Beranda Rumah Amanda di Malam Hari

1816 Kata
Malam kian merambat meninggalkan keramaian dan memutuskan untuk bersatu dengan kesunyian, sesekali angin bertiup membuat susana agak dingin. Jam 9 yang diminta oleh Amanda supaya Mantan Ketua OSIS itu pulang sudah lewat setengah jam lalu dan sepertinya gadis bertubuh gempal itu tidak keberatan terus ditemani oleh Arios. Makan sate Mas Imron ternyata butuh waktu yang lama karena memang sangat dihayati, terlebih karena memang Arios sengaja membelinya agak banyak karena ketidak tahuannya akan Amanda yang ternyata sudah tidak mempunyai ayah lagi.  Mereka makan dengan lahap dan banyak, terlebih pemuda itu yang memang belum makan malam. Amanda yang biasa makan cepat kali ini diperlambat dan anggun, gadis itu sengaja menjaga image-nya di depan Kakak kelas pujaan hatinya. Jika dia makan seperti biasa saat bersama dengan Bundanya pasti akan terlihat ‘sesuatu banget’ di depan Arios. Ada kekhawatiran jika Mantan Ketua OSIS itu melihat gaya makannya maka dia akan ilfil dan memerikan cap bahwa dia adalah ‘cewek rakus’ “Sate Mas Imron memang dahsyat ya, Manda,” kata pemuda itu sambil menjilati jari tangan kanannya yang masih menyisakan bumbu. “Enggak ada tandingan nikmatnya, Kak.” “Setuju, kamu penyuka sate Mas Imron juga ya?” “Penyuka?”Amanda melengkapi pertanyaannya dengan sebuah senyum. “Mengapa otakku penggunaan kata ‘penyuka’ itu enggak cocok ya, Kak? Apa karena aku lebih sering mendengar istilah ‘penyuka sesama jenis’ ya?”   “Hah? Memangnya kamu penyuka sesama jenis?” kata Arios, pemuda itu sepertinya terkejut dengan apa yang baru saja di dengarnya. “Iya,” kata Amanda dengan intonasi suara lebih rendah dari sebelumnya dengan diikuti sebuah senyuman. “Diih, menjijikan,” ujar pemuda jangkung itu sambil menggeserkan kursinya menjauh dari Amanda. “Maksudnya aku ini penyuka sesama jenis manusia, Kak. Bukan penyuka jenis lainnya seperti hantu misalnya,” kata Amanda sambil tertawa. Arios yang tadi menggeserkan bangkunya agak menjauh kini digeserkan kembali mendekat ke arah gadis bertubuh gempal itu, di wajahnya terlihat ada ketakutan yang hadir tiba-tiba. “Hush, jangan ngomong begituan malam-malam,” kata Arios yang disambut dengan tertawa gadis yang ada di hadapannya. “Kakak takut han ...” “Hush! Jangan disebut lagi, Manda.” Kalimat Amanda dipotong oleh Arios dengan wajah serius yang bercampur dengan kekhawatiran. Amanda tertawa lagi, dia tak menyangka sosok yang dia anggap perfect sekali sebagai laki-laki ternyata punya kelemahan yaitu takut kepada makhluk tak terlihat. “Enggak apa-apa sebenarnya Kak Arios takut hantu kan ada aku yang akan menjaganya nanti, akan aku hajar semua makhluk astral yang berani mendekat dan mengganggunya,” kata Amanda dalam hatinya sambil tersenyum. “Sudah enggak usah ditertawakan, kita bahas yang lain saja, Manda.” Arios berusaha mengalihkan pembicaraan di antraa mereka yang sudah tidak nyaman itu. “Seperti apa misalnya, Kak?” “Seperti mengapa kamu menulis n****+ dengan menggunakan namaku serta nama-nama orang di sekolah tanpa disamarkan?” Amanda terdiam, ini adalah pembicaraan yang dihindarinya dengan Arios. Masa harus dia katakan alasan menggunakan nama Mantan Ketua OSIS itu dalam novelnya adalah dikarenakan dia menyukainya? Gadis bertubuh gempal itu melihat jam di ponselnya, mungkin ada cara menghindari pembicaraan ini dengan meminta Arios pulang atau jika dia tidak mau diminta baik-baik, usir saja. Amanda menghela napas, otaknya berpikir cepat untuk memilah alasan apa yang kira-kira cocok digunakan. “Sudah setengah sepuluh lewat, Kak, waktu Kakak sudah habis,” kata Amanda akhirnya, dia pikir alasan ini cukup kuat untuk meminta pemuda jangkung itu pergi. “Enggak, aku enggak mau pergi dulu, Manda. Aku mau tahu jawaban dari kamu tentang pertanyaanku tadi.” “Tapi sekarang waktu Kakak sudah habis.” Amanda bersikukuh dengan alasannya. “Tadi sebelum aku bahas tentang n****+ sepertinya kamu baik-baik saja walau waktu sudah lewat jauh dari jam 9, begitu masuk ke pembicaraan membahas n****+ tiba-tiba kamu memintaku segera pulang.” Pemuda itu menatap tajam gadis yang duduk di hadapannya. Amanda menunduk, tidak kuat rasanya dia ditatap seperti itu oleh Kakak kelas pujaan hatinya. “Aku enggak mau diperlakukan seperti ini, Manda. Sudah berhari-hari aku ingin berbincang denganmu untuk membahas n****+, tapi kamu menghindar terus. Saat menemuiku di Saung Sehati pun malah mengaku-ngaku sebagai Rani.” “Rani kan memang nama tengahku, Kak. Amanda Maharani Utami. Itu bukan ngaku-ngaku,” Amanda berkelit. “Apapaun alasannya aku mau tetap berada di sini, membahas tentang n****+ kamu.” “Enggak, Kak. Waktu Kakak sudah habis lebih dari setengah jam lalu.” Amanda tetap dengan alasannya. “Oke, kalau begitu. Aku pulang, tapi ... satu hal yang harus kamu ingat, kamu enggak boleh menggunakan namaku lagi di n****+ dan aku enggak mau berjumpa dengan kamu lagi di manapun.” Pemuda jangkung itu berdiri dari kursi yang didudukinya, dia bersiap pergi. Amanda speechless, lidahnya terasa kelu. Itu adalah ancaman yang menakutkan sekali untuk gadis bertubuh gempal itu. “Enggak berjumpa dengan Kak Arios lagi di manapun itu adalah suatu hal yang paling menakutkan, bagaimana dia akan menjadi imamku nanti jika tak pernah berjumpa lagi? Bagaimana dia akan menanamkan benih di rahimku jika bersua pun tidak pernah lagi? Bagaimana nasib cucu-cucuku nanti?” pertanyaan-pertanyaan konyol hadir di benak gadis itu. Arios meraih kunci motornya yabg sejak tadi tergeletak di atas meja menemani ponselnya yang sengaja dibiarkan. Pemuda itu melangkah meninggalkan gadis bertubuh gempal itu yang masih berkutat dengan pikirannya. Amanda terhenyak, rupanya yang dilakukan oleh Arios bukanlah ancaman, dia benar-benar pergi. “Tunggu, Kak,” kata Amanda. Apa yang diucapkan oleh gadis itu seolah tak dipedulikan oleh Arios. Pemuda itu menggunakan helm lalu menghidupkan mesin kendaraan roda duanya, bersiap untuk meninggalkan rumah Amanda. Gadis bertubuh gempal itu panik, dia segera mengejar Arios yang sudah siap menarik gas. Tangan Amanda dengan sigap memutar kunci motor pemuda itu ke posisi off sehingga mesin motornya mati, pemuda jangkung itu menghidupkannya lagi namun Amanda mematikannya kembali. Arios menghidupkan lagi mesin motornya namun gadis di depannya tetap mematikan. Tiba-tiba Amanda melihat ke belakang Arios, matanya terlihat membelalak. Pemuda jangkung yang melihat apa yang terjadi dengan gadis bertubuh gempal di hadapannya menoleh ke belakang dan tak menemukan apa-apa di sana. Bulu kuduknya mulai berdiri dan membuat suasana tiba-tiba berubah tegang, dia turun dari kendaraannya dan berdiri di belakang gadis bertubuh gempal itu. Amanda Maharani Putri berkacak pinggang sambil melotot ke jok belakang motor Arios. Pemuda itu dengan diselimuti rasa takut berdiri di belakang Amanda, walau dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Geus, mantog sia, ulah balik deui. Ulah ganggu kak Arios deui![1]” kata gadis bertubuh gempal itu dengan nada tinggi. Arios memperhatikan saja apa yang dilakukan oleh Amanda tanpa berbuat apa-apa. Dia tak menyangka sama sekali ternyata dirinya yang serba bisa melakukan apapun ternyata tak bisa mengendalikan hawa takut terhadap sesuatu yang tak terlihat. Amanda membalikkan badannya meninggalkan kendaraan roda dua Arios yang terparkir dua meter dari beranda, gadis bertubuh gempal itu melihat Mantan ketua OSIS yang wajahnya mengguratkan kekhawatiran dengan apa yang baru saja berlangsung, walau dia tidak tahu sebenarnya tadi ada apa. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke kursi lagi, tanpa diminta Arios berjalan mengikuti gadis itu dengan sesekali menoleh ke belakang. “Ada apa sebenarnya tadi, Manda?” tanya Arios dengan setengah berbisik. “Boleh aku katakan ni ada apanya, Kak?” kata gadis bertubuh gempal itu sambil tersenyum tipis. “Eng-Enggak deh kalau berhubungan dengan mereka,” kata Arios membalasnya dengan senyum kecut. Amanda terkekeh dalam hatinya, akhirnya dia mempunyai akal untuk menahan Arios pergi karena ancamannya tadi. Entah apakah memang karena aktingnya yang cukup meyakinkan atau karena memang Mantan Ketua OSIS itu diselimuti rasa takut yang tak bisa dikendalikannya. Apapun itu yang penting misinya berhasil. Bunda muncul dari balik pintu, matanya menatap kedua muda-mudi yang sudah duduk kembali di kursi.  Mata perempuan itu kemudian melihat bagian tak berlampu beberapa meter dari halaman rumah. “Ada apa, Bun?” tanya Amanda. Yang dipanggil namanya itu menoleh ke arah anak semata wayangnya dengan tatapan balik bertanya. “Seharusnya Bunda yang bertanya kepadamu, Manda? Ada apa tadi kamu bicara dengan suara keras? Bunda tadi mengira ada sesuatu dengan kamu, bertengkar dengan Arios atau dengan orang luar yang datang mengganggu.”   “Enggak, Bun. Enggak ada apa-apa, itu tadi cuma iklan sebentar.” “Iklan? Maksudnya gimana?” “Enggak ada apa-apa kok, Bun. Tadi itu Manda sedang belajar akting,” kata Arios meyakinkan Bundanya Amanda. Gadis bertubuh gempal itu menoleh ke Mantan Ketua OSIS itu, kok dia tahu tadi aku sedang akting? jangan-jangan ketakutannya juga hanya berpura-pura. Jangan-jangan itu hanya akal-akalannya saja supaya bisa menginap di rumah dan akhirnya bisa melihat kecantikanku yag paripurna di saat tidur. Astagaaaa, apa sih Manda? Halu aja. “Akting?” Bunda mengerutkan dahinya, nampaknya perempauan itu kian tidak mengerti dengan yang diucapkan oleh kedua anak muda yang ada di hadapannya. “Akting, Bun. Buat sinetron TV yang judulnya ‘aku menangis’ di televisi swasta itu lho,” jelas Amanda dengan sebuah senyum. “Tahu ah, manda. Bunda tambah pusing jadinya. Bunda mau lanjut nonton TV saja. Syukurlah aklau enggak ada apa-apa dengan kalian.” Perempuan itu membalikkan badannya meninggalkan kedua muda-mudi itu yang diselimuti berbagai rasa. Tiba-tiba wajahnya muncul lagi di ambang pintu. “Ini mengapa piring-piring sisa makannya belum dirapikan, Manda? Enggak enak sekali pemandangannya,” ujar perempuan itu sambil menyusun wadah sisa makan kedua muda-mudi itu yang masih meramaikan meja. “Maaf, Bun. Tadi habis makan langsung ada shooting,” kata gadis itu.  Apa yang diucapkan oleh Amanda itu memantik pertanyaan kembali di benak Bundanya. Tapi sepertinya kali ini dia tidak mau ambil pusing. Perempuan itu membawa piring-piring kotor itu ke dalam. “Ngobrolnya di dalam saja, Manda. Ajak Arios ke ruang tamu. Di luar mulai dingin,” kata Bunda saat dia berada di ambang pintu. Amanda menoleh ke arah Arios yang sepertinya gembira mendengar apa yang diucapkan oleh Bundanya gadis itu. “Mau ke dalam, Kak?” Amanda menawarkan. “Kalau boleh aku mau.” Sebuah senyum terlihat hadir  di wajah pemuda itu. “Tadi Bunda sudah ngomong kan, mempersilahkan Kakak dijak ke dalam karena di luar mulai dingin.” “Iya, aku dengar juga.” Senyum yang tadi terlihat berubah menjadi tawa. “Jadi boleh?” “Boleh dong, mau menginap juga boleh. Aku enggak keberatan.” “Menginap?” Arios mengerutkan dahinya. Itu sebenarnya adalah penawaran yang ingin sekali didengar oleh Mantan Ketua OSIS itu, menginap mungkin adalah sebuah solusi karena untuk kembali ke rumah dia masih merasa merinding dengan tadi apa yang dilihat oleh Amanda di belakang joknya. Pemuda berbadan jangkung itu melangkah mengikuti Amanda ke dalam, suasana dingin beranjak pergi dan tergantikan oleh hangat. Sofa berwarna pink terang menyambut di ruang tamu, berkombinasi dengan cat tembok berwarna putih s**u. Ruang itu walau tak terlalu besar tapi terlihat sangat menyenangkan untuk berlama-lama di sana. “Silahkan duduk, Kak.” Amanda mempersilahkan Kakak kelas pujaannya itu dengan sebuah senyum.  “Terima kasih, Manda.” ______________ Pojok Kata [1] Geus, mantog sia, ulah balik deui. Ulah ganggu kak Arios deui! (Bahasa Sunda ): Sudah, pergi sana, jangan datang lagi. Jangan ganggu Kak Arios lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN