunga berwarna pink bertebaran di sana-sini sampai ke semua sudut kamar. “Sudah jangan dibengongin, Manda. Mendingan kamu temani Arios saja sana sambil bawa airnya, Nanti sate dan nasinya Bunda yang membawakan. Enggak enak kalau tamu kelamaan dibiarkan sendirian.” “Iya, Bun,” ujar gadis bertubuh gempal itu sambil memasukkan kedua gelas yang berisi air putih itu ke atas baki dan membawanya keluar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN